Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tobing, Rachel Abigail
"Hipoalbuminemia pada pasien kanker menyebabkan survival rate pasien menurun sehingga perlu dikoreksi dengan terapi infus human albumin. Perbedaan penggunaan konsentrasi albumin di Formularium Nasional dan oleh dokter di rumah sakit menimbulkan peningkatan beban biaya rumah sakit. Tujuan penelitian adalah menganalisis perbedaan efektivitas produk human albumin 20% dan 25% terhadap peningkatan kadar albumin pada pasien kanker BPJS yang mengalami hipoalbuminemia di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2019. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap data sekunder pasien yang dirawat pada periode Januari hingga Desember 2019 di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling. Data diperoleh sebanyak 139 sampel. Kadar albumin diamati sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin. Hasil uji beda proporsi karakteristik subyek penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan proporsi karakteristik pasien antar kelompok human albumin 20% (n=32) dan kelompok human albumin 25% (n=107) (p > 0,05). Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan signifikan kadar albumin sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin pada masing-masing kelompok (p < 0,05). Rata-rata peningkatan kadar albumin produk human albumin 20% adalah 0,3063 g/dL dan produk human albumin 25% adalah 0,5346 g/dL. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kadar albumin yang signifikan antara kelompok penelitian (p < 0,05) di mana produk human albumin 25% menghasilkan rata-rata peningkatan kadar albumin lebih besar. Perbedaan harga human albumin 20% dan 25% besar, sehingga dapat dilakukan sosialisasi kepada dokter untuk menggunakan human albumin 20% untuk terapi hipoalbuminemia.

Hypoalbuminemia on cancer patients causes patients’ survival rate to decrease, therefore needs to be corrected with human albumin infusion therapy. Differences in albumin concentration usage in National Formulary and by doctors in hospital raises the hospital cost burden. This study aimed to compare the effectiveness of human albumin 20% and 25% based on albumin level increase in BPJS cancer patients with hypoalbuminemia at Dharmais Cancer Hospital in 2019. This study used a retrospective cohort method towards secondary data of patients treated from January to December 2019 at Dharmais Cancer Hospital. Samples were collected using consecutive sampling technique. A total of 139 samples were collected. Albumin levels were observed before and after human albumin infusion therapy. Proportion difference test on subject characteristics showed no significant difference between human albumin 20% group (n=32) and human albumin 25% group (n=107) (p > 0,05). Mean difference test on albumin levels before and after human albumin infusion therapy showed significant difference between groups (p < 0,05). Average of albumin levels increase in human albumin 20% and 25% groups respectively are 0,3063 g/dL and 0,5346 g/dL. Mean differences test showed a significant difference on albumin levels increase between observed groups (p < 0,05), with human albumin 25% resulted in a greater average of albumin level increase. Human albumin 20% and 25% have a great difference in price, therefore doctors should be socialized in the usage of human albumin 20% for hypoalbuminemia therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martini Handayani
"ABSTRAK
Telah dilakukan isolasi antibodi anti albumin tikus dengan cara
hiperimunisasi kelinci. Isolasi dilakukan karena antibodi anti albumin tikus
diperlukan untuk penelitian terhadap reaksi silang antara alfa-fetoprotein
(AFP) dan albumin tikus, sedangkan antibodi tersebut belum tersedia di
pasaran. Antibodi anti albumin tikus didapat dengan cara menyuntik dua
ekor kelinci masing-masing dengan 1 mg albumin tikus yang telah dibuat
emulsi dengan ajuvan lengkap Freund pada bagian punggung secara
subkutan. Suntikan ulangan dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu
± 10 hari dengan dosis sama yang telah dibuat emulsi dengan ajuvan tak
lengkap Freund. Pada penelitian ini antibodi dideteksi dengan teknik ELISA
dan Western-blot. Hasil ELISA menunijukkan titer antibodi yang didapat
sangat tinggi, yaitu 3.200.000. Dengan teknik Western-blot dapat dibuktikan
bahwa antibodi anti albumin tikus yang diisolasi bereaksi dengan polipeptida
albumin tikus yang mempunyai berat molekul ± 60.000 Da. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa antibodi anti albumin tikus yang dilsolasi
cukup murni dan spesifik karena antibodi tersebut bereaksi positif dengan
albumin tikus dan bereaksi negatif dengan AFP tikus."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Kirana Andranilla
"Pengembangan terapi berbasis protein meningkat signifikan selama 30 tahun terakhir untuk penyembuhan berbagai penyakit. Namun, sifat alami protein seperti berat molekul yang besar dan permeabilitas membran yang buruk menyebabkan terapi diberikan secara injeksi. Pemberian ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien dan limbah jarum, sehingga diperlukan sistem penghantaran baru yaitu dissolving microneedles (DMN). DMN dibuat dengan cara two-step casting micromolding yang melokalisasi bahan aktif untuk berada di bagian jarum. Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai model protein, diformulasikan ke dalam DMN dengan polimer poli(vinil alkohol) (PVA) 1,25-5% dan poli(vinil pirolidon) (PVP) 30-40%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh dan mengevaluasi formula DMN yang mengandung BSA (DMN-BSA) dengan metode pembuatan two-step casting micromolding. Evaluasi sediaan DMN-BSA meliputi morfologis, kekuatan mekanis dan insersi, uji pelarutan dan insersi dalam kulit, pengukuran kadar BSA, uji pelepasan in vitro, serta uji iritasi secara in vivo. Berdasarkan keseluruhan evaluasi yang telah dilakukan, formula F15 dengan polimer kombinasi PVP 30% dan PVA 1,25% merupakan formula yang paling berpotensi untuk formulasi BSA ke dalam DMN. F15 memiliki morfologi yang baik, hasil penurunan tinggi jarum yang rendah dengan nilai 13,53 ± 0,03%, dan dapat masuk hingga lapisan keempat pada Parafilm M®. Selain itu, F15 dapat menembus ke dalam kulit dan memiliki kadar BSA yang tinggi setelah proses pembuatan, yaitu 91,91 ± 1,05 %. DMN-BSA dengan formula ini dapat menghantarkan BSA hingga 93,31 ± 5,49% dan tidak menimbulkan iritasi setelah diaplikasikan pada kulit tikus selama 24 jam. Sehingga, DMN dengan kombinasi polimer PVP-PVA berpotensi untuk menghantarkan BSA secara transdermal dan tidak menimbulkan iritasi.

Over the last 30 years, there has been a significant increase in the development of protein-based therapies for the treatment of various diseases. However, due to the nature of the protein, such as its high molecular weight and poor membrane permeability, therapy must be administered via injection. This administration can be uncomfortable for the patient and generate waste needles, therefore a new delivery system, namely dissolving microneedles (DMN), is required. DMN is made using a two-step casting micromolding process that concentrates the active ingredient in the needle. As a protein model, bovine serum albumin (BSA) was formulated into DMN with poly(vinyl alcohol) (PVA) 1.25-5% and poly(vinyl pyrrolidone) (PVP) 30-40%. The goal of this study was to obtain and evaluate the DMN-BSA formula using the two-step casting micromolding method. Morphology, mechanical strength and insertion, dissolution and skin insertion tests, BSA level measurement, in vitro permeation tests, and in vivo irritation tests were all used to evaluate DMN-BSA preparations. Based on the evaluations, the F15 formula with a combination of 30% PVP and 1.25% PVA had the greatest potential for BSA formulation into DMN. F15 had good morphology, a low needles height reduction of 13.5±0.03%, and penetrated up to the fourth layer of Parafilm M®. Furthermore, F15 penetrated the skin and had a high BSA level after the manufacturing process of 91.91±1.05%. This formula of DMN-BSA delivered up to 93.31±5.49% BSA and did not cause irritation after 24 hours administered on rat skin. As a result, DMN with a PVP-PVA polymer combination had the potential to deliver BSA transdermally while causing no irritation."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Dwi Kurniawan
"Latar Belakang: Ulkus kaki diabetik terinfeksi merupakan kasus DM yang paling banyak dirawat di RS, berhubungan dengan morbiditas, mortalitas, biaya yang tinggi dan bersifat multifaktorial. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah albumin. Belum ada penelitian yang secara langsung menghubungkan konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Belum ada batasan mengenai konsentrasi albumin yang dapat mempengaruhi perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai konsentrasi albumin serum awal perawatan dan hubungannya dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik.
Metodologi: Penelitian dengan desain kohort prospektif terhadap 71 pasien diabetes dengan ulkus kaki terinfeksi yang dirawat inap di RSUPNCM, RSPADGS atau RSP pada kurun waktu April-Agustus 2014. Diagnosis dan klasifikasi ulkus kaki diabetik terinfeksi menggunakan kriteria IDSA. Data klinis dan albumin serum diambil dalam 24 jam pertama perawatan dan diikuti dalam 21 hari perawatan dengan terapi standar untuk dilihat perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Perbedaan rerata konsentrasi albumin antara subjek yang mengalami perbaikan klinis infeksi dan yang tidak, diuji dengan uji t tidak berpasangan dengan batas kemaknaan p<0,05. Untuk analisis multivariat, digunakan analisis regresi logistik dengan koreksi terhadap variabel perancu. Kemudian dinilai kemampuan konsentrasi albumin serum dalam memprediksi perbaikan klinis dengan membuat kurva ROC dan menghitung AUC. Lalu ditentukan titik potong konsentrasi albumin serum dengan sensitifitas dan spesifisitas terbaik pada penelitian ini.
Hasil: Rerata konsentrasi albumin pada kelompok yang tidak mengalami perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik dan yang perbaikan, masing-masing sebesar 2,47 (0,45) g/dL dan 2,94 (0,39) g/dL (p<0,001). Setelah penambahan variabel perancu, didapatkan adjusted OR untuk setiap penurunan konsentrasi albumin 0,5 g/dL adalah 4,81 (IK95% 1,80;10,07). Konsentrasi albumin kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi bahwa ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan mengalami perbaikan dalam 21 hari perawatan dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara konsentrasi albumin serum awal perawatan dengan perbaikan klinis infeksi ulkus kaki diabetik. Konsentrasi albumin serum kurang dari 2,66 g/dL dapat memprediksi ulkus kaki diabetik terinfeksi tidak akan membaik dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 69,6%.

Background: Infected diabetic foot ulcer is the most common case of diabetes mellitus (DM) for hospitalization. It is associated with high morbidity, mortality, expensive cost of treatment and has multifactorial aspects. Albumin is considered as one of the factors associated with the disease. No studies have been conducted to demonstrate direct association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Moreover, no standardized value on albumin level has been set, particularly that may influence the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Objective: To obtain data about serum albumin level at early hospitalization and to recognize its association with clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Methods: A prospective cohort study was conducted. The study evaluated 71 patients with infected diabetic foot ulcers who were hospitalized at Cipto Mangunkusumo Hospital, Gatot Soebroto Hospital or Persahabatan Hospital between April and August 2014. Diagnosis and classification of infected diabetic foot ulcers were made using the IDSA criteria. Clinical data and serum albumin level were obtained within the first 24 hours of hospitalization and the data were followed within 21 days of hospitalization with standard treatment in order to evaluate any clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Unpaired t test with significance value of p <0,05 was used to show the difference of the mean of serum albumin level between subjects with clinical improvement and without clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Afterwards, a logistic regression analysis with adjustment to the confounding variables was used. ROC curve and AUC were used to analyze the capacity of serum albumin level in predicting clinical improvement. Then, a cut-off point of serum albumin level with the best sensitivity and specificity was determined to predict the clinical improvement of diabetic foot ulcer infection.
Results: The mean of serum albumin concentration of the group with clinical improvement and without improvement were 2,47 (0,45) g / dL and 2,94 (0,39) g / dL (p <0,001) respectively. After adjusting the confounding variables, we found that serum albumin level had an adjusted OR of 4,81 (95% CI 1,80;10,07) for every decrease in albumin level of 0,5 g / dL. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL had sensitivity of 75% and specificity of 69,6% in predicting that the infected diabetic foot ulcers would not improve within 21 days of hospitalization.
Conclusions: There is a association between serum albumin level at early hospitalization and clinical improvement of diabetic foot ulcer infection. Serum albumin level of less than 2,66 g/dL can predict that the infected diabetic foot ulcers will not improve with sensitivity of 75% and specificity of 69,6%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Uke Andrawina Utami
"Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan penyakit radang yang terjadi pada usus. Peradangan kronik yang terjadi dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut, tindakan bedah dilakukan untuk pengobatan ini. Obat antifibrotik diberikan pasca operasi, salah satu obat antifibrotik yang digunakan adalah pentoksifillin. Pengobatan pada lapisan mukosa usus akan lebih efektif, jika obat dapat dilepaskan ke tempat peradangan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat beads dengan metode gelasi ion menggunakan polimer alginat yang disambung silang dengan kation divalen seperti kalsium klorida yang akan membentuk gel tidak larut. Beads kalsium-alginat yang mengandung pentoksifillin dibuat dalam tiga formula dengan variasi konsentrasi kalsium klorida 2% (formula 1), 3% (formula 2), dan 4% (formula 3). Karakterisasi yang dilakukan meliputi bentuk dan morfologi, distribusi ukuran, efisiensi proses, efisiensi penjerapan, dan uji pelepasan in vitro. Beads yang dihasilkan berbentuk hampir bulat, distribusi berada pada ukuran 710 sampai 1180 μm. Efisiensi penjerapan dari ketiga formula berturut-turut yaitu 48,75%, 47,28%, dan 45,89%. Kandungan pentoksifillin dari ketiga formula berturut-turut yaitu 18,28%, 15,75%, dan 13,76%. Uji pelepasan zat aktif dari beads dilakukan pada medium asam klorida pH 1,2 dapar fosfat pH 7,4 dan dapar fosfat pH 6. Hasil penelitian menunjukkan, pelepasan pentoksifillin dari beads alginat pada ketiga medium dilepaskan dengan cepat.

Inflammatory Bowel Disease (IBD) is an inflammatory that occurs in intestinal. Chronic inflammation that occurs can cause a fibrotic tissue, surgery is an action for the treatment of IBD. Antifibrotic drug is administered after surgery, pentoxifylline is one of an antifibrotic drugs. Treatment of the intestinal mucosa inflammation will be more effective if the drug can be released directly to the inflammation. The aim of this research is to prepare beads by ionic gelation method, where sodium alginate were crosslinked with divalen cations such as calcium ions to form an insoluble gel beads. Beads were characterized, include shape and morphology, size distribution, process efficiency, adsorption efficiency, and in vitro release test. Calcium-alginate containing pentoxifylline were prepared in three formulas which various concentration of calcium chloride 2% (formula 1), 3% (formula 3), and 4% (formula 3). The results shows that beads which produced have almost spherical form, most of particle size distribution is between 710-1180 μm. Adsorption efficiency from three formulas respectively are 48,75%, 47,28%, and 45,89%. Encapsulation efficiency from three formulas respectively are 18,28%, 15,75%, and 13,76%. The release test of active substance from beads performed in pH 1,2 hydrochloric acid, pH 7,4 phosphate buffer, and pH 6 phosphate buffer. Results showed the release of pentoxifylline from alginate beads was released fastly in three mediums.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42292
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Faroland Dedy Koswara Debataradja
"ABSTRAK
Pasien rawat inap dengan malnutrisi dapat mengalami kehilangan albumin melalui saluran cerna yang ditandai dengan penurunan albumin serum dan peningkatan kadar AAT tinja. Tujuan penelitian ini untuk menilai kehilangan protein melalui saluran cerna pada pasien di ruang rawat inap RSCM. Penelitian menggunakan rancangan potong lintang dengan uji deskriptif analitik, dengan menilai kadar AAT tinja dan albumin serum penderita rawat inap. Hasil penelitian pada 41 subjek malnutrisi dan 33 subjek tidak malnutrisi mendapatkan nilai median AAT tinja pada kelompok malnutrisi sebesar 86,9 mg/dL dengan rentang 26,3 - 310,3 mg/dL. Pada kelompok tidak malnutrisi didapat median nilai AAT tinja 12,2 mg/dL dengan rentang 1,4 - 25,6 mg/dL. Rerata albumin serum pada kelompok malnutrisi adalah 2,6 ± 0,4 g/dL sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi 4,0 ± 0,4 g/dL. Terdapat korelasi kuat yang berlawanan arah antara kadar AAT tinja dan kadar albumin serum yang berarti terjadi kebocoran albumin serum melalui saluran cerna akibat gangguan integritas usus terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.

ABSTRACT
Hospitalized patients with malnutrition can have albumin loss through gastrointestinal tract characterized by the decreased of serum albumin and the increased levels of fecal AAT. The purpose of this study was to assess the loss of protein through the gastrointestinal tract in hospitalized patients at RSCM hospital. The study was a cross-sectional study with descriptive analytic approach, assessing the levels of fecal AAT and serum albumin from 41 malnourish and 33 non malnourish subject. Fecal AAT median scores among the malnourished group was 86.9 mg/dL with a range from 26.3 to 310.3 mg/dL. In the non malnourished group fecal AAT median value was 12.2 mg / dL with a range from 1.4 to 25.6 mg/dL. The mean serum albumin in malnourished group was 2.6 ± 0.4 g/dL, while in the non malnourished group was 4.0 ± 0.4 g/dL. There is a strong negative correlation between fecal AAT levels and serum albumin, which indicates that serum albumin leakage through the gastrointestinal tract was due to impaired intestinal integrity especially in malnourished patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wilya Kuswandi
"Diabetes melitus (DM) merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta merupakan penyebab penting timbulnya kecacatan dan kematian. Dari semua kasus DM, DM tipe 2 mencakup lebih dari 90% dari semua pasien diabetes. Nefropati diabetik dan retinopati diabetik merupakan komplikasi mikroangiopati pada DM tipe 2 yang paling ditakuti dan keduanya sering ditemukan bersamaan. Perkembangan lanjut dari keduanya menyebabkan gagal ginjal tahap akhir dan kebutaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar albumin urin dalam membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.
Penelitian potong lintang ini terdiri dari 100 subyek yang terbagi atas kelompok retinopati diabetik 50 orang dan non retinopati diabetik 50 orang dari populasi DM tipe 2. Penderita didiagnosis DM tipe 2 oleh dokter Divisi Metabolik Endokrin Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Untuk retinopati diabetik dan non retinopati diabetik, diagnosis dilakukan dengan foto fundus pada pupil yang didilatasi oleh dokter Divisi Retina Departemen Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Pada kedua kelompok dicatat data karakteristik subyek dan dilakukan pemeriksaan kadar albumin urin.
Kadar albumin urin pada kelompok retinopati diabetik lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada kelompok non retinopati diabetik (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). Nilai cut-off kadar albumin urin untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik adalah 118 mg/g kreatinin dengan sensitivitas 72%, spesifisitas 78%, nilai duga positif 77%, nilai duga negatif 74%, rasio kemungkinan positif 3,27 dan rasio kemungkinan negatif 0,36.
Kami menyimpulkan pemeriksaan kadar albumin urin dapat dipakai untuk membedakan retinopati diabetik dan non retinopati diabetik.

Diabetes mellitus (DM) is a worldwide public health concern as they impose enormous medical, economic and social costs on both patient and the health care system. Together they contribute to serious morbidity and mortality. Type 2 DM affects more than 90% of all DM cases. Diabetic nephropathy and diabetic retinopathy are the two most dreaded complications of diabetes and frequently found together. Progression of both is the leading cause of end-stage renal disease and blindness. The aim of this study is to investigate albumin urine level in distinguishing diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy.
This cross-sectional study consisted of 100 respondents, in which 50 of them were categorized as diabetic retinopathy and 50 as non-diabetic retinopathy. The patients were diagnosed with type 2 DM by a doctor from Endocrinology Metabolic Division of Internal Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Meanwhile diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy were diagnosed by ophthalmologist from Retina Division of Eye Medicine Department at Ciptomangunkusumo Hospital. Baseline characteristics of both groups were recorded and the albumin urine level was measured.
The albumin urine level in diabetic retinopathy group was significantly higher than that in the non-diabetic retinopathy group (303,41±11,14 mg/g kreatinin vs 28,14±4,90 mg/g kreatinin, p <0,001). The albumin urine level cut-off value used to distinguish diabetic retinopathy and non-diabetic retinopathy was 118 mg/g creatinine with sensitivity of 72%, specificity of 78%, positive predictive value of 77%, , negative predictive value of 74%, positive likelihood ratio of 3,27, and negative likelihood ratio of 0,36.
We conclude that albumin urine level test can be utilized to distinguish diabetic retinopathy from non-diabetic retinopathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Kaltha
"Latar belakang: Luka bakar masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada pasien anak. Luka bakar dapat menyebabkan kehilangan cairan sehingga dapat terjadi syok akibat peningkatan permeabilitas vaskular dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia dapat berpengaruh pada hemodinamik karena albumin berperan dalam mempertahankan tekanan onkotik plasma, sehingga hipoalbuminemia dapat berpengaruh terhadap keberhasilan resusitasi cairan pasien dengan luka bakar. Belum diketahui apakah kadar albumin awal berhubungan dengan keberhasilan resusitasi cairan pada pasien anak dengan luka bakar.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi pada pasien anak di Unit Luka Bakar RS Cipto Mangunkusumo.
Metode: Desain penelitian kohort retrospektif berdasarkan data pasien anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM yang tercatat di rekam medis sejak Januari 2012-Maret 2018. Metode pengumpulan data dilakukan secara secara total sampling.
Hasil: Subyek yang memenuhi kriteria penelitian yaitu 61 pasien. Sebagian besar subyek berusia <4 tahun, derajat II, luas luka bakar >20%, rentang waktu antara kejadian dan resusitasi cairan yaitu 8-24 jam, status gizi baik, rerata albumin awal 3,1 g/dL, dan rerata laktat awal 2,5 mmol/L. Jumlah pasien anak dengan luka bakar yang menjalani resusitasi cairan dalam 24 jam pertama sebanyak 71,7%, dimana hampir seluruhnya berhasil diresusitasi dalam 24 jam pertama (95,1%). Tidak ditemukan hubungan antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi awal [RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812]. Pada analisa regresi cox, tidak terdapat juga hubungan antara ureum, creatinin, laktat, berat badan dan luas/derajat luka bakar dengan keberhasilan resusitasi awal.
Simpulan: Angka keberhasilan resusitasi awal pasien anak di unit luka bakar RSCM masih tinggi. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin awal dengan keberhasilan resusitasi cairan 24 jam pada pasien anak dengan luka bakar.

Background: Burn injury in children has great mortality and morbidity rate. Burn injury can cause lost of fluid quickly, leading to dehydration and shock. Hypoalbuminemia is an important factior in fluid haemostasis, maintaining the oncotic pressure gradient to favor intravascularly. Hypoalbuminemia in a burn injury is a common occurence, and have the potential to impede the fluid resuscitation process. It is still unclear whether serum albumin has a role in the success of fluid resuscitation in children with burn injury.
Objective: To find out the association between serum albumin and the success of fluid resuscitation in children hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre.
Method: This is a retrospective cohort study based on medical record of children hospitalized with burn injury at Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre from January 2012-March 2018. The subjects collected with the total sampling method.
Result: Sixty one subjects were enrolled in this study. Burn injury mostly occured in the age group of <4 years old, grade II burn injury, >20% TBSA, normal nutritional status, mean albumin level 3,1 g/dL, mean lactate level 2,5 mmol/L. Almost all subjects was succesfully resuscitated in the first 24 hour (95,1%). No association was found between the success of fluid resuscitation with either serum albumin[RR 1,175(95%CI 0,3-4,4) p=0,812], or with ureum, creatinin, lactate level, weight and the degree/extent of the burn injury.
Conclusion: The success rate of fluid resuscitation in pediatric burn injury was quite high in Cipto Mangunkusumo Hospital Burn Centre. No association was found between serum albumin and the success of fluid resuscitation during the first 24 hour period."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muzna Anisah
"Latar belakang: Serum Albumin merupakan protein plasma yang jumlahnya paling melimpah dalam darah dan berkontribusi dalam mempertahankan tekanan osmotik koloid dan juga mengikat substansi yang sukar larut dalam plasma dan membantunya agar dapat didistribusikan ke dalam tubuh. Protein dalam ASI kebanyakan disintesis oleh mammary epithelium namun serum albumin merupakan protein yang didapat langsung dari sirkulasi darah ibu dan disalurkan melalui blood-milk barrier. Kadar serum albumin yang ditemukan di dalam ASI jumlahnya dapat bervariasi, protein ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti masa menyusu bayi (fase laktasi), usia ibu, paritas, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) Ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar serum albumin pada ASI ibu yang menyusui bayi usia 1-3 bulan dan 4-6 bulan dan mencari hubungannya dengan  usia Ibu, jumlah paritas, dan IMT Ibu.
Metode: Penelitian ini menggunakan sampel ASI yang diperoleh dari 58 ibu dari Puskesmas Petamburan (Jakarta Pusat) dan Puseksmas Cilincing (Jakarta Utara). Sampel dikelompokkan  menjadi dua kelompok, yaitu usia bayi 1-3 dan 4-6 bulan.  Kadar serum albumin diukur dengan kit Bromocresol Green (BCG) menggunakan spektrofotometer dengan Panjang gelombang 628 nm.
Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASI pada periode laktasi yang lebih awal yaitu pada 1-3 bulan memiliki kadar serum albumin yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan kadar serum albumin ASI pada kelompok usia 4-6 bulan (p=0,002). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 1-3 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,881), dan juga paritas (p=0,428), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=000). Kadar serum albumin ASI pada kelompok usia bayi 4-6 bulan tidak memiliki korelasi terhadap usia ibu (p=0,581) dan juga paritas (p=0,823), namun berkorelasi positif kuat bermakna terhadap IMT Ibu (p=0,000). 
Kesimpulan: Kadar serum albumin dalam ASI dipengaruhi oleh usia bayi atau fase laktasi, dimana kadar serum albumin lebih tinggi secara bermakna pada ASI kelompok bayi usia 1-3 bulan dibandingkan dengan ASI kelompok bayi usia 4-6 bulan. Kadar serum albumin berhubungan dengan IMT ibu yaitu kadar serum albumin akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya IMT Ibu.

Serum albumin is the most abundant plasma protein in the blood and contributes to maintaining osmotic colloid pressure and also binds poorly soluble substances in plasma and helps them to be distributed throughout the body. Protein in breast milk is mostly synthesized by the mammary epithelium, but serum albumin is a protein that is obtained directly from the mother's blood circulation and is channeled through the blood-milk barrier. Serum albumin levels found in breast milk can vary in number, this protein is influenced by various factors such as breastfeeding period (lactation phase), maternal age, parity, and maternal body mass index (BMI). This study aims to determine the comparison of serum albumin levels in breast milk of mothers who breastfeed infants aged 1-3 months and 4-6 months and to find out the relationship with maternal age, parity, and maternal BMI. This study used breast milk samples obtained from 58 mothers from Petamburan Public Health Center (Central Jakarta) and Cilincing Public Health Center (North Jakarta). The samples were grouped into two groups, namely infants aged 1-3 and 4-6 months. Serum albumin levels were measured with the Bromocresol Green (BCG) kit using a spectrophotometer with a wavelength of 628 nm. The results showed that breast milk in the earlier lactation period at 1-3 months had significantly higher serum albumin levels than breast milk serum albumin levels in the 4-6 month age group (p=0.002). Serum albumin levels in breast milk in infants aged 1-3 months had no correlations on maternal age (p = 0.881), and parity (p = 0.428), but a significant positive correlation with maternal BMI (p = 000) . Serum albumin levels in breast milk in the infant age group 4-6 months had no correlations to maternal age (p=0.581) and parity (p=0.823), but had a significant positive correlation to maternal BMI (p=0.000). Serum albumin levels in breast milk are influenced by the infant's age or lactation phase, where serum albumin levels are significantly higher in the breast milk group of infants aged 1-3 months compared to the breast milk group of infants aged 4-6 months. Serum albumin levels are related to maternal BMI, namely serum albumin levels will increase with increasing maternal BMI."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkifli Amin
"ABSTRAK
Ventilator-associated pneumonia (VAP) merupakan infeksi nosokomial yang paling sering diteuka di intensive care unit (ICU) dan memiliki angka mortalitas yang tinggi. Hipoalbuminemia telah lama diketahui sebagai pertanda prognosis buruk pada pasien dengan penyakit kritis, namun peranannya pada pasien VAP belum jelas diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan albumin serum inisial dalam memprediksi mortalitas pasien VAP.
Metode: Kami melakukan penelitian kohort retrospektif dengan menganalisis data pasien VAP yang dirawat di rumah sakit Cipto Mangunkusumo selama kurun waktu tahun 2003- 2012. Pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kadar albumin serum inisial: Grup-1 (kurang dari 2,7 g/dL), Grup-2 (2,7-3,5 g/dL), Grup-3 (lebih dari 3,5 g/dL). Risiko mortalitas selama perawatan dianalisis dengan Cox propotional hazard model.
Hasil: Dari 194 pasien yang diikutsertakan, sebanyak 95 (49%) pasien termasuk dalam Grup-1, 83 (42,8%) pasien termasuk dalam Grup-2 dan 16 (8,2%) pasien termasuk dalam Grup-3. Mortalitas selama perawatan terjadi terjadi pada 58,2% subjek. Rasio hazard terjadinya mortalitas untuk Grup-1 dan Grup-2 adalah 2,48 (IK 95% 1,07 sampai 5,74; p = 0,033) dan 1,42 (IK 95% 0,60 sampai 3,34; p = 0,43) apabila dibandingkan dengan Grup-3.
Simpulan: Adanya hipoalbuminemia akan meningkatkan risiko mortalitas. Kadar serum albumin inisial sebaiknya dipertimbangkan sebagai prediktor mortalitas pada pasien VAP."
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>