Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Herawati Suparto
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Penelitian biomedik yang menggunakan hewan percobaan makin meningkat dan di Indonesia mencit adalah hewan percobaan yang paling populer. Hewan percobaan yang akan dipakai dalam penelitian harus bebas dari penyakit; antara lain penyakit yang sering menjangkiti mencit adalah virus Sendai. Virus Sendai banyak menimbulkan masalah di Jepang, Rusia, Cina dan Amerika Serikat pada awal tahun 1950 sampai akhir 1970-an, selain menyebabkan angka kematian yang tinggi juga mempengaruhi hasil penelitian-penelitian di bidang imunologi dan karsinogenesis paru-paru.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan data seroepidemiologi infeksi virus Sendai pada mencit laboratorium di 4 lokasi pemeliharaan hewan percobaan: di Jakarta, Bogor dan Bandung. Mencit dikelompokkan a) 3 minggu, b) 8 minggu, c) 12 minggu, setiap kelompok berjumlah 50 ekor terdiri dari 25 jantan dan 25 betina. Pemeriksaan yang dilakukan adalah uji hambatan hemaglutinasi untuk mengetahui adanya antibodi hembatan hemaglutinasi dalam serum. Sebelum diuji serologik, serum harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan inhibitor tidak spesifik yang dapat mengganggu hasil uji tersebut. Pengolahan serum memakai cara modifikasi yaitu serum yang tidak diencerkan 1 bagian, filtrat kolera 1 bagian, dan kaolin 25% 3 bagian, dibandingkan dengan pengolahan serum 1 bagian dan filtrat kolera 4 bagian.
Hasil dan Kesimpulan: Uji hambatan hemaglutinasi terhadap serum yang diolah dengan cara modifikasi memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan pengolahan serum dengan perbandingan I : 4. Hasil pemeriksaan terhadap ke 600 sampel dari 4 lokasi menunjukkan bahwa titer antibodi hambatan hemaglutinasi terhadap virus Sendai kurang dari 20, berarti tidak ada anti hemaglutinin. Maka infeksi virus Sendai tidak ditemukan dan pemakaian mencit laboratorium dari Jakarta, Bogor dan Bandung tidak perlu dikhawatirkan terinfeksi virus Sendai."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Soemiati
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Streptokok hemolitik beta grup A (SH-A) adalah kuman patogen pada manusia menyebabkan radang tenggorok dan kulit dengan sequelae demam rematik. SH-A mempunyai protein M pada dinding selnya yang menyebabkan kuman tersebut tahan terhadap fagositosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ampisilin subkadar hambat minimal (sub KHM) terhadap daya fagositosis makrofag. Kuman SH-A dicampur dengan ampisilin sub KHM (1/4 KHM dan 1/8 KHM) dengan makrofag dan diinkubasi selama 60 menit dan 120 menit. Penelitian ini menggunakan SH-A strain standar WHO (Ceko), dan ampisilin trihidrat diperoleh dari PT Kalbe Farma. Makrofag diambil dari peritoneal mencit strain CBR umur 4-8 minggu. Sebagai kontrol dilakukan terhadap kuman yang dibiakkan dalam kaldu Todd Hewitt yang mengandung ampisilin sub KHM tanpa dicampur makrofag.
Hasil dan Kesimpulan: Terdapat penurunan populasi kuman pada perbenihan yang mengandung makrofag tanpa ampisilin setelah diinkubasi 120 menit karena penurunan pH pada media. Populasi kuman menurun setelah kuman dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit dibandingkan dengan kontrol. Prosentase fagositosis makrofag dan indeks fagositosis makrofag terhadap kuman yang dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit meningkat. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa secara in vitro daya fagositosis makrofag meningkat setelah dicampur ampisilin sub KHM pada inkubasi 60 menit dan 120 menit.

ABSTRACT
Effect Of Ampicillin At Sub Mic On The Phagocytosis By Macrophage Of Streptococcus Hemolytic Beta Group AScope and Method of Study: Streptococcus beta-hemolyticus group A (SH-A) is pathogenic for man, the most usual causative agent for acute streptococcal upper respiratory tract and skin diseases with sequelae namely rheumatic fever. The bacterial cell wall contains protein M, a virulence factor, which is responsible for the resistance to phagocytic activity of macrophage. The aim of this research was study the phagocytosis of streptococci grown in subminimum inhibitory concentration (sub MIC) of ampicillin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. SH-A was obtained from Ceko Colaboratorium (standard strain of WHO), and ampicillin trihydrate was from Kalbe Farma. The mice were kindly supplied by Central Biomedical Research, Jakarta; age 4-8 weeks, were free from infections, and used as macrophage source.
Findings and Conclusions: The number of bacteria in the medium containing macrophage after incubation for 60 minutes increase, but after 120 minutes decreases, probably due to the low pH medium. The population of bacteria decreases in the medium treated with sub MIC of ampicillin after incubation for 60 and 120 minutes. Percentage of relative effect of phagocytosis and phagocytosis index of macrophage seem to be increasing after incubation of the whole component for 60 and 120 minutes. SH-A treated with sub MIC of ampicillin underwent rapid ingestion by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes. The result showed that the hypothesis of the rapid ingestion of SH-A treated with sub MIC ampicilin by macrophage after incubation for 60 and 120 minutes could be accepted.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laurentius Setyarahardja
"PENDAHULUAN
Kuman anaerob adalah kuman yang peka terhadap O2, karena 02 merupakan bahan toksik terhadap kuman ini; makin lama kontak dengan 02, kondisi dan jumlah kuman yang hidup makin menurun (1-3). Dalam 10 tahun terakhir ini penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman anaerob tampak meningkat. Sebagian besar kuman anaerob penyebab infeksi adalah anggota flora normal kuman anaerob, yang karena sesuatu hal masuk ke dalam bagian tubuh yang bukan tempatnya (1). Keadaan tersebut menunjukkan bahwa perneriksaan terhadap kuman anaerob perlu dilaksanakan secara rutin di laboratorium mikrobiologi.
Salah satu syarat dalam usaha mengisolasi dan mengidentifikasi kuman anaerob dari bahan-bahan pemeriksaan adalah suasana lingkungan pertumbuhan yang babas 02. Untuk memperoleh suasana tersebut telah dikenal beberapa cara, diantaranya (1, 3-7):
1. Silinder anaerob (anaerobic jar)
2. Roll tube technique
3. Anaerobic glove box
Kedua cara tersebut terakhir di atas adalah cara-cara yang lebih canggih dibandingkan cara yang percama, akan tetapi kedua cara ini dalam penggunaannya memerlukan biaya yang besar, tempat yang lebih luas, dan tenaga laboratorium yang berpengetahuan cukup mengenai teknik anaerob serta perawatan alat-alatnya. Oleh sebab itu kedua cara ini tidak dianjurkan untuk dipergunakan dalam laboratorium rutin. Untuk suatu laboratorium mikrobiologi yang sederhana dengan tenaga, ruangan dan dana yang terbatas, maka cara dengan mempergunakan silinder anaerob merupakan cara yang lebih dianjurkan (1,7). Suasana optimal untuk pertumbuhan kuman anaerob dapat diperoleh melalui 2 cara, yaitu dengan evacuation replacement system dan Gaspak/ Gaskit anaerobic system (1, 3-5, 7). Evacuation replacement system merupakan cara standar yang telah mengalami beberapa kali modifikasi dan penyempurnaan sejak ditemukannya oleh McIntosh dan Fildes. Cara tersebut sampai kini masih tetap dipergunakan. Untuk mempergunakan cara ini disamping silinder anaerob diperlukan pampa isap, manometer, silinder-silinder gas yang masing-masing berisi gas H2, CO2 dan N2 serta alai pengisi gas untuk memindahkan gas dari silinder gas ke dalam silinder anaerob. Proses anaerob-iosis dilaksanakan dengan mengeluarkan udara dart dalam silinder dan memasukkan gas N2 atau H2 yang diulangi 5 sampai 7 kali. Pada penggantian terakhir dimasukkan gas H2 dan CO2 atau gas N2, H2 dan CO2 (1). Proses pengeluaran dan penggantian tersebut di atas, di seksi anaerob laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) hanya dilakukan satu kali. Gas yang dipergunakan adalah gas H2 dan CO2.1 Gaspak anaerobic system pertama kali diperkenalkan oleh Brewer dan Allgeier (8), cara ini mempergunakan 'generator H2 dan C02' sebagai penghasil gas H2 dan C02. Gaspak generator merupakan suatu kit untuk sekali pakai (disposable) yang diproduksi dan dipasarkan oleh Becton, Dickinson UK Ltd.; dengan memasukkan air ke dalamnya, maka generator H2 dan C02 akan menghasilkan gas H2 dan CO2 (1, 7-9)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Chandra Mitha Nusatia
"Berbagai penelitian memperlihatkan angka resistensi kuman patogen meningkat dengan tajam, sehingga angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi nosokomial makin meningkat pula. Penyebab resistensi utama pada kuman Gram negatif antara lain adalah extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) pada Klebsiella pneumoniae dan Escherichia coli. Dalam pemilihan pengobatan empirik untuk infeksi nosokomial, klinisi perlu mempertimbangkan pola resistensi setempat.
Frekuensi kuman patogen dan pola resistensi dapat sangat berbeda antara satu negara dengan negara lain dan juga antar rumah sakit dalam suatu negara. Oleh karena itu surveilans setempat perlu dilakukan agar dapat menjadi pedoman pemberian terapi empirik dan tindakan-tindakan pengendalian infeksi.
Pada penelitian ini uji resistensi dilakukan terhadap Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL dan Escherichia colt penghasil ESBL dengan menggunakan metode Kirby-Bauer. Sejumlah 37 isolat Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL dan 35 isolat Escherichia coif penghasil ESBL diperoleh sejak bulan September 2003 sampai dengan Mel 2004 dari 3 laboratroium di Jakarta dan Karawaci.
Prevalensi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL adalah sebesar 33,03% dan Escherichia coli penghasil ESBL 20,11% Sensitivitas Kiebsiella pneumoniae penghasil ESBL terhadap meropenem, siprofloksasin, levofloksasin, piperasilinltazobaktam, sefoperazonlsulbaktam dan sefepim berturut-turut adalah 100%, 45,95%, 51,95%, 78,38%, 62,16% dan 72,97%. Dan sensitivitas Escherichia coli penghasil ESBL terhadap meropenem, siprofloksasin, levofloksasin, piperasilinltazobaktarn, sefoperazonlsulbaktam dan sefepim berturut-turut adalah 100%, 37,14%, 28,57%, 97,14%, 82,86% dan 60%.

Multiple surveillance studies have demonstrated that resistance among prevalent pathogen is increasing at an alarming rate, leading to greater patient morbidity and mortality from nosocomial infection. Important causes of Gram-negative resistance include extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) in Klebsiella pneumoniae and Escherichia coll. In selecting an empiric treatment for a nosocomial infection, one should consider the prevalent resistance patterns.
Pathogen frequency and resistance patterns may vary significantly from country to country and also in different hospitals within a country. Thus regional surveillance programs are essential to guide empirical therapy and infection control measures.
In this study antimicrobial susceptibility testing was performed using the Kirby-Bauer method against the ESBL producing K. pneumoniae and E. coli A total of 37 ESBL producing K. pneumoniae isolates and 35 ESBI producing E coil isolates were obtained from September, 2003 to May, 2004 from 3 laboratories in Jakarta and Karawaci.
The prevalence of ESBL producing K. pneumoniae was 33,03% and ESBL producing E. coil 20,11%. Susceptibility of ESBL producing K. pneumoniae isolates to meropenem, ciprofloxacin, levofloxacin, piperacillin/tazobactam, cefoperazonfsulbactam and cefepime was 100%, 45,95%, 51,95%, 78,38%, 62,16% and 72,97% respectively. And susceptibility of ESBL producing E. coil isolates to meropenem, ciprofloxacin, levofloxacin, piperacillinltazobactam, cefoperazonlsulbactam and cefepime was 100%, 37,14%, 28,57%, 97,14%, 82,86% and 60% respectively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Nengah Dwi Fatmawati
"Human Immunodeficiency Virus type-I (HIV-1) merupakan penyebab sindroma penurunan sistem imun tubuh yang disebut dengan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Infeksi HIV-I di dunia dan Indonesia cenderung meningkat. Pemeriksaan yang cepat dan spesifik diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi HIV-I. Berbagai teknik telah dikembangkan untuk deteksi infeksi HIV-I. Pada penelitian ini dikembangkan pemeriksaan RT-PCR HIV-1 Mikrobiologi FKUI (in-house RT-PCR) untuk mendapatkan uji alternatif deteksi HIV-1. Sebanyak 46 plasma dan serum kelompok berperilaku risiko tinggi yang berkunjung ke klinik VCT . RSUP Sanglah Denpasar, telah diperiksa dalam penelitian ini. Serum diperiksa dengan 3 kit rapid test yang berbeda yaitu DetermineTM HIV-1/2 (Abbott), ImmunoCombR HIV 1 & 2 BiSpot (Organics), dan SerodieR HIV-1/2 (Fujirebio Inc.). Plasma diuji dengan pemeriksaan RTPCR generasi I menggunakan primer spesifik terhadap daerah gag dan RT-PCR generasi 2 menggunakan primer spesifik terhadap daerah protease dari genom HIV-1. Hasil rapid test menunjukkan dari 46 sampel, sebanyak 26 serum (56,5%) reaktif dan 20 serum (43,5%) non-reaktif. Tingkat sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, dan nilai duga negatif RT-PCR generasi 1 secara berturut-turut adalah 80,8%, 95%, 95,5%, dan 79,2%, sedangkan rasio kemungkinan positif dan negatif adalah 16,2, dan 0,2. Pemeriksaan RTPCR generasi 2 menunjukkan tingkat sensitivitas 65,4%, spesifisitas 90%, nilai duga positif 89,5%, nilai duga negatif 66,7%, rasio kemungkinan positif 6,5, dan rasio kemungkinan negatif 0,4. Teknik RT-PCR yang menggunakan primer tersebut dapat mendeteksi HIV pada semua stadium klinis WHO pada kelompok ini. Sensitivitas dan spesifisitas RT-PCR generasi 1 lebih baik daripada RT-PCR generasi 2, tetapi, masih lebih rendah daripada baku emas, Secara keseluruhan, RT-PCR pada penelitian ini belum dapat direkomendasikan sebagai uji altematif baik uji skrining maupun uji konfirmasi dalam mendeteksi infeksi HIV-1.

Human Immunodeficiency Virus type 1 (HIV-1) can cause decrease of immune response which is called Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV-l infection in the world and Indonesia tends to increase. Many techniques were developed to detect HIV-1 infection. A specific and rapid diagnosis is needed to prevent transmission of HIV-1 infection. In this study, we performed RT-PCR HIV-1 Microbiology FKUI (in-house RT-PCR) as an alternative test to detect HIV-1. Forty six plasmas and serums from high risk behavior group who visited VCT Clinic Sanglah General Hospital, Denpasar were used in this study. Serums were tested with 3 different rapid test kits i.e. Determine ° IIIV-112 (Abbott), immunoComb HIV I & 2 BiSpot (Orgenics), and Serodia ' HIV-112 (Fujirebio Inc.). Plasmas were tested with I generation RT-PCR which used specific primers to gag region in HIV-1 genome and specific primers to protease region in IIIV-1 genome for 2nd generation RT-PCR. Results of rapid test demonstrated 26 serums (56.5%) were reactive and 20 serums (43.5%) were non-reactive. Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), and negative predictive value (NPV) of 1st generation RT-PCR was 80.8%, 95%, 95.5%, 79.2%, whereas positive likelihood ratio (LR +) and negative likelihood ratio (LR -) was 16.2, and 0.2, respectively. The 2"d generation RT-PCR showed sensitivity, specificity, PPV, NPV, LR (+), and LR (-) was 65.4%, 90%, 89.5%, 66.7%, 6.5, and 0.4, respectively. These in-house RT-PCR could detect HIV-1 in all WHO clinical staging in this group. This study showed that lsi generation RT-PCR gives better results than 2"d generation RT-PCR. But still inferior than rapid test to detect HIV-1 infection. Overall, RT-PCR in this study has not been recommended yet as an alternative test to detect HIV-I infection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Armando Rahadian
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah masalah kesehatan global dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di banyak negara berkembang. Indonesia menempati peringkat ke – 2 pasien TB terbanyak di dunia dengan jumlah 969.000 kasus per tahun dan cakupan diagnosis terkonfirmasi pemeriksaan bakteriologis hanya 55% dari seluruh kasus TB ternotifikasi. Penegakan diagnosis TB dengan metode kultur bakteri membutuhkan waktu lama sehingga diperlukan metode baru yang dapat mempersingkat waktu identifikasi TB yaitu dengan tes cepat molekuler.
Metode: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi akurasi diagnostik tes cepat molekuler Prufen Gb101 dalam identifikasi M. tuberculosis pada pasien terduga TB paru menggunakan spesimen sputum dengan kultur Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) sebagai baku emas.
Hasil: M. tuberculosis terdeteksi pada 46 dari 81 subjek penelitian berdasarkan pemeriksaan Prufen Gb101 dengan sensitivitas 100% (95% CI, 99,0 – 100), spesifisitas 76,09% (95% CI, 61,2 – 87,4), PPV 76.09% (95% CI, 65,5% – 84,2) dan NPV 100% (95% CI , 90,0 – 100). Sensitivitas yang tinggi menunjukkan tes ini dapat mengidentifikasi dengan baik infeksi TB pada pasien terduga TB paru.
Kesimpulan: Prufen Gb101 dapat memberikan tambahan penilaian dalam menegakkan diagnosis pada pasien dan memenuhi kriteria WHO sebagai uji penapis pada diagnosis TB paru.

Introduction: Tuberculosis (TB) is a global health problem and a major cause of morbidity and mortality in many developing countries. Indonesia has the second highest number of TB patients in the world with 969,000 cases per year and the coverage of confirmed diagnosis by bacteriological examination is only 55% of all notified TB cases. Confirmation of TB diagnosis by bacterial culture method takes a long time, so a new method that can shorten TB identification time is needed, namely molecular rapid tests.
Methods: This study aimed to evaluate the diagnostic accuracy of the Prufen Gb101 molecular rapid test in identification of M. tuberculosis in patients with suspected pulmonary TB using sputum specimens with Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT) culture as the gold standard.
Results: M. tuberculosis was detected in 46 of 81 study subjects based on the Prufen Gb101 assay with a sensitivity of 100% (95% CI, 99.0 - 100), specificity of 76.09% (95% CI, 61.2 - 87.4), PPV of 76.09% (95% CI, 65.5% - 84.2) and NPV of 100% (95% CI, 90.0 - 100). The high sensitivity indicates that the test can correctly identify TB infection in patients with suspected pulmonary TB.
Conclusion: Prufen Gb101 can provide additional assessment in establishing a diagnosis in patients and meets WHO criteria as a screening test in the diagnosis of pulmonary TB.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Lasma Susi F
"

Latar belakang: Prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada anak di Indonesia 8%- 52%. Gejala dominan pada anak dengan infeksi H. pylori adalah refluks gastroesofageal yang mengganggu kualitas hidup (penyakit refluks gastroesofageal/PRGE), yang secara definitf di diagnosis dengan pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi (EGD). Untuk mengetahui infeksi dilakukan uji Rapid Urease Test (RUT) pada saat bedside, namun uji ini belum diketahui akurasinya Tujuan: Mendapatkan proporsi positif RUT pada biopsi lambung dibandingkan real-time PCR. Selain itu ingin diketahui karakteristik gambaran klinis, demografi, dan hubungan faktor risiko pada anak PRGE yang menjalani prosedur EGD. Metode: Penelitian potong lintang pada 46 anak dengan PRGE di RSCM dan RS MMC. Semua subyek menjalani RUT, real-time PCR dan histopatologi. Hasil: Anak perempuan berusia lebih dari 10-18 tahun dengan tingkat pendidikan orangtua rendah mendominasi karakteristik subyek penelitian ini. Nyeri perut lebih dari 3 bulan, anemia, status nutrisi, orangtua dispepsia dan kepadatan kapling rumah pada penelitian ini tidak terbukti sebagai faktor risiko terhadap terjadinya PRGE. Namun, pola makan tidak teratur dan komsumsi makan berempah memengaruhi terjadinya gastropati pada lambung anak (p < 0,05). Proporsi positif RUT; 2,2% dan real-time PCR; 8,7%. Kesimpulan: Hasil negatif pada pemeriksaan RUT tidak menyingkirkan terjadinya infeksi H. pylori, terutama pada pasien dalam terapi proton pump inhibitor (PPI). Pemeriksaan lanjutan menggunakan real-time PCR dianjurkan untuk mendukung diagnosis ini.

 


Background: The prevalence of detected Helicobacter pylori infection of children in Indonesia was 8%-52%. Gastroesophageal reflux was the dominant symptom and might be attributable to H. pylori infection which reduced quality of life. Current definitive diagnosis was using esophagogastroduodenoscopy (EGD). Rapid Urease Test (RUT) was used in bedside setting for H. pylori detection, however its accuracy was still unkown. Objectives: This study was done to determine the positive proportion of RUT on gastric biopsy specimens and real-time PCR. Moreover, this study explored the characteristics of clinical and demographic features, and examined the risk factors in children with GERD (gastroesophageal reflux disease) who underwent diagnostic EGD. Methods: This is a cross-sectional study on 46 children diagnosed as GERD, admitted to the RSCM and MMC Hospital. All subject underwent RUT, real-time PCR and histopathology examination. Results: Most subjects are girls, more than 10-18 years with low parental education dominated the proportion of subject included in this study. According to abdominal pain more than 3 months, anemia, nutritional status, parental dyspepsia and crowded household were not proven to be risk factors for increase of GERD. However, irregular feeding habit and consumption of spicy foods were be associated with gastropathy in child’s gastric mucosa (p < 0,05). The positive proportion of RUT was 2.2% and real-time PCR was 8.7%. Conclusion: The negative result of RUT could not rule out of H. pylori infection, especially in patients with proton pump inhibitor (PPI) therapy. Further examination using real-time PCR is needed to support the diagnosis.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yurika Pramanan Diah
"Streptococcus pneumonia>e, bakteri patogen yang banyak menyebabkan infeksi sehingga menjadi penyakit pneumokokal yang memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi. Antibiotik makrolid seperti eritromisin dan azitromisin merupakan pilihan terapi namun menunjukkan adanya peningkatan resistensi. Terdapat dua mekanisme utama timbulnya resistensi terhadap makrolid, yaitu metilasi ribosom yang diperankan oleh gen erm>(B) dan pompa efluks yang diperankan oleh gen mef>(A). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan gen erm>(B) dan mef>(A) pada isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin.
Sebanyak 60 isolat Streptococcus pneumoniae> diikutsertakan dalam penelitian ini. Uji kepekaan terhadap eritromisin dan azitromisin dilakukan dengan metode difusi cakram. Dari 60 isolat tersebut  didapatkan 33 (55 %) isolat sensitif sedangkan 27 (45 %) isolat resisten terhadap eritromisin dan azitromisin. Selanjutnya keberadaan gen erm>(B) dan mef>(A) dideteksi menggunakan PCR. Di antara 27 isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin, 7 (25,9 %) isolat memiliki gen erm>(B), 6 (22,2 %) isolat memiliki gen mef>(A), serta 14 (51,9 %) isolat memiliki kedua gen erm>(B) dan mef>(A). Dari 27 isolat tersebut, 11 ( 40,7 %) isolat merupakan serotipe 19 F, dan 9 ( 81,8 % ) isolat di antaranya memiliki kedua gen erm>(B) dan mef>(A). Hasil penelitian menunjukkan proporsi cukup besar baik dari gen erm>(B) atau mef>(A) saja maupun kedua gen secara bersamaan pada isolat Streptococcus pneumoniae> yang resisten terhadap eritromisin dan azitromisin. Sedangkan dari 15 isolat Streptococcus pneumoniae> yang peka terhadap eritromisin dan azitromisin tidak ditemukan gen erm>(B) dan mef>(A).

Streptococcus pneumoniae>, the leading pathogen of bacterial infection, is responsible for for pneumococcal diseases with severe morbidity and mortality. Macrolides ( e.g erythromycin and azithromycin ) has become drug of choice for pneumococcal diseases, but the prevalence of macrolides-resistant Streptococcus pneumoniae >have been rising in recent years. There are two major mechanisms mediating resistance to macrolides, >ribosomal methylation by >erm>(B) gene, and efflux pump by mef>(A) gene. The aims of this study is to detect erm>(B) and mef>(A) genes in erithromycin and azithromycin-resistant Streptococcus pneumoniae> isolates.
A total of 60 Streptococcus pneumoniae> isolates were analyzed using antimicrobial suscepbility test ( disk diffusion method ) to determine their drug resistance to erythromycin and azithromycin. Among 60 isolates, 33 (55 %) isolates were susceptible, and 27 (45 %) isolates were resistant to erythromycin and azithromycin. The presence of erm>(B) and mef>(A) was determined by PCR. Among of 27 erythromycin and azithromycin Streptococcus pneumonia>-resistant isolates, 7 (25,9 %) isolates carried erm>(B) gene, 6 (22,2 %) isolates carried mef>(A) genes, and 14 (51,9 %) isolates carried both erm>(B) and mef>(A) genes. Of these 27 isolates, 11 ( 40,7 %) isolates belongs to serotype 19 F, with 9 ( 81,8 %) isolates carried both erm>(B) and mef>(A) genes. In conclusion, there was a high proportion of either erm>(B) and mef>(A) genes alone or both of these genes in erythromycin and azithromycin-resistant Streptococcus pneumoniae> isolates. Of 15 erythromycin and azithromycin-susceptible Streptococcus pneumoniae> isolates, no erm>(B) and mef>(A) genes were found.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhitia Purnama Graha
"Latar belakang: Candida sp. merupakan flora normal di rongga mulut. Deteksi Candida sp. dari spesimen BAL dianggap sebagai kontaminasi atau kolonisasi yang tidak perlu diobati. Tetapi keberadaan Candida sp pada pasien yang berisiko dengan sistem kekebalannya yang rendah seperti pasien yang dirawat di ICU bisa meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Petugas kesehatan yang lalai dalam menjalankan program PPI dapat menjadi sumber penularan infeksi jamur Candida sp. secara sistemik, seperti kurangnya kebersihan tangan (hand hygiene) yang berkontak dengan alat-alat invasif yang digunakan pasien, lingkungan yang tercemar, walaupun bisa juga melalui penularan autoinfeksi oleh pasien sendiri.
Tujuan: Untuk mengetahui kemaknaan klinis Candida sp. yang diisolasi dari BAL pasien dengan faktor risiko untuk sebagai prediktor keluaran infeksi pasien rawat di ICU.
Metode: Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan pengambilan sampel secara konsekutif di ICU-IGD dan ICU Dewasa Kanigara Lt.8 RSCM pada juli – desember 2023. Sampel diambil dari bilasan bronkoalveolar pasien dengan diagnosis pneumonia dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik Gram, KOH dan dikultur pada sabouraud dekstrosa agar. Jamur yang tumbuh diidentifikasi dan dilakukan uji kepekaan menggunakan mesin Vitekâ2. Sumber infeksi dicari dengan cara melakukan swab handrail tempat tidur dan meja status pasien. Audit kebersihan tangan dilakukan padapetugas kesehatan yang merawat pasien dengan positif kultur jamurnya, menggunakan panduan WHO
Hasil: Candida albicans 26,3% diisolasi dari sampel BAL pasien ICU. Keberadan Candida sp. kemungkinan dapat mempengaruhi pola kepekaan antibiotik bakteri potensi MDR 31,6%. Penggunaan Candida score >2,5 dapat digunakan sebagai dimulainya pemberian antijamur. Pada Ko-infeksi jamur dengan Influenza A dan rhinovirus terdapat 22,2% pasien meninggal. Berdasarkan pelacakan sumber infeksi, tidak ditemukan sumber kontaminasi di permukaan lingkungan sekitar pasien, audit tingkat kepatuhan kebersihan tangan petugas kesehatan rata-rata 83,1% hal ini belum memenuhi target yang ditetapkan Permenkes.
Kesimpulan: Identifikasi Candida sp. perlu dilakukan secara dini untuk mencegah terjadinya penyebaran di rumah sakit yang dapat tumbuh secara bersamaan dengan bakteri MDR. Selain itu Ko-infeksi Candida dengan influenza dan Rhinovirus mungkin dapat mempengaruhi keluaran klinis yang mengakibatkan kondisi klinis pasien menjadi lebih berat.

Background: Candida sp. are normal flora in the oral cavity. Detection of Candida sp. from BAL specimens is considered to be contamination or colonization that does not need to be treated. However, the presence of Candida sp in at-risk patients with low immune systems, such as patients treated in the ICU, can increase morbidity and mortality. Health workers who are negligent in implementing infection prevention and control programs can become a source of transmission of Candida sp fungal infections. systemically, such as lack of hand hygiene in contact with invasive tools used by patients, a polluted environment, although it can also be through transmission of autoinfection by the patient himself.
Objective: This study aims to determine the clinical significance of Candida sp. Isolated from BAL patients with risk factors for ICU as predictors of outpatient infection output.
Method: The study used a cross-sectional design with consecutive sampling in the ICU-IGD and Adult ICU Kanigara Floor 8 RSCM in July – December 2023. Samples were taken from the bronchoalveolar lavage of patients with a diagnosis of pneumonia and were subjected to Gram, KOH microscopic examination and cultured on sabouraud dextrose agar. The fungus that grows is identified and a sensitivity test is carried out using a Vitekâ2machine. The source of infection is sought by swabbing the bed handrail and patient status table. Hand hygiene audits were carried out on health workers caring for patients with positive fungal cultures, using WHO guidelines
Result: Candida albicans 26.3% was isolated from BAL samples of ICU patients. The presence of Candida sp. possibly influencing the antibiotic sensitivity patterns of potential MDR bacteria 31,6%. The use of a Candida score >2.5 can be used to start antifungal theraphy. In fungal co-infection with influenza A and rhinovirus, 22.2% of patients died. Based on tracking the source of infection, no source of contamination was found on surfaces in the environment around the patient, the audit level of hand hygiene compliance for health workers was an average of 83.1%, this does not meet the target set by the Minister of Health.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Merry Ambarwulan
"

Latar Belakang : Infeksi intraabdomen (IIA) merupakan respons inflamasi peritoneum oleh mikroorganisme penyebab sepsis dan kematian kedua terbanyak di ruang intensive care unit (ICU).1,2Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) menunjukkan angka kematian infeksi intraabdomen komplikata sebesar 10,5%. Terapi antimikroba atau antibiotik merupakan hal penting dalam penanganan IIA. Dalam mendukung keberhasilan penanganan kasus IIA dibutuhkan informasi akurat mengenai karakteristik dan pola kepekaan terhadap antibiotik yang dapat digunakan sebagai acuan penggunaan antibiotik pada kasus IIA. Tujuan: Mendapatkan karateristik mikrobiologis dan klinis pada kasus IIA dan mengetahui hubungan antara faktor klinis dan mikrobiologi dengan luaran klinis pasien.

Metode: Data diambil secara prospektif  dengan desain pontong lintang. Sampel penelitian berupa jaringan intraabdomen dan darah yang diambil saat pembedahan. Uji identifikasi dan uji kepekaan dilakukan untuk deteksi bakteri aerob dan bakteri anaerob. Hasil:. Infeksi intraabominal komplikata lebih banyak dibandingkan IIA non-komplikata (63,63%), kasus sepsis (63,63%) dan peritonitis (45,45%). Infeksi intraabominal terkait rumah sakit lebih banyak dibanding IIA komunitas yaitu 56,36%). Patogen yang paling sering ditemukan adalah Eschericia coli (34,78%), Klebsiella pneumoniae (10,86%) dan Enterococcus faecalis ((8,69%). Pola kepekaan terhadap amikasin, meropenem, ertapenem dan tigesiklin adalah 100% pada isolat E. coli, sementara piperasilin/tazobaktam lebih rendah (90,62%), seftazidim dan sefepim (68,75%). Ditemukan E. coli resisten multiobat  (62,5%), K. pneumoniae resisten multiobat (50%) dan E. faecalis resisten multi obat (50%). Terdapat hubungan antara faktor klinis sepsis dengan luaran klinis. Pemberian terapi antimikroba sebaiknya mengacu kepada rekomendasi yang dibuat berdasarkan pola kuman dan pola kepekaan setempat.

Kesimpulan: Bakteri Gram negatif masih merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada kasus IIA. Dengan tingginya temuan bakteri resisten multiobat makan pemberian antimikroba harus mempertimbangkan cakupan antimikroba terhadap patogen penyebab.

<

Background: Intraabdominal infection (IAI) is the peritoneum inflammatory process due to microorganisms, the leading cause of sepsis, and the second cause of death in the intensive care unit (ICU). Complicated intra-abdominal infection worldwide observational study (CIAOW) showed the mortality rate of complicated IAI of 10.5%. Antimicrobial therapy or antibiotics is important in managements of IAI. Accurate information is needed to improve IAI management; regarding the characteristics and patterns of sensitivity of antibiotics as a reference for antibiotics use in IAI.

Aim: This study aims to obtain microbiological and clinical pictures in IAI and the correlation between clinical and microbiological factors with the patient’s clinical outcomes.

Method: Data were collected prospectively using a cross-sectional design. The sampel in this study is intraabdomen tissue and blood that was taken during surgery. Identification and antimicrobial sensitivity testing was carried out to detect aerob and anaerob bacteria.

Result: Complicated cases is larger in number more than non-complicated IAI (63.63%), sepsis (63.63%) and peritonitis (45.45%). Hospital-related IAI much more than community IAI (56.36%). The most common pathogens are Eschericia coli 34.78%), Klebsiella pneumoniae (10.86%) and Enterococcus faecalis (8.69%). The sensitivity of amikacin, meropenem, ertapenem and tigesycline was 100% in E. coli, while piperacillin/ tazobactam was lower (90.62%), ceftazidime and cefepime (68.75%). It was found that multi-drug E. coli was (62.5%), multi-drug resistant K. pneumoniae (50%) and multi-drug resistant E. faecalis (50%). There is correlation between sepsis clinical factors with patient’s outcome. The administration of antimicrobial therapy should refer to recommendations made based on local microba and sensitivity patterns. 

Conclusion: Gram-negative bacteria are still the most common bacteria found in patient intraabdominal infections. With the high findings of multi-drug resistant bacteria, antimicrobial administration must consider the antimicrobial coverage of the causative pathogen.

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>