Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Oratai Sukcharoen
Abstrak :
Aflatoxin B1 is a highly toxic and carcinogenic metabolite produced by aflatoxigenic strains that commonly contaminate food and agricultural commodities. This study evaluates the inhibitory effects of Myristica fragrans Houtt (nutmeg) essential oil extracted by hydrodistillation on the mycelial growth, sporulation, and aflatoxin B1 production of Aspergillus flavus IMI 242684 and Aspergillus parasiticus IMI 283883 by fumigation and contact application. An analysis of M. fragrans essential oil using the chromatography-mass spectrometry showed that its major components are safrole (42.50%), 4-terpineol (23.81%) and methyl eugenol (11.14%). At a concentration of 1000 ppm of essential oil, the mycelial growths of both Aspergillus strains were completely inhibited by vapor treatment but only reduced by about 70% by contact treatment. However, the sporulation and aflatoxin B1 production were completely inhibited by both contact and vapor treatments. Vapor treatment induced a higher level of inhibition than contact treatment. In conclusion, nutmeg essential oil is a potential biochemical agent that can help prevent contamination of stored foods and feeds.
Bogor: Seameo Biotrop, 2019
634.6 BIO 26:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuliana Fitri
Abstrak :
Pendahuluan : Indonesia sebagai negara yang memiliki angka stunting tertinggi di Asia Tenggara menghadapi kenyataan adanya double burden terkait permasalahan stunting. Berbagai intervensi telah dilakukan untuk menurunkan angka kejadian stunting di Indonesia, tetapi nilainya tidak mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir (>30%). Anak – anak memerlukan asupan makanan untuk tumbuh kembangnya, makanan tersebut tidak hanya bergizi tetapi juga harus memenuhi persyaratan kemananan pangan. Salah satu masalah keamanan pangan adalah adanya cemaran aflatoksin pada produk pangan. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai komoditas pertanian seperti jagung dan kacang-kacangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan AFB1 bersumber kacang tanah dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di Kelurahan Kebon Kalapa, Bogor Tengah. Metode : Penelitian menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 243 anak usia 36-59 bulan menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh menggunakan metode dietay and exposure assessment melalui wawancara, pengukuran antropometri serta pengujian sampel produk makanan. Data dianalisis menggunakan beberapa uji statistik, untuk multivariat menggunakan regresi linier ganda. Hasil : Terdapat inverse relationship (β= -0,035) antara paparan aflatoksin B1 (ng/kgbb/hari) dengan kejadian stunting meskipun tidak signifikan (p=0,120) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir dan tinggi Ibu. Asosiasi yang tidak signifikan ini dimungkinkan karena adanya dugaan threshold value aflatoksin dalam menyebabkan gagal tumbuh pada anak. Hubungan antara durasi waktu terpapar AFB1 (bulan) terhadap kejadian stunting memiliki inverse relationship (β= -0,019) dan bermakna secara statistik (p=0,008) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir, berat lahir, dan pendapatan. Kesimpulan : Belum cukup bukti untuk menyatakan hubungan yang signifikan antara paparan aflatoksin B1 dan stunting pada penelitian ini. Namun, adanya dugaan asosiasi dan threshold value aflatoksin dalam perlambatan pertumbuhan dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui hubungan yang sebenarnya antara paparan aflatoksin dan stunting. ......Introduction: Indonesia as the country with the highest stunting rate in Southeast Asia faces the reality of a double burden related to the stunting problems. Various interventions have been carried out to reduce the incidence of stunting in Indonesia, but the value has not decreased significantly over the past 10 years (> 30%). Children need food for their growth and development, these foods are not only nutritious but also must meet food safety requirements. One of the problems of food safety is the presence of aflatoxin contamination in food products. Aflatoxin is a secondary metabolite produced by the molds of Aspergilus flavus and Aspergilus parasiticus which can contaminate various agricultural commodities such as corns and peanuts. This study aims to determine the relationship between aflatoxin B1 exposure and the incidence of stunting in children aged 36-59 months in Kebon Kalapa District, Bogor Tengah. Method: This study used cross-sectional design. A total of 243 children aged 36-59 months were sampled in this study. Data were obtained by dietay and exposure assessment methods through interviews, anthropometric measurements and testing of food product samples. Data were analyzed using several statistical tests, for multivariates using multiple linear regression. Results: There was an inverse relationship (β= -0.035) between aflatoxin B1 exposure (ng/kgbb/day) and stunting although it is not significant (p = 0.120) after being controlled by birth length and mother’s height variable. Whereas the relationship between the duration of AFB1 exposure (months) and stunting has an inverse relationship (-0,019) and statistically significant (p = 0,008) after being controlled by variable birth length, birth weight, and income. Conclusion: There is not enough evidence to state a significant relationship between aflatoxin exposure and stunting in this study. However the existence of alleged of associations and threshold value of aflatoxin in growth retardation can be taken into consideration to conduct further research to determine the actual relationship between aflatoxin exposure and stunting.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Anjang Budi Prihantoro
Abstrak :
ABSTRAK
Aflatoksin B1 AFB1 banyak dihasilkan dari produk pertanian terutama kacangkacangyang ditumbuhi jamur Aspergilus flavus pada saat proses sebelum dan paskapanen. Internasional Agency for Reasearch on cancer IARC , WHO menetapkanaflatoksin B1 sebagai senyawa yang sangat beracun dan karsinogenik bagi manusia. Olehkarena itu metode deteksi yang praktis, tidak mahal, namun akurat sangat dibutuhkanuntuk menjaga kualitas produk pertanian. Salah satunya adalah deteksi denganmenggunakan biosensor dengan menggunakan antibodi anti aflatoksin sebagaibiosensing-nya. Antibodi anti aflatoksin B1 AAB1 dapat disintesa dalam tubuh kelincidengan menyuntik kelinci dengan protein yang terikat pada aflatoksin B1 sebagaiimmunogen. Penelitian ini mengembangkan metode pemurnian AA-B1 dari serum darahkelinci untuk biosensor aflatoksin. Terdapat dua jenis metode yang digunakan, yaitumetode kromatografi afinitas menggunakan Protein A dan metode pengendapan antibodipada pH isoelektrik. Hasil pemurnian dengan protein A menghasilkan antibodi dengankemurnian lebih baik yaitu sebesar 4,0 mg/mL, sedangkan melalui pengendapan denganpH isoelektrik menghasilkan antibodi dengan kemurnian 0,3 mg/mL. AAB1 yang telahdimurnikan kemudian diuji spesifitasnya terhadap senyawa AFB1. Pada AAB1 hasilpemurnian dengan kromatografi dilakukan uji interaksi antibodi dengan senyawasenyawalain yang diperkirakan dapat mengganggu pengukuran, yaitu tetrahidro furan THF , dimetil formamida DMF , etanol, dan bovin serum albumin BSA . Hasil ujispesifisitas menunjukan adanya interaksi antara AAB1 dengan AFB1, THF, dan BSA,tetapi tidak ada interaksi dengan senyawa etanol dan DMF. Sehingga dapat disimpulkanbahwa AAB1 dari serum darah kelinci yang telah dimurnikan menggunakankromatografi dengan Protein A cukup spesifik terhadap AFB1.
ABSTRACT
Aflatoxin B1 AFB1 is produced from agricultural products especially nutsovergrown with Aspergillus flavus during the post harvest process. Aflatoxin isclassified as a highly toxic and carcinogenic substance to humans by the InternationalAgency for Research on Cancer IARC , WHO. This research was conducted on thedevelopment of Aflatoxin B1 detection method with aflatoxin biosensor usingantibody that specifically bind to aflatoxin B1.This antibody was produced byinjecting an Aflatoxin B1 CMO protein immunogen to a rabbit. Antibody wasobtained from rabbit rsquo s blood serum and purified using Protein A affinitychromatography and Precipitation at the isoelectric pH. The result showed thatPurification using protein A contains anti aflatoxin B1 antibody AAB1 of 4.0mg mL, whereas purification using precipitation at isoelectric pH contains antibody of0.3 mg mL. Pure antibody was tested for its specificity against aflatoxin B1,tertrahydro furan THF , Dimethyl formamide DMF , Bovine serum albumin BSA ,and ethanol. The result revealed that THF and BSA was bound to antibody whileethanol and DMF showed no interaction. It was concluded that the antibody have beenpurified from rabbit rsquo s blood serum using protein A affinity chromatography andprecipitation methods was specifically bound to AFB1.
2017
T48166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratri Khadija Ambarputri
Abstrak :

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang diproduksi oleh jamur Aspergillus. Ketersediaan standar aflatoksin untuk penelitian di Indonesia terbatas karena harga yang mahal dan harus impor. Hal ini dapat diatasi dengan memanfaatkan makanan yang sudah terkontaminasi aflatoksin sebagai substrat untuk memproduksi aflatoksin. Salah satu produk makanan yang mudah terkontaminasi aflatoksin adalah oncom. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi fermentasi oncom terbaik. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh pelarut terbaik antara metanol dan asetonitril untuk mengekstraksi aflatoksin dari oncom, memperoleh kondisi analisis optimum aflatoksin, dan menetapkan konsentrasi aflatoksin dari oncom. Oncom hitam dan merah ditutup dengan karung goni basah lalu difermentasi selama 3, 6, dan 9 hari kemudian diekstraksi dengan asetonitril dan metanol. Analisis dilakukan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi Shimadzu LC-10ATvp dengan detektor fluoresensi, panjang gelombang eksitasi 365 nm dan emisi 455 nm, kolom YMC C18, fase gerak air-metanol (60:40), laju alir 0,8mL/menit, dan suhu kolom 40°C. Kondisi analisis yang telah dioptimasi kemudian divalidasi mencakup selektivitas, linieritas, batas deteksi, batas kuantitasi, akurasi, dan presisi. Hasil validasi aflatoksin B2 pada rentang memberikan regresi linier y=5111,5x-589,6 dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9997. Nilai LOD dan LOQ yang diperoleh, yaitu 0,6818 pg dan 2,2727 pg. Didapatkan nilai akurasi dengan rentang %UPK 68,1363-71,7401% dan presisi dengan %KV 0,1784-1,2939%.  Hasil yang diperoleh, yaitu oncom hitam fermentasi 9 hari yang diekstraksi dengan metanol memberikan konsentrasi aflatoksin B2 paling besar. Sampel tersebut diekstraksi lagi dalam skala besar. Pada ekstraksi skala besar yang dilakukan dalam kondisi yang sama, diperoleh konsentrasi aflatoksin B2 3,6555; 3,5566; dan 3,5926 ppb.


Aflatoxin is a secondary metabolite produced by Aspergillus fungi. The availability of standard aflatoxin for research in Indonesia is limited due to the expensive price and should be imported. This can be solved by utilizing food that has been contaminated with aflatoxin as a substrate to produce more aflatoxin. One of the naturally contaminated food is oncom. This study aims to obtain a better oncom fermentation condition and a better solvent between methanol and acetonitrile to extract aflatoxin from oncom, to acquire optimum analysis conditions, and to determine aflatoxin concentration from oncom. The black and red oncom was covered with wet burlap sacks and left fermented for 3, 6, and 9 days then extracted using acetonitrile and methanol. Analyses were performed using high performance liquid chromatography Shimadzu LC-10ATvp with fluorescence detector, excitation and emission wavelength 365 nm and 455 nm, YMC C18 column, water-methanol (60:40) mobile phase, flow rate 0.8mL/min, and column temperature 40°C. Analysis conditions that have been optimized are then validated include selectivity, linearity, limit of detection, limit of quantitation, accuracy, and precision. The result of validation of aflatoxin B2 provides a linear regression y=5111.5x-589.6 with coefficient of correlation value (r) 0.9997. The values of LOD and LOQ are 0.6818 pg and 2.2727 pg. The percentage of recovery is in the range of 68,1363 -71,7401% and %CV 0,1784-1,2939%.  Black oncom which was fermented for 9 days and extracted with methanol produced the most aflatoxin B2. Then that sample was extracted again on a large scale. On large-scale extraction which carried out under the same conditions, the concentration of aflatoxin B2 obtained was 3,6555; 3,5566; and 3,5926 ppb.

Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library