Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1348 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azwar
Abstrak :
Menyadari tingginya tingkat kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung mendorong pula perkembangan dan pemberian reaksi terhadap para tersangka pelaku kejahatan. Reaksi akan dapat melahirkan stigmatisasi yang menyebabkan seseorang yang secara yuridis formal belum dikatakan bersalah, telah dicap sebagai penjahat atau telah melakukan suatu perbuatan jahat. Teori labeling, dimana stigmatisasi menekankan pada suatu proses interaksi manusia yang mengasilkan adanya pemberian peranan, setelah peranan didefinisikan, maka disimpulkan adanya pemberian suatu cap terhadap seseorang yang melakukan kejahatan atau penyimpangan. Reaksi dalam penelitian ini, berujung pada pendapat James Garofalo dan analisa situasi William I Thomas serta diperkuat oleh penekanan teori labeling menurut Michalowsky dan outsider oleh Howard. S. Becker. Metode penelitian, menggunakan pendekatan kualitatif dan bersifat eksplanatoris, melakukan wawancara mendalam (depth interview) dan observasi partisipasi.lnforman penelitian, informan utama para tersangka pelaku kejahatan kekerasan sebanyak 7 (tujuh) orang dan informan pendukung sebanyak 25 (dua puluh lima) orang yang terdiri dari keluarga, teman dekat dan tenaga kesehatan di rumah sakit X. Untuk melindungi nama baik informan dan rumah sakit, semuanya menggunakan nama samaran. Hasil penelitian dan kesimpulan, adanya perlakuan yang berbeda dalam pelayanan kesehatan terhadap tersangka pelaku kejahatan kekerasan dengan tersangka pelaku kejahatan tindak pidana korupsi serta terhadap pasien biasa. Bentuk perlakuan yang lain adalah; Sering mendapatkan penolakan, dipermalukan, terpojokan, dicela, dihina dan mendapatkan perlakuan kasar. Pelayanan, fasilitas, tindakan medis dan obat-obatan yang diberikan ala kadarnya. Adapun pandangan tenaga kesehatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, adalah; Mereka telah dicap (dilabel) sebagai penjahat, mereka bukanlah orang yang berkelakuan balk, Mereka sebagai tahanan dan bukan pasien. Sakit, luka tembak, penderitaan atau tekanan psikologis yang dialami oleh mereka akibat ulah perbuatannya sendiri dan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, perbuatannya keji dan menyengsarakan masyarakat. Adanya pembedaan perlakuan, pandangan dan pelayanan kesehatan, maupun dalam bentuk fasilitas dan pengobatan terhadap para tersangka pelaku kejahatan kekerasan, merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang masuk dalam kategori diskriminasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlely Darwis
Abstrak :
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nom. M.04.PR.07.03. tahun 1985, tentang Organisasi dan dan Tata Krama Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara menunjuk Rutan sebagai Unit Pelaksana Teknis dibidang Penahan. Fungsi dan tugas pokoknya yang merupakan bagian dan instansi penegak hukum, bertanggung jawab terhadap pelayanan dan perawatan tahanan baik fisik maupun mental dalam rangka mempersiapkan para tahanan untuk menghadapi proses persidangan baik ditingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun pada tingkat Mahkamah Agung. Teknis pelaksanaan tugas dan pengelolaan Rutan berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, walaupun masing-masing dengan Petunjuk Pelaksana Teknisnya, pada kenyataannya sulit menghapus budaya "Penjara". Kemungkinan dan sini terjadi Disfungsi Pembinaan Tahanan di Rumah Tahanan Negara Jakarta Pusat", yang tercermin dan terjadinya bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penelitian tesis ini dilakukan dengan metode studi kasus dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Agar data-data dapat terkumpul sesuai yang diharapkan, penulis menggunakan beberapa cara pengumpuian data, antara lain dengan pengamatan yang panjang, wawancara mendalam, Kepustakaan, dan observasi Iangsung. Rumah Tahanan Negara Jakarta Pusat sebagai lokasi terpilih untuk dijadikan tempat peneilitian oleh karena komposisi penghuni yang sangat bervariasi. Ada tahanan, ada narapidana, ada yang buta huruf, ada juga yang berpendidikan tinggi, ada Residivis,ada pencopet,maling, perampok, penodong, pembunuh, tak tertinggal juga ada orang yang sakit jiwa (tidak waras). Beberapa hal yang merupakan temuan dalam penelitian tesis ini antara lain, kasus kriminal lain sepertinya kurang menarik dibandingkan dengan kasus-kasus Narkoba yang sedang marak akhir-akhir ini. Selaln itu terlihat ketidaksiapan SDM untuk mengimbangi situasi canggih yang begitu cepat mengalami perubahan diluar tembok, sedangkan para petugas setiap hari selalu dengan situasi monoton prakitis tanpa perubahan. Arogansi tembok penjara yang tebal membuat orang bertanya-tanya, benarkah keunikan itu ada didalamnya, dan bagaimana kemungkinan orang bisa menembus untuk melihat keunikan yang ada didalam sana. Disfungsi Pembinaan Tahanan seakan-akan tidak pernah terjadi. Mereka yang terlibat, mereka yang mengalami, mereka yang melihat, seakan sama memaklumi keadaan, karena ketidakberdayaan. Jawaban pertanyaan penelitian menunjukkan bahwa pada kenyataannya Rutan jakarta Pusat belum mampu mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pembinaan tahanan, dan kenyataan yang lebih menyulitkan adalah maraknya masalah Narkoba yang terjadi di dalam tembok penjara. Dasar teori yang menjadi penunjang tesis ini adalah basil karya dari Edwin H. Sutherland and Donald R.Cressey yang dituangkan dalam artikel yang berjudul "Detention Before Tryal". Aturan penunjang yang lain adalah Buku Pedoman mengenai Standar Intemasional yang berhubungan dengan Penahanan Pra-sidang yang dikeluarkan oleh Pusat Hak Asasi Manusia Cabang Pencegahan Kejahatan dan Hukum Pidana. Teori penunjang yang lain adalah teori Goffman yang diambil dari buku Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat ( Soerjono Soekanto, SH.MA,), karya Gressham M. Sykes dalam Crime and Justice" oleh Sirleon Radzinowicz and Marvine Wolfgang, yang keduanya sama-sama membahas bagaimana penderitaan dan tertekannya orang dalam tembok penjara atau orang yang terkungkung dengan satu aturan yang diseragamkan.
2000
T1426
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didin Sudirman
Abstrak :
Tesis ini mengungkapkan permasalahan sejauh mana sikap narapidana/tahanan terhadap perilaku seksualnya. Seperti diketahui bahwa di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Negara (Lapas/Rutan) setiap narapidana/tahanan mengalami perlakuan berupa pembatasan kebebasan bergeraknya. Sedangkan kebutuhan seksual adalah merupakan kebutuhan primer manusia yang selalu menuntut pemenuhannya. Oleh karena itu diperkirakan akan terdapat penyimpangan perilaku bagi mereka yang sementara waktu "terpaksa" harus menghuni Lapas/Rutan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan populasi target 6 (enam) institusi yakni Lapas Kelas I Cipinang, Lapas Kelas I Tangerang, Lapas Kelas I Cirebon, Lapas Kelas IIA Soekarno-Hatta Bandung, Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat dan Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung. Sedangkan populasi survei sebanyak 5.487 (lima ribu empat ratus delapan puluh tujuh) orang dengan sampel sebanyak 192 (seratus sembilan puluh dua) responden. Penarikan sampel ditetapkan dengan tehnik "probability sampling" dan tehnik pengumpulan data digunakan melalui kuesioner dan wawancara. Penelitian ini menggunakan paradigma "fakta sosial" dari E. Durkheim dengan pendekatan positivisme dan teori yang digunakan adalah teori fungsionalisme struktural yang meliputi teori system dari Talcot Parson, teori anomie dari Robert K. Merton dan teori pertukaran sosial dari M. Blau, yang pada dasarnya berpendapat bahwa struktur sosial sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa "pemenjaraan" (pemasukan orang-orang ke dalam Lapas/Rutan) membawa dampak terhadap cara mereka memenuhi kebutuhan seksualnya yang meliputi perbuatan masturbasi (celana besukan), homoseksual, bestiality dan lain-lain serta berdampak terhadap cara mereka memperoleh obyek seksualnya yang normal. Hal yang terakhir berkaitan dengan proses "akomodasi" yang dilakukan dengan para petugas Lapas/Rutan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7031
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novian Pranata
Abstrak :
Fenomena penyalahgunaan narkoba saat ini menjadi pembicaraan semua pihak dan semua orang. Peredaran dan pemakaian narkoba yang semakin meluas ini tentunya mengancam kelangsungan hidup bangsa. Kenyataannya, penyalahgunaan narkoba saat ini tidak terbatas dilakukan oleh remaja melainkan telah menyebar ke seluruh lapisan usia, profesi dan pekerjaan. Dari anggota DPRD sampai dengan oknum aparat lainnya termasuk personel Polri. Penyalahgunaan narkoba di lingkungan personel Polri merupakan suatu bentuk pelanggaran berat. Personel Polri sama seperti anggota masyarakat lainnya yang tidak luput untuk menerima perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perubahan tersebut juga terjadi dalam aktivitas ekonomi, hubungan interpersonal sebagai akibat dari mudahnya budaya asing masuk ke Indonesia. Penelitian ini berupaya untuk menemukan profil dan faktor-faktor penyalahgunaan narkoba di kalangan personal Polri. Metode penelitiannya bersifat desikriptif yaitu untuk mendapatkan gambaran penyebaran dari data kuantitatif yang diperoleh dan didistribusikan berdasarkan golongan kepangkatan, klasifikasi keterlibatan, proses penyelesaian kasus dan daerah tugas. Data kuantitatif ini menggunakan data yang ada di Dinas Provoost Polri. Data kualitatif berupa wawancara hanya dilakukan terhadap satu subyek dan subyek lain hanya menggunakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Oleh sebab itu penelitian ini mempunyai kelemahan yaitu tidak melakukan trianggulasi (pemeriksaan ulang) terhadap subyek yang lain tersebut Selain itu masih adanya pengaruh subyektif dal peneliti yang notabene adalah personal Polri juga. Kesimpulan penelitian ini menggambarkan bahwa keterlibatan personel polri dalam penyalahgunaan narkoba nyata adanya. Keterlibatan ini dapat dikatakan mencakup semua golongan kepangkatan, semua satuan kerja dan hampir di semua Polda dengan bentuk penyalahgunaan dominan sebagai pengguna. Golongan pangkat Bintara merupakan golongan pangkat yang paling dominan dan rentan dalam penyalahgunaan narkoba. Proses penyelesaian kasusnya lebih banyak diselesaikan oleh Atasan yang berhak menghukum (ankum). Kesimpulan lain menggambarkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba di kalangan personel Polri. Dari beberapa faktor tersebut digolongkan menjadi dua faktor besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa kuatnya rasa setia kawan dan lemahnya inner containment serta keinginan yang besar untuk memperoleh hiburan. Faktor eksternal berupa faktor teman sebaya, terjadinya belajar sosial, sosiokultural dari narkoba, lemahnya outer containment dan faktor abuse of power. Penelitian lanjutan diharapkan dilakukan dengan subyek yang lebih spesifik dari golongan kepangkatan dan satuan kerjanya. Perlu juga dilakukan penelitian perilaku menyimpang lainnya yang ada di Polri sehingga penyelesaian masalahnya dapat lebih terpadu dan terencana. Pola pengadministrasian terhadap kasus-kasus perilaku penyimpangan personal Polri perlu diperbaiki agar dari data tersebut dapat dengan mudah dikaji dan dievaiuasi.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T5656
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Supriyatna
Abstrak :
Kekerasan massa yang terjadi di daerah di Indonesia dalam waktu relatif singkat telah menjadi pemandangan sehari-hari. Media massa, baik itu cetak maupun elektronik sering memberitakan kekerasan massa semacam itu. Banyak ragam kekerasan massa, ada masyarakat yang memukuli pelaku kejahatan. Ada pula yang menggilas. Ada pula yang membakar pelaku kejahatan. Masyarakat Desa Cikupa melakukan kekerasan massa dengan cara membakar hidup-hidup pelaku kejahatan. Fenomena ini menarik bagi penulis untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa seperti itu. Penelitian tentang Kekerasan Massa Terhadap Pelaku Kejahatan (Studi Kasus di Desa Cikupa) menggunakan penelitian kasus, tujuannya meneliti obyek penelitian secara intensif hanya pada kasus di Desa Cikupa. Data yang penulis gunakan adalah data kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam (depth interview). Wawancara ini dilakukan terhadap warga Desa Cikupa meliputi wawancara terhadap aparat desa, tokoh masyarakat, warga yang melakukan kekerasan massa dan warga yang menyaksikan kekerasan massa. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab yang membuat warga Desa Cikupa melakukan kekerasan massa, yaitu: 1. Anomi, yaitu kondisi masyarakat yang tidak menggunakan cara legal. 2. Peniruan dari Wilayah lain, yakni masyarakat melakukan kekerasan massa disebabkan karena mengikuti apa yang terjadi di desa lain. 3. Dendam masyarakat, yakni seringnya terjadi kejahatan membuat warga frustrasi dan akhirnya dendam pada pelaku kejahatan. 4. Media massa, yaitu media massa memberikan andil dalam mempengaruhi aksi kekerasan massa di Desa Cikupa. 6. Spontanitas, yaitu kekerasan massa merupakan tindakan warga yang tidak pernah direncanakan sebelumnya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Sudiadi
Abstrak :
Masalah pencegahan kejahatan adalah masalah yang sangat penting untuk dikaji. Hal ini selain karena merupakan salah satu perwujudan dari adanya reaksi sosial terhadap kejahatan juga karena pencegahan kejahatan ini adalah salah satu upaya untuk mencegah agar kejahatan tidak terjadi, sehingga apabila suatu kejahatan tidak terjadi, maka aktifitas sosial, ekonomi politik dan budaya akan dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Singkatnya individu dalam masyarakat dapat beraktifitas dan berekspresi untuk melakukan peranannya masing-masing. Pemikiran awal dari penyusunan tesis ini adalah karena banyaknya penelitian dalam bidang Kriminologi di Indonesia yang menggunakan teori hanya untuk menjelaskan fenomena kejahatan. Padahal menurut pemahaman penulis teori tersebut dapat dikaji dan dipahami, sehingga berdasarkan pemahaman tersebut dapat dirumuskan suatu strategi untuk melakukan pencegahan kejahatan. Banyak teori, seperti Differential Association, Social Structure and Anomie, Differential Identification, The Conflict of Conduct Norm dan lain-lain tidak hanya dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena kejahatan tetapi juga dapat dikaji dan digunakan untuk menentukan strategi pencegahan kejahatan. Namun akhirnya penulis hanya mempunyai kemampuan untuk menerapkan salah satu model pencegahan kejahatan, yang merupakan hasil kajian dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh pars pakar yang tergabung dalam The Chicago School, yaitu konsep Defensible Space dari Newman, yang mengajukan empat indikator, yaitu Territoriality, Natural Surveillance, Image and Melieu dan Safe Area. Konsep Newman ini penting untuk dapat diterapkan dalam suatu lingkungan pemukiman, karena konsep ini mengakui pentingnya penggunaan barrier secara fisik, berupa penghalang-penghalang fisik maupun barrier sosial seperti tingginya tingkat kohesi sosial. Namun temyata kompleks-komplek perumahan yang dibangun, banyak yang kurang memperhatikan konsep ini, bahkan mungkin belum pemah mengenal konsep ini. Oleh karena itu penulis berupaya untuk meneliti apakah suatu kompleks perumahan telah mencerminkan konsep Penelitian yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, observasi dan test case. Wawancara mendalam dilakukan terhadap Ketua RW 022 (Komplek Perumahan Pesona Depok I), Sekretaris RW 022, Koordinator Keamanan RW 022, Komandan Satpam, Anggota Satpam, penghuni kompleks, seorang warga Kampung Mangga, seorang penjaga rumah yang tidak tinggal di dalam kompleks perumahan tersebut, seorang pengurus masjid, dan seorang pembantu rumah tangga. Observasi dilakukan untuk melihat barrier-barrier fisik serta penerangan dan tata letak rumah dan jalan serta untuk melakukan mapping dan untuk melihat kohesi sosial yang terjalin di antara penghuni, observasi dilakukan pada siang hari dan juga pada malam hari. Sedangkan test case dilakukan untuk melihat sensitifitas penghuni dan anggota Satpam terhadap orang luar serta untuk menguji mekanisme kerja dari anggota Satpam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara fisik indikator-indikator defensible space telah tercermin di kompleks ini, seperti adanya portal yang terpasang di pintu gerbang, polisi tidur, pos-pos jaga yang terlihat jelas, adanya benteng dan tebing tinggi yang memisahkan kompleks perumahan dengan dua kampung di sekitarnya, serta pagar hidup berupa tanaman bambu yang ditanam rapat disepanjang sungai yang memisahkan kompleks ini dengan Perumahan Depok II Tengah dan Pesona Depok II. Keberadaan barrier-barrier tersebut menunjukkan bahwa indikator territoriality, secara fisik, telah diterapkan. Begitu juga dengan Natural Surveillance dan Image and Melieu, secara fisik relatif telah diterapkan, walaupun belum diterapkan dengan baik, seperti masih banyaknya pos-pos jaga yang terlihat kosong dan banyaknya lampu penerangan jalan yang sudah tidak berfungsi lagi. Selain dari itu di kompleks ini tidak ada pengaturan anus lalu-lintas, sehingga setiap orang babas menggunakan lajur jalan. Kondisi ini kurang baik bila dikaitkan dengan upaya pencegahan kejahatan, khususnya dalam rangka terselenggaranya Natural Surveillance. Namun secara sosial, indikator-indikator defensible space tersebut belum tercermin dengan baik, Hal ini terjadi karena penghuni kompleks perumahan ini sangat heterogen dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan kebanyakan di antara mereka tidak terlalu perduli dengan lingkungan sosialnya, hal ini karena individualitas diantara mereka cukup tinggi. Sebagai bukti dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan sosial dan keagaman yang hanya diikuti oleh beberapa orang saja, bahkan pengajian ibu-ibu, hanya diikuti oleh sekitar 6-12 orang saja. Bukti lainya adalah adanya pola penyampaian informasi dan anjuran partisipasi bagi penghuni dengan melalui surat edaran Padahal kekuatan dari konsep defensible space ini, secara sosiologis-kriminologis terletak pada diterapkannya indikator-indikator defensible space secara sosial. Namun karena mayoritas penghuni perumahan Pesona Depoki I dapat dikekatagorikan sebagai memiliki karakteristik kehidupan perkotaan, menurut Clinard dan Meier., hal ini sulit untuk dilakukan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7943
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhia Sabaruddin
Abstrak :
Sistem pemasyaraktan sebagai metode pembinaan para pelanggar hukum berfungsi untuk menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dalam kerangka sistem pemasyarakatan, pembinaan narapidana adalah masalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek dan eksistensinya dengan perlakuan yang lebih manusiawi serta memperlihatkan hak asasi pelanggar hukum, baik sebagai individu, mahluk sosial maupun religisus. Namun sistem pemasyarakatan seperti tersebut di atas dalam kenyataanya tidaklah mudah. Seperti aksi kerusuhan selama tahun 2001, yang telah membuat daftar panjang mengenai kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan klas I Cipinang. Situasi dan kondisi yang digambarkan berkenaan dengan masalah kerusuhan di LP Cipinang merupakan kejadian yang sangat mungkin terjadi dan tidak dapat dipungkiri. Apa yang digambarkan tersebut merupakan bagian dari kehidupan dalam tembok lembaga pemasyarakatan yang pada dasarnya merupakan kondisi umum dan secara universal terdapat di lembaga pemasyarakatan seluruh dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai pola kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, serta mencari tahu apa yang menjadi faktor penyebab kerusuhan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan teknik-teknik berupa wawancara dengan narasumber antara lain : Petugas, Narapidana dan Mantan Narapidana. Dari hasil penelitian data dan wawancara yang dilakukan kepada narasumber tersebut diketahui pola dan faktor penyebab kerusuhan dalam LP Cipinang adalah : Pola kerusuhan yang terjadi dapat disimpulkan terdiri dari : 1. Kerusuhan antar blok 2. Kerusuhan antar etnis 3. Kerusuhan antara narapidana dengan petugas Sedangkan mengenai faktor penyebab kerusuhan, antara lain : - Daya tampung yang melebihi kapasitas - Akumulasi kekecewaan - Ada disharmonisasi hubungan - Ada penguasaan sumber daya tertentu oleh kelompok narapidana - Diskriminasi perlakuan - Fasilitas dan sarana yang kurang memadai - Kurang adanya fokus kegiatan pembinaan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
T7945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Suparno
Abstrak :
Didalam studi ini akan dibahas mengenai Pelaksanaan Pembimbingan Klien Pembebasan Bersyarat pada Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Tujuan penulisan mengadakan studi ini adalah untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimanakah sebenarnya pelaksanaan pembimbingan yang diiaksanakan oleh petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) terhadap klien yang mendapat Pembebasan Bersyarat (PB). Kemudian penulis juga ingin mengetahui faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pembimbingan terhadap Klien Pembebasan Bersyarat (PB). Guna memperoleh gambaran yang senyata tentang pelaksanaan pembimbingan klien PB, penulis melakukan studi literatur. Tehnik yang digunakan oleh penulis dalam melakukan penelitian bersifat deskriftif, dan pelaksanaannya menggunakan data : Wawancara mendalam terhadap PK, masyarakat dan klien. Pengamatan terlibat di Balai Pemasyarakatan Kelas I Jakarta Selatan. Dari hasil penelitian pelaksanaan pembimbingan terhadap klien pembebasan bersyarat tidak berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Ada beberapa faktor kendala dan faktor pendukung kinerja sebagai berikut : Faktor Internal : 1. Kuantitas dan kualitas petugas Bahwa petugas Bapas Kelas I Jakarta Selatan secara kualitas kurangnya pengetahuan/kemampuan petugas menangani klien PB. 2. Sarana dan Prasarana Dalam melaksanakan kegiatan di Balai Pemasyarakatan sarana dan prasarana transportasi yang disediakan untuk mendukung kelancaran tugas sehari-hari, sangat jauh dari mencukupi. 3. Dana Terbatasnya jumlah dana yang ada sehingga pelaksanaan tugas pembimbingan tidak sesuai Faktor Eksternal 1. Masyarakat Pandangan masyarakat terhadap klien pemasyarakatan yang dibina di luar lembaga pada Balai Pemasyarakatan masih bersifat negatif dalam masyarakat masih memandang curiga dan memberi stigma atau cap terhadap kehadiran klien di tengah-tengah masyarakat. 2. Keluarga Klien Pada umumnya orang tidak mampu, rasa rendah diri yang melekat pada diri klien. 3. Instansi Terkait Banyak instansi lain yang belum mengetahui serta mengerti tugas-tugas Balai Pemasyarakatan, dalam hal ini bahwa secara umum pengawasan pada pidana bersyarat belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. 4. Belum adanya undang-undang yang menunjang pelaksanaan tugas Bapas. 5. Persyaratan-persyaratan administrasi yang harus dilengkapi dalam usulan pembimbingan klien baik mengenai keadaan lingkungan baik di masyarakat tempat tinggal klien maupun di lembaga dengan adanya juklak maupun juknis tersebut sangat membantu kelancaran tugas pembimbingan.
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T7717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chairil Anwar Adjis
Abstrak :
Tawuran telah menjadi kebiasaan sehari-hari kalangan anak muda Jakarta. Di antara kasus tawuran di Jakarta, salah satunya adalah tawuran antar geng di Mallbog yang terjadi hampir setiap tahun. Pada tahun 2002, tawuran antar geng berubah menjadi tawuran antar warga Mallbog. Penulis berminat melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui bagimana sejarah- tawuran di Mallbog dan gambaran terjadinya tawuran antar geng di Mallbog. Untuk mengumpulkan data, penulis memakai teknik wawancara melalui percakapan intensif. Wawancara memakai pertanyaan tak berstruktur sehingga informan tidak ditempatkan sebagai obyek penelitian tetapi sebagai subyek penelitian. Informan diberi kebebasan berbicara selama masih berada dalam lingkup penelitian. Wawancara dilakukan terhadap beberapa orang anggota geng Five, geng War dan beberapa warga Mallbog. Sejarah terjadinya tawuran Mallbog dimulai tahun 1985. Sebelum itu, geng War (berlokasi di RW 04) dan geng Five (RW 05) bersahabat dan main bersama. Pertikaian antar mereka dipicu oleh sikap saling mengejek. Kemudian berubah menjadi adu mulut, perkelahian dan tawuran. Dua geng menjadi sensitif satu dengan lainnya. Akibatnya tawuran sering terjadi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa tahapan tawuran antar geng di Mallbog. Tahapan pertama yaitu "tahap pendahuluan". Terdapat dua realitas sosial mengapa tawuran menjadi pilihan dalam menyelesaikan konflik: yaitu tradisi dan dendam. Tahapan kedua adalah "tahap titik didih" atau "tahap eskalasi". Titik didih muncul ketika ada pemicu dari geng Five yang kemudian dibesar-besarkan oleh geng War. Selanjutnya, kedua geng memilih waktu pada malam hari bulan puasa dengan alasan: a. kebiasaan dan b. Malam hari bulan puasa memiliki arti "malam panjang". Tahapan ketiga adalah "tahap konflik terbuka". Terdapat dua realitas konflik terbuka yaitu: a. Tawuran antar geng Five dan War; b. Tawuran antar warga di Mallbog. Tahapan keempat adalah "tahap peredaan konflik". pada tahapan ini aparat keamanan datang dan menenangkan suasana. Aparat melakukan razia dan pihak pemerintahan memanggil perwakilan geng War dan geng Five agar menanda-tangani kesepakatan untuk tidak mengulangi tawuran.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10642
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Maulana Budiman
Abstrak :
Kejahatan pencurian kendaraan bermotor di wilayah hukum Poltabes Pekanbaru, saat ini telah mulai menemukan bentuk dan modus operandi yang semakin profesional, wilayah operasi yang tidak terbatas, jaringan kerja yang terorganisir serta para pelaku yang cenderung semakin membahayakan. Perkembangan jenis kejahatan ini dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain: bertambahnya jumlah penduduk dan jumlah kepemilikan kendaraan bermotor, kurangnya lapangan kerja yang tersedia serta banyaknya kegagalan yang dialami warga dalam mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat sosial. Untuk mendeskripsikan motif yang melatarbelakangi serta modus operandi pelakunya, digunakan pendekatan kualitatif melalui studi dokumen dan penelitian lapangan dengan teknik wawancara tak berstruktur. Lima kategori kejahatan pencurian kendaraan bermotor dari Charles McCaghy, digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kejahatan pencurian kendaraan bermotor di wilayah hukum Poltabes Pekanbaru, terstruktur oleh pilihan-pilihan yang bersifat rasional. Para pelakunya ada yang beroperasi secara amatir tanpa perencanaan dan ada pula yang beroperasi secara profesional dengan kemampuan dan keahlian teknis. Kesulitan ekonomi merupakan motif yang mendominasi terjadinya kejahatan pencurian kendaraan bermotor di wilayah hukum Poltabes Pekanbaru. Modus operandi paling konvensional yang dipergunakan oleh para pelaku adalah dengan menggunakan kunci berbentuk huruf T, setelah dipereteli dan diganti plat no. polisinya, kendaraan hasil kejahatan mereka dijual kepada penadah di luar kota atau kepada oknum TNI.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10652
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>