Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lady Tiara Rieviana
"ABSTRAK
Berkembangnya teknologi di bidang perbankan memberikan keuntungan pada nasabah karena nasabah dapat bertransaksi dengan mudah. Akan tetapi hal tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya jumlah kasus penipuan melalui bank. Kondisi demikian mendorong bank untuk membuat terobosan baru dalam rangka melindungi nasabah korban penipuan, yaitu dengan penundaan transaksi. Saat ini, nasabah bank yang menjadi korban penipuan dapat meminta bank untuk melakukan penundaan transaksi dalam rangka menyelamatkan dana nasabah korban dari penipuan. Penundaan transaksi ini dikenal seiring lahirnya Undang- Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam pelaksanaannya, penundaan transaksi juga dapat menimbulkan masalah-masalah hukum yang bervariasi tergantung pada situasi yang ada. Masalah-masalah hukum yang mungkin timbul dan bagaimana cara penyelesaiannya adalah pokok permasalahan yang akan diteliti oleh penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Dengan adanya penundaan transaksi, dana nasabah korban dapat ditahan oleh bank sementara waktu untuk melakukan pemeriksaan terhadap transaksi tersebut. Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa transaksi tersebut terbukti berdasarkan tindak pidana, maka dana yang ditahan dapat segera dikembalikan oleh bank kepada nasabah korban. Dengan demikian penundaan transaksi ini menjadi salah satu cara yang efektif dalam melindungi nasabah korban penipuan melalui bank.

ABSTRACT
The development of technology in banking sector provides benefit to bank?s customers because they can make transactions easily. But it also can cause the increasing number of fraud through the bank. This condition encourages banks to make a new breakthrough in order to protect bank?s customers who became a fraud victim, by the suspension of transaction. Currently, bank?s customers who were victims of fraud may request the bank to suspend the transaction in order to save customer's money. The suspension of this transaction is known as the birth of the Law No. 8 of 2010 concerning the Prevention and Combating Money Laundering. In practice, suspension of transactions could cause varied legal problems depend on the situation. Legal problems that might arise and its solution is the subject matter that will be researched by the author using the juridical normative research method. By the suspension of transactions, the victim?s fund could be hold temporarily so bank could investigate the suspicious transaction. If the investigation proved that the transaction is based on crime, then the suspended fund could immediately returned by the bank to the victim. Thus the suspension of transaction is one of effective means of protecting victims of fraud through the bank."
2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purwanto
"Pada bulan November 1983 Proyek Industrial Estate Pusat Departemen Perindustrian (PIEP-Depperind) mengadakan perjanjian kerjasama dengan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan -- Universitas Padjadjaran (PPSL-UNPAD) mengenai Studi Kelayakan Kawasan Industri Cirebon. Tujuan dari studi kelayakan tersebut adalah untuk menentukan lokasi yang paling tepat bagi suatu kawasan industri di Cirebon.
Karena pembangunan suatu kawasaii industri di suatu daerah akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan di daerah tersebut maka sesuai dengan ketentuan UU No. 4/ 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup rencana pembangunan kawasan industri tersebut harus dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Andal). Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Andal dikatakan bahwa Andal merupakan komponen dari studi kelayakan. Dengan demikian suatu studi kelayakan akan meliputi komponen analisis teknis, analisis ekonomis dan analisis dampak lingkungan. Karena peraturan pemerintah tentang Andal ini masih berupa rancangan maka ketentuan tentang Andal tersebut pelaksanaannya belum dapat dipaksakan.
Dengan dibentuknya Lembaga Penelitian di lingkungan Universitas Padjadjaran, yaitu berdasarkan Keputusan Mendikbud No. 0133/0/1983, maka segala kegiatan penelitian, baik yang berasal dari pemerintah maupun yang berasal dari swasta, dikelola dan dilaksanakan melalui "satu pintu", yaitu LP-UNPAD. Bahwa di dalamnya ada Pusat-pusat Penelitian yang mengerjakan kegiatan penelitian tersebut pihak bouwheer tidak perlu tahu, sebab tanggung jawab ataspelaksanaan kegiatan penelitian tersebut ada pada LP-UNPAD.
Oleh karena KUHPerd pada hakekatnya hanya merupakan suatu aanvullendrecht maka syarat-syarat sahnya suatu perjanjian seperti tersebut dalam pasal 1320 tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya syarat yang bersifat limitatif. Dalam tata kehidupan pemerintahan, para pihak selain harus memenuhi syarat kecakapan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerd juga harus memenuhi syarat kecakapan yang disebabkan oleh faktor batas-batas kewenangan yang dimilikinya berkenaan dengan jabatan tertentu yang dijabatnya.
Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa istilah pemborongan dalam Keppres 14A/1980 sebenarnya.kurang tepat sebab istilah tersebut tidak mencakup pekerjaan-pekerjaan yang tidak menciptakan sesuatu, seperti pekerjaan melakukan penelitian.
Meskipun perjanjian kerjasama antara PIEP-Depperind dengan PPSL-UNPAD merupakan perjanjian dalam bidang hukum perdata, namun beberapa ketentuan hukum publik tetap ada di dalamnya, misalnya ketentuan/klausula mengenai pengawasan dan klausula mengenai sangsi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widhie Kurniawan
"Adanya lembaga pertanggungan saat ini yang dirasakan sebagai hal yang sangat mutlak dalam suatu kehidupan masyarakat sebab banyak anggota menyadari bahwa kehidupan yang dilaiui ini tidak seluruhnya sesuai seperti apa yang direncanakan. Munculnya lembaga pertanggungan yang terus berkembangan saat ini, setidaknya mampu memberi ketenangan anggota masyarakat akan ketidakpastian yang dihadapi, selain itu, sisi lain yang diperoleh adalah semakin meningkatnya laju perekonomian karena adanya suatu perlindungan bagi suatu upaya menggalang tujuan yang besar. Namun demikian, ditengah semaraknya perasuransian saat ini, konsep perjanjian pertanggungan ,yang diterapkan digugat oleh para ahli hukum Islam sebagai mengandung tiga unsur yang bertentangan dengan syariah Islam, sehingga membuat ragu kalangan muslim untuk mengikuti perjanjian pertanggungan ini. Ketiga unsur tersebut adalah Al Ghoror (ketidak jelasan), Al Maisir (perjudian), dan Ar Riba (pembungaan uang) karenanya mereka menghadirkan suatu konsep lembaga pertanggungan altenatif yang diyakini telah meninggalkan ketiga unsur itu yang disebutnya sebagai Asuransi Takaful baik Takaful Keluarga (asuransi jiwa), dan Takaful Umum (kerugian). Para pengelola Takaful beranggapan bahwa, konsep mereka terutama pada penulisan skripsi ini tentang perjanjian pertanggungannya belum ada yang menerapkan selain mereka sendiri. Akan tetapi, setelah penulis membandingkan konsep takaful dengan konsep mutual yang dikembangkan oleh Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912, ternyata ada kemiripan. Kemiripan itu nampak dari pengembalian premi dari Badan kepada tertanggung manakala ia tidak meninggal dunia hingga akhir masa pertanggungan, ditambah pula pengembalian itu dengan reversinary bonus. Dengan ini maka kesan judi (Al Maisir) dapat dihilangkan secara jelas. Sedangkan unsur-ArRiba memang menjadi mutlak milik Takaful, karena mereka telah menyatakan secara tegas lembaga pertanggugannya berdasarkan syariah Islam. Dan unsur AI Ghoror yang dilakukan melalui pembagian dua rekening (tabungan dan tabarru), pada sistem mutual memang tidak jelas. Mengenai hal-hal lain seperti prinsip dasar asuransi, ketentuan perundangan yang mengatur, masalah polis, syarat menjadi anggota perjanjian pertanggungan dan lain-lain ternyata tidak mempunyai perbedaan prinsip."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20924
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daikh Mudh Dullah Isa
"Transfer pricing bagi Indonesia merupakan tantangan besar untuk memaksimalkan penerimaan negara, karena tercatat oleh otoritas pajak Indonesia bahwa setiap tahunnya Indonesia dirugikan 1300 Trilliun Rupiah karena praktik transfer pricing ini. Bagi Jepang perhatian khusus diberikan untuk penanganan transfer pricing karena tumpuan penerimaan negara Jepang berada pada sektor perpajakan. Tantangan baru dalam hal transfer pricing adalah adanya praktik transfer pricing atas aspek intangible property yang ternyata banyak dilakukan oleh MNC yang saat ini rata-rata basis usahanya adalah intangible property. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui cara penindakan abuse of Transfer pricing dan cara penindakan praktek transfer pricing atas intangible property di Indonesia dan Jepang, serta untuk mengetahui apa sajakah yang menjadi kesulitan DJP Indonesia dan NTA Jepang dalam menangani praktik transfer pricing atas intangible property. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, dan hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penindakan transfer pricing di Indonesia berpedoman pada PER DJP Nomor PER-22/PJ/2013 dan SE DJP Nomor SE-50/PJ/2013, sedangkan Jepang berpedoman pada Special Measures Tax Law 1986 yang diikuti NTA Administrative Guidelines, dan Indonesia belum memiliki aturan khusus penindakan transfer pricing atas intelectual property, sedangkan Jepang telah memiliki referensi khusus untuk menindak transfer pricing atas intelectual property, serta diketahui bahwa kesulitan yang dihadapi DJP dan NTA dalam mengatasi transfer pricing atas intangible property sama yaitu kesulitan dalam menentukan harga yang wajar dan
kesulitan dalam mencari pembanding yang wajar.

Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison. ;Transfer pricing for Indonesia is a big challenge to maximize revenues, as recorded by the Indonesian tax authorities that each year 1300 Trillion Indonesian Rupiah harmed because of this transfer pricing practices. For Japan special attention is given to the handling of transfer pricing as the foundation of Japan's revenues are in the taxation sector. New challenges in terms of transfer pricing is the practice of transfer pricing aspects of intangible property, on which there are many MNCs are currently performed because the average base of their business is intangible property. This study aimed to determine how enforcement abuse of transfer pricing and how enforcement of transfer pricing practices on intangible property in Indonesia and Japan, as well as to know what are some difficulties Directorate General Of Tax Indonesia and National Tax Agency Japan dealing with transfer pricing practices on intangible property. This study uses normative legal research methods, and the results of this study indicate that the transfer pricing enforcement in Indonesia based on the PER DGT No. PER-22 / PJ / 2013 and SE DGT No. SE-50 / PJ / 2013, while Japan based on the Special Measures tax Law in 1986 which followed by the NTA Administrative Guidelines, and Indonesia does not have specific rules on transfer pricing enforcement on intelectual property, while Japan has had special reference to crack down transfer pricing on intelectual property aspect, and it is known that the difficulties faced by the Directorate General of Tax and National Tax Agency in dealing with transfer pricing on intangible property aspect is the same, and that is the difficulty in determining a reasonable price and the difficulty in finding a reasonable comparison.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library