Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhayati
Abstrak :
Keaspekan merupakan salah satu makna kewaktuan yang bersifat semesta. Baik bahasa beraspek maupun bahasa takberaspek mampu mengungkapkan makna keaspekan tersebut. Keterkaitan antara keaspekan dan makna kewaktuan lain, yaitu keaksionalan dan kekaiaan, menyebabkan banyak ahli bahasa merumuskan ketiga konsep tersebut secara tumpang tindih. Di satu kelompok mereka merasa tidak perlu memisahkan keaspekan dan keaksionalan (lihat Verkuyl 1993), sementara kelompok lain berpendapat bahwa keaspekan, keaksionalan, dan kekaiaan harus diperlakukan sebagai konsep yang terpisah (lihat Bache 1997). Penelitian ini bertujuan meneliti kesemestaan konsep keaspekan, khususnya keimperfektifan, dengan berpijak pada pendapat yang menyatakan bahwa keaspekan harus dipisahkan dari keaksionalan dan kekalaan meskipun ketiganya berhubungan sangat erat. Ancangan tersebut acapkali disebut sebagai ancangan komposisional. Dengan menggunakan ancangan tersebut, kita dapat menentukan makna dasar keaspekan dan makna yang dihasilkan dari interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan. Sifat kesemestaan tersebut diuji dengan menggunakan metode analisis kontrastif, yaitu membandingkan dua bahasa yang sistem pengungkapan keimperfektifannya berbeda. Kedua bahasa itu ialah bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris adalah contoh bahasa beraspek. Dalam mengungkapkan keimperfektifan, bahasa tersebut mempunyai peranti gramatikal yang berupa bentuk progresif, yaitu be-ing yang melekat pada predikat verba. Sementara itu, bahasa Indonesia adalah contoh bahasa takberaspek. Untuk mengungkapkan keimperfektifan, penutur bahasa Indonesia menggunakan pemarkah leksikal tertentu. Penggunaan novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai data didasari oleh kesistematisan pengungkapan keimperfektifan dalam bahasa Inggris, sementara dalam bahasa Indonesia, pemarkahan keimperfektifan yang sistematis, setahu saya, belum dirumuskan. Berdasarkan fakta tersebut, penelitian ini juga mempunyai tujuan menemukan pemarkah pemarkah yang berpotensi mengungkapkan keimperfektifan dalam bahasa Indonesia, serta merumuskan persamaan dan perbedaan sistem pengungkapan keimperfektifan tersebut. Hasil analisis data menunjukkan bahwa secara konseptual, bahasa Indonesia mampu mengungkapkan makna dasar keimperfektifan serta maka hasil interaksi antara keaspekan, keaksionalan, dan kekalaan yang terdapat dalam metabahasa dan dalam bahasa Inggris. Perbedaan sistem pengungkapan yang ditemukan disebabkan oleh perbedaan fungsi pragmatis antara dua bahasa tersebut. Di dalam bahasa Inggris, persesuaian antara bentuk progresif dan pemunculan elemen-elemen tertentu menentukan kegramatikalan suatu kalimat atau klausa. Sebaliknya, jika elemen-elemen yang mengimplikasikan keimperfektifan muncul dalam kalimat/klausa bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan tidak harus diungkapkan secara eksplisit. Kesan bahwa penutur bahasa Indonesia merasa tidak perlu menggunakan alat keaspekan dalam berkomunikasi disebabkan oleh keleluasaan penutur dalam mengungkapkan situasi secara netral. Dalam bahasa Inggris, penutur jarang mengungkapkan situasi secara netral karena penggunaan bentuk verba simpleks atau progresif menghasilkan tafsiran pemfokusan situasi tertentu atau menghasilkan tafsiran penggambaran situasi yang legap. Oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala kini menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. kehabitualan, sedangkan oposisi bentuk verba simpleks vs. verba progresif dengan kala lampau menghasilkan oposisi makna keimperfektifan vs. keperfektifan. Perbedaan lain disebabkan oleh sifat pertelingkahan antara pemarkah keimperfektifan dengan elemen-elemen lain yang berbeda antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Di dalam bahasa Inggris, kata still atau always dapat berkombinasi dengan predikat verbal berbentuk progresif, sedangkan dalam bahasa Indonesia, kata masih atau selalu harus berkombinasi dengan bentuk predikat simpleks. Sebaliknya, di dalam bahasa Indonesia, pemarkah keimperfektifan dapat berkombinasi dengan predikat nonverbal, sedangkan di dalam bahasa Inggris, tipe kombinasi itu hampir tidak ditemukan.
Aspectuality is one of the universal temporal-meanings found both in an aspect language and in a nonaspect language. The other temporal meanings are actionality and temporality. They are realized grammatically or lexically. The three meanings interact closely to express a situation perceived by the lectionary agent in a sentence or a clause. The close relationship has caused some grammarians conceive aspect and tense as the same concept (Comrne 1976:1). Other grammarians such as Lyons (1977), Alive (1992), and Verkuyl (1993) have also conceived the concept of aspectuality and actionality as one concept with different realizations. Beside the two groups, there are other grammarians such as Brinton (1988), Smith (1991), and Bache (1997) that have treated actionality and aspectuality as different concepts, Their argument was aimed to solve the problem of the confusing definitions of aspect and Aktionsart. Bache (1997:12) even said that aspect, action, and tense should be kept distinct as separate categories. This research aimed at proving that the features of the universal concept of aspectuality, especially imperfectivity can be expressed in a non-aspect language. This research is based on the notional approach that differenciates aspectuality from actionality and temporality in a sentence. The three meanings interact thightly. By using that approach, we could establish the basic meaning of aspectuality and meanings derived from the interaction among aspectuality, actionality, and temporality of object languages. To analize the universal meanings, I contrasted two object languages, English and Indonesian, which have different systems of expressing imperfectivity. English is an example of an aspect language. It has a grammatical form to express imperfective meaning. That form is be-ing embedded in a verbal predicate. In contrast, Indonesian is one of the nonaspect languages. It expresses the imperfective meaning by using certain lexical markers. The data contrasted consist of some English sentences and their translations in Indonesian, I chose the type of the data because I assumed that imperfectivity is expressed systematically in English, whereas, as far as I know, the system of expressing imperfectivity in Indonesian has not been established systematically. Based on the fact above, the aim of this research is also to find out the potential imperfective marker of Indonesian. By finding out the markers, we could describe the similarities and the differences of the two systems. The result could be used as a test frame to prove whether Indonesian sentences or clauses theoretically containing the imperfective markers are always translated into English by using progressive form. One of he findings of the research showed that Indonesian could express both the basic imperfective meaning and their interactional meaning as English does. The different system of expressing imperceptivity is as a result of the different feature of grammaticality and pragmatically function between the two languages. In English, the concord relation between the progressive form and the occurrence of the other Imperfectives, Meaning, English Language, Indonesian Language, Aspectuality, Novel, Translations, 1999. LINGUISTICS sentential elements concerns the grammatical acceptability of a sentence. On the contrary, the imperfective markers in Indonesian could be expressed explicitly or implicitly whenever there are other elements that imply the imperfective meaning. An opinion that Indonesian speakers do not need aspectual markers in an act of communication is due to the fact that generally they express a situation without focusing on a particular situation. In English, it is difficult to get examples of expressing a situation without giving a certain focus. The other difference concerns the different incompatibility of the imperfective markers and other sentence elements between English and Bahasa Indonesia. In English, we could combine adverbs still or always with the progressive verb. In bahasa Indonesia, the words masih and selalu are usually incompatible with an imperfective marker such as sedang. In Indonesian, we could combine the imperfective markers such as sedang, masih, and lagi with a nonverbal predicate, whereas we have hardly ever found the combination in English.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrisna Bhuana Marthinovianto
Abstrak :
Penelitian ini membahas masalah penilaian terjemahan dialog novel The Da Vinci Code (DVC) karya Brown (2003) dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia melalui pemerian kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis yang ada di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk menilai baik-buruknya terjemahan dialog DVC dengan menggunakan ancangan pragmatis yang terkait dengan kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatis. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentukbentuk kegagalan pragmalinguistis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan empat kriteria: (1) kegagalan mengalihkan frasa atau klausa; (2) kegagalan mengalihkan ungkapan rutin; (3) kegagalan mengalihkan deiksis eksofora; dan (4) kegagalan mengalihkan deiksis endofora. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari dan menjelaskan bentuk-bentuk kegagalan sosiopragmatis di dalam terjemahan dialog DVC yang terkait dengan tiga kriteria, yaitu (1) kegagalan mengalihkan honorifik petutur; (2) kegagalan mengalihkan pagar; serta (3) kegagalan mengalihkan ungkapan formal. Penelitian didasari atas metode error analysis, yang dimodifikasi menjadi analisis kegagalan pragmatis. Dialog-dialog di dalam teks sasaran (TSa) DVC diperbandingkan dengan dialog-dialog di dalam teks sumber (TSu) DVC untuk mencari kegagalan pragmalinguistis dan kegagalan sosiopragmatisnya. Setelah ditemukan, empat puluh percontoh data dianalisis dengan menggunakan tilikantilikan pragmatis. Di akhir analisis, usulan terjemahan yang dapat meminimalkan kegagalan pragmatis juga diberikan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terjemahan dialog DVC belum memenuhi kriteria ketepatan, kejelasan, dan kewajaran sehingga dinilai tidak baik. Analisis data dan simpulan yang didapat dari setiap data itu membuktikan bahwa tilikan-tilikan pragmatis, seperti daya ilokusioner, tindak tutur tidak langsung, ungkapan rutin, kesantunan positif, kesantunan negatif, deiksis, dan pagar, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk menilai baik-tidaknya terjemahan.
This research discusses the translation evaluation of the dialogues in a novel written by Brown (2003), The Da Vinci Code (DVC), by explaining pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures found in DVC translation from English to Indonesian. This research is aimed at evaluating the correctness of the translation of the dialogues in DVC by using a pragmatic approach related to pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures. This research is specifically aimed at seeking and explaining the forms of pragmalinguistic failures by using four criteria: (1) failures in translating phrases and clauses; (2) failures in translating conversational routines; (3) failures in translating exophoric deixis; and (4) failures in translating endophoric deixis. In addition, this research is also aimed at seeking and explaining the forms of sociopragmatic failures by using three criteria: (1) failures in translating addressee honorifics; (2) failures in translating hedges; and (3) failures in translating formal expressions. This research is based on error analysis method, which is modified into pragmatic failure analyses. The dialogues in the target text (TT) DVC are compared with those of the source text (ST) DVC in order to seek for the pragmalinguistic failures and sociopragmatic failures. After the comparison stage, forty data are selected as samples and are analyzed by using some pragmatic insights. In the final stage of the analysis, each data is given an alternative translation of the TT as an attempt to minimize the pragmatic failures. The results of this research show that the dialogues in TT have not fulfilled the criteria of accuracy, clarity, and naturalness; hence, they are considered as poorly translated. The data analysis and the conclusion of each data prove that pragmatic insights, such as illocutionary force, indirect speech acts, conversational routines, positive politeness, negative politeness, deixis, and hedges, can be used as tools to evaluate the correctness of a translation.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T19232
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Widiastuti
Abstrak :
Dalam berbahasa tidak cukup hanya mematuhi kaidah, tetapi juga menerapkan kesantunan berbahasa yang digunakan untuk menjalin hubungan antara penutur dan petutur. Masyarakat memiliki tokoh yang dijadikan panutan, seperti pendakwah. Pendakwah menyampaikan materi dakwah di berbagai media, seperti stasiun televisi. Penelitian ini membahas strategi kesantunan yang digunakan pendakwah dalam dialog acara dakwah di stasiun televisi. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah mengungkapkan strategi kesantunan yang digunakan pendakwah dalam dialog acara dakwah di stasiun televisi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data diambil dari dua acara dakwah Mamah Dedeh di stasiun televisi. Hasil penelitian menunjukkan strategi kesantunan positif yang sering digunakan pendakwah dalam dialog acara dakwah di stasiun televisi. ......This research focuses on the politeness strategy in the dialogue of dakwah on television. The purpose is to reveal the politeness strategy used by a pendakwah in the dialogue of dakwah on television. A qualitative method is used for this research. The data were collected from the recording of two dakwah programs on television. The result shows that positive politeness strategy is frequently used by a pendakwah in the dialogue of dakwah on television.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
T35986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprivianti Sugiyo
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai perbedaan klasifikasi semantis tanaman padi antara klasifikasi masyarakat di Desa Lelea dan klasifikasi ilmiah dalam ilmu botani. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkapkan taksonomi masyarakat Desa Lelea terhadap padi melalui kosakata tanaman padi di Desa Lelea serta memaparkan perbedaan semantis antara klasifikasi ilmiah dan klasifikasi masyarakat Desa Lelea. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan strategi studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara dengan petani Desa Lelea sebagai informan utama dan peneliti tanaman padi serta data tertulis dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi sebagai pembanding. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai taksonomi masyarakat yang dikemukakan oleh Berlin (1973). Hasil penelitian ini berupa perbedaan jenjang dalam bagan taksonomi masyarakat dan taksonomi ilmiah serta perbedaan klasifikasi semantis tanaman padi antara masyarakat dan ilmu botani. Penelitian ini dapat dijadikan sumbangan untuk kamus, baik kamus bahasa daerah maupun kamus istilah pertanian serta dijadikan prototipe untuk pengembangan penelitian sejenis yang mengaitkan tumbuhan dengan bidang botani.
ABSTRACT
This thesis observes the difference of paddy semantic classification between Lelea Village folk classification and scientific classification in botany. The objectives of the research are revealing Lelea Village taxonomy towards paddy through paddy vocabulary in Lelea Village and explaining the semantics difference between scientific classification and Lelea Village folk classification. This is a qualitative research with case study as a strategy. The data used is obtained from interview with the farmers of Lelea Village as the main informan, the paddy researcher, and written data from Balai Besar Penelitian Tanaman Padi as a comparison. This research uses a folk taxonomy theory which is stated by Berlin (1973). The findings of this research is a level difference in folk taxonomy chart, scientific taxonomy, and the difference of paddy semantic classification between the community and the botany experts. This research is expected to be a philanthropy for dictionary, both in local language, agriculture terms dictionary and can be made as prototype for similar research development which connecting crops with botanical field.
2017
T48753
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Novianty Marlan
Abstrak :
Tesis ini membahas konseptualisasi metafora emosi dalam rubrik konsultasi majalah mingguan wanita Femina. Masalah yang diketengahkan dalam tesis ini adalah pengungkapan verbal emosi dalam rubrik konsultasi majalah Femina yang berbentuk metafora, serta pengaruh latar belakang masyarakat bahasa Indonesia terhadap konsep metafora emosi bahasa Indonesia. Tujuan penulisan tesis ini untuk mengungkapkan konseptualisasi metaforis emosi dalam bahasa Indonesia dan menunjukkan pengaruh latar belakang budaya penutur dalam pembentukan metafora emosi bahasa Indonesia, apakah bersifat universal atau bersifat khas? Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua majas digunakan untuk ungkapan emosi. Pembentukan metafora emosi menunjukkan konsep yang bersifat universal. ......This thesis discusses the conceptualization of metaphorical emotion in consultation weekly women's magazine Femina. Objectives of the thesis is to reveal metaphorical emotion's concepts in bahasa Indonesia and shows the influence of speakers cultural background in the conceptualization of metaphorical emotion language, whether this concept is are used to express universal or typical? Results of research indicate that not all figurative language emotion and thw conceptualization of metaphorical emotions has universal character.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T25898
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Marliani
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis di antara dua buku ajar internasional Interchange 3 dan buku ajar lokal Look Ahead 2, manakah yang lebih mengejawantahkan prinsip-prinsip ancangan komunikatif (CLT) dan sejauh mana kedua buku ajar tersebut dapat membekali siswa dengan kompetensi komunikatif dengan latar pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan Interchange 3 mengejawantahkan CLT lebih baik dari Look Ahead 2 dalam hal rancangan, bahan ajar, dan latihan yang disajikan dalam buku ini. Meskipun Interchange 3 secara metodologis lebih mengakomodasikan ancangan komunikatif dan sesuai dengan tujuan pemebaajarn dalam KTSP 2006, pengajar masih enggan menggunakannya karena ketidakpahaman mereka akan pentingnya ancangan komunikatif dalam pembelajaran. Look Ahead 2 digunakan lebih sering oleh pengajar, meskipun buku ini mengandungi banyak kekurangan. Selain itu, asumsi pengajar bahwa buku internasional mengandungi muatan budaya yang bertentangan dengan nilai edukasi sekolah, tidak terbukti dalam Interchange 3. Sebaliknya, buku lokal Look Ahead 2 mengandungi bahan ajar yang brutal dan merendahkan perempuan. Kesesuaian bahan ajar dengan prinsip-prinsip ancangan komunikatif tidak menjamin buku ini akan digunakan oleh pengajar di kelas. Kekurangpahaman pengajar terhadap ancangan komunikatif dapat menghambat keberhasilan penggunaan buku ajar yang dilandasi oleh ancangan ini.
ABSTRACT
This study analyzed two textbooks, Interchange 3, an internationally published textbook, and Look Ahead 2, a locally published one. This study aimed to find out which of the two implements the principles of CLT and which one has a methodology which was more suitable to equip learners with communicative competence in the given school setting. The findings show us that Interchange 3 better implements CLT in terms of its design, learning materials, and activities than Look Ahead 2. However, when each book is seen against the school circumstance, both textbooks could not equip learners with communicative competence. Interchange 3 was not used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers could not see the benefits of using Interchange 3, despite its suitability to the principles of CLT and KTSP 2006. Look Ahead 2, on the other hand, was used more frequently than Interchange 3 although it did not implement many principles of CLT. (3) Moreover, the assumption that internationally published textbooks contain materials against the school educational values was not proven. On the opposite, the locally published textbook represents some culturally sensitive materials; brutality and degrading women. In general, this study found out that there is no guarantee that a communicative-based textbook will be used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers? lack of knowledge of communicative approach may hamper the successful use of the textbook.
2009
T25940
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfika Wijayanti
Abstrak :
Sesuai dengan pedoman yang tercantum pada Kurikulum 2004, pengajaran kemahiran menulis Bahasa Inggris di SMA di Indonesia dilakukan dengan menggunakan ancangan genre. Ancangan genre adalah ancangan pengajaran kemahiran menulis yang berfokus pada penulisan teks yang berterima dalam konteks sosial-budaya. Namun, pengajaran kemahiran menulis yang menggunakan ancangan ini mengabaikan proses revisi yang dibutuhkan pada pembuatan suatu tulisan, sehingga tulisan yang dibuat siswa belum baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan memadukan penggunaan ancangan genre dengan ancangan proses. Ancangan proses adalah ancangan pengajaran kemahiran menulis yang banyak memberikan perhatian pada proses revisi yang dibutuhkan dalam pembuatan suatu tulisan. Penelitian ini mengambil kelebihan-kelebihan yang dimiliki ancangan proses dan ancangan genre serta menggunakannya pada pengajaran kemahiran menulis teks genre naratif, eksposisi analitis, dan laporan dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa pada ketiga teks genre tersebut. Penelitian dilakukan pada 32 orang siswa kelas XI yang di setiap akhir sesi pengajaran satu genre teks diberikan kuesioner untuk mengetahui tanggapan siswa mengenai keefektifan penggunaan ancangan proses genre pada pemelajaran menulis genre teks. Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menganalisis buram pertama yang ditulis siswa, buram ketiga yang ditulis siswa, dan hasil uji kuesioner mengenai pendapat siswa tentang keefektifan penggunaan ancangan proses genre. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan ancangan proses genre dapat meningkatkan rerata nilai tulisan pada tiap genre yang diajarkan dan siswa mengganggap penggunaan ancangan proses genre efektif untuk membantu pemelajaran menulis.
In congruence with the guidelines of the 2004 curriculum, the teaching of English writing skills in high schools throughout Indonesia uses the genre approach. The genre approach is a way to teach writing skills which concentrates on the writing of texts that are in accordance with the sociocultural context of the society. However, the teaching of writing skills using this approach ignores the revision process that is crucial when writing, thus making the result unsatisfactory. One method to surmount this matter is to integrate the genre approach with the process approach. The process approach is a method to teach writing that pays attention to the revision process which is fundamental towards the creation of fine writing. This thesis employs the advantages of both the process and genre approaches and applies the process genre approach towards the teaching of narrative text, analytical exposition, and report, which is ultimately aimed at improving the writing proficiency of students. The subjects of this study were 32 year-11 students. They were given questionnaires at the end of every writing session. The questionnaires are used to gather the students? opinion about the effectiveness of using the process genre approach in the study of writing. Data analysis in this study is done by examining the outcome of the students? first and third drafts, as well as the questionnaires. The findings show that the use of the process genre approach in teaching writing can significantly increase the students? average scores of every writing genre. Moreover, the students consider this practice effective in assisting to write narrative text, analytical exposition, and report.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T26648
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Waridin
Abstrak :
Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh gambaran pemakaian ungkapan fatis dalam acara temu wicara televisi. Telaah tentang ungkapan fatis dalam acara temu wicara televise termasuk ke dalam bidang kajian analisis wacana dan pragmatik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kuantitatif hanya digunakan sebagai pendukung dalam mengenalisis data, misalnya untuk menentukan persentase sampel penelitian dan menghitung frekuensi penggunaan ungkapan fatis. Acara temu wicara yang dijadikan sumber data adalah News Dot Com yang ditayangkan oleh Metro TV tanggal 18 Maret dan 25 Maret 2007, Empat Mata yang ditayangkan oleh Trans7 tanggal 15 Maret dan 20 Maret 2007, Ceriwis yang ditayangkan Trans TV tanggal 27 Februari dan 10 Maret 2007, dan Kick Andy yang ditayangkan oleh Metro TV tanggal 22 Maret dan 29 Maret 2007. Total waktu acara adalah 361,6 menit atau 6,03 jam. Dari delapan episode acara temu wicara televisi yang dijadikan sumber data ditemukan 1012 ungkapan fatis. Data yang diambil sebagai sampel berjumlah 282 ungkapan fatis atau 27,8% dari 1012 populasi. Terdapat ungkapan fatis yang sudah tercatat oleh peneliti terdahulu dan ungkapan fatis yang belum tercatat oleh peneliti terdahulu. Jenis kata dan partikel fatis yang sudah tercatat peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah ya, sih, dong, kok, nah, kan, deh, lho, -lah, ah, halo, toh, dan yah. Jenis kata fatis yang belum tercatat peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah oke, aja, em, baik, gitu, bentar, eh, amin, nih, hai, mah, lha, tahu, wong, alah, dan bo. Kata fatis yang cenderung digunakan dalam acara temu wicara televisi adalah kata fatis ya dengan frekuensi pemakaian 72 kali. Frase fatis yang sudah tercatat oleh peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah terima kasih, selamat datang, dan selamat malam. Frase fatis yang belum tercatat oleh peneliti terdahulu dan ditemukan dalam korpus data penelitian adalah apa kabar, betul sekali, bukan begitu, dan ya sudah. Frase fatis yang cenderung dipakai dalam acara temu wicara televisi adalah terima kasih/thanks dengan frekuensi pemakaian tiga belas kali. Kalimat fatis yang ditemukan dalam korpus data adalah kalimat fatis yang berfungsi menjaga keharmonisan/mempertahankan komunikasi dengan frekuensi dua kali, tanda meminta persetujuan kepada kawan bicara frekuensi penggunaannya dua kali, dan untuk mengakhiri pembicaraan frekuensi penggunaannya dua kali. Terdapat kalimat fatis yang digunakan secara terbatas pada acara tertentu. Tiga jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Empat Mata mencakupi fungsi (1) mengalihkan perhatian pembicaraan, (2) membuka atau memulai kontak dengan kawan bicara, dan (3) mempertahankan kontak pembicaraan dengan kawan bicara. Tiga jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara News Dot Com mencakupi fungsi (1) memutus sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan, (2) mengakhiri pembicaraan, dan (3) membuka kontak atau memulai pembicaraan. Dua jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Ceriwis adalah (1) memutus sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan, (2) membuka kontak atau memulai pembicaraan. Jenis fungsi fatis yang digunakan secara terbatas dalam acara Kick Andy adalah fungsi mengakhiri sementara kontak sekaligus mempertahankan kontak pembicaraan. ......This research is generally aimed at collecting description of phatic expressions employed during television talk shows. This study is concerned with the realm of pragmatic and discourse analysis. Qualitative and quantitative methods constitute mainly in this study, with the latter providing ground on which data analysis is used to measure percentage of research sample and calculate frequency of phatic expression uses. The talk shows from which the data were gathered are News Dot Com by Metro TV on March 18th and 25th 2007, Empat Mata by Trans7 on March 15th and 20th 2007, Ceriwis by Trans TV on February 27th and March 10th 2007, and Kick Andy by Metro TV on March 22th and 29th 2007. The total time consumed by the combined talk shows on TV is on average 361,6 minutes or 6,03 hours. Of the eight episodes of the talk shows contrributing to the data source, 1012 phatic expressions were found, of which 282 of them were used as samples, or approximately 27,8% were used as samples. Among the phatic expression samples that have been gathered, some of them have been previously recorded by the writer, forming the corpus data for his own research, while some have not. The phatic expression samples are in the form of word, phrase, and sentence. The recorded phatic words found while conducting this research are ya, sih, dong, kok, nah, kan, deh, lho, -lah, ah, halo, toh, and yah. The unrecorded phatic word samples that turned up during this study include oke, aja, em, baik, gitu, bentar, eh, amin, nih, hai, mah, lha, tahu, wong, alah, and bo. The most frequent phatic word that appeared on the TV talk shows, reaching up to the frequency of 72 times appearance is ya. Than, the phatic phrase samples. The recorded phatic phrases that tuned up during the research are terima kasih, selamat datang, and selamat malam, while the unrecorded ones include apa kabar, betul sekali, bukan begitu, and ya sudah. The most frequent phatic phrase with thirteen times occurrence is terima kasih/thanks. Last of all, the phatic sentences. They served different purposes, which were found during the research. One that served to maintain communication flow appeared twice, another that requested consent from interlocuters appeared twice, and the other that functioned to end a conversation appeared twice. Further functions of phatic sentences have been found in relation to TV talk shows they are angaged in. In Empat Mata the functions of phatic sentences include (1) diverting a mainstream talk, (2) starting a discussion, and (3) maintaining interest in a chat with interlocuters. In News Dot Com phatic sentences function to (1) temporarily cut off a conversation flow while at the same time maintaining it from the loss, (2) end a talk, and (3) to start or open a new talk. In Ceriwis phatic sentences serve to (1) temporarily cut off a conversation flow while at the same time saving it from the loss, and (2) to start a new discussion. In Kick Andy phatic sentences have a sole function which is to cut off a conversation flow temporarily while at the same time keeping it from the loss.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T22761
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Theresia
Abstrak :
Penelitian ini mengkaji tema utama dan tema tambahan yang terkandung di dalam novel Malhaneun Dol karya Moon Soon Tae melalui gagasan-gagasan yang ada di dalam novel ini. Malhaneun Dol penting untuk diteliti karena mampu menggambarkan suasana masyarakat desa pada saat Perang Korea dan akibat yang terjadi setelahnya. Metode yang digunakan adalah close reading atau membaca dekat yaitu dengan membaca tekun suatu karya untuk menelitinya lebih lanjut. Dengan latar belakang yang juga penulis pertimbangkan, dapat ditemukan bahwa tema utama dalam novel ini adalah balas dendam yang sia-sia. Tema tambahan dalam novel ini adalah suasana sosial perang, keadaan psikologis perang dan penghormatan kepada orang tua. ......The research is focused on a study of main theme and supporting theme in the Malhaneun Dol novel written by Moon Soon Tae through its supporting ideas. Malhaneun Dol is important to be researched because this novel can describe the villagers’ atmosphere at Korean War and the time after that. The research method that applied in this thesis is close reading that we have to read a work to understand it more deeply. Historical background is considered and we can find that the main theme of the novel is a shameful revenge. The supporting themes are social atmosphere and psychological state at war, and filial piety.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45818
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depari, Nathalie Enda Zileta
Abstrak :
Skripsi ini membahas situasi percakapan yang mengandung alih kode di prasekolah ?Gita Montessori Islamic School?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif dan dibahas secara deskriptif-interpretatif. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan dan perekaman secara langsung percakapan-percakapan yang terjadi di lingkungan sekolah. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa alih kode terjadi pada tipe inter-sentential, intra-sentential,dan single word. Alih kode ditemukan pada percakapan siswa yang di dalamnya terdapat pergantian situasi tutur (alih kode jenis situatif) maupun yang tidak (alih kode jenis metaforis). Berdasarkan unsur pragmatik dalam percakapan, alih kode yang terdapat dalam data dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis yaitu conversational, preference related, unmarked choice, dan intra-clause. Percakapan yang mengandung alih kode terjadi dalam berbagai pola dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris maupun sebaliknya. Penulis juga menemukan bahwa terdapat berbagai alasan dilakukannya alih kode oleh siswa "Gita Montessori Islamic School". Dalam tuturan beralih kode siswa ?Gita Montessori Islamic School juga ditemukan beberapa kasus interferensi.
This thesis discusses about code switching that happened in students of ?Gita Montessori Islamic School?? daily conversation. The methods are used in this research is qualitative and quantitative with descriptive-interpretative explanation. Data is collected by observing and recording the conversation happened at school environment. Result shows that there are some code switching patterns in their utterances. Code switching is founded in sentence, clause, phrase, or word level. Writer found that code switching happened in the school can be distinguished into intra-sentential type, inter-sentential type, and single word type. Code switching also happened in situational conversation and metaphorical conversation. Based on pragmatic situation in conversation, code switching in data can be grouped to conversational code switching, preference related code switching, unmarked choice code switching, and intra-clause code switching. There are also some reasons for the students to do code switching in their daily utterances. Writer also found some interferences happened in their code switching utterances.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45786
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>