Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 15 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ega Dyas Nindita
Abstrak :
Taman Sari merupakan sebuah taman yang dibuat di masa Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). Hal yang kerap muncul di benak orang mengenai Taman Sari adalah sebuah tempat di mana seorang sultan memilih satu dari para selir yang berendam di kolam untuk kesenangan pribadinya. Kolam tempat para selir berendam sembari dipilih oleh sri sultan berada di sebuah bagian dari Taman Sari, yaitu Pasiraman Umbul Winangun. Pertanyaan yang muncul adalah: betulkah Pasiraman Umbul Winangun merupakan tempat di mana para selir berperan sebagai obyek bagi si sultan? Betulkah pasiraman tersebut merupakan sebuah ruang profan? Apa yang sebenarnya terjadi di pasiraman tersebut? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, dilakukan penelitian yang melibatkan studi literatur, observasi langsung di lapangan, wawancara, serta interpretasi. Periode yang difokuskan pada penelitian ini adalah Taman Sari di masa Sultan Hamengkubuwono I (pertengahan abad ke-18), karena masa itulah masa awal keberadaan Taman Sari dengan Pasiraman Umbul Winangun nya. Diskusi mengenai ruang dan gender yang selama ini banyak dijumpai lebih fokus pada kasus atau asumsi yang terjadi di dunia Barat. Terdapat perbedaan cukup mendasar antara kasus yang terjadi di Barat dan yang terjadi di Timur. Sebagai contoh kasus dalam tesis ini, wanita Jawa bukanlah wanita Eropa masa Victoria. Kajian terhadap aspek budaya Jawa, serta kaitannya dengan pandangan kosmologis Jawa, mengindikasikan adanya kesetaraan posisi antara pria dan wanita. Bagaimana Pasiraman Umbul Winangun ditempatkan pada kompleks Taman Sari juga mengindikasikan kesetaraan tersebut. Hasil analisis saya menemukan bahwa posisi Pasiraman Umbul Winangun tepat berada di sebuah persimpangan, di mana dua buah axis, axis yang dilewati oleh Sultan (Utara-Selatan) dan axis yang dilewati oleh klangenan (Timur-Barat), saling bertemu. Sumbu dari suatu perempatan memiliki makna sakral bagi banyak kebudayaan di Nusantara, tak terkecuali Jawa. Terkait dengan itu, kesetaraan peran antara Sultan dan klangenan di Pasiraman Umbul Winangun terindikasikan. Dari situ disimpulkan bahwa ruang pada pasiraman tersebut bukanlah ruang yang bersifat pria-sentris.
Taman Sari is a garden founded during the reign of Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792). What comes up in mind when Taman Sari is mentioned is a place where the sultan chose one of his klangenans (concubines), who were in the pools, for his personal pleasure. The pools where the concubines bathed prior getting chosen by the sultan are located at a part of Taman Sari: the Pasiraman Umbul Winangun. Questions then came up: is it true that Pasiraman Umbul Winangun was a place where the concubines acted as objects for the sultan? Is the pasiraman (bathing place) really a profane space? What did really happen at the pasiraman ? In order to answer these questions, a research was conducted, involving literary studies, field observation at Taman Sari, interviews, and interpretation. The research focused on Taman Sari during the time of Sultan Hamengkubuwono I (mid 18th century), for it is the initial period of Taman Sari?s presence with its Pasiraman Umbul Winangun. Most discussions on space and gender tend to touch upon Western cases, or assumption of such cases. There is a basic difference between Western and Eastern cases in such subject. In the case discussed in this thesis, Javanese women were not European women of Victorian era. Studies on aspects of Javanese culture, with their relation to Javanese cosmological view, indicate that women were not that inferior to men. The manner in which Pasiraman Umbul Winangun is located within Taman Sari complex also indicates such lack of inferiority; My analysis found that the position of Pasiraman Umbul Winangun is located at the crossing where two axes?the one passed through by the Sultan (North-South) and the one passed through by klangenans (East- West)?meet. Such crossing has a sacred meaning in many cultures of Indonesia, including in Java. In relation to that, equality in roles between the Sultan and the klangenans is indicated. Based on this, it is concluded that the pasiraman was not a phallus-centric space.
2010
T40871
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Josef Prijotomo, 1948-
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995
720.9598 JOS p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Pada hal lain diterangkan bahwa, naskah ini berisi teks yang menguraikan tata cara pembuatan rumah Jawa berdasarkan tradisi lama, yang sesuai dengan ukuran dan perhitungan dari abdidalem Kalang, yang juga dipakai untuk perumahan Keraton Surakarta. Dikutip dari buku patokan R. Sasrawiryatma di Surakarta, ditambah dengan beberapa contoh kerangka bagian-bagian rumah, antara tahun 1858-1928. Teks diawali dengan keterangan tentang rumah taju yang berarti mahkota, yang lalu dikenal sebagai tajug. Rumah tajug ini berkembang menjadi bentuk joglo (taju loro, jug-loro), limasan (dari kata limansap, gajah rangkap), dhapur kampung (berasal dari kata kapung, empyak katepung), kampung bali; dilanjutkan dengan keterangan tentang ukuran blandar pangeret (blandar alang) (h.10); pembuatan tiang (h. 13); pembuatan umpak (landasan) (h. 17); pembuatan sunduk (pelancar) (h.19); pembuatan santen (h.20); pembuatan ganja (h.22); pembuatan molo (bubungan) (h.23); pembuatan ander (kuda-kuda) (h.24); pembuatan dudur (kayu penyangga atap serongan) (h.26); tentang takir tadhah elas (h.28); balandar pananggap dan kasau rumah joglo (h.29); balandar pelancar rumah limansap (limasan) (h.31); balandar pananggap dan pelancar serambi rumah limasan (h.32); balandar pananggap atau pelancar rumah taju (h.32); balandar serambi rumah taju (h.33); tumpangsari (balok bersusun, bagian rumah limas-an) (h.33); usuk (kasau) (h.33); ereng (kasau melintang) (h.39); genting sirap (h.40); plisir (petam) (h.42); bubungan (h.43); cukit rumah (h.45); tutup-keyong (segitiga di sisi atap) (h.46); kayu yang akan dibuat kerangka (h.48); kalang (h.49); jumlah dhapur (bangun) rumah (h.51); sesaji (h.53); nama kayu jati, kayu yang baik/jelek (h.54). Disebutkan bahwa nama seluruh bagian rumah keseluruhan berjumlah sekitar 85 macam. Pada h.i disebutkan bahwa, naskah ini berisi teks salinan dari naskah Jawa pada tahun 1938. Babonnya adalah MSB/F.25. Dalam Kata Pengantar disebutkan bahwa penulis menyalin dari bukti milik orangtuanya. Selain R. Sasrawiryatma, juga tertera nama Hardasastra sebagai carik, dan Hardapranama sebagai mantri.
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
KR.25-G 156
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Teks ini berisi uraian tentang rumah Jawa, di antaranya tentang: sejarah asal mula adanya rumah di Jawa, jenis kayu, atap dan cara pemilihannya agar awet dalam pemeliharaan, peraturan membuat rumah menurut aturan negara yang berhubungan dengan penyakit pes, nama-nama rumah, nama-nama kayu (balungan) dan peralatannya, cara-cara menegakkan rumah dalam keadaan miring (doyong), serta bab selamatan (sesajian) sebagai syarat mendirikan bangunan rumah. Naskah ditulis oleh Raden Kartahatmaja di kampung Sentul, Pakualaman, Yogyakarta pada tanggal 27 Juni 1931, kemudian oleh staf Pigeaud dibuatkan salinan ketikannya sebanyak empat eksemplar, pada bulan November 1931, di Yogyakarta. Kini FSUI menyimpan dua diantaranya, yaitu A 25.02a dan b. Hanya naskah (a) yang dimikrofilm. Untuk naskah lain yang sama judulnya, lihat LOr 8973.2.
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
KR.33-A 25.02a
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Naskah merupakan salinan dari naskah milik Dr. W.F. Stutterheim, kini naskah tersebut tidak diketahui keberadaannya. Keterangan nama penyalin, tempat dan tarikh penyalinan naskah, juga tidak diketahui. Teks berisi tata cara pembuatan rumah Jawa menurut tradisi, mulai dari cara pemilihan kayu, cara menebang, ukuran kayu, ukuran rumah, pemilihan hari-hari yang baik untuk mendirikan rumah, persyaratan lain yang dibutuhkan untuk mendirikan rumah. Naskah lain dengan pembahasan sama dapat dilihat pada FSUI/KR.23 dan MSB/LL.12.
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
KR.35-A 9.06
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Movita
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
S48961
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josef Prijotomo, 1948-
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1984
720.959 8 JOS i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Josef Prijotomo, 1948-
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988
720.959 8 JOS i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Almy Birama Jufaransyah
Abstrak :
Masjid merupakan sebuah tinggalan arkeologis yang dapat menjelaskan bagaimana agama Islam berkembang di suatu daerah. Agama Islam yang berkembang di pulau Jawa merupakan wujud akulturasi dari penyesuaian terhadap agama dan kebudayaan sebelumnya. Penyesuaian kebudayaan yang dihasilkan dari sebuah proses akulturasi tersebut terlihat dari adanya beberapa komponen masjid yang menunjukkan corak-corak kebudayaan yang berbeda. Pada bagian atap masjid terdapat gaya Tionghoa yaitu atap Tsuan Tsien, pada bagian ruang inti masjid terdapat banyak unsur kebudayaan Jawa, dan pada bagian mihrab dan ragam hias terdapat unsur Timur Tengah. Berdasarkan hasil analisis mengenai dua aspek yaitu arkeologi dan akulturasi, dapat disimpulkan bahwa Masjid Jami Lasem merupakan wujud dari sebuah masjid yang merangkul semua golongan masyarakat, dan merupakan wujud dari cerminan masyarakat multikultural.
The mosque is an archaeological heritage that can explain how Islam developed in this area. The Islamic religion that flourished on the island of Java was a form of acculturation from adaptation to previous religions and cultures. The result of  an acculturation process is proven from the existence of several components of the mosque that show different cultural elements. On the roof of the mosque there is a Chinese elements called the roof of Tsuan Tsien, in the center space of the mosque there are many elements of Javanese culture, and in the mihrab and ornaments of the mosque there are elements of the Middle East culture. Based on the analysis of two aspects of archeology and acculturation, it can be concluded that Jami Lasem Mosque is a form of a mosque that embraces all community groups, and is a manifestation of the reflection of multicultural society.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giovaldi Ramadhan
Abstrak :

Tugas akhir ini ditulis dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan penulis yang telah didapat selama masa pembelajaran di Arsitektur. Pembelajaran akan kondisi arsitektur vernakular di Indonesia terasa penting untuk diketahui oleh mahasiswa arsitektur. Arsitektur Vernakular merupakan sebuah arsitektur yang berkembang dari kondisi etnik and tradisi, yang dimana dibuat oleh tukang yang berpengalaman dengan menggunakan teknik dan material yang berada di sekitaran dan lingkungan bangunan arsitektural tersebut berasal yang kian menemui proses transformasi. Di beberapa tempat di Indonesia,bangunan vernakular mendekati kepunahan, beberapa terjadi akibat dampak dari bencana alam, transformasi, atau adanya kehadiran keinginan untuk mengembangkan hal-hal yang lain. Isu-isu tersebut menurut penulis terasa sangat menarik untuk di analisa lebih lanjut, berawal dari bagaimana Arsitektur Vernakular tersebut berkembang hingga saat ini dan berbagai penanganan untuk mempertahankannya. Dokumentasi adalah salah satu cara untuk mencegah kepunahan dari Arsitektur Vernakular dan sudah digunakan sejak masa lalu.


This final report is written for the purpose of describing the writer knowledge in which have obtained during this Thesis period. This knowledge is important for students to know the condition of vernacular architecture in Indonesia. Vernacular Architecture is architecture that grew and evolved from folk architecture born of ethnic and community rooted in ethnic traditions, as well as built by builders based on experience, using techniques and materials local as well as is the answer to the environmental setting of the building is and always open to the onset of transformation. In several places in Indonesia, vernacular buildings are nearly extinct, due to natural disasters, transformation, or the presence of other interests. This are the issues which in the writer opinion is quite interesting to analyze, how an original vernacular developed until today and how to preserve its existence. Documentation is one way to preserve the extinction of vernacular architecture and has been developing since ancient.

Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>