Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 751 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Syahla Ifany Isgiana
"Lagu "All You Need Is Love" oleh The Beatles merangkum semangat Summer of Love di tahun 1967, sebuah periode yang ditandai dengan gerakan kontra budaya yang kuat yang mengadvokasi perdamaian, cinta, dan kebebasan. Studi ini menggunakan metodologi visual ganda, mengacu pada kerangka kerja analisis konten dan interpretasi komposisi Gillian Rose, untuk menggali lirik lagu dan pertunjukan videonya. Dengan mengkontekstualisasikan analisis dalam lingkungan sosial budaya tahun 1967, dengan fokus pada Summer of Love dan gerakan kontra budaya, studi ini menjelaskan bagaimana "All You Need Is Love" berfungsi sebagai seruan untuk perubahan sosial dari norma konvensional ke masyarakat yang lebih terbuka dan inklusif. Lebih lanjut, studi ini meneliti dampak lagu tersebut, mengeksplorasi bagaimana lagu tersebut dikonsumsi sebagai bentuk protes dan representasi cinta dan damai di tengah lanskap sosial-politik yang penuh gejolak, khususnya sebagai tanggapan terhadap isu-isu seperti Perang Vietnam dan gerakan hak sipil. Temuan penelitian ini menggarisbawahi relevansi dan dampak abadi dari pesan cinta dan damai The Beatles, yang bergema lintas generasi. Namun, keterbatasan ketersediaan data dan subjektivitas inheren dari interpretasi visual memerlukan interpretasi hasil yang hati-hati. Kedepannya, penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi metodologi visual tambahan untuk memperkaya pemahaman tentang signifikansi budaya lagu tersebut dan perannya dalam membentuk kesadaran kolektif.
 

The Beatles' "All You Need Is Love" encapsulates the spirit of the Summer of Love in 1967, a period marked by a powerful counterculture movement advocating for peace, love, and freedom. This study employs a dual visual methodology, drawing on Gillian Rose's frameworks of content analysis and compositional interpretation, to delve into the song's lyrics and its video performance. By contextualizing the analysis within the socio-cultural milieu of 1967, with a focus on the Summer of Love and the counterculture movement, this study sheds light on how "All You Need Is Love" served as a rallying cry for societal change from conventional norms to a more open, inclusive society. Furthermore, the study examines the song's impact, exploring how it was consumed as a form of protest and a representation of love and peace amidst the tumultuous socio-political landscape, particularly in response to issues like the Vietnam War and civil rights movements. The findings of this study underscore the enduring relevance and impact of The Beatles' message of love and peace, resonating across generations. However, limitations in data availability and the inherent subjectivity of visual interpretation warrant cautious interpretation of the results. Moving forward, future research could explore additional visual methodologies to enrich the understanding of the song's cultural significance and its role in shaping collective consciousness.
 
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aisha Andari Rahmiputra
"Penelitian ini merupakan sebuah kajian budaya yang membahas tentang pemaknaan "Ice Bucket Challenge" pada meme dan media sosial. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana tantangan ini dimaknai oleh pengguna internet dan bagaimana komentar mengenai tantangan ini direpresentasikan. Penelitian berjenis kualitatif ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis wacana, serta pendekatan linguistik. Korpus yang dipilih adalah meme dan komentar yang ditemukan di media sosial Twitter berbahasa Inggris.
Penelitian ini menemukan bahwa komentar maupun meme disampaikan dengan cara yang berbeda-beda yaitu dengan menyindir, terang - terangan, emosional atau ketika kita bisa mengetahui perasaan sebenarnya dari pengirim terhadap tantangan ini, atau bahkan hanya sebagai guyonan. Bersamaan dengan bermacam-macam cara penyampaian, dalam menanggapi tantangan ini masyarakat juga membawa isu-isu tertentu yang disampaikan baik lewat meme maupun lewat komentar seperti kelangkaan air, slacktivism, bahkan anggapan bahwa tantangan ini merupakan hal yang bodoh."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S63166
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonia Tinshe
"ABSTRAK
Imigrasi telah menjadi salah satu permasalahan penting di dalam politik Amerika Serikat sejak negara tersebut masih menulis konstitusi. Berkenaan dengan peran imigran dalam membentuk masyarakat Amerika, penting untuk melihat bagaimana mereka, sebagai minoritas, digambarkan oleh tokoh-tokoh politik yang sangat berpengaruh, seperti presiden. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami ideologi di balik pidato politik Obama dan Trump tentang imigrasi, serta relevansinya dengan wacana politik dan konteks sosial di Amerika. Lima pidato politik dari Obama (2009-2014), serta dua pidato politik dari Trump (2016-2017) dianalisis sebagai data primer menggunakan Analisis Wacana Kritis three-dimensional framework Fairclough (1993). Hasil analisis menunjukkan bahwa ideologi dari pidato Obama dan Trump berkaitan dengan pandangan mereka mengenai identitas imigran di dalam masyarakat Amerika. Hal tersebut tergambarkan dari penggunaan kata sifat yang merendahkan, serta topik yang dihubungkan dengan imigrasi. Dilihat dari wacana politik, hal ini menunjukkan superioritas dan kekuasaan kedua presiden atas imigran. Sedangkan jika dilihat dari segi sosial, hal tersebut merendahkan kemanusiaan dan mengurangi identitas para imigran."
2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Averil Khalisha Paramesti
"Ever since its first coinage by James Truslow Adams in 1931, The American Dream has been long held as the everymans life, which promises success through hard work and stresses the preservation of collective ideals to all Americans regardless of each individuals differences. The Dreams endurance is further strengthened by its frequent presence in American popular culture. However, the life and times of the Americans have greatly changed since the Dreams inception, and this raises the question of todays state of the Dream. Examining The Devil Wears Prada (2006) and its main character Andrea Sachs, this research investigates whether the films depiction of the American Dream is in accordance to Adams original concept. By dissecting the Dreams basic concepts and observing its manifestations in the film, this research argues that the film provides a radically metamorphosed version of the American Dream, in which it is now a mere justification for selfish endeavours and has become a tool of oppression to those who seek it.

Sejak pertama kali diciptakan oleh James Truslow Adams pada tahun 1931, Mimpi Amerika telah lama dianggap sebagai kehidupan ideal setiap orang yang menjanjikan kesuksesan melalui kerja keras dan menekankan pelestarian cita-cita kolektif untuk semua warga negara Amerika terlepas dari perbedaan masing-masing individu. Mimpi Amerika pun semakin langgeng dengan kehadirannya yang konstan pada budaya populer Amerika. Akan tetapi, kehidupan orang Amerika telah berubah secara drastis sejak awal kehadiran Mimpi Amerika, dan hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadaan Mimpi Amerika saat ini. Mengamati The Devil Wears Prada (2006) dan tokoh utamanya Andrea Sachs, penelitian ini menyelidiki apakah konstruksi Mimpi Amerika di dalam film sesuai dengan konsep asli Adams. Dengan mengulas ide-ide dasar Mimpi Amerika dan melihat beragam manifestasinya di dalam film, penelitian ini menemukan bahwa film ini memperlihatkan versi Mimpi Amerika yang telah berubah secara radikal, di mana Mimpi Amerika sekarang ini hanya menjadi justifikasi usaha menguntungkan diri sendiri semata dan telah menjadi alat penindasan bagi siapapun yang mengejarnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Averil Khalisha Paramesti
"ABSTRAK
Sejak pertama kali diciptakan oleh James Truslow Adams pada tahun 1931, Mimpi Amerika telah lama dianggap sebagai kehidupan ideal setiap orang yang menjanjikan kesuksesan melalui kerja keras dan menekankan pelestarian cita-cita kolektif untuk semua warga negara Amerika terlepas dari perbedaan masing-masing individu. Mimpi Amerika pun semakin langgeng dengan kehadirannya yang konstan pada budaya populer Amerika. Akan tetapi, kehidupan orang Amerika telah berubah secara drastis sejak awal kehadiran Mimpi Amerika, dan hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadaan Mimpi Amerika saat ini. Mengamati The Devil Wears Prada (2006) dan tokoh utamanya Andrea Sachs, penelitian ini menyelidiki apakah konstruksi Mimpi Amerika di dalam film sesuai dengan konsep asli Adams. Dengan mengulas ide-ide dasar Mimpi Amerika dan melihat beragam manifestasinya di dalam film, penelitian ini menemukan bahwa film ini memperlihatkan versi Mimpi Amerika yang telah berubah secara radikal, di mana Mimpi Amerika sekarang ini hanya menjadi justifikasi usaha menguntungkan diri sendiri semata dan telah menjadi alat penindasan bagi siapapun yang mengejarnya.

ABSTRACT
Ever since its first coinage by James Truslow Adams in 1931, The American Dream has been long held as the everyman s life, which promises success through hard work and stresses the preservation of collective ideals to all Americans regardless of each individual s differences. The Dream s endurance is further strengthened by its frequent presence in American popular culture. However, the life and times of the Americans have greatly changed since the Dream s inception, and this raises the question of today s state of the Dream. Examining The Devil Wears Prada (2006) and its main character Andrea Sachs, this research investigates whether the film s depiction of the American Dream is in accordance to Adams s original concept. By dissecting the Dream s basic concepts and observing its manifestations in the film, this research argues that the film provides a radically metamorphosed version of the American Dream, in which it is now a mere justification for selfish endeavours and has become a tool of oppression to those who seek it."
Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Deni Dwi Arta
"ABSTRAK
Multikulturalisme sudah menjadi hal yang tidak bisa dihindari di lingkungan masyarakat global. Efek dari globalisasi memicu berbagai budaya untuk berpapasan dengan budaya lain. Persinggungan ini menghasilkan sebuah budaya baru di dalam masyarakat, dan salah satu hasilnya adalah Taqwacore. Taqwacore telah menjadi bentuk peleburan antara subkultur punk, gerakan straightedge, dan kepercayaan Islam. Artikel ini menggunakan karya fiksi dari Michael Muhammad Knight yang berjudul The Taqwacore (2003) sebagai acuan dari studi. Studi ini memjabarkan bagaimana identitas salah satu karakter dalam novel menggunakan paradigma konstruktivisme. Subjek yang merupakan seorang straightedge-taqwacore dalam komunitas Taqwacore. Studi ini bertujuan untuk melihat
bagaiman dua budaya yang bersinggungan, antara pemikiran progresif punk rock dan norma konservatif Islam, bernegosiasi dan berasimilasi. Artikel ini menggunakan perspektif konstruktivis untuk menganalisis perpaduan dua budaya ini dalam membentuk satu identitas baru.

ABSTRACT
Multiculturalism becomes inevitable in global society. The effect of globalization
stimulates any culture to spread and confront other cultures. This confrontation creates a new culture inside the society, and one of them is Taqwacore. Taqwacore has become the melting pot between punk subculture, straight edge movement, and Islamic deity. This paper uses Michael Muhammad Knight s novel The Taqwacore (2003) as the corpus of the study. The study will deconstruct one of the characters identities of the novel by using constructivism framework. A subject is a straightedge-taqwacore man inside the taqwacore society. The study aims to see how two clashing culture - punk rock progressive ideology and Islamic conservatism can negotiate each other creating assimilation. This paper uses a constructivist perspective to analyze how this fuse of culture can shape one s identity."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kim, Seotbyeol
"Ocean s 8 (2018) adalah film sempalan dengan karakter yang dapat diperbandingkan dengan karakter di film Ocean s 11 (2001). Film ini bercerita tentang perjalanan, Debbie dan Lou dua sahabat, yang bekerja sama dengan sekelompok perempuan lainnya yang memiliki keahlian di bidangnya masing- masing untuk mengerjakan perampokan besar. Fokus Artikel adalah representasi pemberdayaan wanita dengan menganalisis fashion, persahabatan wanita antara dua karakter utama, dan male gaze dalam film ini dengan mempertimbangkan bahwa film ini adalah film yang dibuat ulang dari film yang didominasi karakter laki-laki. Menggunakan kerangka konsep yang ditawarkan Marcangeli tentang gender dan mode, negosiasi epistemik dari Code, dan male gaze oleh Laura Mulvey, artikel ini melihat bagaimana film merepresentasikan pemberdayaan perempuan. Analisis tekstual digunakan untuk menganalisis naratif dalam film. Artikel ini menyimpulkan bahwa media mainstream seperti Hollywood dapat merepresentasikan perempuan.

Ocean s 8 (2018) is a spin-off film with similar characters from the previously made film, Ocean s 11 (2001), and the characters are male-dominated. It tells a story about a journey of two best friends, Debbie and Lou, who come together to team up with other women who are experts in their field to work together in robbing jewelry. This article is focusing on female representation by analyzing the fashion, female friendship between the two main characters, and male gaze. Using Marcangeli's concepts on gender and fashion, Code s epistemic negotiation, and Mulvey's male gaze, this article analyzes things that actually contribute to female empowerment from the film. Textual analysis is used to analyze the narratives in the film. This article explains that through right representation of female in media, female empowerment is attainable."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Salsabila
"ABSTRACT
This undergraduate thesis discusses how grief in the movie A Single Man (2009) is represented through several elements. The elements are: the contradicting use of colours for the background of the movie, the symbolism of water, and the suicidal thought. The technique of film analysis and Sigmund Freuds psychoanalysis are used to analyse them. Aside from the elements, this study also explores the idea on how such bereavement is influenced by the main protagonists gender and sexual preference. Therefore, this study also highlights the interaction between George Falconer and other people, particularly Charley and Kenny. It is then concluded that George could only grief in private as he is forced to silence his grief due to his gender and sexual orientation.

ABSTRACT
Skripsi ini membahas bagaimana rasa duka dalam film A Single Man (2009) direpresentasikan melalui beberapa elemen. Unsur-unsur tersebut adalah: penggunaan warna yang bertentangan untuk latar belakang film, simbolisme air, dan pemikiran bunuh diri. Teknik analisis film dan psikoanalisis Sigmund Freud digunakan untuk menganalisisnya. Selain unsur-unsur, penelitian ini juga mengeksplorasi ide tentang bagaimana berkabung seperti itu dipengaruhi oleh gender protagonis utama dan preferensi seksual. Oleh karena itu, penelitian ini juga menyoroti interaksi antara George Falconer dan orang lain, terutama Charley dan Kenny. Kemudian disimpulkan bahwa George hanya bisa berduka secara pribadi karena ia terpaksa membungkam kesedihannya karena gender dan orientasi seksualnya."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khalila Meutia
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengamati isu seksualitas perempuan terkait dengan konsep keperawanan dan hubungannya dengan fenomena labeling pada perempuan. Penelitian ini menggunakan film drama remaja Cruel Intentions (1999) sebagai korpusnya, dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsep keperawanan, labeling, dan perbedaan tingkat emansipasi yang dimiliki oleh masing-masing karakter pada film tersebut. Melalui analisis tekstual yang didasari oleh teori Bay-Cheng mengenai dikotomi virgin/slut, penulis meneliti perspektif karakter-karakter perempuan di film ini Kathryn, Cecile, and Annette mengenai seksualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan pemahaman konsep keperawanan yang dimiliki setiap karakter menghasilkan tingkat emansipasi yang berbeda-beda.

ABSTRACT
This research paper investigates the issue of female sexuality regarding virginity and how it correlates to the phenomena of labeling among young women. In this paper, the corpus of the study is the romantic teen drama movie, Cruel Intentions (1999), and the purpose of the research is to find the relation between virginity, labeling, and the different degrees of liberation of each character of the movie. Applying textual analysis, I examine the female characters Kathryn, Cecile, and Annette view of sexuality using Bay-Cheng s theory of virgin/slut dichotomy. The findings of this research suggest that since they have different attitudes towards virginity, they show different degrees of liberation.
"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>