Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%) merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11 isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both developed and developing countries. A few research has been found linking infection with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia. This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%) of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli, 28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli, ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days (p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibiotic-sensitive bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients will get the right antibiotics."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiana Kusumaningrum
"Latar Belakang : Implementasi penggunaan terapi antiretrovirus aktif (highly active antiretroviral therapy/HAART) di Indonesia meningkat sejak tahun 2004. Namun demikian, perlu disadari bahwa resistensi obat HIV, salah satu konsekuensi pemberian antiretrovirus, dapat menurunkan keberhasilan terapi. Ketersediaan data mengenai resistensi terhadap obat golongan NRTI, NNRTI dan PI dapat memberi keuntungan dalam program pengendalian dan pencegahan HIV/AIDS nasional.
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil resistensi genotip HIV-1 terhadap antiretrovirus pada pasien terinfeksi HIV-1 yang gagal terapi lini pertama.
Metode : Mutasi gen penyandi resistensi obat HIV dievaluasi pada pasien HIV di RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo, Jakata, setelah mengalami gagal terapi lini pertama. Pasien dengan viral load > 200 kopi/ml setelah enam bulan terapi antiretrovirus dimasukkan dalam penelitian ini. Hasil resistensi secara genotip dan subtipe HIV-1 diinterpretasi menggunakan Viroseq dan database Stanford DR.
Hasil : Sebelas pasien diperoleh selama periode penelitian dengan nilai tengah usia 31 tahun, 54,55 % pasien laki – laki dan sebaran transmisi yaitu heteroseksual (45,45 %), homoseksual (9,09 %), pengguna jarum suntik yang tidak aman (27,27 %) dan tidak diketahui (18,18 %). Infeksi oportunistik ditemukan pada 72,73 % pasien yang didominasi oleh tuberkulosis paru. Sekitar 27,27% memiliki kepatuhan minum obat yang baik. Subtipe HIV yang ditemukan 81,81 % CRF01_AE, 9,09% C dan 9,09 % tidak dapat dinilai. Nilai tengah hitung sel CD4(+) dan viral load sebesar 116 (6 - 274) sel/mm3 and 104.000 (385 - 326.595) kopi/ml. Resistensi secara genotipik ditemukan pada seluruh pasien gagal terapi. Berdasarkan rejimen antiretrovirus yang diterima, ditemukan manifestasi resisten terhadap rejimen lamivudine (90%), tenofovir (83%), nevirapine (100%) dan efavirenz (100%). Menarik untuk diperhatikan bahwa tidak ditemukan manifestasi resistensi terhadap zidovudine, termasuk pada empat pasien HIV/AIDS yang mendapatkan zidovudine dalam rejimen terapinya. Mutasi NRTI yang banyak ditemukan adalah M184VI dan K65R, sedangkan mutasi NNRTI adalah Y181CFGVY, K103N, A98AG, E138GQ dan G190AGS. Tidak ditemukan mutasi mayor terhadap PI.
Kesimpulan : Pada penelitian ini ditemukan proporsi resistensi obat HIV yang cukup tinggi. Hal ini memperkuat urgensi monitoring virologi, survey resistensi obat HIV serta akses pilihan terapi yang sesuai pada kasus gagal terapi.

Background : The administration of highly active antiretroviral therapy (HAART) has rapidly increased in Indonesia since 2004. The emergence of HIV-1 drug resistance, however, may limit the benefits of antiretroviral therapy in settings with limited laboratory monitoring and drug options. The availability of data concerning resistance towards NRTI, NNRTI, and PI will be beneficial for the national HIV/AIDS prevention and control program.
Objective : To determine genotypic resistance profiles in HIV-1 infected patients failing first line therapy.
Methods : HIV drug resistance mutations were assessed among patients from RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo, Jakarta, following failure of their first line antiretroviral therapy. Virology failure was defined as value > 200 copies/ml after six months therapy. Genotypic resistance results and HIV-1 subtype were interpreted by Viroseq and Stanford DR database.
Results : A total of 11 adults were included. Median (IQR) age was 31 years, 54,55 % were male and mode of transmission were heterosexual (45,45 %), MSM (9,09 %), IVDU (27,27 %) and unknown (18,18 %). Opportunistic infections were found in 72,73% patients and TB were the most common infection. Only 27,27 % patients have good adherence. HIV subtypes were 81,81 % CRF01_AE, 9,09% C and 9,09 % undefined. Median (IQR) CD4(+) T-cell count and HIV-RNA were 116 (6 - 274) cells/mm3 and 104.000 (385 - 326.595) copies/ml, respectively. All patients with virological failure were resistant to at least one antiretroviral drug. Genotypic resistance towards the antiretroviral drugs being used was observed in lamivudine (90%), tenofovir (83%), nevirapine (100%) dan efavirenz (100%). It is interesting that no zidovudine resistance were found, including in four patients receiving zidovudine in their HAART. The common NRTI mutations were M184VI and K65R, while NNRTI mutations were Y181CFGVY, K103N, A98AG, E138GQ and G190AGS. No mayor PI mutations were found.
Conclusion : Our study found a high proportion of drug resistance and supports the need for appropriate virology monitoring and HIV drug resistance survey in clinical practice and access to drug options in case of virology failure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Latifah
"Latar belakang :Berdasarkan data Laboratorium Mikrobiologi Klinik FKUI tahun 2009, P. aeruginosa dan A. baumanii yang resisten terhadap beberapa golongan antibiotik terutama karbapenem merupakan patogen nosokomial terbanyak di ICU RSUPNCM. Penyusunan kebijakan penggunaan antibiotik dan pengendalian infeksi bakteri MDR memerlukan data tentang mekanisme resisten yang banyak terjadi pada kedua isolat tersebut.
Tujuan Umum: Mengetahui karakteristik fenotip dan genotip P.aeruginosa dan A.baumanii resisten karbapenem yang diisolasi dari pasien ICU RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2011.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang bersifat deskriptif retrospektif. Sampel adalah isolat stok P. aeruginosa dan A. baumanii , yang menunjukkan hasil uji kepekaan rutin intermediet atau resisten terhadap satu atau lebih antibiotik golongan karbapenem. Setelah isolat dihidupkan, dilakukan identifikasi ulang dengan uji biokimia konvensional dan dilakukan uji konfirmasi penghasil karbapenemase dengan metode Modifikasi Hodge dan deteksi gen pengkode dihasilkannya enzim karbapenemase yaitu blaKPC-2; blaIMP-1; blaVIM-2; blaNDM-1dan blaOXA-48 menggunakan metode PCR.
Hasil: Terdapat isolat stok P. aeruginosa sejumlah 77 dan A. baumanii 85. Berdasarkan hasil identifikasi ulang didapatkan 20 isolat P.aeruginosa dan 42 isolat A.baumanii yang resisten terhadap karbapenem. Hasil uji fenotif penghasil karbapenemase positif pada 4 isolat P. aeruginosa dan 16 isolat A. baumanii. Deteksi gen pengkode dihasilkannya enzim karbapenemase menunjukkan bahwa terdapat 1 isolat (5%) P. aeruginosa memiliki gen blaKPC-2, 4 isolat (20%) memiliki gen blaIMP-1; 1 isolat (5%) memiliki blaVIM-2 dan 2 isolat(10%) memiliki blaNDM-1. Pada isolat A. baumanii ditemukan blaKPC-2 dan blaVIM-2 masing masing pada 1 isolat (5%). Sementara itu gen resisten blaOXA-48 tidak ditemukan pada kedua spesies bakteri.
Kesimpulan: Pada isolat P. aeruginosa dan A. baumanii resisten karbapenem yang diisolasi dari pasien ICU-RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2011 didapatkan isolat penghasil enzim karbapenemase dengan gen pengkode blaKPC-2;blaVIM-2;blaIMP-1 dan blaNDM-1.

Background : Based on data from Laboratory of Clinical Microbiology, Faculty of Medicine Universitas Indonesia in 2009, P. aeruginosa and A. baumannii which were resistant to multiple classes of antibiotics, especially to carbapenem, were the most prevalent nosocomial pathogens in ICU RSUPNCM. The policies formulation of controlling antibiotic usage and MDROs infection requires data on the mechanism of resistance in both isolates.
Aim : To explain the phenotype and genotype characteristics of carbapenem resistant P.aeruginosa and A.baumanii isolated from ICU patients, RSUPN Cipto Mangunkusomo in 2011.
Method : This is a preliminary descriptive retrospective study. Samples were laboratory isolated stock of P. aeruginosa and A. baumannii, which were intermediate or resistant to one or more classes of carbapenem antibiotics in routine antibiotic susceptibility test. After re-inoculating the isolates, re-identification were done by conventional biochemical testing, then confirmation test conducted by Modified Hodge test and detection of karbapenemase produced encoding genes, blaKPC-2; blaIMP-1; blaVIM-2;blaNDM-1 and blaOXA-48, using PCR method.
Result : Of 77 isolates of P. aeruginosa isolates and 85 isolates of A. baumannii, 20 isolates P. aeruginosa and 42 isolates A. baumanii were resistant to carbapenem. By carbapenemase producing phenotypic test, positive results showed in 4 isolates of P. aeruginosa and 16 isolate A. baumannii. The detection of karbapenemase produced encoding genes showed that there was 1 isolate (5%) P. aeruginosa had blaKPC-2 gene, 4 isolates (20%) had blaIMP-1 gene; 1 isolates (5%) had blaVIM-2 gene and 2 isolates (10%) had blaNDM-1 gene. In A. baumannii population found blaKPC-2 gene and blaVIM-2 gene at 1 isolates (5%), respectively. Meanwhile, blaOXA- 48 gene were not found in both species of bacteria
Conclusion: In isolates of P. aeruginosa and A. baumannii carbapenem-resistant from in the ICU Cipto Mangunkusomo in 2011 producing isolates obtained with the gene encoding the enzyme karbapenemase blaKPC-2; blaVIM-2; blaIMP-1 and blaNDM-1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
"Difteri adalah penyakit infeksi akut saluran nafas atas yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, bersifat sangat menular dengan tingkat kematian tinggi. Beberapa tahun terakhir ditemukan kembali kasus difteri di berbagai wilayah Indonesia, walaupun program vaksinasi telah dilaksanakan secara luas. Gejala difteri yang ditimbulkan sebagian besar disebabkan oleh toksin dan dapat berakibat fatal. Kerusakan yang disebabkan oleh toksin yang telah terikat pada sel host tidak dapat diperbaiki walaupun telah diberikan antitoksin.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian antitoksin pada hari pertama pengobatan dapat mempengaruhi angka kematian kurang dari 1%, dan dapat meningkat sampai 30% bila ditunda sampai hari ke 6. Medium diagnosis cepat (MDC) yang akan dikembangkan dalam penelitian ini akan menggabungkan tiga pemeriksaan mikrobiologi dalam satu langkah, yaitu inokulasi, uji biokimia dan serologi.
Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium, yang menggunakan strain referensi dan isolat tersimpan dari Balitbangkes Kemkes RI. Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu : optimasi konsentrasi larutan telurit, komposisi medium, dan konsentrasi Fosfomisin.
Hasil pertumbuhan pada MDC memperlihatkan gambaran halo pada strain yang potensial toksigenik dan presipitat pada strain toksigenik. Waktu pemeriksaan pada MDC sekitar 24-48 jam lebih cepat dari pada prosedur standar.

Diphtheria is an acute infectious disease of upper respiratory tract caused by Corynebacterium diphtheria, and highly contagious with high mortality rate. Few years back cases of diphtheriae were found in various parts of Indonesia, although vaccination programs have been widely implemented. Symptoms of diphtheria largely caused by toxins and can be fatal. Damage caused by toxin that has been bound to the host cell can not be repaired dispite of administration of antitoksin.
Some reports showed that administration of antitoksin on the first day of treatment affected the mortality rate, i.e. less than 1% compared to 30% when delayed until day 6. Medium Diagnosis Cepat (MDC) established in this research will integrate three microbiology examination in one step i.e. inoculation, biochemical and serology tests.
This investigation was a laboratory experiment, using reference strains and isolates stored in The National Research and Development of The Ministry of Health Republik of Indonesia. This study covered three stages is follow : optimization of tellurite solution concentration, medium composition, Fosfomycin concentration.
The results showed halo formation of potentially toxigenic strains and precipitate of toxigenic strain on MDC. The examination MDC was faster than the standard procedure in took about 24-48 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library