Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aminah Noor
Abstrak :
ABSTRAK
Kebarhasilan BPK (Bedah Pintas Koroner) dalam mancapai revaskularisasi dipengaruhi kekerapan IMP (Infark Miokard Perioperatif). Dalam penelitian prognostik ini dioari faktor-faktor yang diduga berperan dalam kekencapan IMP pada BPK dengan tujuan pencegahan. Penelitian bersjiat retrospektji terhadap 171 penderita yang menjalani BPK di RS Jantung Harapan Kita, Jakarta antara Maret 1986 sampai dengan Februari 1989. Penderita yang dimasukkan dalam penelitian ini adalah yang mempunyai data EKG serial, enzim miokard (CK dan CKMB) pra dan pascabedah. Penderita BPK disertai badah katup, aneurismektomi dan ventricular venting'tidak diikut sertakan. Seratus tigapaluh satn penderita (76,6%) memenuhi persyaratan paenelitian ini terdiri atas 126 lak-1aki dan 5 wanita dengan usia antara 31-72 tahun (rata-rata 53 (kurang lebih) 7,5 tahun).

Kriteria IMP adalah timbulnya gelombang Q haru atau pelebaran Q lama yang menetap disertai puncak enzim CKMB dalam 24 jam pertama >/40 IU dan fraksi CKMB > 5%. Perubahan EKG pada segmen ST, gelombang T atau gangguan kcnilu]»:si menetap enzim dianggap suatu oedera miokard dan diduga nnmg}'.:i.n IMP. Kekerapan IMP berdasarkan kriteria EKG dan enzim adalah 16 olang (12,2%), penderita yang diduga IMP adalah 10 orang (T,6%) dan bulgan IMP adalah 131 orang (80,2%).

Tujuh belas variabel prabedah, 6 variabel bedah dan 5 variabel pasczabedah diuji secam univariat dengan tabulasi silang untuk mejihat huhmgan antara variahel tersebut dengan hasil akhjr, yaitu IMP dan rmmgkin IMP.

Variahal prognostik yang bannalcna secara univariat adalah jumlah 'gra_'Et'(p = 0,003), Jana klein aorta (p = 0,G17),1ama mesin pintas jantnmg-paru (p = 0,032), pemakaian IABP ('intra aortic balloon pump') (p = 0,002) dan parakaian dobutaruin (p = 0012). Variabel prognostiki.ndepende.n prabedah dan intra bedah diuji secara analisis lmnltivariat logistik regresi polikotern dan yang terhadap kejadian IMP adalah usia > 50 tahun (OR 4,26), 'graft' >3 (GR 6.26) dan lama klem aorta )B5 menit (OR 3,03). Satu-satunya varzialzuel yang terbukti palling terhadap kejadian yang diduga IMP adalah 'graft' 3(or 2,28). Analisis multivariat manunjukkan bahwa variabel laina klem aorta (GR 4,52} graft (OR 2,73) dan umur (OR 9.22) be antara penderita IMP bila dibandingkan panderita yang diduga IMP.

Disimpulkan bahwa pada penderita dengan kebutuhan 'graft' yang lebih dari 3, usia >50 tahun dan lama krem aorta 85 menit, risjko untuk kejadian IMP menjadi lebih besar. Sehingga penderita yang demikian perlu perhatian khusus saat intrabedah dan pascabedah. Penderita yang diduga IMP sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti radionuklid rnaupun ekokardiografi. Karena faktor yang berperan tidak sama seperti halnya IMP, perlu dilakukan penalitian prospektif dengan mengeksplorasi faktor-faktor lain seperti peranan iskemi perioperatif, perubahaan hemodinamik perioperatif, paranan obat anestasi dan teknik pnroteksi miokard.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruswandiani
Abstrak :
Transposition of Great Arteries (TGA) adalah kelainan penyakit jantung bawaan sianotik kedua yang paling sering ditemukan. Tatalaksana definitif saat ini adalah Arterial Switch Operation (ASO). Angka mortalitas pasca ASO di negara maju cukup rendah, sementara di negara berkembang sekitar 15%. Pada TGA Intact Ventricular Septum (TGA IVS), sebaiknya ASO dilakukan ≤ 3 minggu. Sedangkan, di negara berkembang, karena berbagai hal multifaktorial, ASO sering dilakukan saat usia > 3 minggu. Pengaruh usia saat operasi > 3 minggu terhadap kelangsungan hidup jangka panjang sampai saat ini masih kontroversial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh usia saat operasi > 3 minggu terhadap kelangsungan hidup 10 tahun pasien TGA yang menjalani operasi ASO. Penelitian ini merupakan studi kohort retrospekstif yang dilakukan pada pasien TGA IVS yang keluar hidup setelah operasi ASO selama periode Januari 2008-Desember 2018. Pasien kemudian dilakukan follow up untuk mengetahui kondisi hidup dan meninggal. Analisis waktu terjadinya event ditentukan berdasarkan titik awal dan titik akhir penelitian. 71,9 % pasien menjalani operasi ASO > 3 minggu. Angka kelangsungan hidup 10 tahun keseluruhan pasien pasca operasi Arterial Switch Operation sebesar 90%. Walaupun mean survival time kelompok usia operasi ≤ 3 minggu lebih panjang dibandingkan dengan kelompok usia operasi > 3 minggu (113 bulan vs 107 bulan), tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna. Usia saat operasi > 3 minggu mempunyai risiko meningkatkan risiko kematian sebesar HR 0,49 (IK95% 0,11-2,27; p=0.86). ......Transposition of Great Arteries (TGA) is the second most common found cyanotic congenital heart disease. The current definitive management is Arterial Switch Operation (ASO). Early and long term mortality rates after ASO in developed countries are quite low, while in developing countries the number is around 15%. In TGA Intact Ventricular Septum (TGA IVS), ASO should be done in ≤ 3 weeks. However, in developing countries, due to various multifactorial causes, it is often being done at the age of > 3 weeks. The effect of age at surgery > 3 weeks on long-term survival is still controversial. This study aims to determine the effect of age at surgery and other factors on the 10-year survival of patients after ASO. A retrospective cohort study was done on TGA IVS patients that survived ASO surgery during the period of January 2008-December 2018. Patients were being followed up to find out if they are still alive. Analysis of the time to evaluate the event is determined based on the starting point and end point of the study. 71,9% patients underwent ASO surgery > 3 weeks. The overall 10-year survival rate of patients after Arterial Switch Operation is 90%. Even though the mean survival time of the operating age group ≤ 3 weeks is longer than the operation age group > 3 weeks (113 months vs 107 months), but it is not statistically significant. Age at surgery > 3 weeks had a risk of increasing the risk of death by HR 0,49 (IK95% 0,11-2,27; p=0.86).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amna Muchtar
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk melihat kadar magnesium dan kalium pada penderita infark miokard akut dan hubungannya dengan aritmia ventrikel yang terjadi, telah dilakukan penilitian terhadap 72 orang penderita infark miokard akut yang terdiri dari 68 orang laki-laki dan 4 orang wanita dalam periode 6 Bulan, yaitu sejak Januari 1988 s/d Juni 1988.

Sampel darah untuk pemeriksaan kadar magnesium dan kalium diambil pada waktu penderita sampai di rumah sakit, tidak lebih dari 24 jam pertama setelah nyeri dada tipikal. Aritmia ventrikel yang terjadi selama 48 Jam pertama perawatan diteliti. Kadar magnesium rata-rata pada hari pertama infark miokard akut 2,037 +/- 0,362 mg/dl. Hipomagnesemia terjadi 30,6% dari 72 orang penderita/ Kadar kalium rata-rata pada hari pertama infark miokard akut 3,664 +/- 0,366 mEq/l. Hipokalemia terjadi 22,2% dari 72 orang penderita. Terdapat frekwensi aritmia ventrikel yang lebih tinggi dan secara statistik berbeda bermakna (P<0,05) pada penderita infark miokard akut dengan hipokalemia. Kalium dan magnesium merupakan variabel-variabel yang secara bersama-sama mempunyai peranan dalam terjadinya aritmia ventrikel (P<0,02) dan juga secara sendiri-sendiri dimana kalium dengan P<0,01 dan magnesium P,0,02. Frekwensi aritmia ventrikel lebih tinggi bermakna pada penderita infark miokard akut dengan kadar magnesium <1,9 mg/dl dibandingkan dengan kadar magnesium . 1,9 mg/dl (59,1% : 31%), tetapi sebagian besar penderita (8 dari 13 orang) disertai dengan hipokalemia. Frekwensi aritmia ventrikel masih tinggi pada penderita infark miokard akut dengan kadar kalium normal rendah (3,5-3,9 mEq/l dan 58,6% penderita infark miokard akut mempunyai kadar kalium normal rendah.

Sebagai kesimpulan, pada hari pertama infark miokard akut didapatkan 30,6% hipomagnesemia dan 22,2% bipokalemia terdapat hubungan yang bermakna antara hipomagnesemia dengan terdapat hubungan yang bermakna antara hipomagnesemia dengan aritmia ventrikel. Frekwensi aritmia ventrikel masih relatif tinggi sesuai dengan kadar kalium normal rendah, sehingga tinggi sesuai dengan akdar kalium normal rendah, sehingga pemberian suplemen kalium dapat dipertimbangkan pada keadaan pemberian suplemen kalium dapat dipertimbangkan pada keadaan aritmia ventrikel dengan kadar kalium normal rendah.

Pemeriksaan kalium perlu dilakukan secara rutin. Bila terdapat aritmia ventrikel yang menetap dan kadar kalium normal, perlu dilakukan pemeriksaan magnesium.

Hipokalemia dan hipomagnesemia bukanlah merupakan faktor independen untuk terjadinya aritmia ventrikel, tapi merupakan faktor-faktor yang harus dikoreksi untuk memperkecilrisiko terjadinya aritmia ventrikel. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan untuk mencari sebab aritmia ventrikel pada penderita infark miokard akut adalah pemeriksaan kadar katekolamin dalam darah.

1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Pandu Pratama
Abstrak :
Latar belakang: Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA) merupakan penyebab utama terjadinya kematian dan kesakitan di dunia. Angka kematian dalam perawatan di dunia adalah sebesar 3-4%, sementara di Indonesia sebesar 11,2% berdasarkan Indonesian Registry of Heart Failure. Tatalaksana menggunakan diuretik loop telah dibuktikan efektif dalam meredakan kongesti, namun penggunaan secara terus menerus dapat menyebabkan terjadinya komplikasi berupa resistensi diuretik. Resistensi diuretik terjadi pada 20-35% pasien dengan GJDA dan telah diketahui sebagai prediktor independen terhadap terjadinya perburukan luaran klinis, kematian segera paska perawatan dan kejadian rawat ulang. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi diuretik pada pasien GJDA brdasarkan penyakit yang mendasari, komorbid, tanda vital, fraksi ejeksi ventrikel kiri dan laboratorium. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan pada 535 pasien yang dirawat dengan GJDA selama periode Januari-Desember 2019. Resistensi diuretik didefinisikan sebagai respon diuresis kurang dari 1400ml dalam 24jam pertama setelah pemberian 40mg furosemide intravena (atau setara). Hasil: Resistensi diuretik terjadi pada 68% pasien. Prediktor independen terhadap terjadinya resistensi diuretik yang diperoleh dari analisa regresi logistik multivariat adalah: riwayat DM (p = 0.013), riwayat penggunaan diuretik loop iv > 6 hari (p = 0.002), dosis diuretik loop oral > 80mg/hari (p = 0.006), FEVKi ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001) dan klorida serum < 98mmol/L (p < 0.001). Sebagai tambahan, sebuah sistem skoring telah dibuat berdasarkan model akhir tersebut. Kesimpulan: Kejadian resistensi diuretik dapat diprediksi berdasarkan karakteristik pasien, parameter klinis dan laboratorium. Sistem skoring baru dapat memprediksi kejadian resistensi diuretik pada pasien gagal jantung dekompensasi akut yang menjalani rawat inap. ......Background: Acute Decompensated Heart failure (ADHF) is a leading cause of mortality and morbidity in the world. In-hospital mortality rate is 3-4%, while in Indonesia it is 11.2% based on the Indonesian Heart Failure Registry. The management of using loop diuretics has proven effective in relieving congestion yet continuous utilization could lead to the development of diuretic resistance. Diuretic resistance occurs in 20-35% of patients with ADHF and has been shown to be an independent predictor of worsening clinical outcomes, immediate post-treatment death and re-admission events. Objective: to identify factors that influence the occurrence of diuretic resistance in ADHF patients based on the underlying disease, comorbidities, vital signs, left ventricular ejection fraction and laboratory. Methods: A cohort retrospective study was conducted on 535 patients treated with ADHF from January-December 2019. Diuretic resistance was defined as a diuresis response of less than 1400ml in the first 24 hours after administration of 40mg of intravenous furosemide (or equivalent). Results: Diuretic resistance occurs in 68% of patients. Independent predictors obtained from multivariate logistic regression analysis were: history of DM (p = 0.013), history of using iv loop diuretics > 6 days (p = 0.002), oral loop diuretic dose > 80mg/day (p = 0.006), LVEF ≤ 49% (p = 0.002), BUN ≥ 21 mg/dL (p < 0.001)and serum chloride <98mmol/L (p <0.001). In addition, a scoring system has been made from the final model. Conclusion: Diuretic resistance could be predicted using patient's characteristics, clinical parameters and laboratory findings. A new scoring system could predict diuretic resistance among patients hospitalized with acute decompensated heart failure.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Munawar
Abstrak :
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencari variabel prognostik terhadap kematian penderita yang dilakukan beda katup mitral. Penelitian bersifat retrospektif terhadap semua penderita yang dilakukan bedah katup mitral dengan atau tanpa bedah ikutan trikuspid di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta amtara bulan September 1985 sampai tanggal 31 Desember 1988 (n=162). Sembilan puluh orang dengan stenosis mitral (MS) dominan, 72 orang dengan insufisiensi mitral (MI), terdiri dari 56 orang laki-laki dan 106 orang wanita, berumur antara 7-64 (rata-rata 30,1 + 12,9) tahun. Bedah perbaikan katup dilakukan pada 87 orang, sedang oenggantian katup pada 75 orang. Seratus empat puluh sembilan orang dapat diamati (92%) dengan mengirim surat, telepon, pengamatan 16 bulan (antara 0-40 bulan), dengan jumlah pengamatan kumulatif 2607,4 bulan. Enam belas variabel prabedah dan 4 variabel intrabedah telah diuji untuk mendapatkan variabel prognostik terhadap kematian (bedah serta tertunda). Angka ketahanan hidup dihitung menurut Kaplan-Meier. Analisis univariat dengan uji logrank. Angka kematian bedah dan angka kematian tertunda seluruh penderita masing-masing 6,8% dan 2,8 per 100 oang-tahun, untuk penderita MS masing-masing 8,9% dan 1,5 per 100 orang-tahun, sedang untuk penderita MI 4,2% dan 4,6 per 100 rang-tahun. Satu-satunya variabel prognostik independen penderita MS adalah jenis operasi (perbaikan atau penggantian katup). Angka ketahanan hidup 3 tahun penderita MS dengan bedah perbaikan katup adalah 94,8 +- 2,9%, sedang untuk penderita MS dengan bedah penggantian katup 78,0 +- 5,7% (p=0,0174). Tetapi penderita MS dengan bedah penggantian katup mempunyai umur lebih tua, kelas fungsional lebih buruk, lebih banyak yang dalam irama fibrilasi atrium, rasio kardiotoraks lebih besar dan indeks curah jantung lebih rendah dan bermakna bila dibandingkan dengan bedah perbaikan katup. Untuk penderita MI, hanya variabel fraksi ejeksi (EF) yang merupakan variabel prognostik independen. Angka ketahanan hidup 3 tahun penderita MI dengan EF < 50% adalah 74,2 +- 7,2% sedang untuk penderita MI dengan EF > 50% adalah 97,5 +- 2,4% (p=0,0229). sebagai kesimpulan operasi katup mitral mungkin akan lebih bermanfaat bila dilakukan dalam keadaan yang dini. Suatu penelitian jangka panjang mengenai variabel prognostik terhadap kematian dan/atau kualitas hidup penderita bedah katup mitral masih sangat relevan dimasa yang akan datang untuk mendapatkan masukan yang lebih akurat. ...... The purpose of this study was to find prognostic variables for mortality in patients undergoing mitral valve surgery. This was a retrospective study of all patients undergoing mitral valve surgery with or without tricuspid concomitant surgery at Harapan Kita Heart Hospital, Jakarta between September 1985 and December 31, 1988 (n=162). Ninety patients with dominant mitral stenosis (MS), 72 patients with mitral insufficiency (MI), consisting of 56 men and 106 women, aged between 7-64 (mean 30.1 + 12.9) years. Valve repair surgery was performed on 87 patients, while valve replacement was performed on 75 patients. One hundred and forty-nine patients could be observed (92%) by sending letters, telephone, 16-month observation (between 0-40 months), with a cumulative observation of 2607.4 months. Sixteen preoperative variables and 4 intraoperative variables were tested to obtain prognostic variables for death (surgical and delayed). Survival rates were calculated according to Kaplan-Meier. Univariate analysis with logrank test. Surgical mortality and delayed mortality rates for all patients were 6.8% and 2.8 per 100 person-years, respectively, for MS patients 8.9% and 1.5 per 100 person-years, while for MI patients 4.2% and 4.6 per 100 person-years. The only independent prognostic variable for MS patients was the type of surgery (valve repair or replacement). The 3-year survival rate for MS patients with valve repair surgery was 94.8 +- 2.9%, while for MS patients with valve replacement surgery it was 78.0 +- 5.7% (p = 0.0174). However, MS patients with valve replacement surgery were older, had worse functional class, more were in atrial fibrillation rhythm, had a higher cardiothoracic ratio and a lower cardiac output index and was significant when compared with valve repair surgery. For MI patients, only the ejection fraction (EF) variable is an independent prognostic variable. The 3-year survival rate for MI patients with EF < 50% is 74.2 +- 7.2% while for MI patients with EF > 50% is 97.5 +- 2.4% (p = 0.0229). In conclusion, mitral valve surgery may be more beneficial if performed in an early state. A long-term study of prognostic variables on mortality and/or quality of life in mitral valve surgery patients is still very relevant in the future to obtain more accurate input.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library