Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 387 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Hernowo Sulistiyo
Abstrak :
Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai peranan yang sangat penting dalam menyelesaikan sengketa antara Pejabat Tata Usaha Negara dengan Rakyat. Pengaturan sengketa tata usaha negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang menyelesaikan perkaraperkara administrasi negara murni. Pokok permasalahannya bagaimana bentuk Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Aparatur NegaralPemerintah, bagaimana peranan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap Aparatur Negaral Pemerintah dan apa saja yang menjadi hambatan atau masalah dalam pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam upaya mengontroll mengawasi Aparatur NegaralPemerintah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Iebih jauh mengenai bentuk pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap aparatur negaral pemerintah, untuk mengetahui sejauhmana fungsi dan peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam mengontrol kebijakan-kebijakan Aparatur NegaralPemerintah, untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara dan upaya apakah yang ditempuh dalam mengatasi hambatanhambatan tersebut. Penelitian ini berguna untuk memperdalam dan menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, serta untuk mengetahui fungsi kontrol dari Peradilan Tata Usaha Negara tersebut terhadap aparatur negara/pemerintah. Penelitian menggunakan metode hukum normatif dan hukum empiris. Kesimpulannya termasuk dalam bentuk pengawasan adalah pengawasan yudisial (iudicial control) yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara diadakan dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan rakyat. Sebagai alat kontrol terhadap aparatur negara/pemerintah, berkaitan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tentang upaya paksa yang akan dikenakan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, perlu adanya peraturan untuk melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (eksekusi) yang tidak dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tentang tata cara dan mekanisme upaya paksa tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setyo Budi
Abstrak :
Berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma beracara khususnya di Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk menyelesaikan sengketa informasi publik, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengamanahkan pembentukan Komisi Informasi. Dalam tradisi hukum acara peradilan tata usaha negara komisi seperti ini seringkali disebut peradilan semu atau (quasi rechtspraak). Namun demikian tidak dengan Komisi Informasi, Komisi ini merupakan lembaga profesional yang mengevaluasi bagaimana seharusnya keterbukaan informasi itu diselenggarakan dalam suatu negara hukum. Pihak-pihak bersengketa di Komisi Informasi, yaitu Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik, dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara apabila badan publiknya adalah Badan Publik Negara. Jika dalam tradisi peradilan tata usaha negara pejabat tata usaha negara senantiasa berkedudukan tergugat, maka dalam penyelesian sengketa informasi pubik di pengadilan, tradisi itu tidak berlaku lagi. Masing-masing dapat bertindak sebagai Penggugat atau Tergugat sesuai dengan kepentingan masing-masing. Komisi Informasi yang putusannya menjadi acuan untuk dinilai tidak termasuk sebagai pihak yang bersengketa. Terkait dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 160/G/2011/PTUN- JKT, dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Tata Usaha Negara berwenang secara absolut untuk menyelesaiakan sengketa informasi publik. Namun demikian terdapat keterlanjuran proses peradilan yaitu mendudukan Komisi Informasi sebagai tergugat sehingga memungkinkan untuk dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
The enactment of the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure, has brought a paradigm shift on the proceeding of courts, especially the State Administrative Court. In order to settle public information disputes, the Law Number 14 of 2008 on Public Information Disclosure mandated the establishment of the Information Commission. This commission is usually called quasi judicial body (quasi rechtspraak) in the State Administrative Court's Procedural Law, but not with this Commission. The Information Commission is a professional body which evaluates how the Public Information Disclosure should be held in a state law. If the Parties initially disputed in the Information Commission, i.e. the Public Body and the public information user, do not accept the verdict of the Information Commission, they may file lawsuit to the State Administrative Court as long as the public body is a statepublic body. If in the State Administrative Court's Procedural Law the state administrative officials always serves as a defendant, then in the settlement of public information dispute in court, the tradition does no longer apply. Each one can act as a Plaintiff or Defendant depending on their own interests. The Information Commission, which decision becomes a reference for assessment, is not considered as a disputing party. In relations to the Jakarta State Administrative Court Decision Number 160/G/2011/PTUN- JKT, it can be concluded that the State Administrative Courts has an absolute competentie to settle the public information disputes. However, there is an error in in the judicial process which put the Information Commission as defendant which allows cassation to be filed to the Supreme Court.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Rosdianti
Abstrak :
Ketentuan mengenai peradilan administrasi dijabarkan melalui UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya UU tersebut mengalami perubahan beberapa ketentuan di dalamnya. Perubahan tersebut dituangkan di dalam UU No 9 tahun 2004 tentang Perubahan terhadap UU Nomor 5 tahun 1986 tentang PTUN. Keberadaan peradilan administrasi/TUN di Indonesia sesungguhnya adalah satu langkah maju. Pengadilan TUN menjadi satu lingkungan peradilan tersendiri yang terpisah dari peradilan umum (perdata) di mana pengadilan TUN dapat memfokuskan perhatiannya, serta berkonsentrasi hanya pada sengketa administrasi saja. Obyek sengketa peradilan ini adalah Keputusan TUN. Kewenangan pengadilan TUN untuk memutuskan sengketa kewenangan Tata Usaha Negara, menjadi semacam kontrol yudisial (judicial control) bagi pelaksanaan kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL). Agar tidak ada pejabat TUN herlaku dan bertindak sewenang-wenang dengan membuat Keputusan yang tidak patut, balk secara formal maupun materiil. Peradilan TUN juga menjadi sarana bagi para pencari keadilan untuk memperoleh keadilan, sekaligus sebagai perlindungan dari pemberlakuan keputusan administratif (yang dikeluarkan oleh pejabat TUN) yang diindikasikan sewenang-wenang. Puncak dari proses peradilan adalah pada pelaksanaan eksekusi putusannya, yakni pada saa4 mana hak-hak pencari keadilan diperoleh. Pelaksanaan putusan pengadilan adalah pada cabang kekuasaan eksekutif, dalam hal ini adalah pejabat-pejabat TUN. Di Indonesia diperoleh data bahwa sebagian besar putusan Pengadilan TUN tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN. Ini berarti bahwa putusan pengadilan yang seharusnya automatically executed, tidak terlaksana. Di Indonesia, pelaksanaan putusan bertumpu kepada kesadaran dan inisiatif pejabat TUN yang bersangkutan. Karena kesadaran hukum masih rendah, maka pengabalan putusan pengadilan oleh pejabat TUN telah mencederai penghormatan terhadap supremasi hukum sekaligus mengabaikan hak atas keadilan bagi warga negara. Sistem peradilan administrasi di Indonesia dipandang belum cukup memadai untuk memaksa para pejabat TUN melaksanakan putusan pengadilan administrasi. Hal ini diantaranya disebabkan oleh tidak tersedianya ketentuan (hukum acara) yang mengatur pelaksanaan pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN. Ketentuan di dalam pasal 116 huruf c,d,dan e UU Nomor 9 tahun 2004 belum dapat diimplementasikan tanpa ketentuan yang lebih rinci yang mengatur pemberian sanksi.
The focus of this study is regarding the fulfillment of right to justice through execution of administrative court's decision. Administrative Court in Indonesia is regulated within Act No.5/1986 concerning Administrative Court. In 2004, This Act is revised by the Act No.9/2004 Concerning The Revision of Act. No. 5/1985 of Administrative Court. The existence of Administrative Court is a progress, in the context of law in Indonesia. Administrative Court being a spesific court which is separated from the General Court (Frovate Court) in order to focus on its jurisdiction of administrative dispute. The Object of this Court is the decision which is made by the Government Official. This ini in the frame of administrative dispute. Within this purpose, Administrative Court is like a judicial control of the application of good governance and the general norm of a proper government. It is to make sure that the official government not to make a decision without compunction (in formal or material). Administrative Court is also a means of the citizen to get their right to justice, to be protected by the state from the decisions which are made by the official government alleged a violation in it. The top of the court process is implementation or execution of the decision of the court. It is the fulfillment of the right to justice to the citizen. The Implementation is in the executive power, in this context are government officials. But in Indonesia. We gain the data which contain the obidience of the court's decision by the most government officials. Court decision must automatically executed. But in Indonesia, it is not implemented properly. The implementation is depend on the awareness and initiative of the particular government officials to do the execution. Because of the law obedience is quite law, many problems appear regarding the negligance of these government officials. The negligance defect the supremacy of law and also the right to justice of the citizen. Administrative Court System in Indonesia has not been adequate to force the government officials to implement the court's decision. It is accasioned by insufficience of content of the regulation in Act 5/1986 and in Act 9/2004 in sanction for the government officials who are disobey the decision of administrative court. The sanction which is mentioned in article 116 c, d and f (Act No.9/2004) has not been implemented becouse there is no particularly arrangment concerning the sanction to the government officials who neglect the court decision.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T24403
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Wan Azalan Ahmad
Singapore: FT law & Tax Asia Pacific, 1995
342 AHM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: PSP3-IPB dan UNDP, 2006
342.068 PEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Christine S.T. Kansil
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988
352 KAN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Berge, J.B.J.M. ten
Zwolle: W.E.J Tjeenk Willink, 1983
BLD 342.06 BER n I
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tak, A.Q.C.
Zwolle: W.E.J Tjeenk Willink, 1983
342.06 Ber n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>