Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 41 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edi Hermansyah
Abstrak :
Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hak pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang terdapat dalam Pasal 55, Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu dan adanya hubungan kausalitas. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena perlakuan rumah sakit yang sering merugikan konsumen. sehubungan dengan perlindungan maka tidak akan terlepas dari tanggung jawab rumah sakit tersebut. Sistem tanggung jawab yang ada di rumah sakit berdasarkan bidang masing-masing, dalam hal rumah sakit sebagai lembaga yang bergerak di bidang sosial ekonomi maka berlaku tanggung jawab sebagai pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 UUPK. Rumah Sakit juga bertanggung jawab terhadap karyawan atau bawahan yang melakukan kesalahan sesuai dengan doktrin vicarious liability atau corporate liability. Pemberlakuan klausul-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersebut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak rumah sakit. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan pihak rumah sakit adalah melalui jalan peradilan atau luar pengadilan yang menggunakan lembaga BPSK dan dapat juga menggunakan cara mediasi, pihak ketiga sebagai mediator, seperti YLKI atau YPKKI. Bagi dokter juga diselesaikan oleh MKEK IDI atau MDTK.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T2464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfan Tenri Abeng
Abstrak :
Keputusan pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga mengakibatkan debitor demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya, dan sejak dinyatakan pailit pengurusan dan pemberesan harta pailit beralih kepada Kurator. Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan pahwa harta pailit harus dijual secara lelang. Pemberesan harta pailit dengan mekanisme lelang pada dasarnya merupakan alternatif yang tepat dan cepat dalam era globalisasi dan reformasi dewasa ini, karena penjualan secara lelang bersifat obyektif, kompetitif, transparan, built in control dan otentik. Dalam hal penjualan lelang tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan ijin Hakim Pengawas. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah apabila tidak berhasil melakukan penjualan dengan cara lelang dapatkah Kurator langsung memilih cara penjualan di bawah tangan. Bagaimana dikatakan seorang Kurator tidak berhasil dalam melaksanakan lelang dan bagaimanakah peran Kurator agar lelang tersebut dapat berjalan dengan lancar, efektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian untuk menyusun tesis ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan yang berbentuk yuridis normatif, penelitian yang bersifat eksplanatoris, dan penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah. Dalam pemberesan harta pailit apabila lelang yang dilaksanakan tidak berhasil, Kurator tidak dapat begitu saja melakukan penjualan di bawah tangan, melainkan Kurator terlebih dahulu harus melakukan lelang ulang. Apabila lelang ulang tidak berhasil dengan ijin Hakim Pengawas dapat dilakukan penjualan dibawah tangan dan Kurator harus dapat mempertanggungjawabkannya. Kurator harus menghindari adanya benturan kepentingan dan turut berperan aktif sejak tahap persiapan lelang sampai dengan pasca lelang.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heryudana
Abstrak :
Perkembangan dan pertumbuhan suatu bangsa tidak terlepas dari peranan proses industrialisasi. Maju mundurnya suatu industri sangat ditunjang oleh tenaga kerja yang produktif, sehat, dan berkualitas dengan manajemen yang baik, khususnya yang berkait dengan masalah kesehatan dan keselamatan kerja (K3). K3 dalam suatu perusahaan terkadang terlupakan oleh para pengusaha. Betapa tidak? Sebab, K3 mempunyai tujuan pokok dalam upaya memajukan dan mengembangkan proses industrialisasi, terutama dalam mewujudkan kesejahteraan para buruh. K3 dikatakan merupakan modal utama kesejahteraan para buruh/tenaga kerja secara keseluruhan. Dengan penerapan K3 yang baik dan terarah akan memberikan dampak pads sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Di era pasar babas tentu daya saing dari suatu proses industrialisasi semakin ketat dan sangat menentukan maju tidaknya pembangunan suatu bangsa. Perkembangan ekonomi dan perkembangan teknologi yang begitu cepat yang berdampak pada persaingan yang berlangsung sangat ketat menuntut perusahaan untuk mengutamakan tuntutan pasar yang menghendaki kecepatan dan respon yang fleksibel terhadap tuntutan pelanggan. Respon yang cepat terhadap tuntutan pasar dan pelanggan ini dapat menentukan kemenangan dan kekalahan dalam persaingan usaha. Oleh karena itu, belakangan ini perusahaan mementingkan hal-hal yang mempercepat proses ini demi efisiensi dan effektivitas perusahaan. Salah satu cara adalah dengan menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pihak lain melalui jasa pemborongan atau penyediaan jasa pekerja buruh atau dikenal dengan istilah outsourcing. Outsourcing kemudian menjadi trend dan merupakan tuntutan pasar yang tidak dapat dihindari. Karena dengan penggunaan outsourcing ini maka perusahaan dapat lebih memperhatikan kegiatan utama perusahaan sehingga perusahaan lebih kompetitif. Namun, praktek outsourcing menimbulkan masalah, khususnya mengenai perlindungan pekerja/buruh. Umumnya, pekerja/ buruh outsourcing mendapatkan gaji yang lebih rendah, jaminan social yang diterima minimal, dan bahkan pekerja/ buruh outsourcing dianggap seperti factor produksi. Ada pekerjaan, dipekerjakan oleh perusahaan, tidak ada pekerjaan di PHK. Sehingga pekerja/ buruh outsourcing ini seperti "budak dalam zaman modern". Tesis ini menganalis apakah benar bahwa pekerja/ buruh tersebut diperlakukan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pekerja/ buruh outsourcing yang ditinjau dari sudut hukum ketenagakerjaan Indonesia, yakni UU No.13 tahun 2003.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
SPA Ichatiyatun
Abstrak :
Tulisan dengan judul " Kajian Wasiat Wajibah Islam Sistem Tata Hukum Kewarisan Islam " ini membahas masalah wasiat wajibah untuk anak angkat atau orang tua angkat sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, dan juga hak waris bagi pewaris nom muslim, sebagai suatu pembaharuan hukum Islam (fikih) secara mendasar dan substansial. Rumusan mengenai masalah wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak terlepas dari pengaruh hukum adat, sebagai suatu realitas social yang nyata-nyata ada dan hidup di tengah masyarakat Indonesia. Pada dasarnya wasiat itu merupakan tindakan hukum yang bersifat sukarela, yang didasarkan atas kehendak bebas dari pemberi wasiat selaku pemilik harta. Namun demkian, berpangkal pada firman Allah surat al-Baqarah (2) ayat 180, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum wasiat tersebut. Jumhur ulama berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu'). Berdasarkan pendapat kedua tersebut, beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka wasiat wajibah ini -pun dapat diperuntukan bagi pewasiat non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Kedua hal ini merupakan suatu terobosan yang inovatif dan cerdas dalam menciptakan harmoni antara hukum Islam dengan hukum adat di Indonesia juga sebagai petunjuk ajaran Islam yang bernuansa rahmatan lil 'alamin sehingga dapat memotivisir kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, masalah wasiat wajibah menjadi objek yang menarik untuk dikaji. Ada dua permasalahan dalam kajian ini. Pertama, bagamaina kedudukan wasiat wajibah dalam sistem tata hukum kewarisan Islam di Indonesia, dan kedua, bagaimana konsekuensi yuridis ketentuan wasiat wajibah baik yang diatur maupun yang tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, baik terhadap bagian anak angkat atau orang tua angkat dan ahli waris non muslim, bagian warisan para ahli waris, maupun bagian penerima wasiat yang lain.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18886
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Kirana Sulistijo
Abstrak :
Undang-Undang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Perimbangan Keuangan telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangga-nya sendiri termasuk dalam hal ini mengatur sumber keuangannya sendiri konsekwensi lahimya perundang-undangan tersebut membuat masing-masing pemerintah harus berusaha keras memaksimalkan potensi yang dimiliki daerahnya. Mengingat baik saat ini dan di masa mendatang pengadaan pinjaman dari negara asing/ lembaga donor dengan scheme bunga ringan tidak lagi mudah diperoleh serta disisi lain, pinjaman perbankan komersial dari luar negeri dengan denominasi mata uang asing (pada mnumnya USS), akan sulit disiapkan, karena tingginya risiko Indonesia, maka salah satu alternatif pembiayaan yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dengan cara menerbitkan Obligasi Daerah. Agar suatu daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah beberapa ketentuan perundang-undangan khususnya berkaitan dengan pasar modal perlu disesuaikan serta perlu diciptakan mekanisme pengawasan pinjaman daerah oleh pemerintah pusat. Kendala serta penyesuaian yang perlu dilakukan disampaikan dalam penulisan ini (Surya Kirana Sulistijo. Aspek Hukum Prospek Penerbitan Obligasi Daerah Pada Pasar Modal Indonesia. 6502021l8l. Kelas A. Pascasarjana Fakultas Hukum. Universitas Indonesia).
Local Authonomy Law (Undang-Undang Otonomi Daerah) and Undang-Undang Perimbangan Keuangan has given the authority to the local govemment to manage its internal affairs including to manage its financial resources as the consequence of the promulgation of these laws the local govemment has to work hard in maximizing its potential resources. Having known that both at this time and in future the availability of the low interest loan given by foreign country or foreign donor may not be easy to obtain and on the other side foreign commercial bank with a foreign denomination funds (mostly USS) is hard to be prepared as the result of Indonesia being a high risk country, hence one of the altemative source of fund which may be conducted by the local govemment is by issuing a Municipal Bond. In order for a local govemment to be able to issue a Municipal Bond several laws and regulations especially in relation to the Capital Market need to be adjusted and it requires the establishment of supervision of local obligation (loan obligation) by the central government. The obstacle and adjustment required are set out on this academic writing (Surya Kirana Sulistijo. Aspek Hukum Prospek Penerbitan Obligasi Daerah Pada Pasar Modal Indonesia 650202l18l. Kelas A. Pascasarjana Fakultas Hukum. Universitas Indonesia).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T28534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salahuddin Luthfie
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, tugas dan wewenang kejaksaan di negaranegara lain, dan mekanisme penanganan perkara korupsi di kejaksaan. Tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pemikiran kewenangan kejaksaan dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilihat dari aspek historis, sosiologis, lingkungan strategis, dan yuridis; peranan jaksa berkaitan dengan penyidikan, ada empat kelompok yang dianut oleh berbagai negara, yaitu: jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana, jaksa memiliki wewenang penyidikan tindak pidana tertentu, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan namun diberikan wewenang supervisi penyidikan, jaksa tidak memiliki wewenang penyidikan dan supervisi penyidikan; mekanisme penanganan tindak pidana korupsi di kejaksaan terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu tahap penyelidikan, tahap penyidikan, tahap penuntutan, serta tahap upaya hukum dan eksekusi, dimana pelaksanaannya dilakukan oleh bidang intelijen dan bidang tindak pidana khusus, yang struktur organisasinya berkarakter birokratis, sentralistis, pertanggungjawaban hierarkis dan sistem komando. ......This thesis discusses the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption, tasks and powers of the prosecution services in other countries, and mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service. This type of research is the juridical-normative. The results of research reveal that the rationale for the authority of the prosecution service in the investigation of corruption should be viewed from the aspect of historical, sociological, strategic environment, and juridical; the role of the prosecutor relating to the investigation, there are four groups adopted by various countries: the prosecutor have the authority to criminal investigations, the prosecutor have the authority of certain criminal investigations, the prosecutor do not have the authority of investigations but given the authority supervising the investigations, the prosecutor do not have the authority to investigations and supervise the investigations; mechanisms of corruption cases handling in the prosecution service consists of four stages, stage of inquiry, investigation, prosecution, legal remedy and execution, and the implementation is done by the intelligence and special crime division, the organizational structure characterized by bureaucratic, centralized, hierarchical accountability and command system.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M B Setiadharma
Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
T37091
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Akbar Yogaswara
Abstrak :
ABSTRAK
Didalam bentuk negara kesatuan dikenal dua asas pemerintahan yaitu sentralisasi dan desentralisasi, sentralisasi menciptakan keseragaman sedangkan desentralisasi menciptakan keberagaman, sehingga daerah dapat menentukan pilihan kebijakan apa yang sesuai keinginan daerah masing-masing. Dengan diberlakukannya desentralisasi, maka tiap-tiap daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Pengimplementasian dari otonomi daerah terkadang membuat sebagian masyarakat di daerah merasa kurang puas terhadap kinerja dan pelayanan pemerintah daerah. Hal tersebut mendorong sebagian masyarakat untuk membentuk daerah otonom baru. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini mengatur mengenai persyaratan dan prosedur Pembentukan dan pemekaran. Ada dua pokok permasalahan yang menjadi telaahan dalam tesis ini, yaitu persyaratan dan prosedur Pembentukan dan pemekaran daerah menurut hukum positif, dan persyaratan dan proses pembentukan Kota Tangerang Selatan dalam perspektif hukum positif di Indonesia. Dalam penelitian ini dibahas juga mengenai perkembangan pemekaran daerah di Indonesia.Dalam penelitian ini digunakan metode hukum normatif, dengan titik berat kepada materi peraturan perundang-undangan yang mengatur pembentukan daerah. Data di kumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara, jenis data tersedia adalah data primer dan data sekunder yang didapat dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia dan Pemerintah Kabupaten Tangerang. Pendekatan penelitian dengan mengunakan deskriptif analisis dengan analisis yang bersifat kuantitatif, terakhir penarikan kesimpulan dengan metode induktif. Persyaratan dan prosedur pembentukan daerah diatur dalam Pasal 5 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dimana terdapat syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. Hasil dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa untuk persyaratan administratif, terdapat beberapa persyaratan yang belum dipenuhi oleh Kabupaten Tangerang untuk pembentukan Kota Tangerang Selatan. Kemudian untuk persyaratan teknis masih dinyatakan lulus bersyarat. Untuk persyaratan fisik calon Kota Tangerang Selatan telah memenuhi persyaratannya.
2007
T36843
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Windo Wahidin
Abstrak :
Perkembangan bisnis dengan sistem franchise semakin marak, Franchise merupakan suatu sistem pemasaran, dimana pemilik franchise (Franchisor) memberikan hak kepada pemegang franchise (franchisee) untuk memasarkan barang dan jasa franchisor dengan menggunakan merek dagang dan/atau jasa, metode, cara dan format bisnis (standar operasional prosedur) yang ditentukan oleh franchisor untuk jangka waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu. Untuk itu franchisee harus membayar biaya franchise, biaya royalty dan biaya-biaya lainnya kepada franchisor. Sistem bisnis franchise mulai tumbuh pada tahun 1850 di Amerika Serikat dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Seiring dengan berkembangnya perekonomian di Indonesia sistem bisnis franchise mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dalam bentuk restoran siap saji, binatu, fotocopy, cuci cetak foto, dll. Hubungan dalam sistem franchise dibangun atas dasar hubungan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian franchise. Hubungan - hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Apabila terjadi sengketa para piliak akan mengupayakan jalur musyawarah untuk mufakat. Jika musyawarah tidak tercapai, maka para pihak akan menempuh jalur pengadilan. Munculnya franchise telah menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Untuk itu pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/Kep/1997 tentang Ketentuan Pendaftaran dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Kedua peraturan tersebut dibuat agar kedudukan franchisor dan franchisee diatur untuk meminimalisir perselisihan yang mungkin terjadi. Sampai kini di Indonesia belum terdapat perundang-undangan yang secara khusus mengatur masalah perdagangan dengan sistem franchise. Selama ini praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk franchisee didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada pasal 1338 KUHPerdata.
Depok: [Universitas Indonesia;Universitas Indonesia, Universitas Indonesia], 2003
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>