Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Atika Sari
Abstrak :
Penatalaksanaan serangan asma akut yang direkomendasikan saat ini adalah inhalasi berulang bronkodilator agonis B2 dan tambahan steroid sistemik pada pasien yang tidak respons terhadap terapi bronkodilator. Steroid sistemik pada asma akut telah terbukti dapat menurunkan angka rawat inap dibandingkan pemberian bronkodilator raja dan secara bermakna dapat menurunkan angka serangan ulang serta meningkatkan faal paru setelah serangan akut. Dalam kepustakaan dikatakan bahwa terapi jangka pendek steroid sistemik cukup aman tetapi berpotensi untuk terjadi efek samping obat terutama pada pasien dengan serangan ulang. Di lain pihak, pengobatan sistemik secara intravena tidak selalu mudah diberikan.
Tujuan utama penanganan serangan asma adalah perbaikan segera gejala dengan mengurangi obstruksi jalan napas karena kecepatan dan besar perbaikan pengobatan awal menentukan pengobatan selanjutnya dan prognosis penyakit Bronkodilator agonis B2 dengan cara nebulisasi telah luas digunakan. Beberapa keuntungan nebulisasi adalah mudah digunakan terutama pada pasien asma anak, serangan asma berat, gangguan koordinasi tangan (pada pemakaian MDI) dan nebulizer dapat menampung sejumlah obat dengan dosis besar. Sementara itu pemberian melalui nebulisasi merupakan cara yang biasa digunakan untuk memperoleh reaksi segera. Lebih dari 10 tahun penggunaan obat-obat secara nebulisasi telah mengalami peningkatan, pengobatan secara inhalasi pada penyakit saluran napas lebih potensial daripada pemberian secara oral atau intravena yaitu dengan dosis obat lebih kecil, efek samping sistemik minimal dan obat segera berada pada set target atau daerah infamasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dewi Puspitorini
Abstrak :
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di dunia serta muncul ke permukaan sebagai penyebab utama kematian. Saat ini TB telah menjadi ancaman global, World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta kasus baru dan 3 juta kematian karena TB setiap tahunnya. Pada tahun 1990 dilaporkan. hampir 3,8 juta kasus TB di dunia dan 49%nya terdapat di Asia Selatan dan Timur, diperkirakan pula bahwa 1,7 miliar penduduk pada tahun 1990 (sekitar 1/3 penduduk dunia) terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis).
Menurut WHO pada tahun 1998 Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Diperkirakan pada tahun 2000 ditemukan 1.856.000 kasus baru di India (WHO Report 2002), 1.365.000 kasus baru di China dan 595.000 kasus baru di Indonesia.dikutip dari The World Health Organization dalam Annual report on global TB control 2003 juga menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high burden countries terhadap TB. Indonesia masih tetap peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang jumlah kasus TB di dunia. Estimasi prevalens TB di Indonesia tahun 2003 adalah 295 per 100.000. Indonesia kemudian melakukan survei prevalens TB tahun 2004, mencakup 30 provinsi yang memberikan estimasi prevalens TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopik BTA positif sebesar 104 per 100.000. Prevalens TB di Jawa Bali sebesar 59 per 100.000 jauh lebih rendah dibanding luar Jawa Bali 174 per 100.000.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Indah Rahmawati
Abstrak :
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditi dan mortaliti penyakit kronik, dilaporkan PPOK menjadi penyebab kematian keempat di dunia dan diperkirakan prevalens dan mortalitinya akan terus meningkat pada dekade mendatang. Tahun 2020 diperkirakan PPOK akan menempati urutan ketiga penyebab kematian dan urutan kelima penyebab hilangnya disability adjusted life years (DALYs) di dunia. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan.
Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan bahwa PPOK adalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya.
Penurunan fungsi paru pada PPOK lebih progresif dibandingkan paru normal pertahunnya, penurunan tersebut akan diperburuk oleh eksaserbasi. Eksaserbasi pada PPOK harus dapat dicegah dan ditangani semaksimal mungkin untuk mengurangi perburukan fungsi paru. Eksaserbasi ditandai dengan sesak, batuk dan produksi sputum atau perubahan warna sputum yang meningkat dibandingkan keadaan stabil sehari-hari. Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala penyakit, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan fungsi paru set-La meningkatkan kualiti hidup penderita.
Penderita PPOK eksaserbasi dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik, bronkodilator dan antiinflamasi tetapi untuk menurunkan frekuensi dan lama eksaserbasi memerlukan pemberian mukolitik dan antioksidan sehingga diharapkan dapat memperbaiki fungsi paru. Eksaserbasi PPOK yang berulang tidak berhubungan dengan beratnya penyakit dasar atau beratnya eksaserbasi. Antibiotik secara bermakna menurunkan relaps eksaserbasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21157
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library