Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasna
"Berdasarkan hukum perjanjian, pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak melaksanakan kewajiban kontraktualnya. Namun, dalam hal perjanjian memuat prinsip hell or high water, yang umumnya terdapat pada perjanjian sewa guna usaha pesawat, kewajiban penyewa bersifat absolut dan tanpa syarat, serta tanpa memperhatikan kondisi apapun yang dialami penyewa, termasuk apabila terdampak oleh peristiwa keadaan memaksa, sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak. Keberlakuan prinsip hell or high water apabila terjadi peristiwa keadaan memaksa menjadi menarik untuk dibahas. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh peristiwa keadaan memaksa terhadap pengaturan prinsip hell or high water dalam perjanjian sewa guna usaha pesawat. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan didukung dengan wawancara terhadap narasumber di Maskapai Penerbangan X. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prinsip hell or high water dimuat secara konsisten, bersifat
fundamental, dan merupakan praktik kebiasaan dalam sewa guna usaha pesawat.
Peristiwa keadaan memaksa tidak mempengaruhi keberlakuan klausul hell or high water. Namun pada praktiknya, para pihak masih dapat melakukan negosiasi terhadap penerapan prinsip hell or high water. Kewajiban penyewa tetap harus dilaksanakan secara absolut, akan tetapi waktu pelaksanaannya dapat disepakati bersama dengan mempertimbangkan kondisi penyewa. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan peran serta pengadilan untuk menerapkan teori keadilan komutatif dan asas keseimbangan dalam berkontrak dalam rangka melindungi pihak yang terdampak peristiwa keadaan memaksa, terutama apabila para pihak tidak dapat menyepakati penyesuaian ketentuan dalam perjanjian pada tahapan negosiasi secara komersial.

According to the contract law, party affected by force majeure cannot be held responsible for not performing its contractual obligations. However, this does not apply if the agreement includes a hell or high water principle, generally found in the aircraft lease agreement, which stipulates lessee’s obligations to be absolute and unconditional, without regard to any circumstances, including force majeure, consistent with freedom of contract principle. It is interesting to discuss the applicability of hell or high water principle in case the lessee experienced force majeure event. This study aims to analyse
how force majeure events affects the application of the hell or high water principle in the aircraft lease agreement. The approach of this study is normative juridical approach supported by information obtained through interviews with employees of Airline X. This study shows that the hell or high water principle is stipulated consistently, fundamental in nature and a customary practice in aircraft leasing. Force majeure events do not affect the enforceability of a hell or high water principle. However, in
practice, the parties can still negotiate the application of the hell or high water principle. Lessee still absolutely obliged to perform the terms of the agreement, but the parties can mutually agree on the time of such performance, by taking into account circumstances surround Lessee. Even so, the role of the court is still needed to apply the commutative justice theory and the contractual balance principle in order to protect the party affected by the force majeure events, particularly if the parties cannot agree on adjusting the terms of the agreement at the commercial negotiation stage
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Urbanus G T Parhusip
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan akuntasi atas modifikasi kontrak sewa pesawat pasca Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), menganalisis insentif manajemen dan peranan auditor dalam pemilihan kebijakan akuntansi dari perspektif Teori Akuntansi Positif (PAT) dan Teori Keagenan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan PT IB sebagai objek penelitian. Sumber data penelitian mencakup data primer melalui wawancara dan reviu kontrak, serta data sekunder berupa laporan keuangan, PSAK 71, PSAK 73, dan publikasi IFRIC. Studi kasus ini menunjukkan bahwa perlakuan akuntansi atas pengampunan sebagian liabilitas sewa jatuh tempo berdasarkan ketentuan modifikasi sewa PSAK 73 sudah tepat. Pengampunan tidak dapat diakui sebagai keuntungan menurut PSAK 71 karena pengampunan tidak bersifat sukarela dan merupakan hasil putusan pengadilan yang bersifat memaksa dan wajib dipatuhi semua pihak. Tidak terdapat perbedaan perlakuan akuntansi atas modifikasi kontrak sewa go-forward yang diturunkan tarif sewa tetapnya, baik yang diperpanjang maupun tidak diperpanjang. Kebijakan akuntansi oleh PT IB atas pembayaran sewa dengan mekanisme power-by-hour (PBH) selama periode grace period adalah tidak tepat karena tidak memenuhi defenisi pembayaran sewa tetap secara substansi sesuai dengan ketentuan PSAK 73. Berdasarkan observasi selama proses penentuan perlakuan akuntansi atas modifikasi kontrak sewa, dapat disimpulkan bahwa terdapat insentif manajemen untuk memilih perlakuan akuntansi untuk menjaga kinerja laba rugi tahun berjalan sesuai hipotesis bonus. Auditor telah melakukan fungsinya untuk memverifikasi perlakuan akuntansi atas modifikasi kontrak sewa sehingga informasi yang disajikan oleh Manajemen dalam laporan keuangan auditan sudah wajar dan sesuai sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

This research aims to analyze the accounting treatment of aircraft lease contracts modifications post Suspension of Payment (PKPU) and analyze management’s incentive and the role of auditor during accounting policy selection from the perspective of Positive Accounting Theory (PAT) and Agency Theory. This research uses a case study approach with PT IB as the research object. Sources of research data include primary data through interviews and review of contract, as well as secondary data such as financial statements, PSAK 71, PSAK 73, and IFRIC publications. This case study shows that accounting treatment for the partial forgiveness of overdue lease liabilities based on lease modification provision under PSAK 73 is appropriate. The partially forgiven overdue lease liabilities cannot be recognized as gain under PSAK 71 since it is not a voluntary forgivess, instead a result of court ruling, making it legally binding and obligatory for all parties involved. There is no difference in accounting policy for go-forward lease with reduction of fixed lease payment, both for extended and not extended contracts. Accounting treatment made by PT IB for for lease payment under PBH mechanism is inappropriate since it does not meet the defenition of in-substance fixed payment based on PSAK 73 provision. Based on observation during the accounting policy selection for lease contract modification, it is concluded that there management has incentive to select certain accounting treatment that improve the current year profit which is in line with the bonus hypotesis. Auditors have carried out their function to verify the accounting treatement for lease contract modification so the financial informations prepared by the management in the audited financial statement have been fair and in accordance with the applicable accounting standards."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reinhard Richard S
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1990
S20328
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Terry P. Pasaka
"ABSTRAK
Di dalam rangka memenuhi kebutuhan akan pengangkutan maka Perjanjian Kontrak Sewa Pesawat Udara sangat sulit terlebih lagi mengingat Negara Indonesia yang masih perlu mendapatkan bantuan di dalam memproduksi. Pesawat sendiri, sedangkan untuk membelinya membutuhkan biaya yang sangat besar.
Untuk mendapatkan. suatu gambaran sampai dimana kemajuan perhubungan udara di Indonesia, yang kesemuanya itu perlu dituangkan dalam bentuk Perjanjian untuk menjamin kepastian hukum, maka perlu diketahui tentang aspek-aspek perjanjian dalam KUH Perdata.
Aspek pertama yang perlu ditinjau adalah istilah Perjanjian dan Kontrak serta Sewa menyewa yang dalam hukum Perjanjian, merupakan bagian dari Hukum Perdata dan dijumpai atau diperlukan dalam tata cara pergaulan hidup di dalam masyarakat.
Azas konsensualitas, dari suatu perjanjian,mengikat setelah tercapainya kata sepakat dari para pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian itu telah mempunyai akibat hukum setelah tercapainya kata sepakat. Begitu pula perkataan kontrak adalah suatu pengertian adanya kata sepakat dari para pihak yang mengadakan kontrak tersebut, hanya bentuknya ditujukan pada bentuk tertulis dari kata sepakat itu. Sedangkan sewa menyewa si pemilik .barang hanya menyerahkan pemakaian dan pemungutan hasil dari barang, padahal hak milik atas barang itu tetap berada di tangan yang menyewakan. Sebaliknya pihak penyewa wajib memberi uang sewa kepada pemilik barang.
Perjanjian Kontrak Sewa Pesawat Udara yang dilaku kan oleh PT. Pelita Air Service adalah atas dasar pasal 1320 KUH Perdata yaitu Konsensualitas.
Bahwa PT. Pelita Air Service dapat menyewakan pesawat/pesawat-pesawat pada nasabah-nasabahnya adalah didasarkan pada Surat Keputusan Bersama DEpartemen Keuangan Industri dan Perdagangan No.Kep.122/MK/IV/I/1974 No.32/M/SK/2/1974 pasal 11 ayat 3, tentang Industri Leasing di Indonesia."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hesti Safarina
"Pesawat terbang sebagai salah satu alat transportasi bagi manusia mempunyai karakteristik mampu mencapai suatu tempat dalam waktu cepat, berteknologi tinggi dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan. Pesawat terbang dalam perkembangannya semakin dibutuhkan manusia sehingga banyak dilakukan usaha pengadaan pesawat terbang oleh berbagai perusahaan penerbangan. PT Mandala Airlines sebagai salah satu perusahaan penerbangan di Indonesia, untuk meningkatkan pelayanan jasa penerbangan juga menambah armadanya dengan membeli pesawat terbang, namun karena harga pesawat terbang yang mahal, PT Mandala Airlines menemui kesulitan untuk membeli pesawat terbang secara tunai, sehingga ditempuhlah salah satu cara yaitu membeli pesawat terbang dengan sistem leasing. Perjanjian leasing tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, namun hal ini tidak menghalangi berkembangnya hukum perjanjian yang telah ada di Indonesia. Pelaksanaan perjanjian leasing didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang dibatasi oleh pasal 1339 KUHPerdata, di mana para pihak yang mengadakan petjanjian boleh mengadakan perjanjian apa saja asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum. Di Indonesia belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing. Pengaturan tentang leasing diatur dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I. No.1169/ KMK.Ol/1991 tanggal27 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa - Guna - Usaha (Leasing). Perjanjian Leasing pesawat terbang -boeing 73 7 - 200 Advanced Aircraft pada PT Mandala Airlines pada prakteknya menganut asas kebebasan berkontrak, di mana PT Mandala Airlines sebagai Lessee telah menyetujui lease agreement yang dibuat oleh Lessor, sehingga lessee terikat kontrak dengan lessor dan harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang disyaratkan oleh lessor dalam lease agreement pesawat itu. Namun di kemudian hari lessee wanprestasi yaitu lessee melakukan pembayaran, tetapi tidak sebagaimana yang telah diperjanjikan dalam perjanjian leasing sehubungan dengan perbaikan mesin yang ada pada pesawat Boeing tersebut. Hal ini tetjadi karena adanya salah paham dalam menginterpretasikan bahasa dalam perjanjian leasing tersebut, sehingga persepsi antara lessor dan lessee terhadap isi perjanjian leasing berbeda."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hutami Nur Ramadhani
"ABSTRACT
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan certified designee pada Irrevocable Deregistration and Export Request Authorisation (IDERA) yang diperkenalkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 52 Tahun 2018 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 47 (Civil Aviation Safety Regulations Part 47) tentang Pendaftaran Pesawat Udara (Aircraft Registration) sebagai pihak yang dapat melakukan deregistrasi pesawat terbang dan helikopter dengan tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia selain pemegang IDERA yang dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan memperbandingkan penerapan certified designee di negara Singapura. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan perbandingan hukum dengan penulisan deskriptif-analitis. Certified Designee dapat diberlakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap pihak-pihak yang memiliki kepentingan atas pesawat udara yang dibebani dengan kepentingan internasional dengan mengacu pada Cape Town Convention yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Namun, penerapan dari certified designee perlu diperdalam lagi dengan melihat pada negara-negara yang telah menerapkan adanya certified designee, seperti Singapura.

ABSTRACT
This thesis discusses about the certified designee on the Irrevocable Deregistration and Export Request Authorisation (IDERA) that has been introduced in the Regulation of Minister of Transportation No. 52 of 2018 concerning Civil Aviation Safety Regulations Part 47 on Aircraft Registration as a party that can deregister aircrafts and helicopters with Indonesian registration sign and nationalities other than IDERA holders, are associated with Law No. 1 of 2009 concerning Aviation Law. This thesis also comparing the application and regulations of certified designee in Singapore. The method of the research used in this thesis is juridical-normative research method with a comparative legal approach and descriptive-analytical writing. The certified designee can be applied as a form of protection for parties who have an interest in an aircraft with international interest in reference to the Cape Town Convention that has been ratified by Indonesia. However, the application of certified designee in Indonesia need to look upon countries that have implemented certified designee, such as Singapore."
Lengkap +
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Roikhatul Jannah
"Pengadaan pesawat udara melalui perjanjian leasing di Indonesia menjadi salah satu cara maskapai penerbangan untuk mengembangkan bisnisnya dikarenakan mahalnya biaya pengadaan pesawat udara jika melalui jual beli. Untuk membantu pengadaan pesawat udara tersebut, Indonesia telah mengaksesi Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya dan telah melakukan penyesuaikan dalam Undang-Undang Penerbangan 2009. Namun demikian, aksesi tersebut menyebabkan ketentuan mengenai lembaga jaminan hipotek atas pesawat yang sebelumnya terdapat dalam Undang-Undang Penerbangan 1992 hapus. Dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 hanya menyebutkan bahwa pesawat untuk dapat dibebani kepentingan internasional yang merupakan terjemahan dari istilah international interest dalam Konvensi Cape Town 2001. Hal tersebut menimbulkan permasalahan lembaga jaminan apakah yang berlaku atas pesawat udara setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001. Dalam penulisan ini akan digunakan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder.
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa jaminan yang berlaku atas pesawat udara di Indonesia setelah diaksesinya Konvensi Cape Town 2001 adalah hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162-1232 KUH Perdata dan Pasal 314-315 KUHD. Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Penerbangan 2009 yang menyatakan bahwa ketentuan Konvensi Cape Town 2001 beserta Protokolnya berlaku sebagai lex specialis dalam undang-undang ini sehingga ketentuan Article VIII II Protokol Konvensi Cape Town 2001 yang mengatur mengenai pilihan hukum para pihak berlaku pula untuk menentukan hukum jaminan atas pesawat udara. Dengan demikian, ketiadaan peraturan yang mengatur mengenai jaminan atas pesawat udara secara tegas dalam Undang-Undang Penerbangan 2009 tidak mengakibatkan terjadi kekosongan hukum karena ketentuan dalam KUH Perdata dan KUHD tentang hipotek dan ketentuan dalam Konvensi Cape Town 2001 beserta protokolnya mengenai pilihan hukum berlaku untuk mengatur hukum jaminan atas pesawat udara.

Aircraft procurement through leasing agreement in Indonesia is one of several ways for airlines to develop their business due to the high cost of aircraft procurement by buying and selling. To assist the procurement of an aircraft, Indonesia has accessioned The Cape Town Convention 2001 and its protocol and also adopted it in Law Number 1 Year 2009 on Aviation. After the accession, the provisions regarding mortgage in Law Number 15 Year 1992 on Aviation is revoked. In the Cape Town Convention 2001, the term international interest is defined by Law Number 1 Year 2009 on Aviation as an ldquo kepentingan internasional rdquo . It raises the question of what securities under Indonesian law applies to the aircraft after the accession of the Cape Town Convention 2001. In this thesis will uses juridical normative research method using secondary data.
From the results of the research, the author found the law under Article VIII II of the Protocol to Cape Town Convention 2001 applies to the aircraft security after the accession of Cape Town Convention 2001. The provision of Article 1162 1232 Civil Code Indonesia and Article 314 315 Commercial Code Indonesia on mortgage still valid. Beside that, the provision of the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol is applicable under the virtue of the Article 82 of Law Number 1 Year 2009 on Aviation states that the provisions of the Cape Town Convention 2001 as lex specialis in this law. The absence of aircraft security regulations in the Law Number 1 Year 2009 on Aviation cannot be considered as a legal vacuum as the provision in the Civil Code Indonesia, Commercial Code Indonesia and the Cape Town Convention 2001 and Its Protocol provide the laws governing aircraft security."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Gustiani Fazsah
"Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan tidak mengatur secara jelas terkait lembaga jaminan apa yang dapat dibebankan bagi pesawat udara di Indonesia. Berdasarkan Naskah Akademik Badan Pembinaan Hukum Nasional, pada prakteknya yang berlaku saat ini adalah debitur menggunakan Lembaga Jaminan Fidusia untuk menjaminkan komponen-komponen pesawat udara sebagai objek jaminan fidusia karena tidak ada ketentuan dalam UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang melarang komponen pesawat sebagai objek Fidusia.. Namun, tentunya tetap dibutuhkan pengaturan hukum yang jelas terkait pengaturn hukum jaminan terhadap pesawat udara yang paling sesuai dengan kebutuhan di Indonesia. Dalam melakukan pembaharuan pengaturan hukum jaminan terhadap pesawat udara tersebut, Indonesia hendaknya memperhatikan tata cara hukum jaminan Negara lain, salah satunya adalah Negara Inggris. Oleh karena itu, dalam skripsi ini dilakukan perbandingan hukum jaminan atas pesawat udara antara Indonesia dan Inggris dengan metode perbandingan yang menghasilkan bentuk penelitian yuridis-normatif. Dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa terdapat persamaan maupun perbedaan antara hukum jaminan di Indonesia maupun di Inggris. Perbedaan utama yang terlihat adalah di Inggris, semua objek suatu pesawat udara baik secara utuh maupun suku cadangnya dapat dijadikan jaminan, dan di Inggris memiliki lembaga yang melakukan pendaftaran terhadap jaminan pesawat udara. Hal ini memperlihatkan bahwa peraturan di Inggris sangat mengakomodir pesawat udara untuk dijadikan jaminan.

Law no. 1 of 2009 on Aviation does not specify the security interest that can be charged for aircraft in Indonesia. Based on the Academic Paper of the National Law Development Agency, the current practice shows that debtors use Fiducia Security to charge parts on aircraft as objects of Fiducia Security because there is no provision in the Law no. 42 of 1999 on Fiducia Security which prohibits charging parts of an aircraft as the object of Fiducia Security. However, it remains necessary to renew the regulation regarding security interest in aircraft that best suits the needs. In designing the regulation, Indonesia should pay attention to law on the security interest in aircraft in other countries, especially countries that are suppliers of aircraft, among others, United Kingdom. Therefore, as an inspired function, a comparison of security interest in aircraft is made between Indonesia and the United Kingdom under comparison method producing forms of normative- juridical research. This research shows that the security interest in aircraft in Indonesia, as compared to that in the United Kingdom has similarities and differences. The main visible difference is that in the United Kingdom, all objects of an aircraft either in whole or its part can be charged as collateral, and the United Kingdom has institution that manages the registration of security interest in aircraft. This fact shows that the regulations in the United Kingdom are very accommodative to the parties that want to charge an aircraft as a collateral for the debt."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanley, Donal
Netherlands: Wolters Kluwer Law & Business, 2012
341.756 7 HAN a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>