Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwin Santoso Sugandi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Opasitas total hemitoraks kanan atas disebabkan dapat disebabkan oleh pneumonia, atelektasis dan massa. Ketiga etiologi tersebut sering ditemukan pada kondisi emergensi di mana ketiganya memiliki penanganan berbeda-beda, yaitu berupa antibiotik pada kasus pneumonia bronkoskopi emergensi pada kasus atelektasis, dan penataksanaan CT Scan toraks pada kasus massa paru. Penegakan diagnosis penyebab opasitas hemitoraks kanan atas tersebut dapat dilakukan melalui pemeriksaan CT Scan toraks dengan spesifisitas tinggi. Pemeriksaan radiografi toraks yang merupakan modalitas pencitraan pertama juga dapat membantu membedakan ketiga diagnosis ini dengan menilai tanda-tanda perubahan volume rongga toraks, salah satunya adalah jarak sela iga. Meskipun demikian, perubahan jarak sela iga ini masih bersifat kualitatif dan belum ditemukan penelitian mengenai titik potong yang dapat digunakan untuk menentukan penyebab opasitas total hemitoraks kanan atas. Tujuan : Meningkatkan nilai diagnostik radiografi toraks sebagai modalitas pemeriksaan awal pada kasus opasitas total hemitoraks kanan atas sehingga diagnosis dan tatalaksana yang diberikan semakin cepat dan akurat.
Metode: Menggunakan desain korelatif dan komparatif studi potong lintang dengan data sekunder, sampel minimal 48 pasien. Analisis data berupa pengukuran korelasi rasio sela iga antara hemitoraks kanan dibanding kiri pada radiografi toraks dan CT Scan, penentuan titik potong menggunakan metode receiver operating curve (ROC) , serta penentuan tingkat sensitivitas dan spesifitasnya.
Hasil: Perhitungan rasio sela iga pada radiografi toraks pada posisi AP maupun PA memiliki korelasi dengan CT Scan toraks dengan korelasi yang lebih kuat ditemukan antara radiografi toraks posisi AP dan CT Scan toraks. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rasio sela iga midposterior kedua dan ketiga di antara kelompok atelektasis dengan pneumonia dan kelompok atelektasis dengan massa. Tidak terdapat perbedaan rasio sela iga antara kelompok pneumonia dan massa (kelompok non-atelektasis). Penggunaan titik potong sebesar 0,9 pada sela iga dua dapat membedakan kelompok atelektasis dan non-atelektasis dengan sensitivitas sebesar 77,8% dan spesifisitas sebesar 73,7%. Apabila titik potong 0,9 tersebut digunakan pada sela iga dua dan tiga, maka kelompok atelektasis dan non-atelektasis dapat dibedakan dengan sensitivitas sebesar 52,63% dan spesifisitas sebesar 93,75%.
Kesimpulan : Pengukuran rasio sela iga pada radiografi toraks dapat digunakan untuk membedakan opasitas total hemitoraks kanan atas yang disebabkan oleh atelektasis dan non-atelektasis. Dengan membedakan kelompok atelektasis atau non atelektasis, maka pasien dapat lebih cepat untuk dilakukan tindakan yang invasif berupa bronkoskopi emergensi atau menjalani penanganan yang noninvasif seperti antibiotik pada konsolidasi pneumonia ataupun pemeriksaan lebih lanjut pada kasus massa.

ABSTRACT
Background: Right upper hemithorax total opacities can be caused by pneumonia, ateletasis, and mass. These etiologies have some distinct treatments such as antibiotic for pneumonia, emergency bronchoscopy for ateletasis, and lung CT Scan for mass. Differentiation between these three causes can be made by chest CT Scan with high spesificity . Chest radiography which act as the first line modality can also help in differentiating between these etiologies by looking for the sign of hemithorax volume changes such as intercostal space. However, intercostal space changes is still measured qualitatively and there still no research about intercostal space cut-off for differentiating the caused of right upper hemithorax total opacities Purpose : Increasing diagnostic value of chest radiography which is the first line imaging in right upper hemithorax total opacities, to provide a better and faster treatment.
Methods: This study is a corellative and comparative cross sectional study with secondary data and 48 minimal subject. The data were analysed by measuring the ratio between right and left intercostal spaces in chest radiography and CT Scan, determining the cut-off using receiver operating curve (ROC), and also determining the sensitivity and specificity.
Result: The intercostal space ratio in AP and PA positions of chest radiography has correlation with the intercostal space ratio in chest CT Scan, which is found higher in AP position. There is a significant difference between intercostal ratio in second and third intercostal at midposterior position between atelectasis and pneumonia group, and also between atelectasis and mass group. There is no significant difference between intercostal ratio in pneuimonia and mass group. By using 0,9 as a cut off in the second midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 77,8% and 73,7% respectively. By using 0,9 as a cut of in both of second and third midposterior intercostal, atelectasis and non atelectasis group can be differentiate with sensitivity and specificity 52,63% and 93,75% respectively
Conclusion: Intercostal space ratio measurement in chest radiography can be used to differentiate right upper hemithorax total opacities, especially by atelectasis and non atelectasis. By defferentiating between atelectasis and non atelectasis groups, the patient can get a faster invasive treatment such as emergency bronchoscopy or proceed to non invasive therapy such as antibiotic in pneumonia or chest CT Scan in mass.
"
Lengkap +
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldi Ishwara
"ABSTRAK
Latar belakang : miopia merupakan salah satu gangguan refraksi yang bersifat progresif dimana salah satu komplikasi yang dapat ditemukan adalah esotropia yang pada akhirnya dapat menjadi strabismus fixus. Faktor-faktor yang diduga berpotensi menunjukkan progresifitas diantaranya adalah panjang aksial bola mata dan pergeseran otot ekstraokuli dapat dikenali dengan menggunakan modalitas pemeriksaan radiologi yaitu MRI. Dengan mengenali faktor-faktor tersebut secara dini, diharapkan penderita miopia tidak mengalami komplikasi akhir tersebut sehingga dapat ditatalaksana secara dini, sekaligus memperoleh protokol sekuens MRI yang terbaik. Tujuan : Mengetahui korelasi antara besaran nilai dioptri refraksi miopia sedang dan berat dengan peningkatan panjang aksial bola mata serta besar sudut otot rektus superior dan lateral pada pasien miopia di Indonesia. Metode : Pengukuran panjang aksial dan besar sudut antara otot rektus superior dan lateral dilakukan menggunakan modalitas MRI serta perangkat lunak Image-J. Pengukuran dilakukan terhadap penderita miopia derajat sedang (-3 s/d -6 D) dan berat (sferis minus lebih besar dari -6 D) dengan total subjek penelitian sebanyak 92 mata. Hasil : Pada miopia sedang terdapat korelasi yang bermakna antara besaran dioptri terhadap peningkatan panjang aksial bola mata (uji Spearman, dengan p < 0,01), tidak terdapat korelasi signifikan antara besaran dioptri terhadap sudut otot rektus superior dan lateral (p = 0,344), serta tidak terdapat korelasi signifikan antara besaran panjang aksial dan sudut antara otot rektus superior dan lateral (p = 0,063). Pada miopia berat terdapat korelasi yang bermakna antara besaran dioptri terhadap peningkatan panjang aksial bola mata, antara besaran dioptri terhadap sudut otot rektus superior dan lateral, dan antara besaran panjang aksial dan sudut antara otot rektus superior dan lateral (p<0,01). Simpulan : Derajat miopia yang semakin berat memiliki korelasi yang kuat terhadap peningkatan panjang aksial bola mata dan peningkatan besaran sudut antara otot rektus superior dan lateral. Pada kondisi miopia berat, peningkatan panjang aksial yang terjadi berkorelasi kuat terhadap peningkatan besaran sudut otot rektus superior dan lateral sehingga semakin rentan terhadap terjadinya komplikasi esotropia.

ABSTRACT
Background: myopia is a common visual disturbance which can be complicated in a severe state. One of its various complication is esotropia that can progress into strabismus fixus. MRI is one of modality of choice to evaluate myopia's progressivity so that early intervention could be done. Several factors are suspected to be the cause such as eyeball axial length elongation and supero-lateral extraocular muscle shifting. Those factors could be evaluated using MRI with sought optimal sequence protocol as early as possible during progression, so early intervention could be done. Purpose: to determine if there is correlation between moderate and severe myopia with eye's axial length and superior-lateral rectus muscle's angle. Methods : Prospective cross sectional study with analyzing correlation between axial length and superior-lateral rectus muscles's angle measured using MRI and Image-J software. Measurement was done to patients with moderate (-3 to -6 D) and severe myopia (less than -6 D). Results: In moderate myopia, there is significant correlation between myopic dioptri and axial length (Spearman correlation < 0,01), but there is no correlation between axial length and superior-lateral rectus muscle's angle, and myopic dioptri and superior-lateral rectus muscle's angle (p = 0,344 and 0,063). In severe myopia, there is significant correlation between myopic dioptri and axial length, supero-lateral rectus muscle's angle, and between axial length and supero-lateral rectus muscle's angle (p < 0,01). Conclusion: Significant correlation between myopic dioptry with eye's axial length and superior-lateral rectus muscle's angle only occurred in severe myopia. The severe the myopia, the eye become elongated and the angle between superior and lateral rectus muscle become widened and prone to become esotropia.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Maratani
"Latar belakang: Pengukuran tumor primer karsinoma nasofaring KNF belum rutin dikerjakan karena bentuknya yang ireguler dengan infiltrasi yang ekstensif pada jaringan sekitarnya Pengukuran volume memiliki akurasi tinggi namun sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama Lebih lanjut belum ada penelitian yang membandingkan antara teknik pengukuran bidimensional dengan volume tumor primer KNF di Indonesia
Tujuan: Mendapatkan nilai korelasi ukuran bidimensional terhadap volume tumor primer KNF pada pemeriksaan Computed Tomography CT scan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan metode simple random sampling Subjek penelitian berjumlah 50 pasien KNF yang menjalani pemeriksaan CT scan nasofaring di Departemen Radiologi FKUI RSUPN CM Penelitian dilakukan sejak Juni hingga September 2015 Pengukuran volume tumor primer nasofaring pada PACS INFINITT dilanjutkan dengan pengukuran bidimensional satu minggu kemudian
Hasil: Uji korelasi Spearman antara ukuran bidimensional dengan volume KNF memperlihatkan nilai p

Background: Primary tumour measurement of the nasopharyngeal carcinoma NPC has not been routinely performed because of its irregular shape and extensive infiltration to adjacent structures Measuring the volume is highly accurate yet highly difficult and time consuming Moreover there has not been comparison study between the bidimensional and volume measurement of the primary tumour of NPC done in Indonesia before
Purpose: To obtain the correlation value of the bidimensional measurement to the volume of the primary tumour of NPC using the CT scan
Method: This study used a cross sectional design Fifty subjects were chosen using simple random sampling from NPC patients that underwent nasopharyngeal CT scan at the Radiology Department of the Indonesia University's Faculty of Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital This study was done from June until September 2015 NPC volume measurement was performed using PACS INFINITT followed by the bidimensional measurement one week after
Results: Spearman correlation test between bidimensional and volume measurement of NPC shows p value
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yusron Effendi
"Latar belakang dan tujuan: Pemeriksaan MRI standar terkadang sulit untuk membedakan tumor ganas dan jinak orbita karena karakteristik imaging yang nonspesifik, padahal biopsi pada lokasi tertentu seperti apeks orbita dan basis kranium periorbital sulit dilakukan dan memiliki risiko komplikasi yang tinggi sehingga klinisi memerlukan pemeriksaan MRI yang lebih spesifik untuk memperkirakan sifat tumor. Pada beberapa penelitian sebelumnya, nilai Apparent Diffusion Coefficient ADC baik menggunakan MRI 3Tesla T, 1,5T, dan gabungan keduanya, mampu membedakan tumor ganas dan jinak orbita, namun memiliki nilai ambang bervariasi. Penelitian ini bertujuan mencari rerata nilai ADC menggunakan MRI 1,5T pada kelompok tumor ganas dan jinak orbita serta mencari nilai ambang untuk membedakan keduanya.
Metode: Sebanyak 33 pasien tumor orbita yang telah menjalani pemeriksaan MRI orbita dengan kekuatan 1,5T dan mendapatkan nilai ADC tumor, dikelompokkan berdasarkan hasil histopatologis menjadi kelompok ganas dan jinak. Analisis statistik nilai ADC antara kelompok ganas dan jinak dilakukan menggunakan uji nonparametrik. Selanjutnya, penentuan nilai ambang optimal untuk membedakan tumor ganas dan jinak dilakukan menggunakan kurva receiver-operating characteristic ROC.
Hasil: Dari 33 sampel diperoleh 17 tumor ganas dan 16 tumor jinak. Hasil histopatologis mayoritas pada kelompok tumor ganas dan jinak masing-masing adalah limfoma 4/17 dan meningioma grade I 9/16. Median dan range nilai ADC pada kelompok tumor ganas adalah 0,8 0,6-2,1 10 minus;3 mm2/s yang berbeda bermakna dengan kelompok tumor jinak 1,1 0,8-2,6 10 minus;3 mm2/s p=0,001. Nilai ambang optimal ADC untuk membedakan tumor ganas dan jinak adalah 0,88 10 minus;3 mm2/s dengan perkiraan sensitivitas 76,5 dan spesifisitas 93,8.
Simpulan: Nilai ADC pada kelompok tumor ganas orbita lebih rendah dibandingkan tumor jinak dan bisa digunakan untuk memperkirakan karakteristik suatu tumor orbita.

Background and purpose: Differentiating between malignant and benign orbital tumor using standard MRI sometimes is difficult because of nonspecific imaging characteristics, meanwhile biopsy in certain area such as orbital apex and periorbital skull base is difficult to do with higher risk of complication so that ophthalmologist may need suggestion from MRI result to predict the characteristic of tumor. In previous studies, the Apparent Diffusion Coefficient ADC value using MRI 3Tesla T, 1,5T, and combination of both, are able to differentiate between them but with variable cut-off value. This study aims to find out the ADC value of malignant and benign orbital tumor using MRI 1,5T and calculate the optimum cut-off value to differentiate them.
Methods: Thirty-three patients with orbital tumor who has undergone MRI examination and get the ADC value of tumor are classified into malignant and benign group. ADC value between malignant and benign group is statistically analyzed using nonparametric test. The optimal cut off value between malignant and benign tumor is calculated receiver-operating characteristic ROC curve.
Results: Among all samples, 17 are malignant and 16 are benign. Majority of histopathological result in malignant group are lymphoma 4/17 while in benign group are meningioma grade I 9/16. The mean ADC value in malignant group 0,8 10 minus;3 mm2/s is significantly different from benign group 1,1 10 minus;3 mm2/s p=0,001. The optimum cut-off ADC value to differentiate between malignant and benign orbital tumor is 0,88 10 minus;3 mm2/s with prediction of sensitivity 76,5 and specificity 93,8.
Conclusion: ADC value in malignant orbital tumor is lower than benign tumor and it can be used to predict the characteristic of orbital tumor.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nane Siti Nurhasanah
"ABSTRAK
Latar Belakang dan tujuan: Karsinoma pankreas merupakan keganasan gastrointestinal kedua terbanyak dan merupakan salah satu tumor dengan angka kematian tinggi. Operasi reseksi merupakan satu-satunya terapi kuratif. Kegagalan dalam evaluasi preoperatif dari menyebabkan resiko operasi, terlambatnya pasien mendapat terapi paliatif serta meningkatkan biaya pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penilaian resektabilitas karsinoma pankreas pada CT-scan abdomen dibandingkan penemuan operasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode: Dilakukan pembacaan ulang CT scan pasien karsinoma pankreas pada sistem PACS Departemen Radiologi RSCM dan dibandingkan dengan laporan operasi pada rekam medis. Hasil: Uji statistik McNemar dari hubungan CT-scan dan operasi n=21 menunjukan p > 0,99, dengan nilai R = 0,52 p = 0,017 . Uji McNemar dari hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan teknik pemeriksaan CT-scan p > 0,05.Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan interval CT-scan dan operasi p > 0,99. Uji McNemar hubungan kesesuaian gambaran CT-scan abdomen dan penemuan operasi dengan lama sakit p > 0,05. Kesimpulan: Terdapat kesesuaian antara gambaran CT-scan abdomen dengan penemuan saat operasi terhadap keterlibatan vaskuler pada karsinoma pankreas. Lama sakit, interval CT-scan dan operasi serta teknik pemeriksaan CT-scan memperlihatkan kecenderungan tidak berhubungan.Kata Kunci: CT-scan abdomen; karsinoma pankreas; laparatomi; resektabilitas ABSTRACT
Background and Objective : Pancreatic carcinoma is malignancy in gastrointestinal with high mortality. Surgery is the only curative therapy. Failure evaluation prior to surgery leads to the risk of non-curative surgery, delayed palliative and increased treatment costs. This study aims to evaluate the resectability assessment of pancreatic carcinoma in preoperatif CT-scan compared to surgical findings and the factors that influence it. Methods : Patients with pancreatic carcinoma whose CT scans were in the PACS system of the Radiology Department RSCM reevaluated and compared with surgical reports. Results : McNemar 39;s analysis of the preoperative CT-scan and surgical findings n=21 p>0.99, with R=0.52 p=0.017 . The McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT scan and surgical findings with CT-scan technique p>0.05. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with CT-scan interval and surgery p> ?? ??0.99. McNemar analysis conformity relationship between preoperative abdominal CT-scan and surgical findings with prolonged illness p> ?? ??0.05. Conclusion : There is a suitability between preoperative abdominal CT-scan and the surgical findings of vascular involvement in pancreatic carcinoma. Length of prolonged illness, interval between CT-scan and surgery as well as CT-scan technique showed a tendency not to correlate. "
Lengkap +
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Oktaviani
"Latar belakang: Penyakit ginjal kronik sendiri dapat menjadi faktor risiko penyakit serebrovaskular karena ginjal dan parenkim otak memiliki kemiripan pembuluh distal (pada nefron dan arteriole di otak). Pembuktian korelasi antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD dapat dilakukan melalui evaluasi penurunan nilai laju filtrasi glomerulus (LFG) dan evaluasi temuan MRI kepala.
Metode: Studi ini merupakan studi korelasi potong lintang dengan evaluasi MRI kepala dan penilaian sesuai acuan STRIVE, kemudian ditentukan korelasi terhadap rerata nilai estimasi laju filtrasi glomerulus penderita.
Hasil: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD (r = - 0,39 dan p = 0,029). Nilai median total skor CSVD adalah 2,5 dengan rerata nilai estimasi LFG pada penelitian ini 40 ml/menit per 1,73 m2.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif antara penyakit ginjal kronik terhadap CSVD. Diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel lebih besar untuk menentukan nilai estimasi LFG yang menjadi cut-off point bagi pasien untuk menjalani MRI kepala, serta untuk mengetahui kaitan total skor CSVD dengan faktor risiko lainnya.

Background: Cerebral Small Vessel Disease (CSVD) and chronic kidney disease (CKD) have similar and overlapping risk factors. CKD itself can be a risk factor for cerebrovascular diseases because of the similarities between small vessels in the brain and kidneys (nephrons). Correlation between CKD and CSVD can be proven by evaluating estimated GFR values and head MRI quantitatively.
Method: This study was a cross sectional study to determine the correlation between mean estimated GFR values in CKD and quantitative head MRI evaluation of CSVD. Result: There was a weak negative correlation between mean estimated GFR values with CSVD. Median of total score CSVD from all subjects were 2,5 with mean estimated GFR values was 40 ml/minutes per 1,73 m2 (range 4,6 – 59 ml/minutes per 1,73 m2). Conclusion: There was negative correlation between CKD and CSVD. Further studies are needed with larger sample to determine cut off point for estimated GFR values to perform head MRI in CSVD, also to determine relationship of CSVD total score with other risk factors.
"
Lengkap +
2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Utomo
"Pendahuluan: Ultrasonography adalah modalitas radiologis terpilih untuk mendeteksi dan evaluasi gambaran morfologis nodul tiroid. Thyroid Imaging Reporting and Data System (TIRADS) adalah sistem untuk mengevaluasi resiko keganasan nodul tiroid, yang diajukan pertama oleh Horvath et al. Terdapat berbagai variasi sistem TIRADS diajukan oleh peneliti - peneliti lain. Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mengevaluasi penerapan atau nilai diagnostik sistem TIRADS di indonesia.
Metode: Penelitian diagnostik dengan pendekatan potong lintang menggunakan evaluasi retrospektif data USG dan histopatologis untuk mengetahui kesesuaian sistem TIRADS dibandingkan pemeriksaan histopatologis pada nodul tiroid.
Hasil: Terdapat hubungan kesesuaian (p=0.065) antara hasil TIRADS dan hasil histopatologis nodul tiroid. Sistem TIRADS memberikan nilai sensitivitas 96,4%, nilai spesifisitas 83.0%, nilai prediksi positif 85,7%, dan nilai prediksi negatif 95,7%.
Kesimpulan: Sistem TIRADS dapat diterapkan pada evaluasi dan pelaporan hasil USG tiroid dengan memiliki nilai diagnostik yang baik.

Introduction: Ultrasonography is the modality of choice to detect, and to evaluate the morphology of thyroid nodule. Thyroid Imaging Reporting and Data System (TIRADS) is a system to evaluate risk of malignancy of thyroid nodule first proposed by Horvath et al. There are various TIRADS system proposed by other authors. Until the writing of this study there is not yet found a study to evaluate implementation and diagnostic value of TIRADS system in indonesia.
Methods: Diagnostic study with cross sectional approach using retrospective evaluation of ultrasonography data and histopathology data to evaluate conformity relationship between TIRADS and histopathological result of thyroid nodule.
Results: There is comparable result (p=0.065) between TIRADS result and histopathological result of thyroid nodule.
Conclusion: The TIRADS system resulted in 96,4% sensitivity, 83.0% specificity, 85,7% positive predictive value, dan 95,7% negative predictive value.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sariyani Pancasari Audry Arifin
"Latar Belakang: Perubahan degeneratif pada TMJ dapat menyebabkan perubahan morfologi kondilus mandibula. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan degeneratif TMJ yaitu kehilangan gigi posterior yang tidak diganti. Modalitas CBCT memberikan gambar multiplanar bidang aksial, sagital dan koronal sehingga mempermudah visualisasi TMJ secara menyeluruh, sehingga CBCT dapat menjadi modalitas alternatif untuk mengevaluasi keadaan TMJ terutama morfologi kondilus. Penelitian ini dilakukan untuk meneliti perubahan morfologi kondilus mandibula pada evaluasi CBCT yang berhubungan dengan jumlah kehilangan gigi posterior, kelompok usia dan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui hubungan perubahan morfologi kondilus mandibula berdasarkan jumlah kehilangan gigi posterior pada kelompok usia 30 – 45 tahun dengan kelompok usia 55 – 70 tahun pada evaluasi CBCT. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif analitik cross sectional. Pengumpulan sampel dilakukan menggunakan metode Non-Probability Sampling dengan teknik Purposive Sampling dan didapatkan sebanyak 70 sampel volume data CBCT. Rekonstruksi dilakukan menggunakan Software CS Imaging Patient Browser 7.0.23 dan CS 3D Imaging v3.8.7. Carestream Health Inc. Kondilus mandibula dibedakan antara sisi kanan dan kiri, hasil rekonstruksi diambil dari potongan sagital dan koronal anteroposterior. Pengamatan dilakukan dua orang, sebanyak dua kali dalam jangka waktu berbeda dan jarak waktu dua minggu. Uji reliabilitas hasil pengamatan dilakukan menggunakan Uji Cohen’s Kappa dan hasil uji intraobserver dan intraobserver menunjukan angka 0.814 – 1.000 yang termasuk dalam kategori almost perfect agreement. Hasil: Terdapat hubungan yang bermakna antara perubahan morfologi kondilus mandibula dengan jumlah kehilangan gigi posterior pada kelompok usia 30 – 45 tahun dan kelompok usia 55 – 70 tahun dalam bentuk erosi, flattening, dan sklerosis (p= <0.005). Pada variabel jenis kelamin tidak ditemukan hubungan yang bermakna (p= >0.005). Kesimpulan: Dari keseluruhan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin banyak jumlah kehilangan gigi dan semakin bertambahnya usia, memiliki hubungan dan dapat menyebabkan terjadinya perubahan morfologi kondilus mandibula.

Background: Degenerative changes in the TMJ can lead to changes in the morphology of the mandibular condyle. One of the factors that affect degenerative changes in the TMJ is the loss of posterior teeth that are not replaced. CBCT modality provides multiplanar images in axial, sagittal, and coronal planes making it easier to visualize the TMJ thoroughly, therefore CBCT can be an alternative modality to evaluate the TMJ condition, specifically the morphology of the condyles. This study aimed to examine the morphological changes of the mandibular condyle on CBCT evaluation with the number of missing posterior teeth, age group, and gender. Objective: To determine the relationship between changes in the morphology of the mandibular condyle based on the number of missing posterior teeth in the age group 30-45 years and the age group 55-70 years. Methods: This study is a cross-sectional analytic retrospective study. Sample collection was carried out using the Non-Probability Sampling method with the Purposive Sampling technique. Reconstruction was performed using CS Imaging Patient Browser 7.0.23 and CS 3D Imaging v3.8.7 Software from Carestream Health Inc. The mandibular condyle was divided into right and left, and the results of the reconstruction were taken from the sagittal and coronal anteroposterior sections. Observations were made by two people, two times in different periods with an interval of two weeks. The reliability test from the observations using Cohen's Kappa test and the results showed almost perfect agreement category with Kappa value 0.814 - 1.000. Results: There was a significant relationship between changes in the morphology of the mandibular condyle in the form of erosion, flattening, and sclerosis with the number of missing posterior teeth in the age group 30-45 years and the age group 55-70 years (p = <0.005). In the gender variable, there was no significant relationship with changes in the morphology of the condyle (p = > 0.005). Conclusion: It can be concluded that the greater number of missing teeth and the older the subject gets has relationship with and can cause changes in the morphology of the mandibular condyle."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library