Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 718 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Utami Andayani
Abstrak :
Sungai sejak bertahun-tahun Iamanya telah menjadi tempat penampungan berbagai bahan buangan, yang paling berbahaya adalah bahan buangan anorganik, karena umumnya berupa limbah yang tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila limbah ini dapat masuk ke dalam perairan, maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam dalam air. Air yang mengandung ion-ion logam tersebut sangat berbahaya bagi tubuh manusia dan tidak dapat dimanfaatkan bagi peruntukan apapun, termasuk air rninum. Sayuran merupakan salah satu bahan pangan yang relatif murah dan dikonsumsi secara Iuas. Dari beragam jenis sayuran yang dijual di wilayah DKI Jakarta, di antaranya berasal dari bantaran sungai yang telah tercemar. Kangkung merupakan tanaman sayur yang cukup banyak diminati masyarakat yang berdomisili di Jakarta Pusat, karena memiliki rata-rata produksi yang tinggi dibandingkan dengan komoditi sayur lain seperti bayam dan sawi. Sempadan Sungai Ciliwung bagian hilir di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang sering digunakan sebagai kawasan sungai untuk menanam kangkung dan daerah tersebut memiliki jumlah penduduk sangat padat. Permasalahan mengenai lingkungan semakin terasa seiring dengan dirubahnya kawasan hutan lindung menjadi kawasan permukiman dan persawahan atau penyedia pangan lainnya. Permasalahan akan menjadi lebih kompleks dengan terjadinya pencemaran air oleh limbah domestik maupun industri. Masalah dalam penelitian ini dirumuskan melalui pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana kandungan timbal dalam kangkung di sempadan Sungai Ciliwung; dan bagaimana faktor sosial ekonomi petani penggarap mempengaruhi pengelolaan sayur kangkung di sempadan Sungai Ciliwung. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kandungan timbal (Pb) pada daun kangkung yang ditanam di sempadan Sungai Ciliwung, sebagai dampak penggunaannya menjadi lahan pertanian dan faktor sosial ekonomi petani penggarap. Hasi1 penelitian diharapkan berguna bagi petani penggarap, pedagang, dan konsumen sayur untuk memperoleh informasi mengenai umur tanaman yang dapat dipanen dan jarak lokasi tanaman kangkung dari tepi sungai yang paling sedikit mengandung timbal. Selain itu, bagi Pemerintah Daerah DKI Jakarta, khususnya Suku Dinas Pertanian Jakarta Pusat, dapat menggunakan informasi ini untuk mengelola kawasan tersebut. Hipotesis dalam penelitian ini adalah kandungan timbal tertinggi dalam daun kangkung yang ditanam pada jarak terdekat dari sempadan sungai dan makin tua umur tanaman kangkung, makin tinggi kandungan timbal. Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dan survei deskriptif. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetahui kandungan timbal dalam daun kangkung dan penelitian survei deskriptif untuk mengetahui kondisi sosial dan ekonomi petani penggarap tanaman kangkung. Penelitian dilakukan di lokasi pertanian kangkung di kawasan sempadan Sungai Ciliwung bagian hilir yang secara administratif termasuk Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dilaksanakan selama tiga bulan, dari bulan Mei sampai Juli 2001 yang meliputi survei pendahuluan selama satu bulan, kegiatan penanaman dan pengambilan contoh selama satu bulan, dan analisis di laboratorium selama satu bulan. Parameter yang diukur dalam penelitian eksperimen adalah kandungan timbal dalam daun kangkung. Tanaman kangkung yang dicabut untuk diukur kandungan timbal pada daun, adalah tanaman kangkung umur 7, 17 dan 25 had setelah tanam kemudian ditanam pada lokasi' berjarak 10 meter, 20 meter dan 30 meter dari tepi sungai. Sedangkan untuk pengambilan data sosial ekonomi dilakukan secara purposive dan berdasarkan kesediaan menjadi responden, sehingga hanya dilakukan pada lima (5) orang petani penggarap yang melakukan usahatani kangkung di sempadan sungai. Jenis data yang dikumpulkan ada dua jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan berpedoman pada suatu daftar pertanyaan (kuesioner) dan juga dilakukan pengamatan langsung (observasi) untuk melengkapi data primer. Analisis data yang digunakan adalah analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Setelah dilakukan analisis contoh di laboratorium, maka dilakukan uji statistik terhadap data yang diperoleh untuk mengukur perbedaan tingkat kandungan timbal yang berasal dari ketiga petak yang berbeda jarak lokasi dan umur tanaman dengan menggunakan ANOVA dari program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 10.00. Petani penggarap yang menjadi responden umumnya tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta dan berasal dari sekitar Bogor. Umur rata-rata responden adalah 40 tahun, dengan kisaran antara 30 sampai 60 tahun dan memiliki tingkat pendidikan umumnya tamat Sekolah Dasar. Alasan responden melakukan usahanya di kawasan sempadan sungai, karena tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam dan tidak memiliki pekerjaan lain, yang sesuai. Sebagian responden tidak memiliki pekerjaan tambahan, namun ada juga yang mempunyai pekerjaan sambilan sebagai pedagang atau buruh. Responden lebih memilih menanam kangkung karena panen lebih sering berhasil dibandingkan dengan menanam jenis sayuran lain, selain itu panen juga relatif pendek, hanya 25 hari. Komoditi kangkung paling mudah terjual dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat. Pendapatan yang diperoleh responden dari sekali panen, besarnya mencapai Rp 300.000,- sampai Rp 350.000,- dengan masa panen antara 25 sampai 27 hari. Kandungan timbal dalam daun kangkung berumur 7 hari tidak diperhitungkan, karena jumlahnya sangat kecil yaitu < 0,2 ppm. Untuk kandungan timbal dalam daun kangkung yang berumur 17 hari setelah tanam (2,33 ppm) dengan daun kangkung yang berumur 25 had, setelah tanam (2,58 ppm) pada jarak tanam 10 meter dari tepi sungai menunjukkan adanya perbedaan yang berarti. Namun, tidak demikian halnya untuk kangkung berumur 17 hari setelah tanam (1,5 ppm) dengan kangkung berumur 25 hari setelah tanam pada jarak tanam 20 meter dari tepi sungai (0,93 ppm) dimana tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan. Untuk kadar Pb antara kangkung berumur 17 hari setelah tanam (0,93 ppm) dengan kangkung berumur 25 hari setelah tanam (1,55 ppm) pada jarak 30 meter dari tepi sungai juga ditemukan tidak adanya perbedaan. Berard dapat disimpulkan, hanya untuk jarak 10 meter dari sempadan sungai, makin tua umur tanaman kangkung makin tinggi kandungan timbalnya. Mengenai kadar Pb antara kangkung yang ditanam pada jarak 10 meter (2,33 ppm), 20meter (1,2 ppm) dan 30 meter (0,93 ppm) dari tepi sungai pada umur 17 hari setelah tanam terdapat adanya perbedaan. Demikian juga dengan kadar Pb pada umur 25 hari setelah tanam, untuk jarak 10 meter (2,58 ppm), 20 meter (0,93 ppm) dan 30 meter (1,55 ppm) ditemukan adanya perbedaan. Berarti dapat disimpulkan bahwa kandungan timbal tertinggi dimiliki oleh daun kangkung yang memiliki jarak terdekat dari sempadan sungai.
For years river has been the reservoir of various kinds of waste, the most dangerous ones being non-organic materials that generally comprise non-decomposable Matters that are not easily degraded by microorganism. If such waste is allowed to enter waterways, it will increase the level of lead ions in the water, Water containing lead ions is highly dangerous for human body and cannot be utilised for whatever purposes, including for drinking water. Vegetables are relatively inexpensive food stuff that are widely consumed. Some of the various types of vegetables popularly sold within the DKI Jakarta region, originate from polluted riversides. Kangkung (ipomoea reptans Poir) is a popular vegetable plant among the population of Central Jakarta as it has an average high production compared with other vegetable commodities such as local spinach (bayam) and mustard greens (saws). The downstream riverside areas of Ciliwung at the Kelurahan (town council) of Kebon Kacang, Kecamatan (sub-district administration) of Tanah Abang, are often used for kangkung farmland. This area is also densely populated. Environmental problems are increasingly felt along with the changing of conservation forest zones into residential areas and rice fields or other food supply areas. Problems will complicate further with the water pollution caused by domestic and industrial wastes. The problems covered in this research is defined into the following questions: How far is the impact of the lead content in kangkung planted by the riversides of Ciliwung; and how do the social-economic factors of the kangkung farm labours affect the production process of kangkung by the riversides of Ciliwung? The objectives of this research are to find out the lead (Pb) content in kangkung leafs planted by the riversides of Ciliwung, as the impact of the use of the area as farmland, and the social-economic factors of the farm labours. The finding of this research is expected to render benefits for vegetable working farmer, traders and consumers by providing information on the harvesting age of the plant and the ideal distance for kangkung plant from the riverside with the minimum lead content. Furthermore, the information gathered in this research may also be made use of by the Municipal Government of DKI Jakarta, especially the Agricultural Sub Bureau of the Central Jakarta in managing the riverside areas. The hypothesis of this research is that the highest lead content level is found in kangkung leafs planted at the closest distance from the riversides, and the older the age of the kangkung plant is, the higher is the lead content level. The methods used in this research were by experimental study and by descriptive survey. Experimental study was conducted to find out the lead content in kangkung leaf, whereas the descriptive survey was applied to find out the social-economic condition of kangkung farm labours. This research was performed at the location of kangkung farmland in the downstream area of Ciliwung riversides administratively belonging to the Kelurahan of Kebon Kacang, Kecamatan of Tanah Abang, Central Jakarta. The research lasted three months, from May up to July 2001, comprising one month preliminary survey, one month planting and sampling, and one month laboratory analysis. The measuring parameter used in this experimental research was the lead content level in kangkung leaf. Kangkung plant picked for the measuring of lead content in the leafs comprising those of 7, 17 and 25 days old after planting, that were planted at the location of 10, 20 and 30 meters distance from the riverside. The social-economic data collection was performed by purposive method and was based on the willingness of the respondents. As such, it was only taken from 5 farm labours who lived by planting kangkung by the riversides. There were two types of data collected, namely: primary data and secondary data. Primary data were collected through interviews using questionnaires as a guideline, and through direct observation in completing the primary data. Data analysis was made using qualitative and quantitative methods. After laboratory analysis was completed, statistic test was made on the obtained data in order to measure the different levels of lead content originating from three planting patches of different distances from the riverside, with different plant ages, using ANOVA method of version 10.00 of Statistical Product and Service Solutions (SPSS) program. Farm labours among the respondents generally did not have any DKI Jakarta citizen identity card, and most of them came from Bogor. The average age of the respondents were 40 years, ranging from 30 to 60 years old, having a general educational level of finishing elementary school. The reason of the respondents for farming by the riverside was that they did not have any land for farming and they did not have any other suitable work alternatives. Part of the respondents did not have any other additional work, however some did have sideline work as traders or labourers. The respondents preferred planting kangkung as the harvest was more often successful compared with other vegetable crops, and the harvest took relatively shorter period of only 25 days. Kangkung as commodity sells best and is consumed by all levels of people. The respondents' income from one harvesting amounted to Rp. 300,000,- up to Rp. 350,000,- with harvesting period ranging from 25 to 27 days. The lead content in kangkung leaf of 7 days old was not included in this research, since the level is relatively small being only <0.2 ppm. Significant difference was found in the lead content of kangkung leafs of 17 days old after planting (2.33 ppm) and those of 25 days old after planting (2.58 ppm), planted at a location of 10 meters from the riverside. However, there was no significant difference found in kangkung leafs of 17 days old after planting (1.5 ppm) and those of 25 days old after planting (0.93 ppm) planted on a location of 20 meters from the riverside. No difference was found in the Pb levels in kangkung leaf of 17 days old after planting (0.93 ppm) and in those of 25 days old after planting on a location of 30 meters from the riverside. Therefore, it may be concluded that with the planting location of only 10 meters from the riverside, the older the kangkung planting age is, the higher is the lead content level. There are differences in the Pb levels between kangkung being planted on a location of 10 meters from the riverside (2.33 ppm), and those planted on a location of 20 meters from the riverside (1.5 ppm), and those on a location of 30 meters from the riverside (0.93 ppm) of 17 days old from planting. Similarly with the Pb levels of the plant at the age of 25 days after planting for planting locations of 10 meters (2.58 ppm), 20 meters (0.93 ppm) and 30 meters (1.55 ppm) from the riverside. It may be concluded that the highest lead content level is found in kangkung leaf planted at a closest distance from the riverside.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T555
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati Amir
Abstrak :
Lingkungan hidup dengan seluruh komponennya yang saling bergantung satu sama lain haruslah selalu dalam keadaan seimbang. Upaya pemenuhan kebutuhan penduduk meningkatkan pembangunan gedung dan perkerasan di seluruh penjuru kota sehingga lugs lahan yang diperuntukkan bagi hutan, jalur hijau, taman, dan jenis RTH lainnya semakin berkurang. Ketidakseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan ini tentu mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, seperti iklim mikro yang tidak menyenangkan, karena Iuas permukaan yang menimbulkan suhu tinggi (struktur dan perkerasan) semakln bertambah sementara luas permukaan yang menimbulkan suhu rendah (tumbuhari dan air) semakin berkurang. Karena nilai lahan di kawasan perkotaan semakin tinggi dan tidak nyaman untuk menjadi kawasan permukiman, maka semakin banyak kawasan permukiman dibangun dl pinggir kota, contohnya Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Walau banyak pengembang berlomba menawarkan konsep hunian yang ramah lingkungan, kenyataannya, perencanaan RTH masih memprioritaskan aspek estetika dibandingkan aspek ekologis. Untuk mengefektifkan fungsi ekologis dari RTH, khususnya fungsi pengendalian iklim mikro (biasa dlsebut fungsi klimatologis), maka kualitas RTH ini perlu ditingkatkan karena mempertimbangkan kecukupan dari aspek luas saja tidak memadai. Dengan demikian, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman KTBJ? Apa tanggapan warga KTBJ terhadap RTH yang sudah ada berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologlsnya? Bagaimana memperbaiki kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman? Mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya waktu, tenaga, dan Jana fungsi ekologis yang akan diteliti dibatasi pada fungsi pengendalian iklim mikro (fungsi klimatologis) karena lebih sesuai dengan permasalahan yang ada di lokasi studi. Tujuan dari penelitian ini adalah: Mengevaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH (seperti luas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan potion, dan perkerasan) dengan membandingkan terhadap literatur yang ada. Mengetahui tanggapan warga tentang kondisi RTH di kawasan permukiman yang diteliti berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologisnya. Mencari konsep penataan RTH yang bisa meningkatkan efektivitas fungsi ekologis yang sesuai bagi kawasan permukiman. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah dan pengembang dalam pengelolaan RTH di kawasan permukiman. Penelitian ini adalah penelitian penilaian yang bertujuan untuk menilai suatu program, dalam hal ini adalah program pembangunan RTH di kawasan permukiman. Obyek yang akan dinilai RTH di kawasan permukiman balk secara keseluruhan maupun beberapa jenis RTH secara individu. Varlabel penelitian ini adalah faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, khususnya fungsi klimatologis, yaitu Iuas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan pohon dan perkerasan. Penilaian akan mengacu pada kriteria penliaian yang dibuat berdasarkan literatur. Lokasi penelitian adalah kawasan permukiman terencana yang akan berkembang menjadi permukiman berskala besar, yaitu Kota Taman 8intaro Jaya. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti jurnal, buku teks, laporan seminar, lembaga terkait, maupun data dart pengelola. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan lapangan dan wawancara (wawancara intensif dengan pihak pengelola kawasan permukiman, serta tenaga ahli yang berkaitan dengan studi dan wawancara dengan warga yang dipandu dengan daftar pertanyaan). Evaluasi terhadap Iuas dan distribusi RTH dilakukan dengan menggunakan data citra satelit terhadap kawasan permukiman secara keseluruhan. Luas penutupan vegetasi di kawasan permukiman ini dominasi oleh pohon-pohon dan rumput. Areal berpohon lebih kurang 11,5% sedangkan rumput/semak lebih kurang 93% dan nilainya termasuk kategori sedang. Karena jumlah areal berpohon tersebut hanya 38 % dari Iuas minima! yang disarankan, maka daerah berpohon masih perlu ditambah. RTH jugs belum terdistribusi dengan baik. Penutupan tajuk pohon hanya dominan di sektor terbaru, yaitu sektor 9 di sektor lain, penutupan pohon hanya tampak di sepanjang saluran air sehingga nilai variabel ini termasuk rendah. Evaluasi terhadap faktor lain dilakukan melalui pengamatan pada beberapa jenis RTH yang dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk jalur (jalur hijau jalan utama, jalur hijau jalan lingkungan, dan jalur hijau tepian air) dan bentuk zonal (taman kingkungan dan taman kota). Struktur sebagian besar RTH termasuk kategori sedang (strata 3). bentuk tajuk sebagian besar RTH termasuk kategorl sedang. Kerapatan pohon rata-rata RTH termasuk sedang. Satu-satunya faktor penentu yang nilainya tinggi adalah perkerasan pada area! RTH, yaitu kurang dari 10% untuk RTH berbentuk Jalur dan kurang dad 30% untuk RTH berbentuk zonal. Evaluasi terhadap tanggapan warga menunjukkan bahwa hampir semua responden memilih tinggal di KTBj karena mengidamkan daerah hunian yang nyaman. Diantara responden yang diwawancarai, hanya sebagian kecil yang menyadari bahwa RTH bisa berfungsi sebagai pengendali iklim mikro, mereka lebih mempersepsikan RTH sebagai peneduh Baja. Namun, persepsi yang cukup balk tentang fungsi ekologis lain tampaknya cukup untuk membuat warga menyadari pentingnya RTH untuk menjamin keberlanjutan sebuah kawasan permukiman. Hampir semua responden lebih menyukai jalan lingkungan yang diteduhi oleh pohon rindang daripada yang tidak diteduhi pohon, sementara preferensi untuk taman lingkungan hampir sama. Pemanfaatan jalur hijau jalan Iingkungan masih terbatas pada pagi dan sore harl, sementara berjalan kaki di jalan utama terbatas hanya untuk aktivitas sehari-hari pada beberapa responden. Kunjungan ke taman lingkungan masih terbatas pada aktivitas anak-anak balita, sedangkan taman kota yang selalu ramai pada had libur masih jarang dikunjungi oleh responden. Semua responden menyadari pentingnya keterlibatan warga di dalam keberhasllan program penghijauan di kawasan permukiman namun hanya sebagian kecil yang benar-benar mau terlibat secara aktif. Sebagian menganggap hal itu sebaiknya dilakukan secara terkoordinir melalui RT misalnya. Secara umum seluruh responden juga menganggap perlu perbaikan di sana sini agar motto kawasan permukiman ini sesuai dengan kenyataannya. Kondisi faktor-faktor penentu fungsi ekologis yang perlu dilakukan karena fungsi pengendalian iklim mikro yang tidak efektif bisa menimbulkan masalah Iingkungan yang lain sehingga perbaikan perlu segera dilakukan diantaranya dari aspek fisik maupun sosial. Sintesis aspek fisik antara lain dengan pembangunan taman hutan, membangun sistem jaring RTH: perbaikan struktur, bentuk tajuk, dan kerapatan pohon, serta mernbuat zonasi pada ruang RTH berbentuk zonal, terutama taman kota. Sintesis aspek sosial meliputi peningkatan peranserta masyarakat serta kampanye penghijauan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Kesimpulan penelitian ini adalah: Evaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, dalam hal Ini fungsi klimatologis, pada RTH di kawasan permukiman menunjukkan bahwa luas termasuk kategori sedang, distribusi termasuk kategorl rendah, struktur termasuk kategori sedang, bentuk tajuk termasuk kategorl sedang, kerapatan palm termasuk kategori sedang, dan perkerasan termasuk kategori tinggi. Evaluasi terhadap masalah warga menunjukkan bahwa kondisi RTH saat ini masih belum sesuai dengan motto "Hidup Ivyaman di Alam Segar' sehingga diperlukan banyak perbaikan dari segi kuantitas dan kualitas. Peningkatan efektivitas fungsi ekoiogis RTH, dalarn hat ini fungsi klimatologis, dapat dilakukan dengan perbaikan secara fisik dengan meningkatkan kualitas RTH yang ada maupun dari aspek sosial untuk menjamin keberlangsungan perhatian warga terhadap keberhasilan program penghijauan yang dijalankan.
Environment, which it's components are depending on each other, must always be in a dynamic balance. Efforts to meet citizens needs have caused increasing development of structures dan pavements all around the cities so that woodlands, greenbelts, parks, street trees, and any kind of green open space have been decreasing. Disturbance to the balance can cause environmental problems, such as, mlcroclimatic problems due to the domain of high surface temperature (structures and pavements) is getting wider and the contrary, the domain of low surface temperature (plants and water) is getting less. Since the price of land in cities is extremely expensive and on the other hand, comfortable is decreasing gradually, many new planned communities built In the hinterland, for example Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Although the developers compete to create ecological sound communities, the fact is, aesthetical aspect in green open space planning still has priority over ecological aspect. To activate the ecological functions of green open space, especially climatological functions, we have to enhance It's quality because the consideration of land size alone seems not enough. Therefore, the problem statements are as follows: What is the condition of determinant factors of green open space ecological function effectiveness in KTBJ? What is the inhabitants' comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness? How to improve the condition of determinant factors of greenspaces ecological function effectiveness in KTBJ? Considering the limitation of resources, the evaluation of ecological functions is focused only on climatological functions which are more suitable with environmental issues in study area. The aims of this study are: To evaluate the determinant factors of green open space ecological function effectiveness, such as area, distribution, structure, crown form, tree density, and pavement, by comparing them to the literature available. To find out the inhabitant comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness. To look for suitable green open space planning concept to improve the effectiveness of ecological functions in KTBJ. The results are expected to be useful for the consideration in green open space planning and development in planned communities. This is an evaluation research with the objective is to evaluate the green open space development program in a settlement area. The objects evaluated are the community green open space in a total area and some kinds of green open space individually. The variables are determinant factors of green open space ecological functions effectiveness, especially, climatological functions, such as area, distribution, structure, canopy form, trees density and pavement. Evaluation will be based on conditions recommended by previous researches. The study area was a planned community which growing into big scale community, Kota Taman Bintaro Jaya, Tangerang, Banten. Secondary data were collected from many sources, such as journals, text books, seminar proceedings, proper institution, etc. Primary data were collected from field observation and interviews (deep interview with the developers and professionals; structured interview with the inhabitants). Evaluation on area and distribution of green open space was conducted by using the remote sensing visual data. Vegetation coverage is classified into two classes, trees and lawn/shrubs. Trees occupied the scene as much as 11,5%, white lawn/shrub occupied only 9,3%. Since tree coverage was only 38% from minimum percentage recommended, than it needs to be broadened. The green open space are not well distributed. The largest trees area was located only in newest sector (IX Sector). In other sectors, trees coverage appeared only along the water bodies. Evaluation on other key factors were conducted by observing some kinds of green open space grouped into two forms. They were line (street trees in main and neighborhood streets, and stream corridors) and zonal (neighborhood and community parks). The structure in most of the green open space was medium level (consists of three-layered vegetation: lawn, shrubs and trees). The crown form was medium level. The trees density also was medium level. The pavement was high level (less than 10% for line and less than 30% for zonal) . Evaluation on inhabitants aspect showed that almost all of the inhabitants chose to live in this community to have a comfortable living. The motto "Comfortable Living in a Fresh Nature" itself, effected more to their expectation for a better quality of the green open space. Only some of the respondents aware that green open space have microclimatic functions, they percepted it only as shading. They know about other green open space ecological functions such as erosion controller, oxygen producers, Those perceptions seemed enough to build their awareness about the importance of
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustiawan Anis
Abstrak :
Salah satu hasil penting KTT Bumi (1992) adalah menempatkan aspek lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perdagangan barang dan jasa, dan melahirkan suatu pendekatan baru dalam pengelolaan lingkungan, yaitu pendekatan berorientasi pasar (market-based oriented). Pendekatan tersebut melahirkan preferensi baru dalam pengaturan standar-standar lingkungan yang berlaku global dan bersifat sukarela (voluntary), serta digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional. Salah satu standar lingkungan internasional tersebut adalah standar manajemen lingkungan seri ISO-14000, dan salah satunya adalah standar sistem -manajemen lingkungan (SML) ISO-14001. SML ISO-14001 merupakan salah satu alat atau perangkat manajemen lingkungan guna mencapai perbaikan berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengendalian dampak lingkungan (continual improvement). Penerapan SML ISO-14001 relatif baru, sejak terbit tahun 1996 sampai pertengahan tahun 2000 diperkirakan lebih dari 14,000 organisasi di dunia telah meraih sertifikat SML ISO-14001, dimana 70 organisasi diantaranya berada di Indonesia. Dalam penerapannya, beberapa kalangan masih meragukan efektifitas penerapan SML ISO-14001 dalam mendukung tercapai dan terpeliharanya perbaikan lingkungan yang berkelanjutan (continual improvement). OIeh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti perkembangan penerapan SML ISO-14001 pada organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001. 2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan pada tiga organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun adalah: a. Untuk mengetahui tingkat perkembangan penerapan SML ISO-14001; b. Untuk mengetahui pola kinerja lingkungan (operasional); c. Untuk mengetahui tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan; d. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh setelah menerapkana dan meraih sertifikat SML ISO-14001 3. Hipotesis Hipotesis kerja penelitian adalah organisasi yang telah menerapkan dan meraih sertifikat SML ISO-14001 paling sedikit dua tahun memiliki: a. Perkembangan SML yang lebih baik dari persyaratan minimun standar ISO-14001; b. Pola kinerja lingkungan (operasional) yang cenderung semakin membaik dari waktu ke waktu; c. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan yang cenderung semakin meningkat dari waktu ke waktu; d. Manfaat nyata penerapan SML. 4. Metode Penelitian Objek penelitian dibatasi pada 3 (tiga) organisasi industri yang telah memperoleh sertifikat SML ISO-14001 dan telah menerapkan SML paling sedikit dua tahun, serta berlokasi di wilayah Jabotabek. Lingkup periode waktu yang diteliti pada objek penelitian adalah sejak SML pertama kali diterapkan sampai waktu penelitian dilaksanakan. Instrumen penelitian divalidasi oleh lima ahli di bidang metodologi penelitian dan SML ISO-14001. Sebelas Orang ahli melakukan penilaian tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001 dengan metode proses analisis hirarki (PAH) yang diolah dengan software Expert Choice Version 9.0. Metode pengumpulan data lapangan menggunakan teknik audit SML, dengan instrumen: (a) daftar ujilperiksa skor tertimbang (weighting score checklist); (b) kuesioner; dan (c) daftar isian kinerja. Data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik deskriptif, mencakup: (a) analisis kesenjangan (gap analysis); (b) analisis tabel dan grafik; dan (c) analisis kecenderungan (trend analysis) regresi kurva linier. 5. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: a. Penilaian ahli dengan metode PAH menunjukkan ada perbedaan tingkat kepentingan prinsip dan elemen penerapan SML ISO-14001, yaitu: prinsip pelaksanaan dan operasi (0.335), prinsip pemeriksaan dan tindakan koreksi (0.237), komitmen dan kebijakan (0.229), dan prinsip perencanaan (0.199). Sedangkan lima elemen dengan tingkat kepentingan relatif tertinggi adalah: kebijakan lingkungan (0.124), kaji ulang manajemen (0.105), pengendalian operasi (0.088), ketidaksesuaian, tindakan koreksi, pencegahan (0.083), dan struktur-tanggungjawab (0.071). b. Rerata skor penerapan SML 1S0-14001 masing-masing organisasi penelitian adalah 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), dan 63.2% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar dalam penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian. c. Rerata perkembangan (skor beyond ISO) masing-masing organisasi penelitian adalah 76.1%-(PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), dan 103.9% (PT.XYZ). Skor tersebut menunjukkan penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah melampaui persyaratan minimum standar ISO-14001. d. Kinerja lingkungan (operasional) ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Kinerja operasional dipengaruhi oleh: (1) tingkat kepedulian karyawan; (2) pemantauan kinerja manajemen; (3) evaluasi kinerja operasional; dan (4) alokasi biaya lingkungan. e. Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Kinerja ketaatan terhadap peraturan lingkungan dipengaruhi oleh: (1) tingkat pengetahuan dan pemahaman peraturan lingkungan; (2) mekanisme inspeksi lingkungan; (3) pengkajian manfaat dan biaya; dan (4) mekanisme tindakan koreksi dan pencegahan. f. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian selama menerapkan SML ISO-14001 dua tahun atau lebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedulian lingkungan karyawan. g. Kesenjangan penerapan SML ISO-14001 terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices) terletak pada pendekatan rancangan sistem yang belum sepenuhnya tepat dan konsisten, baik dari segi orientasi sistem maupun karakteristik efektifitas system. 6. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai berikut: Penerapan SML ISO-14001 pada ketiga organisasi penelitian telah berkembang Iebih baik dari persyaratan minimum standar SML ISO-14001, namun masih memiliki kesenjangan relatif terhadap praktik manajemen lingkungan terbaik (BEMP-best environmental management practices); Pola kinerja lingkungan (operasional) pada ketiga organisasi penelitian belum seluruhnya menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001; Tingkat ketaatan terhadap peraturan lingkungan pada ketiga organisasi penelitian belum menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu selama periode dua tahun Iebih penerapan SML ISO-14001. Manfaat nyata yang diperoleh organisasi penelitian setelah menerapkan SML ISO-14001 dua tahun Iebih adalah kerapihan dan kebersihan, serta meningkatnya kepedutian lingkungan karyawan.
Progress Evaluation of Implementation of Environmental Management System ISO-14001 (Case Studies: 3 industries in Jabotabek Region)1. Background Earth Summit in 1992, among other results, has put environmental aspect as significant factor to trade on goods and services. The summit has also commenced market based oriented as a new approach on environmental management. The approach brings in new preference on regulating international and voluntary environmental standards, and has used as reference in international trade. One of the standards is ISO-14000 series standard on environmental management, which includes ISO-14001 environmental management system (EMS) standard. ISO-14001 EMS meant to achieve continual improvement within environmental impact management. Implementation of ISO-14001 EMS is relatively new, it is predicted that since its issuance in 1996 up till med of 2000, more than 14,000 organizations around the world has gained ISO-14001 certificate, includes 70 organizations in Indonesia. In the implementation, some group of people still skepticism on how effective implementation of ISO-14001 to achieve continual improvement of environmental performance. Therefore, writer interests to study progress of implementation of ISO-14001 EMS within organization that has gained and implemented ISO-14001 certificate. 2. Objectives Objectives of the study, progress evaluation of implementation of ISO-14001 in three organizations that has gained ISO-14001 certificate for at least two years, includes: a. To examine level of implementation progress of ISO-14001 EMS; b. To examine model of operational environmental performance; c. To examine level of compliance to environmental regulation; d. To examine benefits from implementing ISO-14001 EMS. 3. Hypothesis Hypothesis of the study is that organization that has gained and implemented ISO-14001 EMS for at least two years, should has: a. Progress of EMS implementation that is better than minimum requirement standard of ISO-14001; b. Pattern of operational environmental performance that is tend to continually improve; c. Level of environmental regulation compliance that is tend to improve from time to time; d. Gain real benefits of EMS implementation. 4.Research Methods The study limits to three organizations that has gained ISO-14001 certificate and has implemented it for at least two years, and located in Jabotabek region. Time frame of the study is since EMS was implemented for the first time up until the time of the study. Five experts on research methodology and ISO-14001 EMS validate instrument of the study. Eleven experts judges level of importance of each lSO-14001 principles and element by using Analytical Hierarchy Process (AHP). The judgment has developed by using Expert Choice Version 9.0 software. Method of data collection is EMS audit by using instruments: (a) weighting score checklist; (b) questionnaires; and (c) performance evaluation form. Data has been analyzed with descriptive analytical statistic, includes: (a) gap analysis; (b) tables and graphs analysis; and (c) trend analysis of linear regression curve. 5.Results and Discussion Results of the study are as follows: a. Experts judgment by using AHP indicates differentiate between level of importance of ISO-14001 EMS principles and elements implementation, as follows: implementation and operation principle (0.335), checking and corrective action principle (0.237), commitment and policy principle (0.229), and planning principle (0.199). Five elements with level of importance relatively higher are as follows: environmental policy (0.124), management review (0.105), operational control (0.088), non-conformance and corrective and preventive action (0.083), and structure and responsibility (0.071). b. Average score of ISO-14001 EMS implementation of each organization are 54.6% (PT.ABC), 58.2% (PT.OPQ), and 63.2% (PT.XYZ). The score indicates there is no big difference in ISO-14001 EMS implementation between the organizations. c. Average beyond ISO score of each organization is 76.1% (PT.ABC), 87.8% (PT.OPQ), and 103.9% (PT.XYZ). The score indicates implementation of ISO-14001 EMS by the organizations has go beyond minimum requirement standard of ISO-14001. d. Operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement. The operational performance has effected by: (1) level of employee awareness; (2) monitoring of management performance; (3) evaluation of operational performance; and (4) allocation of environmental budget. e. Level of compliance to environmental regulation of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time. The compliance performance has determined by: (1) level of knowledge and understanding of environmental regulation; (2) environmental inspection mechanism; (3) cost-benefit review; and (4) corrective action and preventive mechanism. f. Real benefits gained by the organizations by implementing ISO-14001 EMS for two years or more are even more clean and tidy, and increasing of environmental awareness of the employees. g. Gap to best environmental management practices (BEMP) is a chance to the organizations to improve and leveling their EMS performance. The Gap is on approach of system design that has not yet appropriate and consistent, for both system orientation and effectiveness of system characters. 6. Conclusions Conclusions drawn from the study are as follows: a. ISO-14001 EMS implementation of the organizations has developed better than minimum requirement standard of ISO-14001 EMS, however there is gap to BEMP; b. Pattern of operational environmental performance of the organizations has not yet indicated trend of continual improvement in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; c. Level of environmental regulation compliance of the organizations has not yet indicated a positive trend from time to time in the second year or more of ISO-14001 EMS implementation; d. Real benefits to the organizations for the period of the second year or more of ISO-14001 EMS implementation are cleanness and tidiness, and increasing environmental awareness of the employees. e. Bibliography: 57 (1985-2000)
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venny Kartika Widihastuti
Abstrak :
Pada tahun 1975 Gubernur KDKI Jakarta telah mengeluarkan SK Gubernur No. D.I-70903/a/30/1975 sebagai Penegasan Penetapan Kelurahan Condet Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Balekambang, Kecamatan Kramat Jati Wilayah Jakarta Timur sebagai daerah buah-buahan. Penetapan ini dimaksudkan untuk memelihara keaslian dan kelestarian lingkungan di kawasan Condet pada khususnya dan Jakarta pada umumnya. Sejalan dengan perkembangan dan pembangunan kota Jakarta yang sangat pesat, dimana kebutuhan lahan atau tanah untuk pembangunan prasarana jalan, fasilitas sosial, fasilitas ekonomi, perumahan dan lainnya tentu meningkat, maka konsekuensi yang terjadi adalah munculnya berbagai perubahan di kawasan Condet. Terjadinya perubahan pertumbuhan jumlah penduduk, adanya perubahan fungsi lahan yang menyebabkan jenis tanaman-tanaman khas seperti duku dan salak semakin berkurang kualitas dan kuantitasnya, juga adanya perubahan sosioekonomi dan budaya yang mempengaruhi pelestarian pertanian dan atau perkebunan di kawasan Condet. Masalah-masalah tersebut di atas menyebabkan kawasan Condet tidak dapat bertahan sebagai kawasan penghasil buah-buahan. Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini difokuskan pada analisis aspek pengelolaan lingkungan kawasan Condet yang melibatkan peranserta masyarakat Betawi atau masyarakat lokal yang berdomisili di kawasan Condet. Rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah: peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet tidak signifikan atau buruk karena masyarakat tidak terlibat secara aktif. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitan ini dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) mengetahui sejauh mana peranserta masyarakat Betawi dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. (2) mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan berkurangnya lahan perkebunan di kawasan Condet (3) melihat kemungkinan pengembangan kawasan Condet sebagai kawasan wisata agro di DKI Jakarta. Secara keseluruhan penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu cara atau metode yang digunakan untuk manganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan apa adanya tentang data yang terkumpul, sesuatu variabel, gejala atau keadaan. Variabel dalam penelitian ini terdiri atas: (a) Variabel bebas (independent variable). Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas (X) adalah pengelolaan. Pengelolaan yang dimaksud di sini mencakup 7 (tujuh) aspek sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. (b) Variabel terikat (dependent variable). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat (Y) adalah peranserta.. Dalam hal ini peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas yaitu aspek-aspek pengelolaan dengan variabel terikat yaitu peranserta masyarakat, dilakukan dengan analisis korelasi menggunakan uji korelasi pearson product moment. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan adanya sikap responden yang positif mengenai pengembangan kawasan Condet ini, ada pula yang tidak. Sikap positif ini didapat karena responden merasa akan adanya peningkatan ekonomi mereka dengan adanya pengembangan kawasan. Selebihnya responden mempunyai pendapat bahwa kawasan Condet, tidak lagi dapat dipertahankan sebagai kawasan penghasil buah-buahan. Kondisi lahan perkebunan di kawasan tersebut sudah tidak lagi memadai, karena semakin sempitnya lahan. Komposisi jumlah masyarakat Betawi juga menurun seiring dengan tingginya arus pendatang di kawasan Condet. Jumlah responden yang menyatakan setuju atas pengembangan kawasan sebagai kawasan wisata agro ini 7 orang atau 28%, tidak setuju 13 orang atau 52 % dan ragu-ragu 5 orang atau 20%. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) masyarakat tidak terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan kawasan Condet. Penilaian aspek-aspek pengelolaan, baik secara deskriptif maupun analisis, menunjukkan nilai yang buruk. (2) faktor-faktor yang menyebabkan kawasan Condet tidak bertahan sebagai daerah penghasil buah-buahan disebabkan oleh, berkurangnya lahan akibat praktek jual beli dan pertumbuhan penduduk secara alami maupun akibat urbanisasi di kawasan tersebut. Adapun dari kesimpulan di atas, maka saran yang diberikan adalah (1) Daerah penghasil buah-buahan harus mampu memberikan peluang bagi terpenuhinya kebutuhan masyarakat di dalam kawasan. (2) pelurusan persepsi mengenai kawasan "cagar budaya" Condet (3) sasaran dan tujuan pengembangan kawasan wisata agro harus jelas dan terarah sesuai konsep pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan kawasan. (4) pemerintah hendaknya melakukan sosialisasi mengenai tujuan pengembangan kawasan wisata agro.
Back in 1975 the governor of KDKI Jakarta has issued SK Gubernur No. D.I-70903/a/30/1975 to debelop several area in the East of Jakarta region to specialize in fruit agriculture. The scope of the SK included Kelurahan Condet Kampung Tengah, Kelurahan Batu Ampar, Kelurahan Balekambang of Kecamatan Kramat Jati. This recommendation aimed to preserve the environmental condition of Condet area, and Jakarta in general. Further, with the development and expansion of Jakarta, the accelerating for transport, social, and economic facility has resulted several changes in Condet area. Changes in population trends reduced the quantity and quality of several native fruits, such as duku and salak. Shift of social, economical, and cultural values within the community has affected the agricultural preservation around Condet area. These problems have forced changes in the government policy in preserving Condet's fruit production. The above problems had leaded this research to focus on the analysis of environmental development of Condet area to include participation of the Betawi community and other local community member. The case formulation that can be shown is: The participation of Betawi community in managing Condet Conservation has not significant value. The purpose of the research are: (1) to explore the extend of Betawi community involvement in Condet environmental preservation. (2) identify several factors, which cause the declining of agricultural area in Condet. (3) to explore the possibility to develop Condet area as an agricultural-tourism in Jakarta. The nature of this research was addressed by descriptive method. Descriptive method is a method, which is used to analize a certain data by describing the condition with certain variable, situation, and circumstances. This research contains both independent variable (x) and dependent variable (y). The independent variable in this case is the development as mention in Government Policy on Environmental Management W No. 2311997. Dependent variable of the research were the community involvement, in this case, to the environmental preservation of Condet area. To determine the relation between these independent variable and dependent variable, analytical test were conducted through Pearson Product Moment. Field study has shown the positive and negative attitude of respondent toward preservation of Condet area. Respondent felt that Condet area is not suitable anymore to be preserving as a fruit-production areas. It is felt that the condition of land are incapable to support the agriculture plan because of the increasing available land. It was also found that composition of Betawi people within the community are declining as an effect of urbanization. Total respondent, which agree to the development of agriculture tourism in the are 7 respondent (28%), 13 respondent (52%) did not support the plan, and 5 respondent (20%) undecided. This research has concluded that (1) community has not been actively involved in environmental preservation. (2) Condet area were unable to preserve its capacity as a fruit-production region because of the land trading practice and increase of population, which occurred through natural circumstances and urbanization. From the conclusion drawn above, it is suggested that (1) fruit-production areas have to be able to allow local community to fulfill their needs. (2) shift perception of Condet preservation area. (3) clarity on the purpose and target of agricultural tourism in relation to preservation, conservation, and development of the area. (4) active government approach to socialize the purpose of agriculture-tourism within the particular area.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13376
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilasari Darmastuti
Abstrak :
Baku mutu yang lebih longgar dan seringkali lebih murah serta lebih realistis bagi negara berkembang mengandung resiko lebih tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sehingga sedikit para pembuat keputusan yang mau merekomendasikan tingkat resiko yang lebih tinggi daripada yang digunakan negara industri (maju). Dengan pertimbangan bahwa negara maju tidak memulai program perlindungan lingkungan mereka dengan standard seperti saat ini, maka seharusnya negara berkembang tidak perlu menetapkan baku mutu seketat negara maju saat ini. Evolusi suatu negara dari negara berkembang menjadi negara maju memperihatkan pola bahwa meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi negara tersebut diikuti dengan bertambah ketatnya baku mutu lingkungan negara tersebut. Dengan demikian apabila suatu negara memiliki nilai kondisi kesehalan masyarakat dan sosial ekonomi yang sama dengan negara lain maka nilai baku mutu lingkungan kedua negara tersebut akan sama. Lohani (1993) meneliti mengenai indikator dalam penentuan baku mutu lingkungan. Indikator tersebut adalah Angka harapan hidup (X1), Angka Kematian Bayi (X2), Angka Kematian Akibat TBC dan Kanker (X3), Angka Kematian Akibat Typhus dan Paralyphus (X4), Laju Pertumbuhan Penduduk (X5), GNP perkapita (X6), Aset per kapila (X7), Upah Buruh Mingguan (Xs), Konsumsi Listrik per Kapita (Xs), dan Jumlah Pegawai Negeri (X1o). Dalam penelitian ini indikator (X1) sampai (X4) dikelompokkan sebagai kondisi kesehalan masyarakat dan indikator (Xs) sampai (X1o) dikelompokkan sebagai kondisi sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai: (1) Berapa nilai baku mutu lingkungan di Indonesia yang sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya bila dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju? (2) Apakah baku mutu yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya? Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) membandingkan baku mutu air permukaan antara beberapa negara Asia Tenggara yang memiliki kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama dengan kondisi Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 (berdasarkan PP No. 20 tahun 1990 dan PP No. 82 tahun 2001), mengkaji ketat atau tidaknya baku mutu lingkungan di Indonesia bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Untuk mencapai tujuan tersebut metode penelitian terbagi dalam lima tahapan yakni (1) melihat hubungan antara baku mutu dengan indikator penentuan baku mutu berdasarkan penelitian Lohani (1993) (2) menentukan negara pembanding (3) menentukan tahun acuan (4) membandingkan baku mutu air permukaan (5) mengkaji baku mutu air permukaan di Indonesia. Penelitian ini bersifat ex post facto tipe korelasional dengan menggunakan perbandingan antara indikator penentuan baku mutu lingkungan di Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara di masa lalu. Variabel terikat yang digunakan adalah baku mutu air permukaan. Sementara data yang digunakan adalah data kuantitatif dan runtun waktu dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan seperti Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asia Development Bank 1970-2000, dan Yearbook of Labour Statistics 1974-1993. Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Perbandingan baku mutu lingkungan di beberapa negara akan sama apabila kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama (2) Baku mutu lingkungan yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dibandingkan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Dengan menggunakan data penelitian dari Lohani dan dianalisis dengan SPSS versi 10.0. hasil penelitian memperlihatkan bahwa 48% perbedaan dalam penentuan batas baku mutu disebabkan oleh indikator penentuan baku mutu diatas. Dengan menggunakan interval kepercayaan sebesar 70%, indikator kematian akibat TBC dan kanker serta kematian akibat typhus dan paratyphus tidak signitikan, selain nilai korelasinya juga lemah (r c 0,5). Penelitian ini tidak secara khusus ditujukan untuk mendapatkan hubungan antara baku mutu dengan indikalor penentuan baku mutu, akan tetapi dibatasi untuk memperlihatkan bahwa indikalor tersebut cukup signilikan untuk digunakan sebagai perbandingan. Hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut (1) hipotesis dapat diterima sebesar 64,29%, yang berarti bahwa baku mutu air permukaan di Indonesia sama dengan baku mutu air permukaan negara-negara di Asia Tenggara, (2) 55,56% dari baku mutu yang diterima oleh uji hipotesis diatas adalah lebih ketat, yang berarti bahwa baku mutu yang ditetapkan di Indonesia ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Sedangkan baku mutu Indonesia tersebut adalah serupa dengan baku mutu negara Malaysia (antara tahun 1976-1977), Philipina (antara tahun 1990-1992), Singapura (antara tahun 1978-1981) dan Thailand (antara tahun 1990-1991). Berdasarkan analisis pengujian hipotesis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Baku mutu di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara sudah sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya. Penentuan batas baku mutu air permukaan di Indonesia lebih ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Lower and often cheaper, and as a consequence more realistic environmental standards for developing countries involve higher risks to the environment and public health. Therefore, few environmental policy makers are willing to recommend higher risk levels than used in developed countries. Developed countries did not begin their environmental protection by applying high standards as using now. Therefore developing countries do not have to apply standards as high as developed countries do. The evolution of a country from developing to developed country shows a pattern that the improvement of its public health and socio-economic conditions are followed by higher allowable limits of environmental quality standards. Consequently, countries that have similar public health and socio economic conditions will have similar allowable limits of environmental quality standards. Lohani (1993) stated that there are indicators for setting environmental quality standards. The indicators are life expectancy level (Xi), infant mortality rate (X2), TBC and cancer death (X3), typhus and paratyphus death (X4), population (X5), GNP per capita (X6), asset per capita (X7), average weekly salary ()(a), electricity consumption per capita (X9), and federal employment (Xio). In this research those indicators are grouped as public health and socio-economic. Based on the reasons above, the research problem can be formulated as: (1) what is the Indonesia allowable limits of surface water quality standards which appropriate to its public health and socio-economic conditions? (2) in relation to its public health and socio-economic conditions, are Indonesia allowable limits of surface water quality standards too high? The objectives of the research are: (1) to compare environmental quality standards among South-east Asian countries which had the same level in public health and socio-economic conditions with Indonesia in 1999 and 2000 (refer to PP No. 20 1990 and PP No. 82 2001) (2) to evaluate Indonesia environmental quality standards in relation with its public health and socio-economic conditions. To meet the objectives of the research, the methodology is divided into five stages i.e (1) to see the corelation between allowable limits of environmental quality standards with environmental quality standards setting indicators based on Lohani's (1993) (2) to select the comparable countries (3) to decide the reference years (4) to compare the surface water quality standards of selected countries with those of Indonesia (5) to review the allowable limits of Indonesia surface water quality standards. This is an ex-post facto correlation type research. In this research the current Indonesia environmental quality standards are compared to those of South East Asian countries in the past. Independent variables which are setting environmental quality standard indicators. Data used in this research are quantitative and time series secondary data. Data were collected from some publication source such as Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asian Development Bank year 1970-2000, and Yearbook of labour statistics 1974-1993. While dependent variables are allowable limits of environmental quality standards in Indonesia. Hypothetical research are formulated as follows (1) comparison of surface water quality standards allowable limits in some countries will be similar if they have similar conditions on public health and socio-economic (2) Indonesia surface water quality standards is too high compare with considering its public health and socio-economic conditions. This research found that 48% in setting surface water quality standards could be explained by the above indicators. Using confidence level of 70%, indicator of TBC and cancer death also typhus and paratyphus death are not significant, beside the correlation are weak ( r < 0.5). This research is held not only to see the relationship between allowable limit quality standards and setting environmental quality standard indicators but also to show that those indicators are significant to be used for comparison. Hypothetical analysis shows that hypothesis is accepted by 64,29%. It means that Indonesia surface water quality standards are appropriate with its public health and socio-economic conditions. Hypothetical analysis for the second hypothesis shows that it is accepted by 55,56%. With reference to the criteria set before, it means that the surface water quality standards in Indonesia are too high. The appropriate level of Indonesian allowable limits of environmental quality standards in 1999 and 2000 are similar to that of Malaysia during 1976-1977, Philippine 1990-1992, Singapore 1978-1981, and Thailand 1990-1991. Based on the results of hypothesis analysis, here are the conclusions based on review both the PP No. 20 year 1990 and PP No. 82 year 2001: Allowable limits of environmental quality standards in Indonesia are appropriate with its public health and socio-economic conditions if compare to other countries in Southeast Asian. The setting of Indonesia surface water allowable limit quality standards are high related to its public health and socio-economic conditions.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bandjarnahor, South Mardongan
Abstrak :
Industri pertambangan batubara yang melakukan kegiatan pengolahan dan pencucian batubara cenderung menggunakan rawa sebagai tempat pembuangan limbah batubara yang berasal dari proses pencuciannya. Walaupun di dalam dokumen AMDAL diharuskan melakukan pengelolaan limbah dengan membuat kolam pengendap secara berseri sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan dan pengendapannya dilakukan secara periodik. Batubara hasil penambangan (Run of Mine) dari tambang sebelum dipasarkan terlebih dahulu diproses di Instalasi Pengolahan dan Pencucian. Di Instalasi dilakukan proses pengecilan ukuran (antara 0,125 mm s.d. 50 mm) dan selanjutnya dilakukan pencucian dengan menggunakan air supaya partikel pengotornya lepas dari batubara. Partikel-pertikel halus tersebut terdiri dari batubara berukuran < 0,125 mm, batuan lempung, batuan lanau, batuan pasiran dan batuan lainnya yang disebut limbah batubara, dibuang ke Rawa Beloro yang berada di sekitar lnstalasi Pengolahan dan Pencucian. Tujuan penelitian ini adalah a) Mengetahui parameter kualitas air yang tercemar akibat pembuangan limbah batubara ke dalam Rawa Beloro; b) Mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi di Rawa Beloro akibat pembuangan limbah batubara; c) Mengetahui penyebab utama terjadinya degradasi ekosistem perairan Rawa Beloro; d) Mengetahui pengaruh limbah batubara terhadap struktur komunitas pada perairan Rawa Beloro; e) Mengetahui pengaruh limbah batubara terhadap degradasilsuksesi rawa. Penelitian secara ilmiah untuk mengetahui hal.tersebut di atas belum pernah dilakukan, untuk itu perlu dilakukan penelitian. Setelah diketahuinya pengaruh pembuangan limbah batubara ke dalam rawa maka basil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pembuatan peraturan atau kebijakan pemerintah di bidang industri pertambangan batubara. Penekananan pada hipotesis ini bahwa limbah batubara akan mempengaruhi beberapa aspek: a) Parameter fisika (kecerahan, suhu, kecerahan dan padatan tersuspensi) dan kimia (Fe dan pH) dapat menurunkan kualitas perairan akibat pembuangan limbah batubara; b) Rawa Beloro dikategorikan tercemar jika parameter fisika dan kimia perairan melebihi standar Indeks Mutu Kualitas Air (U. S. STORET EPA); c) Dalam penentuan kualitas perairan beberapa parameter fisika dan kimia penyebab utama dapat berkorelasi negatif dengan parameter pendukung lainnya; d) Pembuangan limbah batubara memberi darnpak pada kualitas biota perairan; e) Pembuangan limbah batubara secara terns menerus dapat mengakibatkan suksesi rawa menjadi darat. Penelitian dilakukan secara survey lapangan dan pengambilan sampel dari Rawa Beloro yang merupakan rawa yang terganggu lingkungannya akibat pembuangan limbah batubara (10 titik stasiun) dan perairan Rawa Ngandang sebagai rawa yang tidak terganggu akibat pembuangan limbah batubara yang merupakan mewakili rona awal (6 titik stasiun). Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengambilan sampel dari lapangan yang kemudian dianalisis di laboratorium: Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Samarinda (analisis kualitas air), PT. Geoservices (Ltd) Bandung (sedimea) dan Laboratorium 1PB Bogor (plankton dan benthos). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka, perusahaan, Pemda setempat, dsb. Untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan Rawa Beloro dan Rawa Ngandang mengacu pada Indek Mutu Kualitas Air menurut U. S. STORET-EPA dan PP No. 82 Tabun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air . Untuk mengetahui parameter utama dari kualitas perairan yang mengganggu ekosistem Rawa Beloro dengan cara Analisis Komponen Utama (PCA) serta untuk mengetahui kelompok dari masing-masing stasiun yang mempunyai karakteristik sama atau mendekati digunakan cara Uji Koresponden Analisis. Parameter air yang dianalisis adalah kecerahan, kekeruhan, padatan tersuspensi (TSS), suhu, pH, oksigen terlarut (DO), CO2 terlarut, bahan organik (BOD dan COD), nutrient (NO2, N03 , NH3 dan P04), sulfat (S042-), besi (Fe) dan logam berat (Cd dan Zn). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa a) Parameter air yang tercemar akibat pembuangan limbah batubara ke dalam rawa yaitu kecerahan, suhu, kekeruhan, Fe, padatan tersuspensi (TSS) dan derajat keasaman (pH). b) Kualitas air Rawa Beloro sangat buruk dengan skor -45 c) Penyebab utama degradasi Rawa Beloro adalah TSS, kadar Fe, kekeruhan dan pH.yang berkorelasi negatif dengan suhu dan kecerahan. d) Kegiatan pembuangan limbah batubara mengakibatkan kualitas biota perairan (fitoplankton, zooplankton dan makrozoobenthos) sangat rendah. e) Rawa Beloro akan berubah menjadi daratan dalam waktu 15 tahun lagi (2016) akibat dibuangnya limbah batubara sebanyak 140,000 ton/tahun dengan laju sedimentasi 4,6 x 10‾4 m3/m2/hari atau 0,1656 m3/m2/tahun. Dalam rangka mempertahankan fungsi Rawa Beloro (Rawa R1 dan Rawa R2) sebagai rawa disarankan agar Rawa Belor (R2) direhabilitasi dan ditingkatkan fungsinya sebagai indikator kualitas air limbah batubara dengan cara limbah batubara yang mengendap di Rawa Rl supaya dikeruk dan diiimbun ke bekas tambang. Selanjutnya air yang keluar dari Rawa Rl ke Rawa R2 terlebih dahulu diolah sebingga parameter kualitas air yang masuk ke Rawa R2 memenuhi kualitas air untuk perikanan sesuai dengan Baku Mutu Limbah kelas EI dari (PP No. 82 Tahun 2001). Pada rawa R2 dapat ditanami tanaman air dan di budidayakan ikan rawa. Limbah batubara yang terdiri dari batubara halus dan material yang terendap di Rawa Beloro (R1) supaya dikeruk secara berkala dan dtimbun ke bekas tambang serta batubaranya dimanfaatkan sebagai bahan briket karena jumlah batubara yang dibuang ke Rawa Beloro setiap tahunnya sebanyak 70.000 ton.
Coal mining industries which include processing and washing activities tend to use swamp as place for dumping waste in the process. Although in EIA document the project is obligated to perform management of waste by making a series of precipitation pond with certain capacity and its dredging conducted periodically. Coal product of mining (Run of Mine Coal) prior to be marketed should be processed first in the processing and washing plant. In washing plant performed granulation (between 0,125 mm to 50 mm) and then will be processed in the washing plant by using water in order that dirt particles detached from the coal sized < 0,125 mm, clay, silt stone, sand stone and other kind of rock called waste, dumping to Rawa Beloro which is located surround of washing plant. The purposes of this research are (a) to measure water quality parameter which is polluted caused by dumping waste at Rawa Beloro; (b) to measure pollution grade at Rawa Beloro caused by dumping waste; (c) to determine what is the main factor for ecosystem degradation at Rawa Beloro; (d) to determine what is the impact of dumping waste disposal on communities structure at Rawa Beloro; (e) to determine what is the impact of dumping waste on degradation of swamp. Scientific research of the above items has never been conducted yet, therefore it is necessary to be performed. By knowing the impact of dumping waste disposal into the swamp as key point of this research and so far could be used as regulation making material or government policies in coal mining industry. The stressing of this hypothesis that dumping waste will impact some aspects as follows: (a) A physic parameters (transparent, temperature, turbidity and total suspension solid) and chemistry parameters (Fe and pH) can decrease water quality caused by dumping waste disposal; (b) swamp quality of Rawa Beloro could be categorized polluted when physics and chemist parameters on swamp is higher than Water Quality Index based on U. S. STORET EPA; (c) in determining water quality some physics and chemistry parameter as the main factor can also correlated into negative impact with its support parameter; (d) dumping waste can also impact the quality of swamp biota; (e) sustainable of dumping waste will cause swamp succession become land. Research is conducted by field surveying and sampling from Rawa Beloro where its environment disturbed by dumping waste (10 station coordinates) and Rawa Ngandang as the undisturbed swamp which represent initial color (6 station coordinates). The data from this research included primary and secondary data. Primary data obtained from field sampling which then analyzed in the Laboratory of Industry research and development Bureau of Samarinda (water quality analysis), PT. Geoservices (Ltd) Bandung (sediment) and Laboratory of IPB Bogor (plankton and benthos). Secondary data obtained from library study, company, local government, etc. To determine the grade of swamp polluted at Rawa Beloro and Rawa Ngandang, applied on Water Quality Index by U. S. STORET EPA and Government Regulation No. 8212001 concerning Water Quality Management and Water Pollution Control. To determine dominant parameter of swamp quality which is impact the ecosystem of Rawa Beloro is by done Principal Component Analysis (PCA) and so far to know group of each station which has the same characteristic or approximately is done by using Correspondent Assessment Analysis. Water parameters which is to be analyzed are the transparent and turbidity, suspension solid (TSS), temperature, pH, diluted oxygen (DO), diluted CO2, organic material (BOD and COD), nutrient (NO2, NO3, NH3, and PO4), sulfate (SO42'), iron (Fe) and heavy metal (Cd and Zn). Based on this research conclusion that: (a) polluted water parameters caused by dumping waste into swamp as follows: temperature, transparent, turbidity, total suspension solid (TSS), Fe and pH; (b) the water quality at Rawa Beloro is very polluted and the score is -45; (c) the main factor of Rawa Beloro' degradation are total suspended solid (TSS), Fe, turbidity negative correlation to temperature and transparent; (d) dumping waste disposal activity causes the quality of swamp biota (phytoplankton, zooplankton and makrozoobenthos) is very low; (e) the swamp of Rawa Beloro will change to be land within 14 years causing by dumping waste of capacity 140.000 ton annually with the grade of sediment 4,6 x 10‾4 m3/m2/hari atau 0,1656 m3/m2/year. In order to maintain the function of Rawa Beloro (Swamp R1 and Swamp R2) as swamp it is suggested that Rawa Beloro (R2) should be rehabilitated and increased its function as waste water quality indicator by dredging the waste in Swamp R1 and piled to the ex-mined area. And then the outlet of Swamp (R1) to Swamp (R2) firstly processed so that water quality parameter incoming to swamp (R2) (inlet), meet water quality to fishery in accordance with Standard III class of Government Regulation No. 821200I concerning Water Quality Management and Water Pollution Control. In Swamp R2 could be planted with water plant and bred swamp fish. The waste contains of fine coal and material precipitated in Rawa Seloro (R1) should be dredged periodically, dumping into ex-mined area and fine coal of approximately 70.000 ton per year can be used as coal briquette material.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noni Amini
Abstrak :
Luas daratan Indonesia hanya 1,3% dari luas daratan permukaan bumi, akan tetapi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat tinggi, meliputi 1I% spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia dan 16% spesies burung. Sekitar 17.000 pulau di Indonesia terbentang antara kawasan Indomalaya dan Australia. Kepulauan Indonesia memiliki tujuh kawasan biogeografi utama dengan tingginya tingkat keanekaragaman tipe-tipe habitat yang ada. Banyak pulau yang terisolasi selama ribuan tahun, sehingga memiliki tingkat endemik yang tinggi (FWI/GFW, 2001). Untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang ada, diperlukan upaya konservasi yang merupakan salah satu bagian penting pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Keanekaragaman Hayati, dinyatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Pemerintah. Pengelolaan kawasan konservasi ini dirasakan tidak efektif mengingat belum ada kawasan konservasi yang berhasil menggabungkan prinsip konservasi dan ekonomi yang bukan saja menjaga keanekaragaman hayati tapi juga peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan dan memberikan pemasukan bagi negara. Kegagalan ini disebabkan oleh kurangnya SDM, minimnya dana dan teknologi. Pada tahun 1995, Pemerintah RI memberikan hak pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI) dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995. Pelimpahan pengelolaan meliputi kawasan seluas 1.790.000 hektar yang terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser (905.000 ha), Hutan Lindung (505.000 ha) dan Hutan Produksi (380.000 ha), yang keseluruhannya di DI. Aceh (80%), (sekarang Nanggroe Aceh Darusalam) dan 20% di Propinsi Sumatera Utara. Surat Keputusan ini kemudian dicabut dengan ditetapkannya Keppres No. 33 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Dalam pengelolaan KEL ini, pemerintah menjalin kerjasama pengelolaan dengan Yayasan Leuser Internasional (YLI) selama 30 tahun. Pemerintah juga bekerjasama dengan Uni Eropa dalam pendanaan dan pengelolaan dengan membentuk Unit Managemen Leuser (UML) sebagai lembaga operasional pengelolaan kawasan untuk mernpersiapkan saran dan prasarana menuju pengelolaan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Keberadaan UML sebagaimana diatur dalam financial Memorandum (FM) antara Indonesia dan Uni Eropa yaitu sebagai penerima mandat operasional pengelolaan KEL. Tim operasional pengelolaan tersebut terdiri dari ahli-ahli konservasi dan kehutanan Uni Eropa dan Indonesia yang mempunyai masa kerja selama tujuh tahun pada tahap I, dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan pengelolaan serta menjalankan Program Pengelolaan Leuser (PPL) yang teiah ditetapkan oleh Leuser Steering Committe (LSC). Kerjasama ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan konservasi di wilayah ekosistem Leuser dan merupakan transfer ilmu dan teknologi bagi pengelola kawasan tersebut di masa yang akan datang. Penetapan KEL ini merupakan paradigma baru dalam pemberian ataupun menjalin kerjasama pengelolaan pada sebuah yayasan. Selama ini hak konsesi hanya diberikan berupa HPH yang mengekploitasi hasil hutan bukan untuk keperluan konservasi. Manajemen pengelolaan kawasan yang tercantum dalam FM antara Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa tersebut menggabungkan antara kepentingan konservasi sumberdaya alam hayati dengan peningkatan nilai ekonomi kawasan yang berpegang pada prinsip penyerapan aspirasi masyarakat (bottom up) (Masterplan, I995). Melalui prinsip pengelolaan dirnaksud diharapkan konservasi dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar dan pemerintah baik dari segi ekonomi maupun kelestarian kawasan. Kawasan ekosistem Leuser juga terdiri dari beberapa kawasan pelestarian alam yang ditetapkan sebelumnya seperti Taman Nasional Gunung Leaser (TNGL), Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan Hutan Produksi dan sesuai dengan namanya, kawasan ini merupakan gabungan dari sistem alami satu sama lain yang merupakan keterkaitan erat yang membentuk bentang alam yang sangat luas serta sangat penting bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kawasan ini mencakup berbagai tipe ekosistem, mulai dari ekosistem pantai, rawa, danau, dataran rendah dan dataran tinggi hingga pegunungan dengan ketinggian 3.500 m dari permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat kebijakan dan peraturan pemerintah dalam pengelolaan dan bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) serta pengaruh pelaksanaan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan KEL tersebut. Penelitian ini diharapkan akan sangat membantu dalam upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di masa akan datang, khususnya dalam upaya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Di samping itu, melalui penelitian ini nantinya diharapkan menjadi masukan bagi pengelolaan kawasan konservasi lainnya sehingga dapat menjamin pelestarian sumberdaya alam yang ada dengan tanpa mengenyampingkan aspek pemanfaatan sumberdaya alam yang dengan sendirinya akan dapat memberdayakan masyarakat sekitar kawasan konservasi pada khususnya, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan KEL masih belum mendukung ke arah pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat sebab Keppres No. 33 Tahun 1998 tentang Kawasan Ekosistem Leuser belum mengakomodir kepentingan para pihak yang terkait dalam pengelolaan kawasan terutama hak-hak masyarakat adat dan lokal yang bergantung pada hutan dan peraturan ini masih bemuansa sentralistik dalam menetapkan kerja sama pengelolaan. Dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengkaji fait-or-War internal dan eksternal yang mempengaruhi kinerja UML dalam menjaiankan PPL maka ditetapkan beberapa skala prioritas yaitu mengupayakan perbaikan sikap mental masyarakat yang tidak mendukung pengelolaan dan mewujudkan penegakan hukum yang tegas dan menjamin kepastian hukum serta mewujudkan struktur organisasi yang kuat dengan peningkatan kerja sama para pihak terkait dan meningkatkan kemampuan SDM untuk merebut pasar global di bidang ekowisata. Sehingga bentuk kerjasama pengelolaan kawasan konservasi di KEL yang mendukung ke arah tujuan peruntukan kawasan adalah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Konsep pengelolaan ini menerapkan mekanisme yang transparansi, partispasi dan akuntabilitas publik sebagai langkah membangun "good governance" dan pelaksanan "rule of law", yang memperkuat dan mengakui hak kelola masyarakat adat, pendanaan jangka panjang, serta memperkuat desentralisasi fiskal daerah dalam pengelolaan Leuser. Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah memberikan peluang bagi penyerapan aspirasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di wilayahnya, sesuai dengan kebutuhannya dengan penetapan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Walaupun dalam UUPD ini pengelolaan kawasan konservasi masih berada di bawah pengelolaan Pemerintah Pusat, dalam haI ini Dirjen PHKA-Depatemen Kehutanan, tetapi diharapkan dengan manajemen pengelolaan bersama KEL ini kepentingan pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Daerah, serta pihak swasta, LSM dan masyarakat adat disekitar kawasan akan terwakili. Daftar Kepustakaan : 37 buku (tahun 1986-2001)
Indonesia's land surface is only 1.3% of the total earth's Land surface, but it has a vast diversity of nature. In this land surface alone, there are 11% of the world's total plants species, 10% of the total mammal's species and 16% of the total bird's species. There are around 17,000 islands in the Indonesian archipelago stretching from the Indomalayan to the Austrasia. The archipelago has seven main biogeography areas; with each one of them has a highly varied types of habitat. Many of these islands have been isolated for thousands of years; thus they have a high endemic level. Three main locations that have always been known to have a vast variety of species are the Papua, with its high level of species variety and they are highly endemic. There's also Kalimantan, which also has a high level of species variety but they are moderately endemic, and Sulawesi, that has moderate Ievel of species variety but highly endemic (FWI/GFW, 2001). To sustain the variety of species, a conservation act has to be done. This act is also an important part of the sustainable development. According to the UU No.5, which is issued in the year 1990, about nature's conservation and diversity of nature, it is stated that the government should manage the conservation areas. So far, the management of these conservation areas is considered ineffective, considering that there's still no conservation area, which is successfully combined the principal of conservation and economics. The idea is not only keeping the species variety alive but also enhancing the welfare of the people that live in the surrounding area and also contributing to the country's income. This flaw is due to the lack of human resources, funding and technology. In the year 1995, the Indonesian government gave the right to manage the Leuser Ecosystem Area (KEL) to The Leuser International Foundation (YLI) by issuing a mandatory letter by the minister of forestry, No.227/Kpts-II/1995. The right covering the area of 1,790,000 hectares, which consists of The Leuser National Park (905,000 hectares), conservatory forest (505,000 hectares) and productive forest (380,000 hectares). Most of the area, 80%, is located in The Province of Nangroe Aceh Darusalam and 20 % of it, is located in The Province of North Sumatra. This mandatory letter is then withdrawn and replaced by Keppres No.33 tahun 1999, about The Leuser Ecosystem Area (KEL) management. Through this management system the government is working together with The Leuser International Foundation in managing the area for 30 years. The government is also cooperating with The European Union in the matter of funding and forming The Leuser Management Unit (UML). This unit will act as the operating area manager and has to prepare all that is needed towards a sustainable and people-based management. The unit as stated in The Financial Memorandum (FM) between Indonesia and The European Union, will receive the mandate to manage The KEL. This operational management team consists of experts in conservation and forestry from Indonesia and The European Union. They will have a seven-year working period for the first phase, and can be extended to cater to the need of keeping The Leuser Management Program running. This program is made by The Leuser Steering Committee (LSC). This cooperation is hoped to be able to solve problems found in conserving The Leuser ecosystem and also provides the transfer of knowledge and technology to the next management team. The management of KEL is a new paradigm in giving the right or cooperating to manage a conservation area to/with a foundation. In the past, the concession right has always been given in the form of HPH, which in the end is only giving them the right to exploit and not conserving the forest. The area management as stated in The FM, which is mentioned earlier, is combining the need to conserve the natural resources with the need to raise the economic value of the area, which is based on the bottom up principal. This way of managing the area is expected to be useful to the people who live in the surrounding area and also the government in both the economic aspect as well as in the conservation aspects. The Leuser Ecosystem Area is consists of several natural reservation area that has already been setup. These areas are The Mountain Leuser National Park (TNGL), zoological reservation area, botanical reservation area and productive forest. The areas are naturally intertwined, where each component is closely connected to form a vast natural community, which is very important for the life of human beings and other living creatures. This area has various types of ecosystem, varying from shore, swamp, lake, lower plain, highland and also mountain that can reach up to 3,500 m from the sea surface. This research is done to review decisions and Laws that the government has made in managing and cooperating in the act of conserving the KEL, also to see the impact in implementing the UU No.22 Tahun 1999, about the role of the Local government in managing the KEL. This research is expected to be helpful in the act of conserving the Leuser Ecosystem Area, especially in trying to implement a sustainable and people-based conservation. This research is also expected to be able to provide inputs for other conservation areas. In the end, the conservation of natural resources can be done without setting aside the usage of those natural resources that can be useful for the people that live in the surrounding area and the people of Indonesia as a whole. Decisions and laws that have been made in managing KEL so far have not been supporting the sustainable and people-based conservation, which is the ultimate goal of the conservation act. This is due to the fact that Keppres No.33 Tahun 1998, about The Lauser Ecosystem Area, has not been able to accommodate the interest of related parties, especially the right of the local people, which are very dependent to the forest. The Laws is also very centralistic in making decisions in making the cooperation agreement. Using the SWOT analysis enable us to evaluate both internal and external factors that are affecting the work of UML in implementing the PPL. Priorities then can be set, first of all is to change the mental attitude that is shown by the people that is against the management of the reservation area. Next is to ensure the implementation of a stern law. Setting a strong organizational structure is also important; this can be done by making necessary cooperation with related parties, enhancing the quality of the human resources in order to dwell in the global market of Eco-tourism. Thus the kind of management cooperation necessary in order to reach that goal is through the sustainable and people-based Management of the Leuser Ecosystem Area. This concept is using the mechanism that is transparent, involving the public to participate and to be accountable for the implementation of good governance. Implementing the rule of law is also needed to strengthen and to admit the right of the local people to participate in the managing activities, long-range funding and also empower the decentralization of the state fiscal in managing the Leuser. The UU No.22 Tahun 1999 about the local government has given the chance to absorb the people aspiration in the matter of managing their own environment in a way that suited their need best, by using the sustainable development. Although in this UUPD the management of the reservation area is still done by the central government, in this case by The Ditjend PHKA, Department of forestry, but through IKEL the interests of the central government, local government, private sector, NGOs and the local people can be catered. References : 37 books (1986-2001)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Novieta Handayani
Abstrak :
BPPT telah mengembangkan suatu konsep pengelolaan sampah terpadu, yang mengkombinasikan berbagai teknik pemanfaatan dan pemusnahan sampah, seperti daur ulang plastik dan kertas, pengkomposan, serta insinerasi. Konsep ini disebut dengan konsep Zero Waste. Pada tahun 2000 yang lalu, Dinas Kebersihan DKI Jakarta bekerja sama dengan Direktorat Teknologi Lingkungan BPPT menerapkan konsep Zero Waste yang berskala kawasan permukiman dalam bentuk Industri Kecil Daur Ulang (IKDU). Proyek percontohan IKDU tersebut berlokasi di Kelurahan Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat dan di Kelurahan Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Proyek ini berlangsung selama 1 tahun anggaran dan berakhir pada bulan Juli tahun 2001. Penelitian ini meliputi pengkajian secara deskriptif kualitatif terhadap proyek percontohan IKDU tahun 2000-2001. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dilakukan perencanaan untuk menerapkan IKDU sebagai model pengelolaan sampah permukiman yang berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Membuat rancangan strategis (skenario) penerapan IKDU; 2) Mengetahui keterlibatan stakeholders (pihak yang terkait dengan IKDU); serta 3) Mengetahui kendala/masalah yang diperkirakan dapat menghambat implementasi skenario dan langkah-langkah (kebijakan) yang diperlukan untuk mengatasi berbagai kendala tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, sedangkan analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats) dan Proses Hirarki Analitik (PHA). Penelitian diiaksanakan menurut tahapan berikut ini: Langkah pertama, melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pilot project IKDU. Langkah kedua, melakukan analisis SWOT terhadap pilot project IKDU berdasarkan hasil dari Langkah 1. Langkah ketiga, melakukan proses perencanaan dengan menggunakan AHP. Langkah terakhir, mengajukan usulan penerapan IKDU. Analisis SWOT terhadap pilot project IKDU menghasilkan 4 (empat set) strategi untuk implementasi IKDU. Untuk selanjutnya strategi tersebut menjadi skenario penerapan IKDU. Pertama, Skenario Agresif yang menekankan pada upaya-upaya penelitian-pengembangan untuk mencari inovasi dalam bidang daur ulang sampah, peningkatan kapasitas olah sampah, serta upaya pencarian terobosan baru untuk memperluas pasar. Kedua, Skenario Berbatik menekankan pada upaya-upaya untuk penyederhanaan metode proses dan lebih bersifat padat karya, pemanfaatan TPS sebagai lokasi IKDU, penerapan dan pengembangan pola kemitraan, serta upaya pengembangan program-program pendukung IKDU. Ketiga, Skenario Diversifikasi menekankan pada upayaupaya untuk pelibatan masyarakat sedini mungkin dalam pendirian IKDU, serta peningkatan kualitas dan diversifikasi produk daur ulang. Keempat, Skenario Defensif menekankan pada upaya-upaya untuk melakukan pengembangan model-model komunikasi untuk keperluan sosialisasi, pengurangan birokrasi, peningkatan kemampuan dan keahiian sumberdaya manusia dari setiap pihak terkait, serta upaya menyiapkan kebijakan tertulis yang dapat mendukung penerapan IKDU. Hasil proses perencanaan ke depan (forward planning) dengan menggunakan PHA menunjukkan bahwa Pemda DKI Jakarta dan Masyarakat Sasaran adalah stakeholders yang memiliki tingkat kepentingan yang sama (0,354) terhadap keberadaan IKDU. Pemda melihat IKDU dapat menjadi salah satu solusi bagi masalah sampah di DKI Jakarta, sedangkan dari sisi Masyarakat IKDU dapat meningkatkan kualitas lingkungan mereka secara langsung. Hal ini sesuai dengan Perda DKI Jakarta no. 5 tahun 1988 yang menyebutkan bahwa kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama Pemda dan masyarakat. Setelah Pemda dan Masyarakat, pihak yang berkepentingan dengan penerapan IKDU adalah Swasta (0,161) sebagai pihak yang akan menerima produk IKDU. Selain Masyarakat, Swasta lah yang akan langsung berhubungan dengan IKDU. Tenaga Ahli tidak secara langsung berkepentingan dengan penerapan IKDU, oleh karena itu semua stakeholders cenderung menilai tingkat kepentingannya dalam IKDU adalah yang terkecil (0,131). IKDU diharapkan dapat menjadi sistem pengelolaan sampah permukiman yang berkelanjutan. Untuk itu, IKDU harus dapat memenuhi kriteria-kriteria Iingkungan, ekonomi, teknis, dan sosial. Dari keempat kriteria tersebut, ternyata pemenuhan kriteria Iingkungan (environmentally beneficial) menjadi fokus pertimbangan stakeholders yang utama. Setelah itu barn disusul dengan pemenuhan kriteria ekonomi (economically feasible), sosial (socially acceptable), dan yang terakhir, kriteria teknis (technically viable). Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalam rangka pencapai tujuan utama yaitu implementasi IKDU sebagai altematif pengelolaan sampah permukiman yang berkelanjutan, maka stakeholders cenderung memprioritaskan tiga (3) sasaran utama yang ingin dicapai, yaitu sasaran pengurangan volume sampah yang dibuang ke TPA, kontinuitas pasar bagi produk/hasil IKDU, dan perolehan profit dari penjualan produk IKDU. Untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang dimaksud, semua stakeholders cenderung mengutamakan Skenario Berbalik (prioritas pertama), karena sifatnya yang sederhana akan mempermudah proses penerapan IKDU. Skenario Diversifikasi dan Skenario Agresif cenderung dinilai berimbang oleh stakeholders, sehingga menjadi prioritas kedua. Prioritas ketiga adalah Skenario Defensif. Menurut responden (yang notabene adalah stakeholders), masalah utama yang dianggap dapat menghambat pelaksanaan skenario penerapan IKDU adalah lemahnya komitmen setiap pihak yang terkait dengan IKDU, sikap masyarakat yang cenderung bersifat negatif terhadap IKDU, rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang terkait dengan IKDU, dan keterbatasan modal. Selain keempat masalah tersebut, kesulitan akses informasi hasil litbang dan ego sektoral, adalah hal-hal yang juga dapat menjadi kendala IKDU. Pemda DKI Jakarta diharapkan dapat menjadi leading agent dalam program implentasi IKDU ini. dengan sendirinya, Pemda DKI Jakarta merupakan pihak yang paling diharapkan untuk mengatasi kendala-kendala. Seluruh stakeholders cenderung menilai bahwa Masyarakat juga hares lebih berperan untuk mengatasi kendala yang ada dan tidak hanya bergantung pada Pemerintah. Tenaga Ahli diharapkan membantu (mendukung) Pemda dan Masyarakat untuk ikut mengatasi kendala-kendala yang muncul. Peran Swasta untuk mengatasi kendala cenderung dinilai yang paling kecil pleb stakeholders, kecuali untuk mengatasi masalah modal. Untuk mengatasi berbagai kendala tersebut, semua stakeholders cenderung memillh kebijakan-kebijakan berikut ini; kebijakan yang pertama adalah sosialisasi awal mengenai IKDU kepada masyarakat sasaran. Kebijakan yang kedua adalah mengeluarkan berbagai peraturan resmi yang berkaitan dengan penerapan konsep Zero Waste (termasuk IKDU) dan mengintensifkan berbagai saluran komunikasi untuk kepentingan sosialisasi secara luas. Kebijakan ketiga yang dianggap penting oleh stakeholders adalah peningkatan kuantitas (frekuensi pengadaannya) dan kualitas program-program reduce, reuse, recycle (3R). Kebijakan penting yang keempat adalah mempermudah akses publik ke hasilhasil penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan daur ulang. Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: 1) Skenario yang menekankan pada upaya-upaya untuk penyederhanaan metode proses dan lebih bersifat padat karya, pemanfaatan TP5 sebagai lokasi IKDU, penerapan dan pengembangan pola kernitraan, serta upaya pengembangan program-program pendukung IKDU (Skenario Berbalik), adalah skenario yang diprioritaskan oleh stakeholders; 2) Pemda DKI Jakarta dan Masyarakat Sasaran memiliki tingkat kepentingan yang sama terhadap IKDU; 3) Kendala utama program penerapan IKDU adalah lemahnya komitmen setiap pihak yang terkait dengan IKDU, sedangkan kebijakan utama bagi penerapan IKDU adalah sosialisasi awal IKDU kepada masyarakat sasaran. Adapun saran dari penelitian ini adalah: 1) Sosialisasi pada level masyarakat sasaran harus menjadi prioritas pertama dari pemrakarsa IKDU; 2) Dewan Kelurahan atau Lembaga Masyarakat Kelurahan dapat difungsikan pula sebagai pengelola IKDU; 3) Peraturan tentang IKDU dapat mengikat komitmen dari seluruh pihak terkait (stakeholders); 4) Perlu adanya penelitian tersendiri mengenai karateristik pasar daur ulang akan memberikan proyeksi yang lebih balk bagi prospek IKDU di mass depan, baik sebagai usaha daur ulang maupun sebagai model pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Small Scale Recycling Industry: An Alternative for Solid Waste Management in Settlement (Policy Study on Implementation of District Scale Zero Waste Approach in DKI Jakarta)BPPT (Agency of Technological research and Implementation) has developed an integrated solid waste management concept named Zero Waste approach, which integrates various types of solid waste management such as recycling (papers and plastics), composting, and incineration. In 2000, Dinas Kebersihan (Cleansing Department) DKI Jakarta in cooperation with BPPT implemented a district scale Zero Waste approach into the form of small scale recycling industry (SSRI). The pilot projects were located in two sub districts, which were Kelurahan Cempaka Puith, Central Jakarta and Kelurahan Pondok Kelapa, East Jakarta. The project lasted for one year and was officially ended in July 2001. This investigation covered a descriptive-qualitative study on SSRI pilot project during the year of 2000-2001. A planning to implement SRI as sustainable solid waste management in settlement was then made based on the result of study. Objectives of this research were: 1) to propose strategic plans (scenario) for implementing SSRI; 2) to analyze role and involvement of stakeholders; 3) to analyze constraints of scenario and policies required to overcome constraints. This research was a descriptive one and data analysis was conducted using SWOT analysis and Analytical Hierarchy Process methods. The investigation was conducted in four steps. Step one: evaluating SSRI pilot project. Step two: SWOT analyzing on the execution of SSRI pilot project. Step three: conducting planning process using AHP method. Step four: proposing SSRI implementation scheme. SWOT analysis on the SSRI pilot project resulted strategic plan for implementing SSRI in settlement, which comprises of four sets of scenario. Firstly, Aggressive Scenario focuses on research activities in order to gain innovation of solid waste recycle, increasing SSRI's capacity of process, and making efforts for expanding market for SSRI's product. Secondly, Turn-around Scenario focuses on simplifying methods of process into labor intensive ones, promoting TPS (Collection Sites) as SSRI's site, developing partnership for SRI, developing programs that may support SSRI. Thirdly, Diversionary Scenario focuses on community involvement in decision making process, diversifying products and increasing quality of products. Fourthly, Defensive Scenario focuses on developing communication models for socialization, decreasing bureaucracy, improving human skills and knowledge of every stakeholder, providing legal framework concerning implementation of SSRI. Results of forward planning process using the AHP indicating that both Pemda DKI Jakarta (Provincial Government of DKI Jakarta) and Target Community have the same level of interest (0,354) with the existence of SSRI. From Pemda's point of view, the existence of SSRI may be a workable solution to solid waste problems whereas from Target Community point of view, SSRI may directly increase the quality of their surrounding environment. Perda DKI Jakarta (Regional Regulation) no. 5 year 1988 states that cleaner environment is of both Pemda and Community' responsible. Private Sector is the next party having interest in SSRI (0,161) as it receives products of SSRI. The whole stakeholders tend to asses Experts as having the least interest in SSRI (0,131). SSRI should meet four criterions, which are environmentally beneficial, economically feasible, technically viable, and socially acceptable, in order to be a sustainable solid waste management system. The fulfillment of environmentally beneficial criterion turns out to be the stakeholders' primary focus of consideration. Economical feasibility and social acceptability are then of stakeholders' consideration, followed by and technical viability of SSRI. Based on those considerations, stakeholders tend to prioritize three (3) main objectives which are diminishing of waste to be transported to TPA (final disposal site) , market continuity for SSRI's products, and profit taking from selling of SSRI's products. According to stakeholders, Turn-around Scenario should be given most priority due to its simple nature may ease the process of implementing SSRI. Diversionary and Defensive Scenarios tend to have balanced values and thus given the second priority. Whilst Defensive Scenario is of the last priority. Stakeholders find that the main constraints to the four scenarios are consecutively commitment of every related party, resistance (negative attitude) towards SSRI from given community, the low quality of human resource, and lack of investments. Lack of access to results of research activities and sectoral ego may also hinder the implementation of SSRI. Pemda DKI Jakarta is highly expected to be a leading agent in SSRI program. That makes it being most expected to have the capability in overcoming all constraints. But instead of just relying on the government (Pemda), Target Community is also expected to play a more significant role in coping with the constraints. Experts are expected to cooperate with Pemda and Community. The role of Private Sector in coping with constraints is the smallest except in providing investments. In order to overcome constraints, stakeholders tend to propose the following policies. The first one is conducting public consultation to host community (community which would host the SRI). Policies considered to be the second important ones according to stakeholders are structuring of regulations accommodating the implementation of Zero Waste Approach, as well as of SRI, and intensifying the use of communication channels (both mass media and interpersonal networks) in order to extent socialization. Consecutively are the third and fourth policies; increase quality as well as quantity of 3R's dissemination programs, and facilitate public access to results of research related with recycle (3R). Conclusion drawn from this study are: 1) Scenario that focuses on simplifying methods of process into labor intensive ones, promoting TPS (Collection Sites) as SSRI's site, developing partnership for SRI, developing programs that may support SSRI, becomes stakeholders' priority; 2) Pemda DKI Jakarta and Target Community hold the same level of interest in IKDU; 3) The main constraint of implementation of IKDU is commitment of every related parties, and the most needed policy is to conduct public consultation to the host community. Suggestions asserted from this research are: 1) An early public consultation to host community should be the utmost priority of the proponents; 2) Council of sub district (Dewan Kelurahan) or Organization of Sub district Community (Lembaga Masyarakat Kelurahan) may be involved in the management of SSRI; 3) Regulations regarding SSRI may bind the commitments of all related parties; 4) There is a need of thorough research on market characteristics of recycled and recyclable materials. The result may provide a better projection on SSR1 as a recycle business and as a sustainable solid waste management.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Hakim
Abstrak :
Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Hal ini terlihat selama 25 tahun terakhir ini, eksploitasi sumberdaya dan tekanan pembangunan mempunyai pengaruh pada hutan. Dalam buku Agenda 21 Indonesia disebutkan bahwa faktor-faktor yang menekan kerusakan hutan Indonesia, adalah: a) pertumbuhan penduduk dan penyebarannya yang tidak merata, b) konversi hutan untuk pengembangan perkebunan dan pertambangan, c) pengabaian atau ketidaktahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam, d) program transmigrasi, e) pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah, f) degradasi hutan bakau yang disebabkan oleh konversi menjadi tambak, g) pemungutan spesies hutan secara berlebihan dan h) introduksi spesies eksotik (UNDP & KMNLH, 1997). World Resources Institute (WRI) menempatkan masalah kerusakan hutan tropis akibat penggundulan hutan sebagai masalah lingkungan utama Indonesia (Yakin, 1997). Eksploitasi hutan yang selama ini dilakukan secara berlebihan melalui sistem hak pengusahaan hutan (HPH) dan konversi hutan untuk pengembangan pertanian, khususnya perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Kerusakan hutan juga terjadi di hutan konservasi dan hutan lindung. Data yang ada memperlihatkan bahwa hutan yang mengalami rusak berat akibat sistem HPH sampai Juni 1998 seluas 16,57 juta ha (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Luas hutan konservasi dan bekas tebangannya yang rusak serta perlu direhabilitasi sekitar 13,7 juta ha, sedangkan lahan kritis mencapai 22 juta hektar (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (dalam UNDP & KMNLH, 1997) menyatakan bahwa 12 juta ha hutan konversi telah diubah menjadi lahan pertanian, dan 4,8 juta ha untuk kegiatan pertambangan, sedangkan hutan konversi yang tersisa hanya 13,2 juta ha. Tingkat kerusakan hutan yang tinggi mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya sehingga dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, ketersediaan sumberdaya air dan erosi tanah. Faktor-faktor yang menekan proses kerusakan hutan Indonesia, diantaranya konversi hutan untuk pengembangan perkebunan. Cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untuk mendapatkannya relatif mudah dan memperoleh keuntungan dari kayu hasil tebangan. Hampir semua pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang adalah areal pertanaman baru berasal dari areal hutan produksi yang dikonversi (Kartodihardjo, 1999). Namun dalam pelaksanaan kebijakan pelepasan kawasan hutan, temyata para pengusaha perkebunan besar yang mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan untuk penyediaan perkebunan besar kelapa sawit banyak yang tidak memanfaatkan lahan secara optimal dan bahkan lahan tersebut ditelantarkan. Data dari Dephutbun (1999) memperlihatkan banyaknya permohonan yang telah mendapatkan SIC pelepasan kawasan hutan dan izin prinsip pelepasan kawasan hutan, ternyata tidak/belum dimanfaatkan/tidak ditindaklanjuti dengan baik. Sampai Maret 1998 disebutkan SK pelepasan kawasan hutan seluas 4.012.946 ha (454 perusahaan), izin prinsip pelepasan kawasan hutan seluas 3.999.654 ha (245 perusahaan) dan realisasi penanaman temyata hanya seluas 1.751.319 ha. Banyak pengusaha yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan namun tidak memiliki HGU. Terdapat 91 perusahaan perkebunan besar swasta nasional (PBSN) di wilayah 14 propinsi yang tidak memiliki HGU padahal pengurusannya sudah melewati batas waktu. Lahan yang tidak memiliki HGU namun telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan luasnya mencapai 661.345,5 ha. Bahkan terdapat perusahaan yang telah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sejak tahun 1987, atau telah 12 tahun tidak memiliki HGU. Penelitian ini didasarkan atas pertanyaan penelitian, a) mengapa dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perluasan perkebunan besar kelapa sawit terjadi praktek penyimpangan?, b) mengapa penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit berdampak pada peningkatan penggundulan hutan di Indonesia? dan c) bagaimana seharusnya arah perbaikan penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk pengembangan perkebunan besar kelapa sawit agar tidak terjadi praktek penyimpangan dan peningkatan penggundulan hutan di Indonesia? Dengan penelitian ini, diharapkan dapat diperoleh informasi jawaban tentang berbagai hal yang telah diungkapkan dalam pertanyaan penelitian. Hipotesis penelitian adalah "praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan yang berdampak pada meningkatnya kerusakan lingkungan di Indonesia". Penelitian ini termasuk penelitian terapan, karena mengkaji penerapan kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Teknik pengumpulan data dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui proses : a) studi kepustakaan dengan cara penelusuran atau eksplorasi data-data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif dan b) wawancara dan diskusi mendalam melalui serangkaian wawancara dan diskusi dengan berbagai narasumber yang memahami isi masalah penelitian yang dianalisis, baik narasumber dari kalangan perguruan tinggi, birokrasi maupun LSM yang memiliki perhatian pada masalah lingkungan. Pembahasan hasil penelitian dilaksanakan melalui beberapa tahap sebagai berikut :a) pemaparan data hasil penelitian. b) data hasil penelitian selanjutnya dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan. dengan menekankan pada pendekatan empiris yang menjelaskan sebab dan akibat dari kebijakan, dan pendekatan evaluatif yang menekankan konsistensi antara nilai-nilai kebijakan dan penerapannya dan c) pembahasan hasil penarikan kesimpulan agar dapat diketahui secara jelas akar masalah kebijakan dan melalui pendekatan normatif diusulkan arah perbaikan kebijakan untuk memecahkan masalah-masalah kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan telah dapat mendorong para pengusaha untuk melakukan pengembangan perkebunan besar kelapa sawit. Namun dalam penerapan kebijakan tersebut terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan pengusaha. Kawasan hutan yang telah mendapatkan izin pelepasan ternyata tidak direalisasikan dengan persiapan usaha dan penanaman kelapa sawit sehingga lahan tersebut terlantar. Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan atau distorsi antara nilai-nilai yang ada dalam rumusan kebijakan dengan penerapan kebijakan tersebut. Nilai-nilai kebijakan menyebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar tidak diperbolehkan merusak dan menganggu lingkungan hidup, dan kelestarian hutan, memperhatikan usaha konservasi tanah dan air, memperhatikan asas konservasi lahan dan lingkungan hidup, dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur pelaksanaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan besar, khususnya kelapa sawit. Praktek penyimpangan penerapan kebijakan tersebut, berdampak pada peningkatan kerusakan hutan dan kerusakan lingkungan. Faktor yang menyebabkan kesulitan dalam penerapan kebijakan secara baik, disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup terutama penerapan kebijakan di lapangan, terdapat berbagai kepentingan yang berbeda atas konversi hutan untuk perkebunan besar khususnya antara kepentingan pemerintah, pengusaha dan rakyat, dan birokrasi publik yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan masih terlalu kuat sedangkan posisi tawar masyarakat masih lemah. Selain hal tersebut, kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan harus memiliki daya penegakan agar dapat diterapkan secara tegas dan dipersempit ruang bagi terjadinya perilaku penyimpangan kebijakan. Akibat terjadinya banyak praktek penyimpangan dalam penerapan kebijakan, maka Manteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Edaran Nomor 603 /Menhutbun-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati di seluruh Indonesia mengintruksikan agar untuk sementara para kepala daerah tidak menerbitkan rekomendasi pencadangan pelepasan kawasan hutan untuk tujuan usaha perkebunan. Dengan surat edaran itu, maka tidak ada lagi permohonan baru konversi hutan alam untuk perkebunan yang dikabulkan atau direkomendasi. Kebutuhan lahan hutan untuk pengembangan perkebunan mengakibatkan konversi hutan menjadi lahan non hutan berjalan cepat. Namun proses konversi hutan yang dilakukan tidak didasarkan akan kaidah ekologi, ekonomi dan sosial secara seimbang, sehingga dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi dan sosial. Pengelolaan sumberdaya hutan menyangkut kehidupan rakyat Indonesia dan mengingat nilai penting dari sumberdaya hutan dari segi ekonomi, sosial dan ekologi maka saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah kebijakan yang mengatur sektor ini harus memperhatikan aspek transparansi, pendekatan bawah-atas, dan partisipasi politik semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, kebijakan yang akan diambil dapat memenuhi nilai bagi kebaikan publik, nilai bagi kelestarian lingkungan dan menghargai hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat atas sumberdaya hutan. Saran lain dari hasil penelitian ini, jika pelaksanaan konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit justru memperluas kerusakan hutan alam akibat praktek penyimpangan kebijakan oleh pengusaha, maka pemerintah perlu melakukan perubahan status tata guna hutan. Hutan yang berada dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dirubah menjadi hutan tetap yang tidak dapat dikonversi untuk keperluan lain. ......The Impact Of Forest Conversion Policy Implementation On Environmental Degradation (Case Study in Forest Conversion for Oil Palm Plantation)Forest in Indonesia has a number of functions: economic, social, environmental and cultural, particularly for the local community. Without balance and equilibrium between the functions, sustainability of the forest will be in danger. It can be shown that in the last 25 years pressure of resources exploitation and development pressure are having influences to the forest. Some factors influencing forest destruction in Indonesia are: a) population growth and the distribution is scatter, b) forest conversion for plantation and mining, c) ignorance or no found out about traditionally land ownership and traditional right to use natural resources, d) transmigration program, e) industrial and agricultural pollution in wetland forest, f) mangrove forest degradation caused by conversion to fishponds, g) species harvested excessively, h) introduction of exotic species. The World Resources Institute (WRI) has placed tropical forest destruction by deforestation as one of Indonesian main environmental problems (Yakin, 1997). Excessive forest exploitation made possible by the right to a forest concession (HPH) and forest conversion for agriculture especially plantation, have resulted in severe forest destruction. Moreover, the destruction happened to conservation and preservation forest. Data shows, wide of forest area severely damaged by HPH until June 1998 was 16, 57 million ha. (Kartodihardjo & Supriono, 1999). Conservation forest and its destroyed deforested land that need rehabilitation reached 13,7 million ha and critical lands amounts to 22 million (KMM Kehutanan, 2000). Djajadiningrat (in UNDP and KMNLH, 1997) said that 12 million ha of conversion forest were turned into agriculture areas and 4,8 million ha into mining and leaving only over 13, 2 million ha. High rate of forest destruction decrease forest ability to play its ecological function causing serious impact, to the environment such as climate change, decreasing biodiversity, water supply and soil erosion. Much factors intensity Indonesia's forest destruction, such as forest conversion to develop plantation. Methods mostly practiced to get the area for oil palm plantation was changing forest area, since its easy mechanism and the profit from the log. Almost all of oil palm plantations found at present were new plantation by changing allocated production forest (Kartodihardjo, 1992). In realization, many plantation estates who applied for forest area clearing did not use the area optimally and even just left the area. Data from Department of Forestry and Plantation (1999) showed that many applicants, who have obtained license for forest clearing and permission for opening the forest area, did not use the area rightly. Until March 1998 there were license for opening the forest for 4.012.946 ha (454 companies). Permission for clearing of forest area covered 3.999.654 ha (245 companies) and realization of plantation only 1.751.319 ha. There are many entrepreneurs who have already had the license didn't have HGU . There are 91 national private plantation companies (PBSN) in 14 provinces don't have HGU. Areas that did not have HGU but have already had the license for plantation are 661.345,5 ha. There are also companies that have had the license since 1987 but they do not have HGU. This research is based on three questions: a) why there were many deviations in implementing the conversion of forest areas for oil palm plantations? , b) why implementation of the policy have impacts to deforestation?, c) how to improve implementation of the policy ? Result obtained from this research to is expected to answer mentioned questions. The hypothesis is "deviation in implementation policy of clearing forest areas has impacts on the increase of environmental degradation". Data were collected directly and indirectly through: a) literature study to obtain qualitative and quantitative data, b) interview and discussion with many resource persons from universities, government, and non-government organizations (NGO) interested in environmental issues. The discussions were conducted in steps such as: a) data expose, b) data analyses and draw conclusion through empiric approach to explain relations between cause and effect of the rule and evaluative approach stressing consistency value of the rule and the implementation, c) conclusion discussion to get the root of problem and through the normative approach to give the way to solve the policy problem. Based on results obtained, it can be concluded that policy of conversion forest areas for plantation have motivated entrepreneurs to develop oil palm plantations. However, a number of deviations were practiced by the entrepreneurs. Forest areas that have already had the licenses did not make work preparations and oil palm planted and at the end, the area is neglected. Divert implementation showed there were unbalance or distortion between the exist value in the policy with implementation of the policy it self The values of the policy said that releasing forest area for big plantation not allowed damaging or disturb the environment and forest continuing, pay attention on land and water conservation, pay attention to the Principe of land conservation and the environment and other rules that manage the releasing implementation for big plantation especially oil palm. Factors that made difficulties to policy enforcement are difficult to enforce in the field. There are different interests on forest conversion for big plantation, government, entrepreneurs and community interests and public bureaucracy. Bureaucracy who has authority in decision making is too strong and the other hand, community bargaining is very weak. Beside that, the policy to open the forest area for plantation has to have enforcement to apply firmly and. make small changes for policy deviates. Because of many deviations on policy implementation, The ministry of Forestry and Plantation through Surat Edaran Nomor 603IMenhutbun-VIIT12000, May 22, 2000, that purposed to governor and head of regency, instruct them not to make new recommendation for forest opening for plantation. With that letter, no more application can get recommendation. The requirement of forest areas for plantation development caused alteration forest areas became no forest areas run faster. Unfortunately, the conversion wasn't implemented as balance based on ecology, economic and social principles, so after that gave impacts like environmental degradation, and financial and social loss. Management of forest resources is related to Indonesian society livelihood. Upon thinking of the important value of forest resources, economic, social, and ecology, and based on this research, it's suggested that policy which is managing this sector has to make considering transparantion and bottom-up approach aspects, also political participation whole stakeholders involved. Thus, the policy can meet values for goodness of society, environmental conservation, and gives respect for everyone rights to get benefit of forest resources. Other suggestion is, if the implementations of forest conversion for oil palm plantation extend the natural forest degradation, government should change the management of forest utilization. Forest which is in forest production area can be converting but cannot be other use.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2813
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akih Hartini
Abstrak :
Manusia sebagai makhluk hidup memiliki ketergantungan dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik dan sehat akan memungkinkan manusia untuk berada dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani. Kesehatan secara jasmani dapat dicapai antara lain melalui pemenuhan gizi yang sehat, pemberian air susu ibu, imunisasi, penggunaan air bersih, menjaga kebersihan dan sanitasi, serta olahraga. Ketidakcukupan dalam pemenuhannya akan menyebabkan gangguan kesehatan jasmani. Manusia yang mengalami gangguan kesehatan ini akan mencari pengobatan yang diyakini berdasarkan pengetahuan secara medis maupun pengetahuan tradisional. Pengobatan yang berlandaskan pada pengetahuan tradisional adalah salah satu alternatif yang banyak digunakan masyarakat. Penelitian ini akan memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari untuk pengobatan tradisional. Sistem pengetahuan tradisional lokal itu sendiri merupakan ungkapan budaya yang khas, di dalamnya terkandung tata nilai, etika, norma, aliran dan keterampilan suatu masyarakat dalam memenuhi tantangan dan kebutuhan hidupnya. Kemajuan bioteknologi khususnya di bidang obat-obatan semakin memperluas kegiatan perusahan-perusahaan besar nasional maupun multinasional di bidang obat-obatan untuk mencari sumber-sumber genetika baru di daerah pedalaman tempat masyarakat adat yang memiliki pengetahuan tradisional hidup. Nilai positif yang didapat dari kegiatan tersebut adalah pengetahuan tradisional yang selama ini terpendam maka dapat diketahui oleh masyarakat umum. Namun nilai negatifnya pun akan muncul, karena hasil penelitian yang sebenarnya pengetahuan tradisional masyarakat adat sering kali diakui sebagai milik atau temuan para peneliti. Berdasarkan hal tersebut, maka pengetahuan tradisional masyarakat adat di Indonesia dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional secara lestari perlu dilindungi. Tujuan penelitian ini adalah: 1) mencari bentuk perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman hayati tumbuhan obat tradisional, 2) mencari mekanisme pembagian keuntungan atas pengetahuan tradisional masyarakat adat untuk mengantisipasi pasar bebas terhadap monopoli pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam pemanfaatan tumbuhan obat tradisional oleh perusahaan nasional dan multinasional di bidang obat-obatan. Di Indonesia belum ada pihak yang khusus mendalami aspek hukum Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) bagi pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional. Padahal Konvensi Keanekaragaman Hayati khususnya Pasal 8 butir j mengakui tentang HaKI masyarakat adat yang berhubungan dengan Keanekaragaman hayati. HaKI dapat melindungi individu (dalam hal ini masyarakat adat) untuk mendapatkan perlindungan finansial berupa pembagian keuntungan atas prestasi masyarakat adat dalam memberikan pengetahuannya kepada pihak luar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan survei. Metode ini digunakan untuk mencari bentuk perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masyarakat adat. Data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan dalam bentuk kata-kata atau gambar-gambar berdasarkan hasil wawancara dengan responden (sampel). Teknik pengambilan sampel dilakukan melalui teknik purposive sampling. Pemilihan individu-individu tertentu sebagai sampel berdasarkan alasan bahwa individu-individu tersebut mewakili (representatif) dan mengerti tentang populasi kelompoknya. Populasi penelitian meneakup 3 Balai (kelembagaan adat) di Kecamatan Loksado Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan yaitu Balai Malaris (35 umbun/keluarga), Balai Haratai (33 umbun/keluarga) dan Balai Waja (30 umbunikeluarga). Dan setiap balai diambil seorang individu sebagai sampel berdasarkan kedudukan indvidu tersebut sebagai ketua adat, atau peramu (dukun), atau pembekal desa yang masih memegang pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat tradisional secara lestari. Analisis dilakukan dengan memuat sintesis dari inforrnasi-informasi yang diperoleh dari berbagai sumber ke dalam deskripsi koheren (yang berjalin) mengenai yang diamati atau ditemukan. Hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis kerja. Yaitu hipotesis yang tidak diuji, tetapi hanya mengarahkan peneliti menuju hasil penelitiannya. Hipotesis kerja penelitian ini adalah: 1) perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dapat dilakukan dengan cara memberikan hak kekayaan intelektual dan melakukan pembagian keuntungan atas pengetahuan tersebut, 2) pembagian keuntungan atas pengetahuan tradisional dapat berupa materi dan non-materi. Berdasarkan hasil penelitian ternyata Suku Bukit sebagai gambaran dari masyarakat adat di Indonesia, memiliki pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat tradisional secara turun-temurun. Pengetahuan Suku Bukit tersebut selama ini hanya diperuntukkan dan dipergunakan bagi komunitas mereka saja secara terbatas. Konsep pelestarian tumbuhan obat yang ada di hutan berhubungan dengan pelestarian hutan itu sendiri yaitu secara in-situ (di habitatnya yang asli) karena kehidupan mereka sangat terkait dengan alam. Keterkaitan dengan alam melahirkan kepercayaan bahwa alam sekitar mereka merupakan sumber kekuatan hidup sehingga apa yang ada di alam harus dilestarikan di samping dimanfaatkan. Pergeseran nilai pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada Suku Bukit sedang terjadi, karena: 1) pengetahuan tersebut tidak tertulis, akibatnya ketika proses pembangunan, modernisasi dan globalisasi mengubah sistem budaya setempat, pengetahuan yang belum terdokumentasikan tersebut mulai hilang, 2) munculnya industri jamu tradisional, mengakibatkan semakin terikatnya masyarakat adat di sekitar industri jamu dibangun terhadap sistem permintaan bahan dasar dari tumbuhan obat tertentu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: Perlindungan pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam melestarikan dan memanfaatkan tumbuhan obat tradisional dilakukan dengan jalan:
  1. Memberikan hak atas pengetahuan tradisional masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan obat tradisional secara lestari guna mencegah pencurian plasma nutfah tumbuhan obat ke luar negeri (biopiracy) serta mencegah eksploitasi pengetahuan tradisional masyarakat adat oleh pihak asing yaitu perusahaan-perusahaan nasional maupun multinasional di bidang farmasi (obat-obatan). Hak tersebut diatur dalam bentuk undang-undang, sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 8 butir j Konvensi Keanekaragaman Hayati.
  2. Menciptakan pembagian keuntungan bagi masyarakat adat sesuai dengan nilai sosial, budaya dan spiritual mereka. Pembagian keuntungan tidak hanya berupa materi (nilai uang) tetapi dapat berupa:
    • Memperkuat Sumber Daya Manusia masyarakat adat melalui pelatihan keterampilan cara memproses tumbuhan obat dengan teknologi sederhana dan pendidikan untuk mempertahankan keberadaan mereka.
    • Pelayanan teknologi tepat guna khususnya dalam peramuan, penyimpanan dan pengemasan tumbuhan obat.
    • Kredit sarana teknologi, melalui koperasi di tingkat desa.
    • Mengembangkan konsorsium teknologi antara pemerintah daerah, pusat studi lingkungan, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat sendiri.
Jalur pembagian keuntungan yang efektif adalah langsung kepada masyarakat adat melalui lembaga adat yang menaungi masyarakat adat. ......Protection The Rights On Intellectual Property of The Adat Community (Mechanism of Benefit Sharing of Traditional Knowledge of the Adat Community in Sustainable Use of Traditional Medical Plants)Mankind as human beings is very dependent to its environment. Good and health environmental condition makes human to placed on a health of mental and physical condition. Physical health condition could be reached through the good nutrition, basic treatments for mothers and other preventive actions undertaken in the household such as breast-feeding, immunizations, the use of portable water, sanitations, and exercises. If they are not enough, they will cause physical health unbalanced. Medical treatment based on traditional knowledge is one of many alternatives that used in community. This research is about traditional knowledge on sustainable use of medical plants used by adat communities for traditional healing. Traditional/local knowledge system is a unique cultural expression consisting of values, ethics, norms, ideology and people skills to fulfill challenges and requirements of life. The development of biotechnology, especially in medicine give the opportunity to national and multinational pharmaceutical companies to find new genetic resources in the areas and place where adat communities with their traditional knowledge live. Positive value of this activity is that people can discover and learn more about the traditional knowledge, however the negative side of this activity is that researchers often claim traditional knowledge as their findings. That is the reason traditional knowledge of adat communities in Indonesia, especially using traditional medical plants need to he protected. The purpose of the research are as follows:
  1. To find protection form of traditional knowledge of adat communities in using and conserving biodiversity of traditional medical plants.
  2. To find the mechanism of benefit sharing of traditional knowledge of adat community to anticipate monopoly of national and multinational pharmaceutical companies in the exploitation of the traditional medical plants.
In Indonesia the Rights on ntellectual Property (HaKI) on traditional knowledge of the adat community in sustainable use of traditional medical plants has not yet been supported by a legal aspect. However the Convention of Biodiversity section Paragraph 8 j the Rights on Intellectual Property (HaKI) has been recognized and may support each individual adat community financially by sharing the benefit from passing on the traditional knowledge to the society. This research is using descriptive-analytic method with survey approach. This method is used to find out the form of protection towards the traditional knowledge of aria community. The data used is primary data type, such as interviews with some chosen respondents. Purposive sampling is used as the sampling technique. Each individual chosen as samples are considered representatives of the population group. The population group consist of 3 Balai (traditional organization) in Kecamatan Loksado Hulu Sungai Selatan, South Kalimantan; Balai Malaris (35 umbun/ families), Balai Haratai (33 umbun/ families), Balai Waja (30 umbun/ families). One individual from each balai is chosen as a sample according to the status of the person such as, traditional leader, traditional medicine practitioner (dukun) or an "advisor" somebody who has broad knowledge on sustainable: use of traditional medical plants. The analysis is made based on the information collected from several sources into a coherent description. This research is using working hypothesis, which is not tested, however leading the researcher into the result of the research. The hypothesis in this research are as follows: The protection of traditional knowledge of the adat community could be carried out by giving the rights on intellectual property and share the benefit from passing on this knowledge to the society. Benefit sharing could be material or non-material. The results of the research shows that Bukit Tribe (ethnical group) as one adat community, has the knowledge on how the use traditional medical plants and it is passed on from one generation to another, however it was only limited among their own tribe. The concept of conserving the medical plants in the forest means to preserve the forest itself, which is known as in-situ (within the origin habitat). The people of the tribe believe that nature is the source of living so it needs to be preserved. Nowadays the knowledge on the use of traditional medical plants in the Bukit tribe is undergoing some changes, it is due to:
  1. The knowledge has never been documented (not written); during the development, modernization and globalization process that changes the system of local culture this documented "science" is beginning to disappear.
  2. Traditional medical plants industrialization; leading to the development of a demand towards certain kind of plants.
The conclusions of the research are as follows: Protection of the traditional knowledge of the adat community in sustainable use traditional medical plants are as follows:
  1. To give adat community rights towards the traditional knowledge of the use of medical plants to prevent biopiracy and biogenetic exploitation by the national and multinational pharmaceutical companies. The rigths should be regulated based on section 8 j of the Biodiversity Convention.
  2. To create a form of benefit sharing for adat communities based on social, cultural and spiritual values. Benefit sharing could also be in a non-material form, such as:
    • Educative development towards the adat communities through trainings on medical plants processing with simple technology and further education defending their existence.
    • Provision of appropriate technology especially in blending, storing and packing the traditional medical plants.
    • Providing credits for tools and equipments, through Koperasi Unit Desa.
    • Developing a consortium on technology among the local governments,centre for environmental studies, non-governmental institutions and adat communities.
The most effective way of benefit sharing is directly to the adat communities through an appointed traditional organization.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T2701
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>