Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 81 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Daniel Yusmic P. Foekh
"Secara politis, UUD 1945 menganut ajaran don politico, yaitu pertama, kekuasaan negara sebagai pernyataan kedaulatan hukum yang dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman; kedua, kekuasaan negara sebagai pernyataan kekuasaan rakyat yang dilakukan oleh MPR selanjutnya dimandatkan kepada Presiden. Dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945 dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka tidak dimaksudkan terlepas sama sekali dari kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman perlu dijamin, sedangkan pada sisi lain, UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang dalam menjalankan kekuasaannya, ia mempunyai lima kedudukan, yakni sebagai Kepala Pemerintahan; Kepala Negara; memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislatif); memberikan grasi, amnesti dan abolisi (yudikatif) dan sebagai "Mandataris" MPR.
Dalam praktik ditemukan bahwa Presiden sebagai faktor penentuan arahnya kekuasaan kehakiman sehingga perlu dilakukan upaya untuk menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan syarat negara hukum. Sebab selama kekuasaan kehakiman yang merdeka belum terwujud, negara hukum (rechtsstaal) Indonesia tidak akan terwujud. Bagaimana mengatasinya? Pertama, perlu penataan kekuasaan Presiden, kedua perlu ditinjau kembali semua produk perundang-undangan yang tidak menjamin kekuasaan kehakiman, ketiga-sebaiknya hakim-Hakim yang direkrut diberi kedudukan sebagai pejabat negara, dan bukan lagi sebagai pegawai negeri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Zachrotunnisa
"Akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, apabila cara pembuatannya telah memenuhi ketentuan yang ditetapkanperaturan perundang-undangan dan isinya menyatakan perbuatan hukum yang sebenarnya. Keberadaan akta otentik disebabkan karena ketentuan perundang-undangan yang mengharuskan adanya alat bukti yang demikian itu untuk perbuatan hukum tertentu atau para pihak menghendaki agar perbuatan hukum tertentu diwujudkan dalam bentuk akta otentik. Adapun pokok permasalahan yang timbul adalah bagaimana kekuatan hukum akta Notaris sebagai alat bukti dan kriteria apa yang yang menentukan cacatnya suatu akta Notaris sehingga dapat dibatalkan oleh pengadilan. Guna menjawab permasalahan tersebut, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan, yang dilakukan dengan menganalisa data dengan pendekatan kualitatif sehingga menghasilkan penelitian yang bersifat Perspektif Evaluatif Analisis. Dengan menggunakan metode analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian sempurna yang meliputi daya pembuktian lahiriah, daya pembuktian formal dan daya pembuktian materil. Keotentikan tersebut sangat bergantung pada ketelitian Notaris dalam membuatnya dan kejujuran dari para pihak yang menghadapi Notaris untuk dibuatkan aktanya dalam memberikan keterangan kepada Notaris, namun apabila hal tersebut diabaikan maka akibatnya akta Notaris dapat menjadi akta yang hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yang tentu saja akta tersebut termasuk dalam akta yang cacat, dan dapat dimintakan pembatalannya. Pembatalan akta Notaris dapat dilakukan atas kesepakatan dari para pihak dengan bersama-sama menghadap Notaris guna membuat akta pembetulan/pembatalanya, atau melalui pengadilan apabila para pihak tidak mencapai kesepakatan. Demikian sifat otentik suatu akta Notaris tidak mutlak sepanjang apa yang dapat dibuktikan sebaliknya."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19626
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Evi
"ABSTRAK
Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegakan hukum yang melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan Undang-Undang. Tugas utama yang lebih dikenal luas adalah sebagai lembaga penuntutan terhadap kasus-kasus pidana di Pengadilan. Padahal tugas-tugas lain yang cukup penting juga dipegang oleh Kejaksaan, antara lain sebagai eksekutor suatu keputusan. Salah satu yang dieksekusi adalah melakukan pembebasan bersyarat dan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Hal ini tidak banyak disinggung dalam berbagai literatur. Padahal pembebasan bersyarat sangat diharapkan sebagai proses pembinaan bagi narapidana diluar lembaga agar dapat lebih mudah untuk bersosialisasi. Adanya pembebasan bersyarat dipengaruhi oleh pandangan modern pemidanaan yang menghendaki kemanfaatan dan pembinaan terhadap narapidana yang dinilai telah memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat tersebut. Mekanisme pemberian bersyarat secara rinci diatur dalam dalam Pasal 12 dan 13 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.Dl.PK.04-10 Tahun 1999 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan CuLi Menje3ang Bebas. Keputusan pemberian pembebasan bersyarat merupakan wewenang Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk olehnya.
Pasal 30 ayat (1) huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, menyebutkan Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pembebasan bersyarat. Namun dalam melaksanakan tugasnya tersebut belum dapat dilakukan maksimal. Hal ini disebabkan berbagai faktor antara lain adanya kendala administrasi, kurangnya petunjuk baku berupa juklak atau juknis pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat dan belum adanya koordinasi antar Kejaksaan dalam pengawasan pembebasan bersyarat tersebut.Dalam kendala administrasi, seharusnya setiap pembebasan bersyarat dicatat dalam suatu register, namun dalam praktek tidak semua Kejaksaan memiliki daftar tersebut. Hal ini disebabkan adanya volume pekerjaan yang cukup padat sedang pegawai sangat kurang. Di sisi lain aturan intern Kejaksaan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pengawasan sangat kurang bahkan tidak ada. Hal ini menyebabkan Kejaksaan tidak dapat melakukan tindakan lain terhadap terpidana yang tidak melapor diri sebagai pengawasn terhadap terpidana. Diharapkan ke depannya terdapat suatu aturan baku tentang pelaksanaan pengawasan pembebasan bersyarat. Sebab pembebasan bersyarat di masa yang akan datang akan semakin penting dalam pemidanaan Indonesia.

ABSTRACT
Judiciary as any law enforcement institution who implement duty and functions based on legislation. The well-known main duty is institution that prosecute criminal case at court. Indeed, other important relative duties is also handled by Judicature among other thing executing any judgment, i.e. conditional release and its supervision, it had not mostly be written in literature. Actually, it is highly wished as building process for criminal actor outside' of correctional facility so as to socialize easily. The conditional release is influenced by modern concept, the punishment that wishes benefit and building against prison who had had values complying with requirements to obtain such conditional release. In details the mechanism of giving conditional release is set forth in Article 12 and Article 13 of Ministerial Decree of Justice No.M.01.PK.04-10 year 1999 on Assimilation, Conditional Release and Leave Facing Release. It represent authority of Justice Minister or the officer appointed by his.
Article 30 paragraph (1) letter C Laws No.16 year 2004 on Judiciary stating that Judiciary as institution that authorize to supervise conditional release. But, to realize such duties it had not been realized maximally. It is caused by some factors among them administrative hindrances, lack of manual such as operational guidance or technique in implementing such conditional release supervision and no inter judiciary coordination to supervise such conditional release. Administratively, essentially, any conditional release is recorded in register, but, practically, not all judiciaries had such register. It is resulted by job volume is more and employee is less. In other side, internal judiciary regulating how supervision performance is it may not be wished (lack). So that, Judiciary may not implement other actions against criminal actor(s) who had not reported their selves. For the future it is wished any standard regulation on supervision performance for conditional release may be realized, because in Indonesia the punishment will be more important."
2007
T19285
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardyansyah Jintang
"Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman adalah sesuatu yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 juga mengatur keberadaan badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Tulisan ini membahas ruang lingkup badan-badan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan bagaimana Konsep Ideal Independensi badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yakni menggunakan sumber hukum primer, sekunder dan tersier sebagai bahan penelitian. Tulisan ini menemukan ruang lingkup badan-badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman adalah badan yang memiliki fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum, dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yakni di antaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Pemasyarakatan, Organisasi Advokat, dan Badan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Namun tidak semua dari fungsi-fungsi tersebut telah terdapat badannya yang diatur dalam undang-undang. Tulisan ini mengusulkan idealnya dilakukan perubahan pengaturan kelembagaan dan pembentukan badan baru untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yakni perubahan pada lembaga Kejaksaan, pembentukan Organisasi Advokat oleh negara, pembentukan Badan Eksekusi Negara, dan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Nasional, sehingga independensi dari badan-badan tersebut tetap terjaga sebagai yang terkait atau bagian dari kekuasaan kehakiman.

This thesis examines the scope and concept of bodies related to the judiciary's The Independence of the Judicial Power is guaranteed by Article 24, paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD 1945). Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945 also regulates the existence of bodies related to Judicial Power. This thesis discusses the scope and concept of these bodies that are related to Judicial Power and the ideal concept of their independence in Indonesia. This research used legal-normative method, employing primary, secondary, and tertiary legal sources. The thesis finds that the scope of bodies related to Judicial Power includes those with functions in investigation and prosecution, execution of court decisions, provision of legal services, and dispute resolution outside the court, i.e., the Police, the Prosecutor's Office, Penitentiary Institutions, Bar Associations, and Resolution of Disputes outside of the Judicial System Bodies. However, not all of these functions have corresponding bodies established by law, thus this thesis proposes institutional arrangements should be changed, and several new bodies should be established to implement the provisions of Article 24, paragraph (3) of the UUD 1945. These changes include reforms to the Attorney General's Office, the establishment of a State Bar Association, the creation of a National Execution Body, and the formation of National Dispute Resolution Body, so that the independence of these bodies is maintained as related or part of the judicial power."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatul Hidayat
"ABSTRAK
Hakim dan kebebasannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009. Dimana hakim memiliki sebuah kebebasan yang sangat luas untuk
menjatuhkan sebuah sanksi, meskipun hakim memiliki kewenangan yang besar ia
tidak bebas secara mutlak. Kekuasaan memiliki arti penting, sebab kekuasaan
tidak saja merupakan instrument pembentukan hukum (law making), tetapi juga
merupakan instrument penegakan hukum (law enforcement) dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum memiliki arti penting bagi
kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan
formal lembaga-lembaga negara dan unit-unit pemerintahan. Dan dalam
penegakan hukum, menghendaki agar kekuasaan kehakiman yang merdeka
terlepas dari pengaruh pemerintah atau kekuasaan lainnya. Discretionary power
yang dimiliki oleh hakim dianggap sedemikian rupa besarnya sehingga terjadi
adalah abuse of power yang berujung pada kesewenang-wenangan dalam
menjatuhkan hukuman. Pedoman pemidanaan dianggap sebagai jalan terbaik
dalam membatasi kebebasan hakim sehingga objektifitas dan konsistensi dalam
memutuskan perkara akan tetap terjaga, sehingga dengan pedoman pemidanaan
itu juga akan diperoleh sebuh hukuman yang proporsionalitas sesuai dengan apa
yang telah dilakukan oleh pelaku tindak pidana.

ABSTRACT
Judge and independent have been regulating in Under Act No. 48 of 2009
The judge have a extensive independency to give a sanction, although the judge
have a extensive authority, but his not absolutely free. The authority have
significance, because the authority isn’t just a law-making instrument, but also an
instrument of law-enforcement in the life of society, nations and state. Law have
significance the authority cause the law could act as a means of formal authority
legalization of state institutions and the government units. And in lawenforcement,
calls for independent judiciary from the influence of government or
other authority. Discretionary power held by judges considered such magnitude
that happened was abuse of power that led to the arbitrariness in sentencing.
Sentencing guidelines are considered as the best way of limiting the independent
of judge so that objectivity and consistency in deciding cases will be maintained,
so that the sentencing guidelines would also obtained a proportionality
punishment in accordance with what has been done by criminals."
Universitas Indonesia, 2013
T35897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afifi
"Intervensi terhadap kekuasaan kekuasaan yudikatif merupakan salah satu indikasi rapuhnya prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Korupsi yudikatif (judicial corruption) telah melemahkan eksistensi independensi kekuasaan yudikatif dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung seharusnya mampu menjawab permasalahan tersebut. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui, memahami, menelaah, dan menganalisis politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif ini lebih berfokus pada studi pustaka (library research). Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, dalam era orde lama dan era orde baru, independensi kekuaan kehakiman diintervensi oleh kekuasaan eksekutif. Sedangkan pada era reformasi, bandul independensi kekuasaan kehakiman menguat. Akan tetapi, tidak diimbangi dengan akuntabilitas hakim dalam memutus suatu perkara. Kedua, gagasan yang berkembang dalam perubahan UUD 1945 selanjutnya adalah memperluas wewenang Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial yang tidak hanya mengangkat dan menghentikan hakim agung, tetapi juga melakukan pengawasan, walaupun bukan pengawasan mengenai masalah tindakan yudisial, tetapi dalam rangka memelihara kehormatan dan menjaga martabat hakim. Ketiga, politik hukum pembentukan Majelis Kehormatan Hakim sebagai mekanisme pemberhentian hakim pada Mahkamah Agung di Indonesia adalah membentuk wadah dimana hakim diperiksa dan membela diri. Majelis Kehormatan Hakim tetap mempertahankan pemikiran dualisme pengawasan secara internal maupun eksternal hakim agung. Majelis Kehormatan Hakim hanya melibatkan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial secara institusional. Komisi Yudisial tidak dalam posisi untuk mengusulkan pemberhentian hakim sekaligus memutus juga sehingga ada keseimbangan kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karenanya, disepakati Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berada pada posisi setimbang dalam melakukan usulan pemberhentian terhadap hakim agung dalam Majelis Kehormatan Hakim.

Intervention against the judiciary power is one indication of the fragility of the principle of independence of judicial power. Judicial corruption (judicial corruption) weakened the independence of the judiciary existence in check, try and decide a case. Legal political formation mechanism of the Honorary Council of Judges as the dismissal of judges on the Supreme Court should be able to answer these problems . This study has the objective to find, understand, examine, and analyze legal political formation mechanism of the Honorary Council of Judges as the dismissal of judges on the Supreme Court of Indonesia. The method used in this study is a normative legal research is more focused on the study of literature (library research). The results of this study are as follows. First, in the era of the old order and the new order era , the independence of the judiciary kekuaan intervention by the executive power. While the reform era, the pendulum strengthened independence of judicial authorities. However, it is not matched by the accountability of judges in deciding a case. Second, the idea that developed in 1945 further changes are expanding the authority of the Judicial Commission. The existence of the Judicial Commission which not only lift and stop the justices, but also monitors, although not control the issue of judicial action , but in order to maintain the honor and maintain the dignity of the judge. Third, the legal political formation of the Honorary Council of Judges as a mechanism dismissal of judges on the Supreme Court in Indonesia is forming a place where judges examined and defend themselves. Honorary Council of Judges retain control duality of thought internally and externally justices. Honorary Council of Judges of the Supreme Court and only involves institutional Judicial Commission. Judicial Commission is not in a position to propose the dismissal of judges as well cut as well so there is a balance of authority between Supreme Court and the Judicial Commission. Therefore, the Supreme Court agreed and the Judicial Commission is in a position of equilibrium in conducting the proposed dismissal of the justices in the Honorary Council of Judges.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Diamanty Meiliana, auhtor
"ABSTRAK
Tesis ini menganalisis secara normatif pelaksanaan Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2002 tentang Pers dan membandingkannya dengan The Sixth
Amandement of United States of America sebagai dasar adanya pembatasan
peliputan di ruang sidang di Amerika Serikat. Peliputan ruang sidang yang
disiarkan secara langsung (live) merupakan fenomena baru yang makin marak
terjadi di ruang sidang di Indonesia dan sedikit demi sedikit telah menyampingkan
kekuasaan kehakiman dalam ruang sidang. Dalam penelitian ini, teori yang
dipakai adalah teori tentang negara hukum, teori tentang pers, dan teori tentang
kekuasaan kehakiman. Metode analisis dengan membandingkan undang-undang
lalu kemudian membandingkan tata cara peliputan di ruang sidang antara
Indonesia dan Amerika Serikat. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem
peradilan Indonesia belum mengatur secara tegas tentang tata cara peliputan di
ruang sidang sebagaimana halnya di Amerika Serikat padahal keduanya adalah
sama-sama negara demokrasi.

ABSTRACT
This study analyzed the normative implementation of Law No. 48 of 2009
of Judicial Power toward Law No. 40 of 2002 of the Press and comparing it to
The Sixth Amandement of the United States of America as a basis for reporting
restrictions in the courtroom in the United States. Coverage in the courtroom
which broadcast live is a new phenomenon that is increasingly rampant in the
courtroom in Indonesia and has set aside the judicial power in the courtroom. In
this study, the theory used is the theory of the state law, the theory of the press,
and the theory of judicial power. Methods of analysis by comparing the laws and
then compare the coverage in the courtroom between Indonesia and the United
States. The research proves that the Indonesian justice system has not been set
explicitly about reporting procedures in the courtroom as well as in the United
States even though both are equally democratic state."
Salemba: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39318
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panggabean, R.M.
"Pembahasan mengenai budaya hukum hakim hanya difokuskan pada periode 1950 s/d 1965, karena satu hal yang sangat menarik untuk dianalisis yaitu mengenai Hakim Agung yang ada dan yang menjabat pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer adalah sama dalam jumlah maupun orangnya, dengan yang ada pada masa Pemerintahan Demokrasi Terpimpin.
Dari latar belakang di atas telah tergambar mengenai budaya hukum Hakim dalam
menjalankan fungsinya yang selalu berbeda-beda, karena pada prinsipnya banyak
dipengaruhi kebijakan kekuasaan politik, padahal kekuasaan tersebut selalu didasarkan pada
Konstitusi (UUDS 1950 dan UUD 1945) yang sama-sama memiliki asas kemandirian
Hakim/Peradilan. Dalam perkembangannya kekuasaan kehakiman tidak selalu mandiri,
karena budaya hukum Hakim dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa. Hakim sering
berada di bawah kendali Eksekutif dan membenarkan tindakan penguasa melalui putusan-
putusan atau penetapan-penetapan Hakim, sehingga tindakan pemerintah dibenarkan
menurut keadilan formal, namun tidak menurut keadilan substansial. Demikian juga
sebenarnya selain faktor politik masih banyak faktor lainnya yang mempengaruhi budaya
hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.
Oleh karena itu penelitian ini mencoba mengembangkan pembahasan yang
difokuskan kepada budaya hukum Hakim, khususnya budaya hukum Hakim Agung sebagai
persoml Hakim yang tertinggi dalam menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, sekaligus
merupakan benteng terakhir dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukurn.
Berangkat dari latar belakang tersebut di atas, maka disusun rumusan masalah yang
menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Mengapa budaya hukum dalam sistem hukum merupakan aspek yang sangat penting
dan menentukan bexjalannya sistem hukum itu?
2. Faktor-faktor apakah yang paling menentukan sikap atau budaya hukum Hakim
dalam menjalankan fungsinya?
3. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Parlementer sikap atau budaya
hukum Hakim dapat mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat, padahal waktu itu situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi
dan keamanan tidak menentu?
4. Mengapa pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin sikap atau budaya hukum
Hakim tidak banyak mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di tengah-
tengah masyarakat?
5. Bagaimanakah sikap atau budaya hukun Hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara-perkara jika pemerintah sebagai salah satu pihak (kasus politik) atau yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah, bagaimana pula jika tidak terkait dengan pemerintah pada periode Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin?
Beberapa metode penelitian digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode penelitian yuridis normative, metode penelitian sejarah hukum dan penelitian empiris yangbersifat kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. penelitian juga dilakukan terhadap berbagai putusan Mahkamah Agung RI yang menarik perhatian masyarakat, baik dalam masa pemerintahan era Demokrasi Parlementer di bawah UUDS 1950, dan pemerintahan demokrasi terpimpin di bawah UUD 1945. Dalam penelitian lapangan digunakan pedoman wawancara (interview guide) dengan menggunakan metode non probability purbosive sampling, yaitu sampel yang dipilih berdasarkan pertimbangan subjektif dari peneliti. Jadi peneliti menentukan sendiri responden mana yang dianggap mewakili dalam kaitannya dengan budaya hukum Hakim dalam menjalankan fungsinya.;;"
2003
D909
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>