Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 46 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggraeni Nastiti
"Beberapa ahli masih meragukan kestabilan titik subspinal atau titik A sebagai referensi pada tulang maksila. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah titik A dapat berubah karena perawaran orthodonti dan seberapa banyak perubahannya. Untuk itu, dilakukan analisa gambaran sefalometri pasien di klinik Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Gigi Uniuersilas Indonesia sebelum dan sesudah perawatan retraksi gigi insisif atas. Jarak terpendek titik A terdapat bidang PTV sebelum dan sesudah retraksi diukur, kemudian dihitung selisih rata-ratanya dan di uji statistik dengan t-test paired. Dari 33 sampel, menunjukkan titik A berubah karena perawatan. Titik A berubah ke arah dorsal setelah retraksi insisif atas dengan torque yaitu pada rata-rata lebih besar dari 5 mm. Dari 6 sampel maloklusi kelas I retraksi dengan torque, titik A mundur ke dorsal sebanyak 30 %, sedang dari 14 sampel maloklusi kelas II retraksi dengan torque titik A mundur ke dorsal sebanyak 64 %."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Gatot Wijanarko
"Permintaan akan perawatan ortodonti di klinik Spesialis FKG-UI meningkat dengan persentasi yang lebih besar pada usia di atas 16 tahun (67%) dibandingkan usia yang lebih muda. Pada penelitian yang terdahulu ditemukan bahwa pada usia 12 - 14 tahun sudah terjadi maloklusi (89%). Penelitian yang saya lakukan ini merupakan studi epidemiologis dasar untuk melihat prevalensi derajat keparahan maloklusi pada usia 12 - 14 tahun di Jakarta secara "crossectional" 270 sampel diambil secara multi stages cluster random sampling dari populasi remaja di Sekolah Menengah Pertama. Indeks HMAI (Handicapping Malocclusion Assessment index) digunakan untuk menilai derajat keparahan maloklusi baik pada laki-laki maupun perempuan.
Hasil penelitian memberi gambaran bahwa prevalensi terbanyak adalah malokiusi ringan sampai dengan berat (83,4%). Kelainan terbanyak adalah kasus berjejal (44,9%), gigi renggang (16,7%), gigi mendongos (6,3%), tumpang gigit dalam (6,3%), gigitan silang (12,3%) dan gigitan terbuka (13,2%). Tidak terdapat perbedaan prevalensi pada laki-laki atau perempuan. Tingkat kesadaran akan kebutuhan perawatan tinggi sesuai dengan tingkat keparahan maloklusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Rosalina, Author
"Bertambah majunya teknik perawatan dan material di bidang ortodonsi, memungkinkan perawatan ortodonsi dilakukan dalam tiga arah yaitu anteroposterior, vertical, dan lateral. Oleh karena itu diagnosis harus ditegakkan pada ketiga arah tersebut, sehingga pemilihan teknik perawatan dan materialpun tepat, dan di dapat basil perawatan yang sesuai dengan harapan.
Maloklusi dalam arah vertikal dapat terjadi dalam bentuk gigitan dalam dan gigitan terbuka. Kesulitan mengoreksi gigitan dalam telah lama diketahui. Selama ini terdapat banyak perbedaaan pendapat mengenai etiologi gigitan dalam dan juga bagaimana merawatnya.
Pengurangan gigitan dalam biasanya dilakukan pada tahap awal perawatan ortodontik yang dapat dicapai dengan cara intrusi insisif ekstrusi molar, proklinasi insisif atau kombinasi dari semuanya. Intrusi gigi insisif lebih disukai pada pasien dengan muka anterior bawah yang lebih besar dari rata-rata. Dengan menghindari ekstrusi molar maka dimensi vertikal wajah tidak berubah, ruang interoklusal tidak hilang serta memperbalki estetika karena insisal gigi depan dapat ditempatkan ke posisi yang harmonis dengan garis bibir. Posisi tepi insisal pada akhir perawatan idealnya kira-kira 3 mm di bawah garis bibir pada regio anterior.2
Pada teknik Begg intrusi gigi depan dicapai dengan pembuatan tekukan penjangkaran pada kawat busur, dan diletakkan di mesial tube M, kurarig lebl antara gigi P2 dan Mi , yang biasanya disertai pemakaian karet pada kasus malaklusi klas I dan klas II div I. Pemberian tekukan penjangkaran untuk mengintrusi gigi depan, yang disertai pemakaian karet klas II untuk menggeser gigi depan, tidak terlepas dari aksi dan reaksi antara gigi molar dan gigi depan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Erwin
"ABSTRAK
Pada masa sekarang ini, perawatan ortodonti dengan alat cekat telah menggunakan sistim rekat langsung. Sistim rekat langsung ini mempunyai banyak keuntungan. Tetapi dalam sistim ini, kadang-kadang braket dapat lepas dari permukaan enamel karena tekanan-tekanan yang diterima oleh braket atau karena kekuatan rekat dari bahan perekat yang kurang baik. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran kekuatan tahan tarikan dan kekuatan tahan geseran dari dua macam bahan yang banyak digunakan oleh para Ortodontis yaitu bahan perekat Unite dan System 1+. Uji tarik dilakukan dengan menggunakan gigi Premolar pertama dari gigi manusia secara in-vitro dengan menggunakan alat uji tarik Comtent. Dari hasil uji tarik, dengan analisa statistik t-test diperoleh bahwa ada perbedaan bermakna antara kekuatan tahan tarikan antara bahan perekat Unite dengan bahan perekat System 1+. Sedangkan dalam hal kekuatan tahan geseran antara kedua bahan tersebut ada perbedaan tidak bermakna. Jadi bahan perekat Unite lebih kuat dibandingkan dengan bahan perekat System 1+.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Anggraeni Wibawaningsasi
"Penggunaan sudut ANB dan Wits di klinik sebagai metode pengukuran diplasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior adakalanya memberikan hasil yang berbeda. Hal ini disebabkan adanya pengaruh antara lain variasi posisi Nasion dan kemiringan garis oklusi. Dengan dasar pemikiran bahwa pemakaian lebih dari dua parameter akan memberikan hasil yang lebih baik dan lebih jelas, maka sudut SGn AB yang diperkenalkan oleh Sarhan, dipakai sebagai alat bantu mendiagnosa hubungan mandibula dan maksila ke kranium dalam jurusan anteroposterior.
Penelitian yang merupakan suatu studi awal ini dilakukan pada pasien dewasa yang datang ke klinik ortodontik FKGUI dari bulan Januari 1990 sampai dengan bulan Desember 1993. Tujuannya membuktikan bahwa parameter SGn AB bersama-sama metode sudut ANB dan Wits dapat dipergunakan untuk identifikasi adanya displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior secara lebih baik.
Subjek yang diteliti berupa 70 sefalogram yang terdiri dari 45 wanita dan 25 pria berusia 19-25 tahun, bangsa Indonesia, belum pernah mendapat perawatan ortodontik. Dari setiap subjek diukur sudut SNA, sudut SNB, sudut ANB, sudut SGn AB dan Wits.
Untuk mendapatkan klsifikasi maloklusi, sudut ANB diukur memakai ukuran Steiner yaitu 2° dengan SD ± 2°. Sudut SGn AB diukur menurut norma ukuran Sarhan dan Wits diukur sesuai ukuran Jacobson yaitu 0 mm dengan SD ± 1 mm. Dilakukan pengelompokan klasifikasi maloklusi antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.Kemudian dilihat tingkat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits, antara sudut SGn AB dan sudut ANB, serta antara sudut SGn AB dan Wits.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits sebesar 24.2 %, dengan kelompok klasifikasi maloklusi yang berbeda sebesar 17 sampel. Pengukuran memakai sudut SGn AB menghasilkan koreksi sudut ANB sebesar 11 sampel, Wits sebesar 6 sampel. Ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB sebesar 14 %, dan ketidak selarasan antara sudut SGn AB dan Wits sebesar 10 %.Terlihat bahwa ketidakselarasan antara sudut ANB dan Wits adalah lebih besar dari pada ketidakselarasan antara sudut SGn AB dan sudut ANB maupun antara sudut SGn AB dan Wits.
Secara umum dapat disimpulkan posisi nilai sudut SGn AB yang terletak ditengah-tengah sudut ANB dan Wits, menunjukkan bahwa sudut SGn AB dapat digunakan untuk mengoreksi sudut ANB dan Wits secara seimbang. Dengan dernikian sudut SGn AB dapat digunakan sebagai alat bantu yang menunjang keakuratan pengukuran displasia dentokraniofasial jurusan anteroposterior, disamping metode sudut ANB dan Wits."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrati Tjiptobroto
"ABSTRAK
Pengukuran tinggi muka bawah (TMB) dari beberapa pasien anak-anak yang mempunyai gigitan dalam dengan rasio "upper face height terhadap lower face height" (rasio UFH/LFH) didapatkan nilai yang bervariasi. Padahal TMB merupakan salah satu faktor dalam tata laksana gigitan dalam dan pemilihan jenis alat retensi. Maka penelitian ini bertujuan apakah pada gigitan dalam tidak selalu dijumpai TMB yang menurun dan apakah sudut palatomandibular (sudut PP-MP) yang lebih kecil dari normal menunjukkan TMB yang menurun.
Penelitian ini berdasarkan analisa vertikal dari sefalometri ronsenografik lateral, yang dilakukan pada anak-anak Indonesia yang datang di Klinik Pasca Sarjana FKG-Ul. Kriteria sampel adalah anak-anak dengan tumpang gigit lebih dari 50%, hubungan molar satu K1. I Angle dan belum pernah dirawat ortodonsi.
Uji statistik terhadap rasio UFH/LFH dan sudut PP-MP dengan chi kuadrat didapatkan nilai xa sebesar 0,51 dan 0,183 pada p=0,05 dan df=1. Pengujian terhadap kelompok sudut yang normal dan menurun dimana masing--masing kelompok didapati nilai rasio UFH/LFH normal dan meningkat didapatkan nilai x2' sebesar 15,384 dan 9,782 pada p.=:0,05 dan df=1.
Hasil penelitian menunjukkan pada gigitan dalam didapati TMB yang 'normal dan menurun. Penafsiran TMB menurut rasio UFH/LFH selalu sama dengan sudut PP-MP. Dan sudut PP-MP yang kurang dari normal menunjukkan TMB yang menurun. Kedua parameter ini cukup sensitif dan konsisten dalam menggambarkan TMB. Dengan penggunaan kedua parameter ini diharapkan pengukuran TMB lebih akurat."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luciana
"Pendahuluan: Kemajuan teknologi digital untuk memenuhi kebutuhan akan efisiensi saat ini tidak terelakkan, termasuk di bidang ortodontik. Selain foto rontgen, model studi merupakan alat diagnostik yang diubah menjadi bentuk digital. Digitasi model studi dilakukan supaya pengukuran benda tiga dimensi dapat diukur dalam bentuk tiga dimensi. Walaupun demikian, ketidakakuratan bisa saja terjadi pada pengukuran dengan model studi digital tiga dimensi. Ketiadaan perangkat digitasi di Indonesia menyebabkan proses digitasi menjadi mahal dan sukar. Oleh karena itu, alat pemindai laser yang diciptakan oleh Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan Bagian Ortodonti Universitas Indonesia pada tahun 2011 diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menguji akurasi analisis ortodontik dengan menggunakan alat pemindai laser yang baru dibuat ini.
Bahan dan Cara: Duabelas pasang model studi sebelum perawatan ortodontik disertai anterior crowding dengan skor indeks Little 1-6 digunakan dalam penelitian ini. Masing-masing model studi dipindai, dan dilakukan digitasi dan analisis Bolton dan indeks ketidakteraturan Little (LII) diukur pada model studi konvensional dan digital dengan kaliper yang memiliki ketelitian 0.01 mm. Pengukuran intraobserver dilakukan pada 20% total sampel yang dipilih secara acak (3 sampel) dan diuji secara statistik dengan uji-t berpasangan dan Wilcoxon untuk uji nonparametrik. Plot Bland-Altman digunakan untuk menguji level of agreement kedua metode pengukuran. Uji-t tidak berpasangan dan uji Mann-Whitney digunakan untuk uji statistik pada penelitian inti dengan 12 pasang model studi.
Hasil: Uji intraobserver untuk analisis Bolton tidak memperlihatkan perbedaan bermakna (p = 0.859) sementara untuk pengukuran indeks ketidakteraturan Little, terlihat perbedaan yang bermakna secara statistik (p = 0.008). Plot Bland-Altman untuk indeks Little memperlihatkan tercapainya level of agreement kedua metode pengukuran. Pada pengukuran 12 pasang model studi, uji statistik untuk analisis Bolton dan indeks Little tidak memperlihatkan adanya perbedaan yang bermakna (p > 0.05), dengan nilai p berturut-turut adalah p = 0.509 and p = 0.101.
Kesimpulan: Nilai pengukuran pada model studi digital disertai anterior crowding tidak berbeda bermakna secara statistik dengan nilai pengukuran yang dilakukan pada model studi konvensional dengan anterior crowding.

Introduction: The vastly growth of advanced technology to meet efficiency is currently inevitable, including in orthodontics. Radiographs and study models are diagnostic tools that often digitized and measured three-dimensionally. However, inacurracy might still be found in the three-dimension measurements. The customized laser scanner was then built in 2011 by Bandung Institute of Technology in conjunction with Department of Orthodontic University of Indonesia. The primary aims were to overcome the study models storing problems and the scanning cost, if the study models have to be digitized overseas. In this research, the study models digitizing were performed using the newly built laser scanner and the accuracy of the measurements were analyzed.
Material and Methods: Twelve pairs of pre-orthodontic treatment study models were used in this research with mild to moderate anterior crowding (Little Irregularity Index score 1-6). Each models were scanned and the mesiodistal width was measured before Bolton analysis was determined. For Little Irregularity Index, each measurements were done in the anterior of lower study models. The measurement of conventional study models were then compared with the digital study models measurement. Each measurement were made with digital calliper to the nearest of 0.01 mm. Intraobserver test was done by taking 20% from the total amount of the samples (3 samples) randomly and were tested by paired t-test and Wilcoxon for nonparametric test. The level of agreement were done with Bland- Altman plot. After getting valid intraobserver test value and good level of agreement, the main test was done by paired t-test and Mann-Whitney test.
Results: Intraobserver test for Bolton analysis showed no significant difference (p = 0.859) while significant difference (p = 0.008) was detected between measurement method for Little Irregularity Index. Bland-Altman plot for Little Irregularity Index intraobserver test showed good level of agreement. The Bolton analysis and Little Irregularity Index statistic test for twelve pairs of study models showed no significant difference (p > 0.05), respectively p = 0.509 and p = 0.101.
Conclusion: The measurements made in digital study models with anterior crowding were as accurate as the measurements made in conventional study models with anterior crowding, and therefore, the study models measurement can be done in the digital form.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Renasanti
"ABSTRAK
Keberhasilan perawatan ortodonti, ditentukan oleh penegakan diagnosis yang tepat. Penegakan diagnosis ortodonti berisikan data-data lengkap, yang terkumpul dalam satu bentuk rekam medis terdiri dari anamnesis, analisis wajah, analisis fungsional, analisis kebutuhan ruangan dan analisis radiografi. Pengetahuan untuk menegakkan diagnosis, dan menentukan rencana perawatan ortodonti cekat didapat melalui suatu program pendidikan spesialis yang mempunyai standar kompetensi yang ditetapkan oleh kolegium dan disahkan oleh KKI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penggunaan prosedur diagnostik ortodonti sebelum perawatan ortodonti dimulai serta melihat gambaran kasus maloklusi yang dilakukan oleh ortodontis dan non ortodontis. Penelitian dilakukan terhadap 61 murid-murid SMP dan SMA Yaspen Tugu Ibu I Depok yang memakai alat ortodonti cekat. Penelitian dimulai dengan pengisian kuesioner yang telah disediakan dan dipandu oleh peneliti sendiri. Penelitian ini dilanjutkan dengan pemeriksaan ekstra oral berupa digit examination dan pengambilan foto profil untuk pemeriksaan profil wajah dan sudut tangent line. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan prosedur diagnostik ortodonti lebih banyak dilakukan oleh kelompok ortodontis dibandingkan oleh kelompok non ortodontis. Pada gambaran kasus maloklusi yang dilakukan oleh ortodontis dan non ortodontis, terlihat bahwa kelompok non ortodontis melakukan perawatan ortodonti dengan alat cekat pada variasi maloklusi yang sama dengan kelompok ortodontis.

ABSTRACT
The success of orthodontic treatment is determined by correct diagnose. Determination of orthodontic diagnose shall consists of complete data, which was collected in a form of medical record consisting of anamnesis, facial analysis, functional analysis, space requirement analysis and radiographic analysis. Knowledge in determining diagnoses and deciding correct fixed orthodontic treatment plan shall be obtained from specialist educational program which has competency standard issued by collegium and endorsed by KKI. The intention of this research was to see how the implementation of orthodontic diagnostic procedure prior to orthodontic treatment started and to see malocclusion case overview done by orthodontist and non orthodontist. Research was conducted toward 61 SMP and SMA Yaspen Tugu Ibu I Depok students using fixed orthodontic appliance. Research was started by filling in questionnaire prepared and guided by the researcher herself. Research was continued by extra oral examination in the form of digit examination and capturing profile pictures to analyze facial profile and tangent line angle. The result shows that implementation of orthodontic diagnostic procedure is more often done by orthodontist group rather than non orthodontist group. In malocclusion case overview done by orthodontists and non orthodontist, it is shown that non orthodontist group does orthodontic treatment with fixed appliance on the same malocclusion variation with orthodontist group."
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyanti Saidah
"Panjang mandibula dapat diukur dari titik Kondilus ke titik Gnathion melalui gambaran sefalometri lateral. Panjang mandibula juga dapat diprediksi ukurannya menggunakan suatu rumusan, akan tetapi belum diketahui prediksi panjang mandibula pada anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit. Pada penelitian ini akan dibuat rumusan prediksi panjang mandibula melalui analisis vertebra servikalis 3 dan 4 yang terlihat dari gambaran sefalometri lateral.
Tujuan : Mengetahui kemungkinan penggunaan usia skeletal vertebra servikalis dalam memprediksi panjang mandibula anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit kelompok usia 9 sampai 13 tahun.
Material dan metode : Subyek penelitian terdiri dari 2 kelompok, masing-masing 20 anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labioplasti dan palatoplasti pada usia 9-13 tahun. Kelompok pertama digunakan untuk membuat rumusan prediksi panjang mandibula. Kelompok kedua digunakan untuk menguji rumusan yang telah didapat pada kelompok pertama. Usia skeletal ditentukan dari analisis vertebra servikalis 3 dan 4 sesuai dengan metode Mito, 2003. Uji pada kelompok pertama menggunakan analisis regresi yang menghasilkan suatu persamaan linier, dan uji pada kelompok kedua digunakan uji t berpasangan untuk mengetahui perbedaan antara pengukuran langsung dan penghitungan menggunakan rumusan.
Hasil : Dari kelompok pertama, diperoleh rumusan prediksi panjang mandibula 96,079 + 0,516 x usia skeletal (dalam satuan millimeter) dengan R2 sebesar 2,0%. Pada kelompok kedua, terdapat perbedaan bermakna antara sub kelompok pengukuran langsung dan sub kelompok penghitungan menggunakan dengan rumusan (p=0,001).
Kesimpulan : Usia skeletal hanya menyebabkan sebagian kecil variasi panjang mandibula (2%), sedangkan 98%-nya merupakan faktor-faktor risiko lain seperti faktor tumbuh kembang, faktor genetika dan faktor lingkungan. Sehingga persamaan yang diperoleh, tidak dapat digunakan dalam memprediksi panjang mandibula pada anak usia 9-13 tahun dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit.

Introduction : The mandibular length can be measured from Condylus point to Gnathion point using lateral cephalograms. The mandibular length also can be predicted using a formula, but there are still no formulas for predicting the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate. In this study, the formula for predicting mandibular length will be derived by analyzing the third and fourth cervical vertebrae (CV 3 and CV 4).
Objective : The purpose of this study was to assess the possibility of using cervical vertebrae bone age to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty between 9 and 13 years of age.
Methods : The subjects were 2 groups of 40 children, one group to derive a formula for predicting mandibular length, the other to compare actual values and predicted values. The cervical vertebrae bone age was calculated from CV 3 and CV 4 according to the method of Mito, 2003. A regression analysis was used to determine a formula for predicting mandibular length in group one. In group two, an paired t-test was run for 10 subjects with actual values and 10 predicted values subjects.
Results : In group one, the formula for predicting mandibular length was 96,079 + 0,516 x bone age (in millimeters) with R2 of 2,0%. In the group two, there was significant mandibular length difference between actual and predicted values (p = 0,001).
Conclusion : Cervical vertebrae bone age affected only 2% of a mandibular length variation, while 98% were affected by other risk factors such as growth factors, genetic factors and environmental factors. The formula might not be used to predict the mandibular length of children with complete unilateral cleft lip and palate between 9 and 13 years of age.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herlia Nur Istindiah
"Pendahuluan : Beberapa penelitian melaporkan bahwa injeksi prostaglandin pada mukosa bukal dikombinasikan dengan tekanan ortodonti telah terbukti dapat meningkatkan kecepatan pergerakan gigi. Namun sediaan dalam bentuk injeksi mempunyai kekurangan yaitu resorpsi tulang alveolar dan akar gigi yang besar, serta rasa sakit. Penggunaan PGE2 dalam bentuk gel diharapkan dapat mengatasi kekurangan pemberian PGE2 secara injeksi tersebut. Dalam kedokteran gigi belum ada gel PGE2 dan belum diketahui efek penetrasinya pada tulang alveolar.
Tujuan : Untuk membuktikan gel PGE2 dapat berpenetrasi ke tulang alveolar tikus berdasarkan hitung jumlah sel osteoklas.
Metode : Desain penelitian adalah eksperimental laboratorik in vivo. Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus Sprague Dawley jantan, dibagi menjadi 12 tikus kelompok : perlakuan (rahang bawah sisi kanan) dan kontrol (rahang bawah sisi kiri) serta 12 tikus kelompok normal. Gel PGE2 dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kanan selama 2 menit dan gel tanpa PGE2 (gel CMC) dioleskan pada mukosa bukal rahang bawah kiri selama 2 menit. Pengolesan gel dilakukan berulang dengan interval jam ke 0, 4 dan 8 pada hari ke 0, 1, 2, 3 dan 4. Tikus disacrifice pada hari ke 1, 3 dan 5. Jumlah osteoklas dihitung pada sediaan histologi dengan pewarnaan Hematoxycillin – Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya pembesaran 100X.
Hasil : Pada uji one way ANOVA, terdapat peningkatan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol dan normal. Terdapat perbedaan jumlah osteoklas yang bermakna pada hari ke 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan. Peningkatan jumlah osteoklas tertinggi terdapat pada hari ke 3 pengamatan. Pada hari ke 5, terdapat penurunan jumlah osteoklas yang bermakna namun masih lebih tinggi dibandingkan hari ke 1.
Kesimpulan : Gel PGE2 dapat berpenetrasi mencapai tulang alveolar. Efek penetrasi gel PGE2 pada tulang alveolar menunjukkan adanya peningkatan jumlah osteoklas setelah pengolesan berulang pada hari 1, 3 dan 5 pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol.

Introduction: Several studies have reported that injection of prostaglandin on the buccal mucosa combined with orthodontic pressure could increase the speed of tooth movement. But PGE2 injection has disadvantages effect, such as pain, high resorption of alveolar bone and tooth root. PGE2 in form of gel is used to overcome the negative effect of PGE2 injection. In dentistry, until recently there is no PGE2 in form of gel and it’s penetration effect on alveolar bone is still unknown.
Objective: To proved that PGE2 gel could penetrate into rat alveolar bone based on osteoclast cell-count.
Methods: The study design is an experimental laboratory in vivo. This study, using 24 male Sprague Dawley that were divided into 12 rats with topical PGE2 gel on mandibular right buccal mucosa as a experiment group and mandibular left buccal mucosa with topical gel without PGE2 as a control group. Rats with no interference as a normal group. PGE2 gel and gel without PGE2 were applied on mandibular buccal mucosa for 2 minutes, with interval at 0 hour, 4 hour, and 8 hour of application on days 0, 1, 2, 3 and 4. Then, rats were sacrificed on days 1, 3 and 5. After that, the samples were prepared for histological examination with Hematoxyllin and Eosin (H&E). Osteoclasts cell-count using a light microscope, set 100x magnification.
Results: ANOVA one way test showed that there was a significant difference of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5 in the experiment group compared to control and normal. In experiment group, there were significant differences of osteoclasts cell-count on days 1, 3 and 5. The highest of increasing of osteoclast cell-count were on day 3 observations. On day 5, there was a significant decrease of osteoclasts cell-count, but still higher than day 1.
Conclusion: PGE2 gel can penetrate into rats alveolar bone. The effects of topical application of PGE2 gel in alveolar bone showed an increased number of osteoclasts cellcount after repeated applications on days 1, 3 and 5 in the treatment group compared to controls.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>