Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3569 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzan
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2003
801.95 Fan m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Cornell University Press, 1979
801.95 TEX
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Asim Gunawan
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Given the fact at least here in the Philippines, what is usually known of edmun husserl is the standard intepretation of his thought and the various criticism thereof, this article explains the work of donn welton, based mainly on manuscripts left unpublished and which are only this past decade or so being gradually edited and published....
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Heumakers, Arnold
Baarn: De Prom, 1990
BLD 839.36 HEU o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Maryono Basuki
Abstrak :
Tesis ini membahas masalah diskrepansi kepuasan yang dicari (Gratifications Sought/GS) dengan kepuasan yang diperoleh (Gratifications Obtained/GO) pemirsa siaran film hiburan TVRI-1, TVRI-2, TPI, dan RCTI, di kalangan remaja daerah elit kelurahan Menteng dan remaja daerah kumuh keluraham Kwitang (Jakarta Pusat). Sebagai kerangka teori digunakan (replikasi) model Uses and Gratifications dengan fokus bahasan pada diskrepansi antara Gratifications Sought dengan Gratifications Obtained. Asumsi dasar pendekatan ini adalah bahwa khalayak merupakan individu aktif yang dapat secara bebas memilih media yang disukai dan bersifat kepala batu yang hanya mau menyimak pesan yang dianggap menguntungkan baginya. Selain itu, media massa dianggap bersaing dalam memenuhi kepuasan khalayak, individu khalayak dianggap mampu mengutarakan motiv serta kepentingannya, dan penilaian tentang arti kultural media dilakukan setelah meneliti orientasi khalayak. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan GS (sebelum memirsa TV) dan GO (setelah mengkonsumsi media) remaja daerah elit dan kumuh, mencari deskrepansi GS-GO, mencari perbedaan GS Berta GO remaja elit dengan remaja kumuh, dan membedakan film pilihan khalayak remaja elit dengan remaja kumuh. Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survei. Pengumpulan data kancah dilaksanakan secara kuantitatif dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sebagian besar tertutup. Responden berjumlah 384, terdiri atas 192 dari daerah elit dan 192 dari daerah kumuh. Mereka adalah remaja berusia antara 17-21 i tahun. Keterbatasan teoritikal penelitian adalah bahwa asumsi studi Uses and Gratifications (konsep masyarakat Harat) 'khalayak secara individual memiliki kebebasan menentukan media, yang hendak dikonsumsi' serta 'berkepala batu', diragukan berlakunya terutama di kalangan masyarakat daerah kumuh Indonesia. Selain itu, mempersaingkan penyajiah tiap media dalam membedakan kepuasan (gratification obtained) kepada khalayak (heavy-medium-light viewer) dirasakan kurang tepat, karena pemilihan saluran televisi (khususnya di Indonesia) oleh khalayak, dimana tiap saluran tidak mempunyai spesifikasi penyajian yang tajam, pada hakikatnya didasarkan pada usaha memilih film yang disukai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1) GS remaja daerah elit dan daerah kumuh didominasi oleh hasrat untuk mengurangi ketegangan, mengatasi kesepian, mengisi waktu luang, memperoleh hiburan, mencari kesenangan, dan santai. Remaja daerah kumuh mempunyai tambahan harapan agar dapat mengurangi kegelisahan dan menikmati hal-hal imajinatif yang tidak pernah dialami. 2) Remaja daerah elit dan kumuh memperoleh kepuasan mendapat hiburan dan santai dari TVRI-1, sedang dari RCTI mereka memperoleh kepuasan mengurangi ketegangan, mengatasi kesepian, mengisi waktu luang, medapat hiburan, mendapat kesenangan, dan santai. Selain itu, dari TVRI-2 remaja daerah kumuh memperoleh kepuasan mendapat hiburan, sedang dari TPI memperoleh kepuasan mendapat hiburan dan santai. 3) Deskrepansi GS-GO pada responden daerah elit dan kumuh adalah pada variabel memperoleh hiburan dan santai. Pada responden daerah elit, deskrepansi GS-GO juga terlihat pada variabel mengurangi ketegangan. Sedang pada responden daerah kumuh deskrepansi GS-GO juga terjadi pada variabel mengatasi kesepian dan mencari kesenangan. 4) Perbedaan GS remaja daerah elit dengan remaja daerah kumuh significant pada variabel harapan untuk memperoleh kepuasan dalam mengurangi ketegangan, mengatasi kesepian, mengisi waktu luang, melupakan tugas rutin, mengurangi kegelisahan, dan menikmati hal-hal imajinatif yang tidak pernah dialami. 5) Perbedaan GO remaja daerah elit dengan remaja daerah kumuh significant untuk TVRI-l, TVRI-2, TPI, dan RCTI pada variabel melupakan tugas rutin dan mengurangi kegelisahan. 6) Film pilihan remaja daerah elit sembilan judul film Barat dan dua produksi nasional. Sedang pilihan remaja daerah kumuh tujuh judul film barat dan empat produksi nasional.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saifur Rohman
Abstrak :
Penelitian ini bergerak dari dua arah dengan mengacu pada satu tujuan menjelaskan model metodologi kritik sastra Indonesia. Satu arah a priori berdasarkan pada kenyataan bahwa perkembangan kritik sastra mengambil metode yang beragam sehingga memerlukan Satu penjelasan umum yang memadai untuk menerangkan masing-masing model. Fenomenologi dipilih karena melihat bentuk penelitian humaniora sebagai suatu intensionalitas subjek-objek, yang merangkum secara menyakinkan fase-fase penelitian melalui apa yang disebut dengan tahapan intensionalitas, yakni objektifikasi, identifikasi, horison, profil kelengkapan, dan konstitusi. Arah a postertori dikembangkan melalui teknik generalisasi sampai menemukan rumusan model-model metode yang digunakan kritikus. Dari arah ini, metode yang mementingkan objektifikasi dan identifikasi karya disebut dengan antologi, sedangkan sebaliknya, yang tidak mementingkan berapa banyak data tetapi lebih pada unsur-unsur terstruktur sebagai eksplisitasi dari profil kelengkapan disebut dengan metode struktural. Unsur identifikasi dan penciptaan horison yang dihubungkan dengan dimensi ruang-waktu akan berupaya memahami subjek sebagai dasar pemahaman terhadap karya. Identifikasi subjek melalui profil kelengkapan ini disebut dengan model biografis. Adapun kegiatan penelitian yang sampai pada penyusunan konsitusi akan berorientasi pada perbandingan dengan konstitusi yang terjadi sebelumnya, sehingga terjadi konsitusi ganda. Dalam konsitusi ganda, yang disebut dengan model emansipatoris ini, berupaya melakukan koreksi-koreksi atas kemajuan gagasan yang telah dilakukan. Kendati terjadi konsitusi ganda dalam model feminisme, penyusunan konsitusi ini lebih diarahkan pada dekonstruksi patriakhi, yakni pematahan penjelasan yang bias gender. Dari dasar pemikiran itu, dalam kaitannya dengan objek penelitian dilakukan dua tahap pengumpulan. Tahap pertama pengumpulan data melalui teknik random purposive sampling dengan batasan kritik sastra Indonesia tahun 1932-2001. Pengumpulan data ini disusun berdasarkan cluster demi memudahkan identifikasi selanjutnya secara bertingkat. Tahap kedua, identifikasi tiap cluster kemudian dibagi per I0 tahun dengan mengesampingkan tendensi politik dalam sejarah sastra Indonesia. Dua tahapan itu dijadikan dasar untuk melakukan analisis berdasarkan kategorisasi metodologis. Hasil dari dua tahap pengumpulan data adalah sebanyak 323 kritik sastra Indonesia. Jika dengan sampling error sekitar 11 % maka diperkirakan selama 70 tahun (1932-2001) kritik sastra yang terbit di Indonesia adalah 300 sampai 400 judul buku dengan pengarang berjumlah 168 orang. Dari sejumlah judul buku tersebut, dipilih 23 kritik sastra yang diduga merepresentasikan kritik yang dihimpun.
The research has moved on two ways referring to one result of which is to explain methodological models of Indonesian Criticism. On one a priori way is based on the tact that literary criticism used to getting various methods. So phenomenology is necessary to find the fundamental ideas in order to explore them with the reason that it is showed plausibly the research as subject-object intentionality. The theory proved the phase of intention that is objectification, identification, making horizon, profile of perfection, and constitution. While the way a priori, on other side, is used method of generalizing to formulize the methodological models. lf the method looks for data as many as possible, then this is called anthological models, while inversely, the method looks for the structural elements in the work, so he called structural models. When the elements related to outer world -in this case of author world- this is named biographical models. Elements concemed with a theme, a trying to prove many profile of landscape, so this is called emansipatoty. lf the models have target of sight generally, the feminism models is more particular to deconstruct the patriarchal term. For this reason: the research operates two steps. First, gathering data by random purposive sampling in which these scope of Indonesian literary criticism are from 1932-2001. They conceived by cluster in order to identify the problem per level. Second, identifying divided by per ten years excluding politics interest in the history of lndoncsian literary criticism, Two steps are basic research followed by analyzing lirstly on methodological category. The results are 323 hooks from 1932 to 2001. If sampling error around of l l % then during 70 years Indonesian literary criticism are 300400 books written by 168 critics. Front this description, they are selected 23 object of the list assumed representing Indonesian criticism. Based on the data, there are five methodological models of Indonesian criticism that is anthological models, structural, biography, emansipatory, and feminism.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T10944
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosida Erowati
Abstrak :
Film merupakan ekspresi seni yang diciptakan secara massal oleh sekelompok seniman dengan berbagai keahlian. Sebagai ekspresi seni, film selalu berbicara' tentang sesuatu. Film memiliki pesan yang dibicarakan melalui penyajian naratif dan bentuknya. Film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran secara keseluruhan ingin menyampaikan pesan tentang perdamaian yang seharusnya dapat tercipta di antara agama, generasi, gender dan negara melalui upaya untuk memahami dan memposisikan diri secara fleksibel dengan melakukan perjalanan melintas batas. Dalam teks ini, peneliti mempertanyakan kondisi multikultur dan pesan perdamaian yang ditampilkan. Bagaimana keduanya dibicarakan, siapa yang membicarakannya dan bagaimana strategi-strategi untuk menciptakan perdamaian dalam kondisi multikultur muncul di dalam naratif dan bentuk film. Analisis terhadap kondisi multikultur dan pesan perdamaian di dalam film Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran dengan menggunakan teori tentang struktur film, representasi, dan identitas yang cair menunjukkan bahwa film ini membicarakan kondisi multikultur dan perdamaian dalam konteks hubungan antara pusat dan pinggiran dalam wacana kebudayaan. Pusat dalam film ini adalah Prancis-Eropa, Yahudi, maskulin dan generasi tua. Sementara pinggiran adalah Turki-Mediterania, Islam, feminin dan generasi muda. Hasil analisis menunjukkan bahwa hubungan pusat-pinggiran mengalami pergeseran dan akhir film yang berupa alur siklik membuka interpretasi tentang pembalikan kritis dalam hubungan tersebut. Di tengah perbincangan tentang hubungan Barat dan Timur yang didominasi isu terorisme atas nama agama, film ini dapat dipertimbangkan memiliki alternatif visi untuk menilai kembali hubungan Barat dan Timur, pusat dan pinggiran.
Film is an art expression that is created collectively by a group of artists with various individual skills. As an art expression, film always "speaks" something. Film has messages that are "spoken" and conveyed through narrative presentation and its own form. As a whole, the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Coran film wants to deliver a message about peace that is supposed to be able to be created among religions, generations, gender, and countries through some attempts to understand and position ourselves flexibly by committing a borderless journey. In this text, the researcher questions the multicultural condition and the peace message presented. How these are spoken, who speaks about them, and how the strategies to create peace in a multicultural condition appear in the narration and film form. Analysis on the multicultural condition in the Monsieur Ibrahim et Les Fleurs du Comm film, using the theories of film structure, representation, and identity which is liquid, shows that this film talks about the multicultural condition and peace in relation between the periphery and center context in the cultural discourse. The center in this film is France-Europe, Jewish, masculine, and old generation. On the other hand, the periphery is Turkish-Mediterranean, Moslem, feminine, and young generation. The analysis result shows that the center-periphery relation undergoes a shifting and the end of the movie, which is cyclical, opens an interpretation about critical reversal in that relation. Among many discourses about the relation between the West and East that is dominated by terrorism issue based on religion, this film can be considered as having the alternative vision to re-value the relation between the West and East, the center and periphery.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Siskawati
Abstrak :
Belakangan ini muncul tren baru dalam dunia persinetronan Indonesia, yaitu sinetron yang dikemas religius dengan cerita habis sekali tayang. Tidak hanya di bulan Ramadhan, sinetron yang dikemas religius digemari pemirsa dan membawa berkah bagi stasiun televisi. Awalnya, memang tidak pernah diperhitungkan. Namun, ketika TPI meraih sukses menyajikan sinetron Rahasia Ilahi, dan Takdir llahi, sejumlah stasiun televisi pun beriomba-lomba menyajikan sinetron yang dikemas serupa tapi tak sama. Jika diamati memang benar tayangan demikian dapat memberi kesadaran religius. Sepintas terlihat sinergi yang sangat ideal antara pilihan stasiun televisi mengedepankan program religius dengan kebutuhan pemirsa akan siraman rohani, yang tujuannya adalah meneguhkan keimanan hingga membuat pelaksanaan ibadah berlangsung optimal. Namun yang juga mulai dikhawatirkan, adanya visualisasi hantu, setan, jin, arwah penasaran dan macam-macam lagi yang cukup banyak di sinetron yang dikemas religius tersebut. Masalah mulai muncul tatkala perubahan orientasi nilai-nilai agama menjadi bisnis mengandung sejumlah konsekuensi. Bisnis bagaimanapun akan berurusan dengan pangsa pasar tertentu. Bisnis juga berurusan dengan komoditas yang dijual untuk dikonsumsi. Dalam kaitannya dengan permasalahan komersialisasi agama, agama di sini menjadi komoditas yang dijual dengan membidik target pangsa pasar tertentu melalui sinetron religius. Nilai-nilai agama dengan demikian dikomodifikasi ke dalam wilayah-wilayah bisnis. Fokus tesis ini adalah mengungkap bagaimana proses komodifikasi nilai-nilai agama melalui sinetron Takdir Ilahi yang ditayangkan TPI dan melihat bagaimana kapitalisme mewujudkan nilai guna ke nilai tukar dalam sinetron Takdir llahi dengan teknis analisis Fairclough. Teori yang mendasari penelitian ini adalah ekonomi politik yang mengkhususkan pada praktek komodifikasi. Dan teori ekonomi politik tersebut, penulis juga mengaitkannya dengan teori media sebagai industri budaya dan industri ekonomi. Dalam level teks, penulis memfokuskan analisa pada teks-teks yang memiliki tanda hipersemiotika, karena penulis mencurigai tanda-tanda tersebutlah yang menjadi nilai tukar. Pada level produksi teks, penulis mewawancarai produser pelaksana dan penulis naskah, sutradara, ustad, dan pihak TPI yang diwakili oleh Programme Acquisition Dept. Head. Untuk konsumsi teks, penulis mewawancari dua orang wanita yang merupakan target audience dari TPI sendiri yaitu masyarakat menengah ke bawah dan seorang tokoh ulama yang memahami hadist, sebagai pembanding. Sedangkan untuk level sosial budaya, data diperoleh melalui studi literatur balk dari buku, intemet, dan media massa audio visual lainnya. Penelitian ini menyimpulkan hasil-hasil sebagai berikut : (1) Pada level teks, terlihatnya adanya penekanan pada visualisasi wujud-wujud gaib sebagai daya tank sinetron sekaligus dengan memasukkan unsur humor, agar penonton terhibur. Tema-tema yang diangkat menjadi sinetron kemudian didramatisir agar menarik khalayak untuk menyentuh mereka secara emosional dan individual. (2) Pada level produksi teks, pengaruh ektemal media, berupa rating dan share, dan kepentingan stasiun televisi menentukan performa dari sinetron tersebut. Bukti yang menunjukkan bahwa (3) Pada level konsumsi teks, berdasarkan wawancara mendalam, adanya multi plot membingungkan informan mengenai jaian cerita episode tersebut. Penulis juga pada level ini menunjukkan dengan membanjirnya iklan yang mendukung sinetron ini sehingga mendorong pihak TPI untuk memperpanjang durasi menjadi 90 menit. (4) Pada level sosial kultural, penulis mengamati pada level situasional, bagaimana program-program pada televisi Indonesia saat ini. Sehingga terjadi perubahan selera pemirsa terhadap program-program televisi yang selama ini dipenuhi tentang kekerasan, seks, dan mistik. Pada level institusi, penulis memaparkan tentang profit TPI yang mengganti imej yang lekat dengan kata pendidikan, berubah dengan lebih mementingkan unsur hiburan layaknya televisi-televisi swasta lainnya. Sedangkan pada level sosial, penulis melihat faktor-faktor sosial apa saja yang menyebabkan masyarakat menyukai sinetron yang dikemas religi. Pada kesimpulan, penulis melihat praktek komodifikasi nilai-nilai agama menjadi sebuah sinetron yang di kemas religius, sesungguhnya merupakan refleksi dari fenomena industri media televisi sebagai sebuah institusi bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Hasil penelitian ini memperlihatkan implikasi akademis komodifikasi program televisi yang bertema religius dengan menggunakan tanda-tanda hipersemiotika, dimana industri lebih mengutamakan keuntungan sebagai tujuan utamanya. Dari segi subjek penelitian, studi ini relatif memberikan ruang dan kesempatan kepada peneliti lainnya untuk mengeksplorasi dua entry point ekonomi politik komunikasi di luar komodifikasi, yakni spesialisasi dan strukturasi yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Dengan demikian, penemuan-penemuan berikutnya akan lebih memperkaya studi terhadap ketiga entry point tersebut, khususnya kajian ekonomi-politik media televisi. Dalam rekomendasi penulis mengungkapkan, diantara industri dalam mengembangkan kesamaan onentasi media, haruslah berfihak kepada masyarakat dalam program-program religiusnya, tidak hanya memperhatikan tinggi rendahnya rating agar tidak menyesatkan.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurbaya
Abstrak :
Persaingan antar media televisi telah mendorong pelaku media untuk berlomba-lomba menciptakan suatu suguhan yang menarik pemirsa untuk tetap berada di posisi yang menguntungkan. Berawal dari kesuksesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan inilah yang mengundang hadimya sejumlah pilihan sinetron Betawi dengan tema yang hampir seragam. Salah satunya cerita dan gambaran dari sinetron berlatar belakang kehidupan masyarakat Betawi yang berjudul Kecil kecil Jadi Manten, gambaran Betawi yang identik dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pinggiran, muncul melalui karakter tokoh yang memang bodoh, "bloon", suka kawin, sangat primitif dan tidak berbudaya serta berdialog dengan bahasa komunikasi yang dangkal. Hubungan sosial yang diungkapkan Iewat sinetron itu sudah menyimpang, kadang tidak lagi mengindahkan norma agama dan etika sosial. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan dengan metode kualitatif. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui proses produksi budaya yang terjadi dalam sinetron tersebut dan mengungkap alasan yang melatarbelakanginya. Untuk mengetahui proses produksi yang berlangsung dan alasan dibalik proses pembuatannya, maka tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dengan pihak produksi yang terdiri dari producer, sutradara sinetron kecil kecil jadi manten serta kru-kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi sinetron tersebut termasuk juga di dalamnya kepala unit manager dan beberapa pemain utamanya. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap budayawan Betawi dan praktisi Betawi untuk mengetahui gambaran dari realitas sosial yang sebenarnya. Penelitian ini menyimpulkan hasil atas wacana sinetron berlatar belakang budaya Betawi di televisi, memperlihatkan adanya penggambaran budaya Betawi yang termarjinalisasi dalam sinetron tersebut. Terdapat perbedaan persepsi tentang budaya Betawi yang ditampilkan oleh media dalam sebuah sinetron yaitu sinetron kecii kecil jadi manten dengan gambaran masyarakat Betawi yang sebenarnya. Karena tidak hanya terdapat pada masyarakat Betawi saja melainkan stereotype seperti itu juga ada pada masyarakat manapun. Tidak terkecuali masyarakat Jawa, Sumatera atau Madura. Temuan penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi sinetron kecil-kecil jadi manten hanyalah melanggengkan dan mengukuhkan ideologi dominan yang sudah ada yaitu ideologi yang menampilkan realitas imajiner bukan berdasarkan realitas faktual seperti pada kenyataan berdasarkan pada kebenaran. Dapat dikatakan bahwa produksi sinetron ini tidak memiliki keunikan secara substansial tentang nilai-nilai budaya Betawi namun hanya sekedar mencoba menampilkan keunikan setting atau nuansa cerita yang secara kebetulan mengambil nuansa ke-Betawi-an. Hal ini tampak jelas pada dialek para tokohnya dan gaya arsitektur bangunan rumahnya dan kesenian-kesenian yang mewamai jalan ceritanya. Meski sutradara berupaya keras menjaga rasionalitas alur cerita dengan menampilkan konflik-konflik yang dibuat menjadi seakan-akan wajar dan tidak berlebihan, namun secara keseluruhan tidak ada penggambaran makna dari subtansi nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya. Kondisi ini terjawab dengan melihat pada temuan di lapangan antara lain tidak ada konsep cerita yang diambil berdasarkan riset atau pengamatan mendalam terhadap nilai-nilai budaya Betawi yang sebenamya, pemilihan para pemain yang tidak memiliki standar jelas untuk menampilkan nilai-nilai budaya Betawi. Dan penulis cerita itu sendiri sekaligus merangkap sebagai sutradara bukan orang dengan latar belakang Betawi. Hal ini yang menyebabkan penggambaran tentang budaya dan kehidupan Betawi tidak sesuai dengan realitas seperti yang kebanyakan ada dalam kehidupan masyarakat Betawi yang sebenarnya. Pada akhirnya, semua ini memperlihatkan bahwa realitas media tidaklah muncul begitu saja, melainkan telah dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi yang kemudian dipengaruhi oleh struktur. Relasi-relasi yang terlibat dalam suatu proses produksi yang secara struktural pemilik modal adalah yang paling dominan, tetapi dalam penelitian ini pemilik modal tidak lagi menentukan proses pengambilan keputusan dengan kata lain tidak ada intervensi. Aktorlah yang secara leluasa menetukan performance suatu hasil karya produksi. Di sini yang menjadi dominan adalah persepsi di mana hasil persepsi tersebut akan menampakkan hasil produksi yang termarjinalisasi. Dengan demikian produksi wacana dalam sinetron Betawi kecil-kecil jadi manten yang berlatar belakang historis, sosial, dan ideologi tertentu akan rnmunculkan wacana tertentu pula dan bukan tidak mungkin akan berdampak secara kultural dan ideologis pada pengetahuan pemirsanya.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T22036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>