Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pane, Masdalina
Abstrak :
Masalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) merupakan salah satu masalah besar dan kebanyakan terjadi pada kelompok usia produktif yang sampai saat ini belum dapat diatasi. Pada tahun 2001 pengguna Napza di Indonesia mencapai lebih dari 2 juta jiwa dengan kematian akibat Over Dosis sebanyak 17.16 %. Sebagian besar pengguna yaitu 1.3 juta jiwa tinggal di wilayah Jakarta dan diperkirakan 35 % siswi SMU dari 64 sekolah di Jabotabek ditemukan sebagai pengguna berat dan pengedar Napza. Penelitian ini bertujuan untuk melihat berapa besar kontribusi penggunaan tehnik parenteral terhadap kejadian terpapar virus Hepatitis B dan C pada populasi pengguna Napza di Pusat Pemulihan Napza di wilayah Jabotabek. Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan cross sectional, dengan jumlah sampel 201 orang di dapat dari catatan medis penderita yang dirawat dari Januari - November 2001. Hasil penelitian didapatkan Prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis B sebesar 43.6% dan prevalensi kejadian terpapar virus Hepatitis C sebesar 69.1%, untuk hubungan kejadian terpapar virus Hepatitis B didapatkan hasil: Tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis B setelah dikontrol variabel lain dengan risiko 2A68 (CI 0.893-5.262). Untuk Hepatitis C ada hubungan bermakna secara statistik antara penggunaan tehnik parenteral dengan kejadian terpapar virus Hepatitis C setelah dikontrol variabel lain dengan risiko lebih tinggi yaitu 37.334 kali lebih tinggi (CI 12.455 - 11L911). Dapat disimpulkan bahwa tehnik parenteral memberikan kontribusi sebesar 44.7 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis B dan 92 % untuk menyebabkan kejadian terpapar virus Hepatitis C. Saran yang diberikan berupa : informasi tentang bahaya penggunaan Napza dan bahaya tambahan dari penggunaan jarum suntik dan alat sayat (tehnik parenteral) bersama-sama, gerakan lintas sektor untuk meminimasi distribusi dan utilisasi Napza, saat ini kita mungkin harus mulai terbuka untuk membuat klinik-klinik khusus yang dapat mengakomodasi kepentingan pengguna melalui kontrol terhadap pemakaian dan tehnik penggunaan terutama untuk pengguna lama yang sulit direhabilitasi dan untuk pengguna kambuhan. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah memperkuat fungsi dan peran keluarga agar keluarga dapat melakukan deteksi dini terhadap tanda-tanda penggunaan Napza untuk mencegah penggunaan berlanjut. Daftar bacaan: (1976 - 2001)
Contribution of Parenteral Technique due to Hepatitic B and Hepatitic C Viral Expose at Drug Users in Centre of Rehabilitation 2001Narcotics, Psychotropic and others addictives (NAPZA) abuse problem is one of the biggest problems and it's happen to productive period in life and have not solved yet. In 2001 there is more than 2 million people use NAPZA with 17.16% mortality caused over dose. A lot of drug users about 1.3 million people live in Jakarta and estimated at 35% of them are SMU students from 64 schools in Jabotabek as chronic users and seller. Objective for this research to know contribution of parenteral technique due to Hepatitic B and C Viral expose at drug users population whom rehabilized in centre of rehabilitation in Jabotabek. This research use cross sectional design, sample size 201 users have been rehabilized, collecting data come across Laboratories examinations and justify with medical diagnose in medical records. Results from this research are Prevalence rate for Hepatitic B viral expose occur to 43.6% and Prevalence rate for Hepatitic C viral expose occur to 69.1%. There are not significant relationships between parenteral techniques to be Hepatitic B Viral expose after controlled by another variables with 2.168. 95% CI (0.893-5.262) and There are a significant relationships between parenteraI technique to be Hepatitic C Viral expose after controlled by another variables with 37. 95% CI (12.55-111.911). Conclusion for this research are : Parenteral technique gives 44.7 % contribute to Hepatitic B viral ekspose and 92% contribute to Hepatitic C viral expose. Suggestion of this research are: Give right information about effect using NAPZA and addictive hazard from use parenteral technique and laserate aids together. Intersector action to minimize distribution and utilization drugs. Today we must be make specialize clinics to accommodate users by control about using and parenterel technique to chronical users and relapse users. But one of very important thing are makes family function and role to early detection the symptom of using drugs to prevent chronic users. References: 30 (1976-2001)
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T10749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mahrus
Abstrak :
Fenomena penyalahgunaan Narkoba di Indonesia sudah cukup menghawatirkan, terutama di kota-kota besar jumlah penyalahguna secara siginfikan mengalami peningkatan lebih dari 3,3% setiap tahunnya (data BNN, 2004). Sehingga diperlukan sebuah intervensi guna mengendalikannya, seperti dalam bentuk pemberantasan dan penanggulangan terpadu dalam segenap aspek baik dari segi pencegahan, penegakan hukum maupun upaya-upaya terapi rehabilitasi. Pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba sebagai salah satu WBP yang dibina di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), merupakan suatu alternatif yang mutlak pelaksanaannya, apabila upaya Penanggulangan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) ingin berhasil, di samping adanya upaya-upaya lain dibidang pencegahan dan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terpadu dan sinergis. Dalam penempatan, perawatan dan pembinaan terhadap narapidana khusus Narkoba, tidak dapat disamaratakan dengan narapidana tindak pidana konvensional lainnya (seperti perampokan, pencurian dengan pemberatan dan kejahatan dengan kekerasan lainnya). Namun demikian keberadaan Lapas Khusus Narkotika di Indonesia masih sangat terbatas, baik secara kuantitas maupun kualitas operasionallpelayanannya; sehingga banyak narapidana khusus Narkoba yang di tempatkan di dalam Lapas-lapas yang diperuntukkan bagi narapidana tindak pidana konvensional. Lapas Klas IIA Bogor merupakan salah satu Lapas yang mempunyai kategori fungsi ganda tersebut. Keefektifitasan sebuah Lapas mensyaratkan bagi adanya keterpaduan antara budaya, strategi, lingkungan dan teknologi organisasinya; dan semakin kuat suatu budaya organisasi, maka semakin panting bagi adanya kecocokan terhadap variable-variabel tersebut. Karena keberhasilan sebuah Lapas akan terwujud apabila terdapat keterpaduan ekrternal - budaya yang terbentuk sesuai dengan strategi dan lingkungannya; dan keterpaduan internal - budaya organisasi disesuaikan dengan teknologi yang digunakan (Robbins, 1994 : 484). Dengan kata lain keefektifan sebuah Lapas sangat tergantung dari kecocokan kebudayaan/struktur normative yang menjadi kaidah organisasi dalam mempertahankan eksistensi organisasi secara internal dan kemampuannya berintegrasi dengan Iingkungan eksternalnya (Yuchman dan Seashore, 1967). Di sisi lain, keefektifan suatu Lapas juga dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengidentifikasikan dan menilai pola referensi konstituensi yang panting serta sejauh mana kualitas layanan yang dapat diberikan untuk memenuhi tuntutan konstituensinya tersebut (Miles, 1982). Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, penilitian ini berusaha mengungkap budaya organisasi Lapas Klas IIA Bogor, dan kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Indikator penelitian budaya organisasi, akan menggunakan tujuh karakteristik primer organisasi (Chatman dan John, 1994), yang mencakup inovasi dan pengambilan risiko, perhatian pada rincian, orientasi pada hasil, orientasi pada orang, orientasi pada tim, tingkat keagresifan, dan tingkat kemantapan. Sedangkan indikator kualitas layanan pembinaan, akan menggunakan lima dimensi kualitas layanan yang dikemukakan Parrasurahman, Zeithaml, dan Berry (1988), yaitu aspek penampilan fisik (tangible), keandalan (reliability), tingkat ketanggapan (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (emphaty). Populasi penilitian budaya organisasi adalah petugas Lapas Klas IIA Bogor. Sedangkan populasi penelitian kualitas layanan pembinaan, hanya mencakup narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan. Pengambilan jumlah sampel digunakan tabel penentuan jumlah sampel yang dikembangkan Isaac dan Michael dengan taraf kesalahan 5%. Adapun instrumen penelitian menggunakan kuisioner yang dikembangkan melalui menjabarkan dari indikator-indikator setiap variabel, dengan merujuk skala pengukuran Likert. Selanjutnya data terkumpul diuji validitas dan realibilitasnya, serta dianalisis berdasarkan frekuensi, median, dan modus untuk mendeskripsikan setiap variabel penelitian. Dalam menganalisis pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas layanan narapidana Narkoba dan narapidana pencurian dengan kekerasan dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U (U test); kemudian analisis perbedaan antara kualitas layanan pembinaan terhadap narapidana Narkoba dengan narapidana pencurian dengan kekerasan, melalui Uji Wilcoxon Signed Ranks Test. Hasil penelitian dengan derajad kebenaran 99%, menunjukkan bahwa budaya organisasi Lapas Klas Bogor tergolong kategori kuat (skor 72%); sedangkan kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba 70% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 30%), dan narapidana pencurian dengan kekerasan 79% telah terpenuhi dari yang diharapkan (gap 21%), sehingga kedua kualitas layanan pembinaan tersebut termasuk dalam kategori kualitas tinggi. Analisis korelasi menunjukkan, bahwa tidak ada pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba, dan sebaliknya terdapat pengaruh budaya organisasi yang psoitif dan signifikan terhadap kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan. Analisis komparasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang positif dan signifikans antara kualitas layanan pembinaan narapidana Narkoba dengan kualitas layanan pembinaan narapidana pencurian dengan kekerasan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tumpal Eben Ezer
Abstrak :
Penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang penting karena disatu sisi penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, kerangka yuridis yang telah ada di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2011 tentang pelaksanaan wajib lapor pecandu narkotika seharusnya digunakan dalam penerapannya pada masing-masing sub sistem peradilan pidana agar upaya pengobatan dan juga perawatan bagi penyalahguna, guna menyelaraskan penerapan rehabilitasi tersebut Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.04 Tahun 2010, begitu juga dengan Badan Narkotika Nasional mengeluarkan Peraturan Kepala BNN Nomor 2 Tahun 2011, Kejaksaan Agung pada tanggal 12 Januari 2012 telah menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor : B-136/E/EJP/01/2012 perihal tuntutan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, sedangkan Polri masih menyiapkan Rancangan Peraturan Kapolri tentang Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di lingkungan Polri untuk di jadikan pedoman Penyidik dalam melakukan rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika yang menjadi Pecandu atau korban Penyalahgunaan Narkotika. Berkaitan dengan hal tersebut penulis nantinya akan membahas mengenai harmonisasi antara ukuran-ukuran yang digunakan oleh Kepolisian, Badan Narkotika Nasional (BNN), Kejaksaan dan Pengadilan dalam merehabilitasi dilanjutkan dengan peranan Jaksa sebagai penyaring perkara dalam penanganan kasus-kasus Narkotika dan kewenangan penuntut umum dalam penanganan perkara Narkotika. ...... Rehabilitation sanctions against drug abusers is an important measure because on one hand, drug abusers are victims of crime narcotics. In Article 54 of Law No. 35 Year 2009 on Narcotics explain that addicts Narcotics and Narcotic abuse victims to undergo compulsory medical rehabilitation and social rehabilitation, the existing legal framework in the Act No. 35 Year 2009 on Narcotics and Government Regulation No. 25 of 2011 on the implementation of compulsory reporting of drug addicts should be used in the application on each - each sub-system of criminal justice in order to attempt treatment and also care for abusers, in order to harmonize the implementation of the rehabilitation of the Supreme Court has issued a Circular Letter of the Supreme Court (SEMA) No.04 of 2010, as well as with the National Narcotics Agency chief BNN issued Regulation No. 2 of 2011, the Attorney General on January 12, 2012 has issued Circular Attorney General for General Crimes Number: B-136/E/EJP/01/2012 demands concerning medical rehabilitation and social rehabilitation, while the police are still preparing the Draft Police Regulation on Narcotics Abuse Reduction in the police to make the guidelines at Investigators in rehabilitating narcotics abusers who become addicts or victims of Narcotics Abuse. In this regard the authors will discuss the harmonization between size - the size used by the Police, the National Narcotics Agency (BNN), and courts in rehabilitating followed by a role as a filter Attorney handling the case in the case - Narcotics and authority of the public prosecutor in handling Narcotics cases.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35989
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Irawati
Abstrak :
Tesis ini membahas wacana untuk mengagendakan kebijakan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika pada prajurit TNI. Saat ini TNI belum mengenal kebijakan rehabilitasi bagi pengguna narkotika pada prajuritnya. Dilihat dari aspek kesehatan, sosial, hukum, pertahanan keamanan, dan politik diketahui bahwa kebijakan rehabilitasi bagi prajurit TNI perlu untuk dibentuk. Dari aspek kesehatan, dampak dari narkotika dapat merusak kesehatan prajurit, begitu juga dari aspek sosial, dapat menurunkan kesejahteraan sosial prajurit sehingga dapat mengganggu pelaksanaan tugas prajurit yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya pelaksanaan tugas pokok TNI. Aspek hukum diketahui bahwa kebijakan rehabilitasi narkotika merupakan amanat dari undang-undang, setiap warga negara dan pemegang otorita negara harus tunduk dan melaksanakan perintah undang-undang tersebut sehingga seluruh warga negara khususnya prajurit TNI juga mendapatkan hak yang sama seperti warga negara lain untuk direhabilitasi. Dilihat dari aspek pertahanan dan keamanan, penggunaan narkotika pada prajurit dapat menyebabkan prajurit lalai dalam melaksanakan tugas sehingga dapat membahayakan pertahanan dan keamanan. Tindakan hukuman penjara tanpa rehabilitasi memungkinkan prajurit semakin dekat dengan perilaku penyalahgunaan narkotika, sedangkan solusi berupa pemecatan memungkinkan prajurit tersebut digalang oleh sindikat kejahatan khususnya sindikat narkotika. Komitmen dan kemauan politik (political will) dari Pimpinan TNI untuk merehabilitasi prajurit TNI belum ada. Hal ini terbukti dari adanya kebijakan Panglima TNI berupa Surat Telegram (ST) untuk menindak tegas pelaku penyalahguna narkotika dengan memberikan hukuman pidana bahkan pemecatan. Latar belakang kebijakan tersebut adalah untuk kepentingan militer TNI bahwa prajurit TNI harus dalam kondisi siap sedia dalam menjalankan tugas pokoknya, untuk menimbulkan efek jera, serta menjaga nama baik institusi TNI. Untuk itu diperlukan suatu solusi yang menguntungkan semua pihak (win-win solution) yaitu TNI dapat tetap melaksanakan pembinaan terhadap prajuritnya, prajurit juga mendapatkan haknya untuk direhabilitasi, serta negara dapat menjalankan tugasnya untuk melindungi dan memberikan hak kepada seluruh warga negaranya termasuk prajurit TNI. ......This thesis discusses the policy agenda of discourse for rehabilitation of drug users on the TNI soldiers. Currently, TNI are not familiar with military policy for the rehabilitation of drug users on the their soldiers. Research on the health, social, legal, defense security, and politics aspects are known that the rehabilitation policy for soldiers need to be formed. From the aspect of health, the effects of drugs can damage the health of the soldiers, as well as from the social aspect, can reduce social welfare of soldiers so that soldiers can interfere with performance of duties that ultimately resulted in the disruption of the implementation of the basic tasks of the TNI. Legal aspects of drug rehabilitation in mind that the policy is a mandate of the law, every citizen and state authority holder must submit and execute commands of the law so that all citizens, especially soldiers also get the same rights as other citizens to be rehabilitated. Viewed from the defense and security aspect, use of narcotics can lead soldier on soldier negligent in performing the tasks that can endanger defense and security. Sentenced to imprisonment without rehabilitation can allow soldiers are getting closer to the behavior of drug abuse, while the solution in the form of dismissal allows the soldier raised by crime syndicates in particular narcotics syndicate. There is no commitment and political will of the military leadership to rehabilitate their soldiers.This is evidence from the existence of a policy of TNI Commander Letter (ST) to take stern action against perpetrators of narcotics abusers by providing criminal penalties even dismissal. The reason of this policy is in the interests of the TNI military that soldiers should be in a readiness to execute its core functions, to a deterrent effect, as well as to save face of the military institution. This requires a solution that benefits all parties (win-win solution) that the military can continue to implement the guidance to the soldiers, the soldiers also be eligible for the right of rehabilitation, and the government can carry out their duties to protect and give rights to all citizens including TNI soldiers.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T41997
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahusilawane, Elvina Katerin
Abstrak :
Latar Belakang. Penyalahgunaan zat merupakan masalah global yang berkembang dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi. Undang undang no 35 tahun 2009 mewajibkan semua penyalahguna zat untuk mengikuti rehabilitasi, namun terdapat perbedaan pendapat terkait efektifitas terapi berdasarkan keinginan untuk mengikuti rehabilitasi. Faktor yang turut berperan dalam keberhasilan rehabilitasi adalah tingkat kesiapan untuk berubah yang terlihat dari motivasinya. Implikasi UU no 35 dapat dilihat melalui perbedaan tingkat motivasi dan hubungannya dengan karakteristik serta mekanisme koping dari individu yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginannya. Metode. Potong lintang melibatkan 100 orang penyalahguna zat yang telah mengikuti rehabilitasi selama periode bulan Juli-September 2014 di Balai Besar Rehabilitasi BNN. Pengukuran tingkat motivasi dengan instrumen University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) dan mekanisme koping diukur dengan instrumen Brief-Coping Orientation to Problem Experienced (Brief-COPE). Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat motivasi antara penyalahguna zat yang mengikuti rehabilitasi secara sukarela dengan yang tidak sukarela setelah mengikuti proses terapi rehabilitasi. Terdapat hubungan antara tingkat motivasi dengan mekanisme koping (nilai p 0.001). Mekanisme koping yang digunakan pada subyek dalam penelitian berupa emotion-focus koping dan skor mekanisme koping yang terbanyak pada tingkat sedang. Simpulan. Tidak terdapat perbedaan tingkat motivasi pada penyalahguna zat yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginan. ......Background. Substance abuse is a growing global problem at a fairly high recurrence rate. Indonesia narcotics law no 35 in 2009 requires compulsory treatment for people with drug dependence, nevertheless there are many differences in opinions regarding the effectiveness of therapy based on the willingness to participate. Factors that contribute to the outcomes of rehabilitation s the readiness to change seen by motivation. The implications of the Law No. 35 can be seen through motivational level differences and its relationship with the characteristics and coping mechanisms of substance abusers who have undergone a rehabilitation based on the willingness to be rehabilitated. Method. A crosssectional involving 100 substance abusers who have undergone a rehabilitation program during the period July-September 2014 at BNN rehabilitation center. Motivation level measurement by University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) instrument and coping mechanism by Brief-Coping Orientation to Problems Experienced (Brief-COPE) instrument. Result. There is no significant differences of motivational level between voluntary and compulsary substance abuser. There is a relationship between the level of motivation with coping mechanisms (p-value 0.001). Coping mechanisms used by the subject is emotionfocused coping with the highest score is at moderate level. Conclusion.There is no difference of motivational level among substance abusers who have undergone a rehabilitation program based on the willingness.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Ni`Ma Hayati
Abstrak :
Fungsi keluarga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses pemulihan pecandu NAPZA. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran pemenuhan fungsi keluarga terhadap anggota keluarga yang menjalani proses rehabilitasi NAPZA di RSKO. Desain penelitian ini adalah deskriptif dari 25 pasien yang menjalani rehabilitasi rawat inap di RSKO dengan teknik total sampling. Hasil penelitian mengidentifikasi pemenuhan fungsi keluarga; 72 % pada fungsi afektif, 64% pada fungsi ekonomi, 60% pada fungsi pemeliharaan kesehatan, 64% pada fungsi reproduksi, dan 48% pada fungsi sosialisasi. Secara umum, 60% responden terpenuhi fungsi keluarganya. Tenaga kesehatan, khususnya perawat, di unit rehabilitasi RSKO diharapkan dapat mengoptimalkan program-program yang mendukung interaksi antara pasien dengan keluarganya agar fungsi keluarga tetap terpenuhi selama proses rehabilitasi. ...... Functioning of family is the one important thing in the recovery process of drug addicts. This study aims to identify the description of the functioning of the family against family members undergoing drug rehabilitation in RSKO. This study design is descriptive of the 25 patients undergoing inpatient rehabilitation in RSKO with total sampling technique. Results of the study identify the functioning of the family; 72% on affective function, 64% in the functioning of the economy, 60% on health care function, 64% of the reproductive function, and 48% in the socialization function. In general, 60% of respondents met the family function. Health workers, particularly nurses, in rehabilitation unit of RSKO is expected to optimize the programs that support the interaction between patients with their families in order to keep the family functioning during the rehabilitation process.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S55603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Irawan
Abstrak :
Penelitian ini membahas Unit Pelaksana Teknis Terapi dan Rehabilitasi (UPT T&R) yang dikelola oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Berawal dari BNN yang merupakan lembaga represif terhadap kejahatan drugs, kini juga menjalankan fungsi korektif dalam bentuk rehabilitasi drugs. Penelitian ini mencoba menggambarkan bagaimana program terapi dan rehabilitasi bagi pecandu dan penyalah guna drugs dilihat melalui sudut pandang kriminologis. Penelitian ini melihat dari pemahaman rehabilitasi, konsep The Making of The Blind Men, serta model peradilan pidana terhadap mereka yang masuk rehabilitasi melalui sistem peradilan pidana. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bagaimana rehabilitasi drugs sangat diperlukan dan munculnya konteks mantan pecandu. ......This study discusses the Technical Implementation Unit Therapy and Rehabilitation (UPT T & R) managed by the National Narcotics Agency (BNN). Starting from BNN, which is repressive agency against drugs crime, is now also running a corrective function in the form of drugs rehabilitation. This study tries to describe how the therapy and rehabilitation programs for addicts and abusers drugs in perspectif of criminology. The research looked at the understanding of rehabilitation, the concept of The Making of The Blind Men and the criminal justice model to those who enter rehabilitation through the criminal justice system. The results of this study can give you an idea how the drugs rehabilitation is required and the context of the emergence of an ex-addict.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwahidah Hasan
Abstrak :
Therapeutic Community (TC) bertujuan untuk merubah perilaku penyalahguna NAPZA. Program TC sarat dengan aspek asertivitas namun sejumlah residen yang keluar TC mengalami kekambuhan. Penelitian ini bertujuan menggambarkan tingkat asertivitas residen yang telah menjalani TC minimal 6 bulan dan mengetahui asertivitas berdasarkan karakteristik tertentu. Metode survei dengan sampel 217 residen dari 5 fasilitas rehabilitasi digunakan melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan instrumen skala asertivitas dari teori Galassi dan Galassi (1977, dalam Rakos, 1991) dan dianalisis dengan metode distribusi frekuensi. Hasil penelitian menunjukkan asertivitas tinggi pada 110 residen dan asertivitas rendah pada 107 residen. Tingkat asertivitas rendah didominasi oleh kelompok residen wanita, usia remaja, lulusan pendidikan dasar, dan dari suku Jawa. Tingkat asertivitas tinggi didominasi kelompok residen usia dewasa muda, lulusan perguruan tinggi, dan dari suku Bugis dan Betawi. Perlu dilakukan pengkajian terhadap asertivitas sebelum menjalani program, meningkatkan motivasi dan perhatian, serta melakukan pendekatan yang tepat terhadap karakteristik residen yang beragam. ......Therapeutic Community (TC) aims to change the behavior of substance abusers. TC program are loaded with aspects of assertiveness, but a number of residents discharged from TC performed relapse. This study aimed to desribe the level of residents' assertiveness who have been undergoing TC for at least 6 months, and to describe their assertiveness based on certain characteristics. Survey method was used through purposive sampling technique with a sample of 217 residents of 5 rehabilitation facilities. Datas were collected by assertiveness scale made from the theory of Galassi and Galassi (1977, in Rakos, 1991) and analyzed by frequency distribution method. The results showed high assertiveness at 110 residents and low assertiveness at 107 residents. Low assertiveness residents were dominated by group of women, teens, basic education graduates, and from Javanese. High level of assertiveness were dominated by young adult group, college graduates, Buginese and Betawinese. It's essential to do an assesment on assertiveness before residents undergoing the program, increasing motivation and attention, as well as doing the right approach to many characteristics of the residents.
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65478
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rasmussen, Sandra
London: Sage, 2000
362.29 RAS a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evans Garey
Abstrak :
Penelitian ini adalah penelitian mengenai dinamika pemutihan dari ketergantungan narkoba dalam kaitannya dengan kompetensi diri. Pemakaian narkoba telah menjadi masalah yang mencemaskan di Indonesia. Berbagai masalah baik secant fisik sosial, maupun mental timbul sebagai dampak dari pemakaian narkoba. Pemakaian secara terus menerus mengakibatkan individu mengalami ketergantungan terhadap narkoba. Pemutihan dari ketergantungan narkoba merupakan hal yang sulit namun bukanlah mustahil. Pemulihan dari ketergantungan narkoba bukanlah sekedar tidak menggunakan narkoba saja. Penelitian telah membuktikan bahwa orang yang sudah tidak menggunakan narkoba selama puluhan tahun ternyata bisa menggunakan kembali zat atau substansi tersebut. Pemulihan dari ketergantungan narkoba merupakan proses sepanjang hidup yang menyeluruh dalam diri individu. Seorang yang dikatakan pulih adalah yang dapat melakukan reintegrasi kehidupannya kc dalam lingkungan sehari-hari. Orang yang pulih adalah orang yang mampu mengatasi krisis hidup sehari-hari, mampu mengelola rutinitas hidup. dan mampu menjaga diri dari relapse. Dengan demikian yang menjadi tantangan bagi pemakai yang berada dalam proses pemulihan adalah bukan hanya tidak menggunakan narkoba saja, melainkan juga secara efektif beradaptasi dengan tuntutan perkembangan hidupnya. Masalah penelitian yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah seberapa jauh kompetensi diri berperan dalam kelangsungan proses pemulihan ketergantungan narkoba?
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif. Landasan teori yang digunakan adalah mengenai teori narkotika, ketergantungan, dan pemulihan dengan model perkembangan (The Developmental Model of Recovery). teori perkembangan Erikson. Havighurst, teori perkembangan remaja dan dewasa muda, serta teori kompetensi. Hasil analisis menunjukkan bahwa subyek penelitian yang berada pada tingkat pemulihan yang lebih tinggi. lebih kompeten dibanding dengan subyek yang berada pada tingkat pemulihan yang lebih rendah. Pada subyek yang berada pada tingkat pemulihan yang lebih rendah terjadi kemandekan dalam tahapan pemulihannya. Beberapa masalah yang menyebabkan diantaranya adalah ketidakmampuan memenuhi tuntutan orang tua, kurangnya dukungan orang tua, kurangnya kepercayaan diri.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>