Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Dewi Ningsih
Abstrak :
Wanita Indonesia pada masa sekarang ini, khususnya di Jakarta kebanyakan tidak lagi tinggal dirumah sebagai pengurus rumah tangga dan anak, tetapi ikut aktif bekerja diluar rumah untuk meningkatkan karir dan penghasilan mereka. Wanitapun banyak memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya serta mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Namun di dalam masyarakat Indonesia seorang wanita yang bekerja tetap diharapkan untuk berperan sesuai dengan fungsi utamanya di dalam keluarga yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai istri. Oleh karena itu jika wanita mengkombinasikan perannya didalam pekerjaan dan juga keluarga, hal ini seringkali menimbulkan stres. Salah satu bidang kerja yang seringkali terdapat banyak stafnya mengalami stres adalah perawat, oleh karena itu perawat sering dikatagorikan sebagai profesi yang menimbulkan stres. Dalam kondisi stres, dikhawatirkan perawat tidak dapat menjalankan perannya secara optimal, oleh karena itu perawat diharapkan dapat mengatasi stres yang dialami. Hal ini menyebabkan ia melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini apabila ditujukan khusus pada keadaan atau situasi yang dirasakan menantang, mengancam, atau membebani sumber daya yang dimiliki seseorang serta menimbulkan emosi-emosi negatif maka penyesuaian diri ini disebut sebagai Coping. Coping merupakan usaha dalam bentuk kognisi dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai melebihi sumber daya penyesuaian yang dimiliki seseorang. Coping dibedakan menjadi dua yaitu Problem Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengatasi atau meyelesaikan masalah yang dihadapi, sedangkan Emotion Focused Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mengurangi ketegangan dan perasaan yang tidak menyenangkan yang timbul dari kesulitan atau masalah yang sedang dihadapi. Dari penelitian selanjutnya Coping berhasil dikembangkan menjadi delapan strategi baru dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping yaitu tiga strategi yang tergolong dalam Probel Focused Coping adalah Tindakan berhati-hati, Tindakan Instrumental, dan Negosiasi, kemudian empat strategi yang tergolong dalam Emotion Focused Coping adalah Melarikan diri, Minimization, Menyalahkan diri sendiri, dan Mencari makna, serta satu strategi yang merupakan kombinasi dari Problem Focused Coping dan Emotion Focused Coping adalah Mobilisasi dukungan. Namun pemilihan jenis Strategi Coping yang dilakukan seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan faktor Kontekstual. Penelitian ini dilakukan terhadap 155 orang perawat di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah, untuk mengetahui Bagaimana pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda, khususnya perawat di dua Rumah Sakit Jakarta, serta hubungannya dengan faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa faktor Sosio Demografi, Tipe Kepribadian, dan Faktor Kontekstual, berhubungan secara signifikan dengan pemilihan Strategi Coping wanita berperan ganda. Namun yang memberi sumbangan terbesar dari ketiga faktor tersebut adalah Faktor sosio demografi yaitu penghasilan dan pendidikan, kemudian Faktor Kontekstual, baru Tipe Kepribadian. Selain itu penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam pemilihan Strategi Coping yang ditampilkan wanita berperan ganda di RS. Fatmawati dan RS. Pondok Indah. Responden di RS. Fatmawati umumnya cenderung menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna; serta kombinasi antara Problem Focused Coping (PFC) dan EFC yaitu melakukan dukungan mobilisasi. Sedangkan responden di RS. Pondok Indah cenderung menggunakan Strategi Problem Focused Coping (PFC) yaitu tindakan instrumen, tindakan berhati-hati, juga negosiasi; bahkan yang menarik di RS Pondok Indah cenderung pula menggunakan Strategi Emotion Focused Coping (EFC) yaitu Menyalahkan diri sendiri, dan mencari makna. Berkaitan dengan hasil penelitian tersebut maka disarankan : (1) Sebaiknya dilihat pula gambaran stres yang dialami oleh wanita berperan ganda, agar diketahui jenis atau intensitas stressor yang dialaminya, sehingga pengukuran coping akan lebih terarah dan spesifik. (2) Bagi yang ingin melakukan penelitian yang sama disarankan untuk membuat alat ukur Strategi Coping yang lebih spesifik, dan mempertimbangkan karakteristik budaya masyarakat Indonesia. (3) bagi yang berminat melakukan penelitian lanjutan disarankan agar membandingkan dengan jenis pekerjaan lain sehingga terlihat variasi pemilihan Strategi Copingnya. (4) Bagi pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam hal rekruitmen karyawan, khususnya wanita berperan ganda perlu diperhatikan penghasilan yang tinggi dan pendidikan tinggi , agar mereka dapat langsung memecahkan masalahnya yang berkaitan dengan peran gandanya, sehingga akan mempengaruhi efektiftas dan produktifitas kerjanya.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maulida Zawir Simon
Abstrak :
Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian utama di negara-negara industri modern (Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Khususnya di Indonesia, selain menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian (Survey Rumah Tangga Departemen Kesehatan, 1992), PJK juga menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi individu yang menderita PJK (Jatiputra, 1993). Manifesfasi klinis dari PJK yang paling ditakuti adalah Infark Miokard Akut (IMA), karena serangan jantung yang terjadi mengakibatkan kematian pada otot-otot jantung (Hurst, 1990; Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Individu yang dapat hidup setelah mengalami serangan jantung, disebut sebagai penderita pasca-IMA. Bagi penderita pasca-IMA, serangan jantung yang dialaminya akan menimbulkan berbagai masalah, meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial (Jatiputra, 1993). Masalah-masalah yang ada seringkali dirasakan mengganggu kehidupan penderita (Jatiputra, 1993) dan merupakan sumber stres baginya (Holahan & Moos, 1997). Dengan kata lain, penderita pasca-IMA mengalami stres. Para ahli menemukan bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu terjadinya serangan jantung (Perhimpunan Kardiologi Indonesia 1988; Taylor, 1995). Oleh karena itu, penting bagi penderita pasca-IMA untuk mengatasi stres agar tidak terkena serangan jantung kembali (Sarafino, 1990; Jatiptra, 1993; Taylor, 1995). Usaha mengatasi stres dikenal dengan istilah coping. Dalam melakukan usaha. coping, penderita pasca-IMA dapat memecahkan masalah secara aktif (coping terpusat masalah) dan/atau dengan mengatur perasaannya (coping terpusat emosi). Akan tetapi, penderita pasca-IMA mungkin saja melakukan coping secara tidak efektif karena kekuatan fisik dan mentalnya terbatas. Dengan demikian, penderita pasca-IMA membutuhkan faktor dari luar dilinya yang dapat membzmtunya untuk mengatasi masalah-masalahnya, yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, serta membantu individu coping terhadap masalah-masalahnya (Heller, dkk, 1986; Thoits, 1986; Sarafino, 1990; Pierce, Sarason, & Sarason, 1992; Taylor, 1995). Dukungan sosial disini Iebih berarti sebagai dukungan sosial yang dipersepsikan, bukan dukungan sosial yang dirasakan secara obyektif. Dukungan sosial yang dipersepsikan ini meliputi persepsi individu mengenai jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Samson, dkk, 1983). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa jauh hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dengan coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA, khususnya hubungan antara jumlah sumber dukungan soaial maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Subyek penelitian ini adalah 30 orang penderita pasca-IMA dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta., yang diambil dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe incidental. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason, dkk (1983) yang mengukur jumlah number dukungan sosial yang dipersepsikan maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dan Ways of Coping Questionnaire (WCQ) dari Folkman., dkk (1984) yang mengukur coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa penderita pasca-IMA menggunakan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi sama seringnya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Selain mempersepsikan banyak sumber dukungan sosial, penderita pasca-IMA juga merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya. Dengan sendirinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber dukungan sosial maupun besarnya tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi yang dilakukan oleh penderita pasca-WIA. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berharga kepada pihak rumah sakit, penderita penyakit jantung dan keluarganya, mengenai pentingnya dukungan sosial bagi penderita jantung, khususnya penderita pasca- IMA. Selain itu, berdasarkan banyaknya jumlah sumber dukungan, dapat pula diketahui lingkungan sosial disekitar penderita pasca-IMA, baik yang berasal dari dalam maupun luar keluarga yang dipersepsikan sebagai sumber dukungan untuk membantunya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Saran untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode wawancara yang lebih mendalam sehlngga dapat diketahui kepuasan terhadap dukungan sosial secara subyektif dan dianjurkan untuk mengikutsertakan variabel kepribadian yang juga berpengaruh pada coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sawitri Sjah
Abstrak :
Dalam penelitian ini, yang dimaksud kekerasan domestik adalah tindak kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya. Di Indonesia, saat ini, masalah kekerasan domestik telah menjadi masalah sosial yang serius yang ditandai dengan semakin meningkatnya laporan statistik mengenai kasus tersebut, dan banyaknya pemberitaan di media massa yang mengungkap mengenai masalah kekerasan domestik. Akibat dari kekerasan domestik tentu saja dialami oleh para istri yang menderita baik secara fisik maupun psikologis. Disamping itu, anak-anak merekapun tidak luput dari akibat kekerasan domestik tersebut. Namun demikian, banyak istri yang bertahan atau harus bertahan dalam perkawinan rnereka karena berbagai sebab. Untuk itu, mereka harus melakukan coping terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami mereka. Ada tiga belas jenis strategi coping yang dikembangkan oleh Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) yang dapat digunakan oleh istri dalam menangani masalah kekerasan domestik tersebut, yang dapat dibagi atas strategi coping Problem- Focused Emotion-Focused (yang termasuk dalam strategi coping yang efektif) dan strategi coping maladaptif (yang mempakan strategi coping yang kurang efektif). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai perilaku coping istri dalam menghadapi tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai istri yang teIah mengalami tindak kekerasan fisik dari suaminya dan masih bertahan dalam perkawinannya. Pemilihan subyek penelitian menggunakan metode purposif sampling. Dari penelitian kualitatif ini diperoleh hasil bahwa keempat orang istri dalam penelitian ini umumnya melakukan strategi coping yang termasuk dalam Problem-Focused Coping dan Emotion-Focused Coping. Namun pada awalnya, tiga orang istri sernpat melakukan strategi coping yang maladaptif selama beberapa waktu. Jadi ada berbagai macam cara yang dapat dilakukan oleh istri dalam menangani tindak kekerasan suami. Karena istri memutuskan untuk bertahan daiam perkawinannya, istri tetap dapat berusaha untuk mengurangi atau bila mungkin, menghentikan tindak kekerasan suami. Jadi istri tidak secara pasif menerima saja segala perlakuan suami tanpa berusaha mencari cara untuk menanganinya. Penelitian lanjutan dapat dilakukan terhadap subyek istri yang mengalami kekerasan domestik dan masih bertahan dalam perkawinannya, dengan lebih memperhatikan jangkauan lapisan sosial ekonomi, sehingga diharapkan dapat lebih terlihat keanekaragaman cara penanganan yang dilakukan istri, yang mungkin berbeda-beda, karena adanya perbedaan status sosial ekonomi. Dapat pula dilakukan penelitian terhadap pasangan (suami-istri) yang telah berhasil mengatasi masalah kekerasan domestik dalam rumah tangganya, untuk melihat tindakan-tindakan/langkah-langkah apa saja yang telah mereka lakukan dalam menangani rnasalah mereka, yang mungkin dapat ditiru/diikuti oleh pasangan-pasangan lain yang memiliki masalah yang sama.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophia Rini Hapsari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2662
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khafidah Kumala Sari
Abstrak :
Futterman dan Jones (1998) mengatakan bahwa banyak wanita mengeluhkan depresi tengah baya pada gaat perimenopause yang disebabkan oleh penuninan dan fluktuasi tingkat hormon dan perub^an tengah baya lainnya. Gejala-gejala perimenopause yang disebabkan adanya perubahan-perubahan dan fluktuasi tingkat hormon ovari tersebut antara lain adalah mood swings, kecemasan, irritability, mudah meneteskan air mata, menurunnya kemampuan untuk mengingat, hot flush, dll. Seorang wanita yang mengalami gejala-gejala di atas dan menganggap gejala-gejala tersebut sebagai sesuatu yang berbahaya atau mengancam serta menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman, tentunya akan termotivasi atau berbuat sesuatu untuk mengatasi efek yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause tersebut. Hal inilah yang tercakup dalam coping. Masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran perilaku coping yang digunakan wanita untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Penelitian ini juga ingin mengungkapkan apakah ada perbedaan dalam jenis coping yang digunakan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija untuk mengatasi stress yang ditimbulkan oleh gejala-gejala perimenopause. Wanita yang bekeija diharapkan lebih banyak menggunakan problem focused coping. Selain itu penelitian ini juga ingin mengungkapkan perilaku coping apakah yang dirasakan paling efektif baik bagi wanita yang bekeija maupun yang tidak bekeija. Alat yang digunakan untuk melihat gejala-gejala perimenopause dibuat berdasarkan hasil elisitasi dan daftar gejala oleh Futterman & Jones dan Warga. Pilihan jawaban yang tersedia adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur tingkat stress yang ditimbulkan oleh gejala digunakan skala l-7.Alat yang digunakan untuk mengukur perilaku coping adalah COPE inventory yang dikembangkan oleh Carver dan Scheier (1989). Alat ini terdiri dari 53 item yang terdiri dari 3 dimensi, yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan perilaku coping tidak adaptif. Pilihan jawaban yang disediakan adalah ya dan tidak. Sedangkan untuk mengukur efektifitas coping. digunakan skala 1 sampai 7. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita bekerja dan yang tidak bekeija, yang berusia 45-55 tahun, yang sedang berada pada masa perimenopause. Jumlah subjek yang bekeija sebanyak 30 orang dan yang tidak bekerja beijumlah 32 orang. Untuk melihat gambaran perilaku coping dan efektifitas perilaku coping tersebut digunakan teknik statistik untuk mendapatkan rata-rata {mean). Sedangkan untuk melihat apakah ada perbedaan antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija dalam penggunaan jenis coping digunakan rumus t-test. Uji reliabilitas dan analisis item dari alat coping menggunakan koefisien Cronbach alpha dan metode konsistensi internal dan. Dengan Koefisien Cronbach Alpha yang dihasilkan, maka dapat dikatakan reliabilitas coping ini sedang cenderung tinggi. Dari hasil perhitungan rata-rata diketahui bahwa jenis emotion focused coping adalah jenis coping yang paling banyak digunakan baik pada wanita bekeija maupun yang tidak bekeija. Jenis coping yang dirasakan paling efektif adalah emotion focused coping. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan yang secara statistik signifikan ddam skor emotion focused coping antara wanita yang bekeija dan yang tidak bekeija, yang mana wanita yang tidak bekeija memiliki skor yang lebih besar. Hal ini berarti wanita yang tidak bekeija lebih banyak menggunakan jenis emotion focused coping dibandingkan dengan yang bekeija. Dari hasil perhitungan t-test yang dilakukan juga diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang secara statistik signifikan dalam skor problem focused coping dan perilaku coping tidak adaptif antara wanita bekeija dan yanng tidak bekerja.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2887
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiyatun Homisah
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gloria Kanne
Abstrak :
Dewasa ini dalam sistem pembinaan rohani Kristiani dikenal model gereja sel. Secara umum kelebihan model gereja sel dari gereja yang bukan gereja sel adalah potensinya untuk meningkatkan jumlah anggota gereja dengan cepat sekaligus memelihara yang sudah ada di dalam. Hal ini terjadi karena struktur gereja sel yang terdiri dari kelompok-kelompok pembinaan rohani yang disebut kelompok-kelompok sel. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok sel. Peningkatan jumlah anggota dalam gereja sel berasal dari penjangkauan anggota baru oleh kelompok-kelompok sel. Kemudian ketika suatu kelompok sel sudah terdiri dari 15 orang, kelompok tersebut membelah (bermultiplikasi) menjadi dua. Pemimpin kelompok sel sangat berperan dalam keseluruhan proses multiplikasi, belum ditambah fungsinya sebagai pembina kerohanian anggota-anggota kelompok. Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa pemimpin Kelompok Sel adalah elemen penting karena dialah penggerak aktivitas dalam kelompoknya, terutama dalam proses menghasilkan kelompok baru. Mengingat deskripsi tugas dari seorang pemimpin kelompok sel yang cukup berat, dapat dipahami bahwa sejumlah pemimpin kelompok sel kemudian tidak masuk kategori berhasil karena gagal menghasilkan keiompok sel yang baru. Tetapi fakta juga menyatakan bahwa sebagian pemimpin kelompok sel berhasil mengatasi masalah dan dapat memultiplikasikan kelompok selnya. Oleh karena itu peneliti kemudian tertarik untuk meneliti bagaimana gaya coping seorang pemimpin kelompok sel yang berhasil. Karena pemimpin kelompok sel adalah orang yang cukup berorientasi kepada hal-hal yang religius, maka peneliti bermaksud meneliti gaya coping religius apa yang dipakai di kalangan para pemimpin kelompok sel yang berhasil. Gaya-gaya coping religious ini dibagi menjadi tiga yaitu Arah-Diri, Kerjasama, dan Berserah. Masing-masing gaya merefleksikan derajat aktifitas yang berbeda dari manusia dan Tuhan dalam melakukan suatu proses penyelesaian masalah. Dalam penelitian ini pendekatan masalah yang dipakai adalah deskriptif- eksploratif dimana data diambil dengan kuesioner RPS. Teknik penghitungan statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif seperti mean, median, simpangan baku, nilai z, serta uji Mann-Whitney. Penelitian ini melibatkan 41 subyek yang diambil dari cabang-cabang gereja AM di Jakarta Pusat, Utara, Barat dan Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya Kerjasama adalah gaya yang paling banyak dipakai oleh para pemimpin kelompok sel yang berhasil. Penelitian tambahan mengenai perbedaan kecenderungan pemakaian gaya coping menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pemakaian masing-masing gaya coping pada pengelompokan pemimpin sel berdasar jenis kelamin, status pekerjaan, pelatihan komunikasi interpersonal yang diperoleh, serta waktu yang dibutuhkan untuk bermultiplikasi. Hasil penelitian tambahan lainnya memberi arahan bahwa subyek dalam sampel ini cenderung mengelompokkan gaya coping menjadi gaya coping yang tidak melibatkan Tuhan dengan gaya coping yang melibatkan Tuhan. Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukannya pada sampel yang lebih besar, membandingkan penggunaan gaya coping pada pengelompokan lain seperti antar usia, meneliti coping religius pada pemimpin kelompok sel yang tidak berhasil serta bervariasi dalam usianya. Secara metode disarankan untuk memakai metode kualitatif guna deskripsi yang lebih detail dari gaya coping. Untuk masalah teoritis peneliti menyarankan umuk meneliti subyek dalam hal kompetensi dan religiusitas karena kedua hal ini memiliki kaitan erat dengan gaya coping religius.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2975
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Penyakit kanker dewasa ini dirasakan semakin menonjol dibandingkan dengan masa 20-30 tahun yang lalu. Dilihat dari banyaknya Iaporan bahwa penyakit kanker cenderung menjadi salah satu penyebab utama kematian pada usia produktif. (Tjindarbumi, 1994).

Penelitian di Amerika menyebutkan bahwa setiap tahun dijumpai paling sedikit ada 9 juta kasus kanker baru, dimana 5 juta diantaranya berasal dari negara-negara berkembang dan dari 5 juta orang yang meninggal karena kanker, 3 juta orang berasal daari negara berkembang (Tjindarbumi, l994.). Di Indonesia saat ini diperkirakan minimal terdapat 150 penderita kanker untuk setiap 100.000 penduduk per tahun (Tjindarbumi , 1994).

Berdasarkan penelitian laboratorium, perempuan Iebih banyak terserang kanker daripada laki-laki ( Tjindarbumi, 1994). Salah satu jenis kanker yang banyak ditemukan pada wanita adalah kanker payudara ( Cancer Control First Report, 1993). Di Indonesia, kanker payudara adalah kanker yang paling banyak terdapat pada wanita setelah kanker mulut rahim ( Data Histopatologi Kanker di Indonesia, 1990).

Kanker payudara merupakan penyakit yang ditakuti oleh semua wanita. Bukan saja karena dapat menimbulkan kematian bagi penderitanya, tapi jenis kanker ini menimbulkan dampak psikologis yang besar bagi wanita yang menderita karena adanya resiko di lakukannya operasi pengangkatan payudara bagi si penderita.

Jika seorang wanita harus kehilangan payudaranya, dimana berfungsi sebagai sumber ASI bagi bayi, juga sebagai simbol kewanitaan, keindahan dan merupakan organ seksual sekunder akan mengalami masalah-masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak lengkap sebagai wanita, dan pandangan-pandangan negatif lain tentang dirinya ( Gates, 1983) yang dapat berdampak pada hubungan seksual dengan suami atau masalah dalam hubungan sosial dangan orang lain ( Gates, 1983). Untuk mengatasi masalah dan tekanan yang dihadapi, wanita penderita kanker payudara mengembangkan beberapa strategi penyesuaian diri (Gates, 1983) Strategi penyesuaian diri yang digunakan ialah penyesuaian fisik dan mental (Gates, 1983).

 Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh mengenai bagaimana wanita penderita kanker payudara menyesuaikan diri dengan masalah-masalah yang dihadapinya. Mengingat penelitian ini ingin mengetahui tentang pengalaman dan penghayatan pribadi, maka penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif melalui metode pengumpulan data wawancara mendalam. Peneliti mengkhususkan untuk meneliti wanita kanker payudara yang telah menjalani operasi pengangkatan payudara (mastektomi) dengan alasan, masalah-masalah yang dihadapi oleh mereka lebih kompleks dan beragam, yang disebabkan hilangnya organ kebanggaan mereka. Peneliti tidak membatasi usia subyek, karena ingin melihat bagaimana penyesuaian diri wanita penderita kanker payudara tidak hanya pada subyek dengan usia produktif saja, agar dapat dilihat perbedaannya sehingga memperkaya penelitian.

Dari tujuh subyek yang berhasil diwawancarai, penulis menemukan bahwa masalah-masalah yang paling banyak dialami subyek adalah masalah penurunan konsep diri karena hilangnya payudara dan rambut akibat kemoterapi serta masalah menurunnya aktivitas seksual. Selain itu juga ada masalah-masalah iain seperti masalah gangguan dalam hubungan sosial, gangguan dalam hubungan dengan anak, serta gangguan pada aktivitas pekerjaan.Selain itu juga muncul masalah dalam biaya pengobatan. Beberapa masalah tersebut dihayati subyek sebagai sesuatu yang stressful.

Masalah masalah yang dihadapi subyek mempengaruhi strategi penyesuaian dirinya. Pada saat didiagnosa menderita kanker, subyek cenderung melainkan penyesuaian diri dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti penolakan terhadap penyakitnya dan berusaha untuk tidak memikirkannya. Masalah-masalah yang timbul setelah menjalani mastektomi , terutama penurunan konsep diri diatasi subyek dengan melakukan penyesuaian untuk mengembalikan konsep dirinya seperti memakai penyangga payudara, memakai wig (penyesuaian Esik) mencari informasi tentang penyakit yang dan penyesuaian kognitif seperti mencari makna positif dari penyakit yang dideritanya dan mengembalikan self-esteemnya dengan membandingkan dirinya dengan orang lain yang kurang beruntung (penyesuaian kognitif). Penyesuaian subyek terhadap masalah juga dipengaruhi oleh ada tidaknya dukungan sosial dari orang lain. Subyek yang mendapat dukungan sosial Iebih dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap penyakitnya.

Yang menarik dari penelitian ini, ternyata tidak semua subyek menganggap bahwa terhentinya aktivitas seksual sebagai suatu masalah. Ternyata reaksi subyek terhadap penyakitnya tidak selalu negatif, ada juga subyek yang besyukur ternyata ia masih diingatkan lmtuk menjaga kesehatannya melalui penyakit yang dideritanya. Peneliti juga menemukan bahwa dukungan sosial tidak selamanya membantu subyek dalam menyesuaikan dirinya, tapi juga dapat menimbulkan stres seperti perhatian orang yang berlebihan terhadap penyakitnya

Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mengubah variabel penyesuaian diri, misalnya meneliti mekanisme pertahanan diri pada wanita penderita kanker payudara atau rnerubah subyek penelitian , misalnya meneliti penyesuaian diri pada wanita kanker payudara usia muda atau yang belum menikah.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Rahma
Abstrak :
Beberapa tahun terakhir ini, Indonesia kembali dilanda persoalan penyalahgunaan zat yang sebagian besar melibatkan kaum muda. Hal ini misalnya terlihat dari meningkatnya pemberitaan di berbagai media massa tentang kasus-kasus tersebut. Kenyataan ini dapat pula dilihat dari jumlah pasien Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) yang dari waktu ke waktu semakin bertambah. Terlibatnya anak dalam penyalahgunaan zat dan dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya tentu akan menyebabkan perubahan dalam kehidupan keluarga. Hal ini tak terhindarkan lagi menuntut orangtua untuk menyesuaikan diri dalam menghadapinya. Rogers dan McMillin (1992), menyatakan bahwa orangtua peranan besar dalarn mendukung proses kesembuhan anak dari gangguan penggunaan zat yang dialaminya, tentunya apabila orangtua dapat melakukan penyesuaian diri yang tepat dalam menghadapinya. Dari sinilah peneliti tertarik untuk menggali lebih jauh tentang bagaimana orangtua melakukan penyesuaian diri terhadap gangguan penggunaan zat yang dialami anak. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berarti bagi RSKO atau pihak-pihak lain yang terkait dengan masalah ini, dalam upaya memberikan dukungan pada orangtua sehingga orangtua diharapkan dapat melakukan penyesuaian diri yang semaksimal mungkin mendukung proses kesembuhan anak dari gangguan penggunaan zat yang dialaminya. Penyesuaian diri keluarga dalam menghadapi salah satu anggota keluarganya yang mengalami gangguan penggunaan zat menurut Kauffman (1991), Rogers, dan McMillin (1992), terbagi dalam dua macam, yaitu enmeshment dan detachment. Orangtua dikatakan mengalami enmeshment apabila menjadi sedemikian terpengaruh secara emosional sehingga perilakunya menjadi reaktif terhadap perilaku anak yang mengalami gangguan penggunaan zat. Perilaku reaktif orangtua ini tampil dalam bentuk perilaku provoking, di mana orangtua seolah-olah berperan sebagai polisi (the police) bagi anak, dan perilaku enabling, di mana orangtua seolah-olah berperan sebagai pelindung (the protector) bagi anak. Sedangkan orangtua dikatakan mengalami detachment apabila mereka dapat menguasai emosinya sendiri sehingga perilaku mereka tidak menjadi reaktif melainkan lebih terfokus pada pemecahan masalah yang sebenarnya. Perilaku orangtua yang mengalami detachment dinamakan perilaku detached-concern. Subyek dalam penelitian ini adalah orangtua dari pasien RSKO yang telah beberapa kali menjalani pengobatan. Hal ini ditetapkan agar dapat menggali penyesuaian diri orangtua secara utuh dan menyeluruh. Pcngambilan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam dengan pedoman wawancara berbentuk pertanyaan terbuka. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Dari hasil wawancara ditemukan bahwa tujuh dari delapan orangtua mengalami enmeshment. Hal ini terlihat dari gambaran keadaan emosional mereka serta perilaku provoking dan enabling yang ditampilkan dalam menghadapi anak yang bermasalah tersebut. Perilaku provoking orangtua terlihat dari adanya usaha-usaha yang terus menerus dalam mengontrol perilaku anak, misalnya dengan melakukan kekerasan verbal atau fisik terhadap anak, argumen-argumen sengit, pemonitoran gerak-gerik anak, atau tuduhan-tuduhan memakai zat. Perilaku enabling terlihat dari usaha-usaha yang ditujukan untuk menyenangkan anak serta melindunginya dari berbagai konsekuensi yang menyakitkan sekalipun itu akibat perilakunya sendiri. Misalnya dengan mernbebaskan anak dari penjara, memberi fasilitas mobil dan uang berlebih pada saat anak belum sepenuhnya terlepas dari gangguan penggunaan zat, merawat dan menjaga anak seperti bayi yang tak berdaya, atau memendam emosi demi menghindari konflik dan kekacauan yang lebih parah. Para orangtua tersebut terlihat mengalami tekanan emosional yang berat yang pada akhirnya seringkali membuat mereka menjadi tidak nafsu makan, gelisah, menarik diri dari pergaulan sosial, sulit tidur, darah tinggi, sakit kepala, bahkan terkena serangan jantung. Hanya satu subyek orangtua dalam penelitian ini yang ditemukan mengalami detachment. Hal ini terlihat dari keadaan dirinya yang mampu menguasai emosinya sendiri sehingga tidak sampai menjadi reaktif terhadap perilaku anak, meskipun rasa marah atau kecewa tidak terhindarkan lagi dirasakannya. Subyek lebih memfokuskan diri dalam mencari solusi atas masalah yang sebenarnya. Hal ini misalnya terlihat dari perilaku detached concern yang ditampilkannya, antara lain konfrontasi yang tidak bernada menyerang atau menuduh, melainkan mengajak anak berdiskusi sambil dengan tenang mengungkapkan fakta-fakta tentang konsekuensi buruk yang terjadi akibat perilakunya tersebut. Konfrontasi dilakukan dengan tegas dan tanpa diulang-ulang lagi pada kesempatan berikutnya. Subyek juga tidak terjebak dalam perilaku yang terus-menerus mengontrol gerak-gerik anak, melainkan dengan tetap memberikan kebebasan pada anak namun juga memberi batasan-batasan yang harga dipatuhi. Selain itu, subyek tidak menjadikan masalah gangguan penggunaan zat sebagai tema utama dalam komunikasi dengan anak. Komunikasi lebih diarahkan pada kegiatan apa yang ingin dilakukan anak dalam mengisi waktu luangnya. Pada saat segala upaya telah dilakukan dalam memberi pengertian pada anak, namun anak tidak juga tergerak untuk mengubah perilakunya, subyek membuat suatu kesepakatan yang tegas dengan anak, misalnya dengan menyuruh anak memilih antara tetap tinggal di rumah dengan mematuhi aturan-aturannya, atau tidak perlu mematuhi aturan-aturannya tapi pergi meninggalkan rumah. Kesepakatan yang tegas ini dimaksudkan subyek agar anak belajar rnenerima konsekuensi buruk akibat aksi yang dipilih untuk dilakukannya, sehingga diharapkan anak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan akhirnya mau mengubah perilakunya. Hal lain yang ditemukan dari penelitian ini adalah timbulnya masalah baru di luar masalah penggunaan zat yang dialami anak, yang tampaknya memperparah tekanan emosional yang dialami orangtua, yaitu konflik antara sesama orangtua dalam hal cara mereka memperlakukan anak. Orangtua yang satu tidak setuju dengan cara orangtua lainnya memperlakukan anak. Sehubungan dengan hasil penelitian, orangtua dianjurkan untuk membekali diri dengan informasi yang benar tentang gangguan penggunaan obat. Caranya antara lain dengan berdiskusi dengan orang-orang yang tahu banyak tentang masalah ini, misalnya dokter, psikiater, atau psikolog yang mengkhususkan diri dalam masalah tersebut. Orangtua juga dianjurkan untuk waspada terhadap emosi dan perilakunya sendiri dan mencari cara-cara yang dapat membuatnya memperoleh kenyamanan emosional, misalnya dengan mengembangkan karir, hobi, atau persahabatan. Dengan kenyamanan emosional yang diperoleh, orangtua kemudian dianjurkan untuk menerapkan perilaku detached concern seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengadakan cross-checked pada anak tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya terhadap diri orangtua dan cara orangtua memperlakukannya. Dan untuk lebih memperkaya data, ada baiknya pula bila dilakukan penggalian data melalui orang Iain, atau anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengan orangtua tentang bagaimana sikap dan perilaku sehari- hari ibu dan bapak di rurnah dalam menghadapi anaknya yang mengalami gangguan penggunaan zat.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>