Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Simarmata, Vini Onmaya
"Latar belakang. Akne vulgaris adalah kelainan kulit yang sering ditemukan dengan beragam pilihan terapi. Tujuan. Membandingkan penambahan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah pada paduan terapi lini pertama dengan tanpa fototerapi pada akne vulgaris derajat sedang (AVS). Metode. Penelitian analitik dengan desain uji klinis acak terkontrol membandingkan dua sisi wajah (split-face). Subyek diberikan paduan terapi lini pertama. Sisi wajah fototerapi diberikan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah satu kali per minggu selama empat minggu berturutan, sedangkan sisi wajah kontrol tanpa fototerapi. Hasil. Pada minggu ke-4 dan 8, efektivitas penambahan fototerapi berbeda bermakna dibandingkan dengan tanpa fototerapi pada lesi noninflamasi (54,42% dan 75,59%) maupun pada lesi inflamasi (75% dan 89,44%). Efek samping minimal dan bersifat sementara. Rasio inkremental efektivitas-biaya sebesar Rp. 19.447,- untuk mendapatkan perbedaan persentase penurunan jumlah lesi AVS 1% lebih besar. Kesimpulan. Penambahan fototerapi LED kombinasi sinar biru dan merah pada paduan terapi lini pertama AVS lebih efektif, aman, namun tidak memiliki efektivitas-biaya lebih baik dibandingkan dengan tanpa fototerapi.

Background. Acne vulgaris is a common disease with varied therapeutic regiments. Aim. To compare adjuvant of blue and red light combination light emitting diode (LED) phototherapy to first line therapy regiment with no phototherapy in moderate acne vulgaris patients. Method. This is an analytic study with randomized control trial design comparing both halfface (split-face). Subjects were given first line therapy regiment. Half-face was given blue and red light combination LED phototherapy once a week for four weeks, while the other half-face with no phototherapy. Result. Significant reductions achieved between phototherapy effectivities compared to no photo therapy at 4th and 8th weeks in noninflamed lesions (54,42% and 75,59%) as in inflamed lesions (75% and 89,44%). Side effects are minimal and temporary. Cost-effectiveness ratio is Rp. 19.447,- to gain more 1% percentage reduction in lesion count . Conclusion. Adjuvant of blue and red light combination LED phototherapy to first line therapy regiment is more effective, safe, but doesn't have better costeffectiveness compared with no phototherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Oktaria
"Latar belakang: Infeksi cacing merupakan salah satu infeksi komorbid yang dapat ditemukan pada pasien morbus Hansen (MH). Penelitian terbaru telah membuktikan bahwa infeksi cacing dapat mempengaruhi berbagai perjalanan penyakit melalui pengaruhnya pada proses imunoregulasi dan metabolisme. Spektrum klinis MH telah diketahui sangat bergantung pada respons imun pejamu terhadap bakteri M. Leprae, sehingga infeksi cacing usus diduga juga memiliki peranan pada manifestasi klinis MH dan reaksi eritema nodosum leprosum (ENL).
Tujuan: Mengetahui proporsi infeksi cacing pada MH dan hubungannya dengan tipe MH dan ENL.
Metode: Dilakukan penelitian analitik dengan rancangan penelitian potong lintang pada pasien MH tipe pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). Sampel berupa feses dikumpulkan untuk diperiksa menggunakan teknik sediaan langsung, sedimentasi formalin-eter, dan Kato-Katz.
Hasil: Terdapat 81 subjek penelitian (SP) yang diikutsertakan dalam penelitian ini, terdiri atas 20 pasien MH tipe PB dan 61 pasien MH tipe MB. Riwayat atau kejadian ENL didapatkan pada 31 SP. Infeksi cacing ditemukan pada 11 SP (13,6 %) yang seluruhnya termasuk dalam kelompok MB, yaitu Trichuris trichiura (5 SP) dan Strongyloides stercoralis (6 SP). Sebanyak 8 dari 11 SP (25,8 %) yang terinfeksi cacing memiliki riwayat atau sedang mengalami ENL. Terdapat hubungan bermakna antara infeksi cacing dengan tipe MH dan ENL (p= 0,034 dan p=0,018).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi cacing dengan tipe MH dan ENL.

Background: Helminth infection is one of many comorbid infections that can be found in leprosy. It has been proved that helminth infections can affect several diseases development through immunoregulation and metabolic processes. Clinical spectrum of leprosy has been known to depends on the host immune response against Mycobacterium leprae, so that helminths may have a role in clinical manifestation of leprosy and erythema nodosum leprosum (ENL).
Purpose: To know the proportion of helminth infections in leprosy and their association with leprosy type and ENL.
Methods: Analytical study was performed with cross-sectional design on pausibacillary (PB) and multibacillary (MB) type leprosy patients. Fecal samples were collected from all subjects, which then analyzed with direct microscopic examination, formalin-ether sedimentation technique, and Kato-Katz.
Results: 81 subjects were enrolled in this study, consists of 20 PB type patients and 61 MB type patients. History or episode of ENL was found in 31 subjects. Helminth infections were found in 11 MB subjects (13,6 %), consists of Trichuris trichiura (5 subjects) and Strongyloides stercoralis (6 subjects). Eight of 11 subjects (25,8 %) with helminth infections had a history or episode ENL. There were significant associations between helminth infections with leprosy type and ENL (p= 0,034 dan p=0,018).
Conclusion: There were significant associations between helminth infections with leprosy type and ENL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahma Evasari
"Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum (T. pallidum), merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif (stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode tidak bergejala (sifilis laten). Sifilis masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia dengan 80-90% kasus baru terjadi di negara berkembang dengan sedikit atau tidak ada akses diagnostik. Sejumlah besar sifilis tidak bergejala. Akibatnya, sebagian sifilis tidak terdiagnosis dan tidak mendapatkan tatalaksana yang baik, sehingga berpotensi menimbulkan gejala sisa serius, manifestasi sifilis tersier, kardiovaskular, neurologik, oftalmologik, otologik, dan berlanjutnya rantai penularan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan rapid Test STANDARD Q Syphilis Ab dengan menggunakan spesimen serum dan darah kapiler dibandingkan dengan TPHA dalam mendeteksi sifilis pada populasi risiko tinggi yang terdiri atas waria, lelaki yang berhubungan seksual dengan lelaki, dan wanita penjaja seks di Puskesmas Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan dengan rancangan studi potong lintang. Hasil penelitian menggunakan spesimen serum memberikan hasil sensitivitas 91,30%, spesifisitas 97,53%, nilai duga positif 95,45%, nilai duga negatif 95,18%, dan akurasi 95,28% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Hasil pengujian dengan spesimen darah kapiler memberikan hasil sensitivitas 84,78%, spesifisitas 98,77%, nilai duga positif 97,50%, nilai duga negatif 91,95%, dan akurasi 93,70% dibandingkan dengan TPHA sebagai baku emas. Kesesuaian hasil rapid test STANDARD Q Syphilis Ab antara spesimen serum dan darah kapiler sangat baik (κ = 0,8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab dapat dijadikan alternatif uji treponemal dalam menunjang diagnosis sifilis, baik sebagai penapisan rutin maupun konfirmasi hasil uji nontreponemal serta penggunaan spesimen darah kapiler dapat dijadikan alternatif uji treponemal yang lebih cepat dan mudah dilakukan.

Syphilis is a chronic and systemic disease caused by Treponema pallidum subspecies pallidum (T. pallidum). Syphilis is a progressive disease with active clinical features (primary, secondary, and tertiary syphilis) and asymptomatic periods (latent syphilis). Syphilis is still a worldwide health problem with 80-90% of new cases occurring in developing countries with little or no diagnostic access. A large number of syphilis are asymptomatic. As a result, some syphilis is undiagnosed and does not get good management, potentially causing serious sequelae, the manifestation of tertiary syphilis, cardiovascular, neurologic, ophthalmologic, otologic, and continuous chain of transmission. This study aimed to assess STANDARD Q Syphilis Ab's rapid test capability using serum and fingerprick whole blood specimens compared with TPHA in detecting syphilis in high-risk populations comprised of transgenders, men who have sex with men, and female sexual workers in Puskesmas Pasar Rebo. This study is a diagnostic test with a cross sectional study design. The results of this study using serum specimens were sensitivity of 91.30%, specificity of 97.53%, positive predictive value 95.45%, negative predictive value of 95.18%, and accuration 95.28%, compared to TPHA as the gold standard. Test results with fingerprick whole blood specimens gave sensitivity of 84.78%, specificity of 98.77%, positive predictive value of 97.50%, negative predictive value of 91.95%, and accuration 93.70%, compared to TPHA as the gold standard. Compatibility of rapid test STANDARD Q Syphilis Ab results between serum and fingerprick whole blood specimens was very good (κ = 0.8223). Rapid test STANDARD Q Syphilis Ab can be used as an alternative treponemal test in supporting syphilis diagnosis, either as routine screening or confirmation of nontreponemal test result and the use of fingerprick whole blood specimen can be used as treponemal test alternative which is faster and easier to do.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marina Lubniar Sartono
"ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian:
Berbagai amcam cara dilakukan orang untuk menghilangkan kelelahan setelah bekerja keras, antara lain dengan berendam diri dalam air hangat dalam waktu tertentu, atau mandi sauna. Jika peerjaan ini dilakukan berulang kali, suhu sekitar testis akan seringkali mengalami peninhkatan. Proses spermatogenesis berlangsung normal bila suhu testis lebih rendah dari suhu badan. Kerusakan akibat peningkatan suhu testis in vivo bersifat selektif terhadap tingkat perkembangan sel-sel germinal, sehingga proses spermatogenesis terganggu. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah pemanasan testis mencit in vivo, masing-masing pada suhu air 40, 41, dan 42 deraat C selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous, akan berpengaruh terhadap fertilitas mencit. Penelitian dilakukan dalam 5 kelompok, masing-masng 10 ekor mencit jantan. Kelompok I, kontrol tanpa perlakuan; kelompok II, kontrol hanya dibius; kelompok III, dibius + 40 derajat; kelompok IV, dibuis + 41 C; kelompok V, dibius + 42 C. perlakuan ini dilakukan selama 10 menit yang diulang tiga kali dengan selang waktu satu siklus epitel seminiferous.
Hasil dan kesimpulan:
Kelompok III tidak menunjukkan pengaruh bermakna terhadap berat testis, jumlah sperma motil, persentase sperma abnormal, maupun jumlah anak yang dilahirkan dibandingkan dengan kontrol. Kelompok IV menunjukkan penyusutan berat testis, umlah sperma motil, peningkatan persentase sperma abnormal, dan penurunan jjumlah anak yang bermakna dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok V, selain penyusutan berat testis ang bermakna, tidak didapatkan spema dalam tubulus seminiferous. Jadi kesimpulannya, pemanasan 40 derajat C tidak berpengaruh terhadap fertilitas mencit, sedahkan pemanasat 41 dan 42 berpengaruh terhadap fertilitas mencit.

ABSTRACT
Scope and Method of study:
Several traditional habits are applied to refresh the body, releasing fatigue or stiffness after working hard all day, e.g. by soaking the body in warm water or by taking sauna. If performed frequently, the temperature around the testis should increase and it might cause a selective demage to germinal cells, disturbing the process of spermatogenesis. The purpose of this study was to evaluate the fertility of mice after application of heat on the testis. Mice were divided randomly into 5 groups of 10 mice each. The first group served as untreated control, with no treatment at all. The second group was a treated control, treated with anesthetic, but not exposed to hear the treated groups were anesthetized, and the testis exposed to temperature of 40 C (3rd group), 41 C (4th Group), and 42 C (5th group), respectively, for 10 minutes each in a special devides water bath. The treatment was repeated 3 times at an interval of 9 days or one cycle of the seminiferous epithelium.
Findings and conclusions:
The result showed that in the 3rd group no significant effect of heat was found on the weight of the testis, the number of motile sperm, percentage of abnormal sperm, and noumber of offspring comparet to the control group. In the 4th gorup, however the weight of testis, number of motile sperm, and mean number of offspring were significantly reduced. The percentage of abnormal sperm was significantly increased as compared to control groups. It is interesting to note that in the 5th group of mice, no sperm was found in the seminiferous tubules. In conclusion, there was no effect on the fertility of mice by heating the testis to a temperature of 40 C. however, the fertility was decreased significantly after exposure to 41 and 42 C."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suksmagita Pratidina
"Chlamydia trachomatis (CT) merupakan bakteri penyebab infeksi menular seksual (IMS) yang paling sering terjadi, dengan perkiraan angka kejadian 50 juta kasus per tahun di seluruh dunia. Lebih dari 3 juta kasus baru dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 1995. Hal ini membuat infeksi CT tidak hanya sebagai penyakit infeksi menular seksual (IMS) terbanyak, tetapi juga penyakit infeksi tersering di Amerika Serikat. Penelitian meta-analisis di tahun 2005 melaporkan bahwa prevalensi infeksi CT berkisar antara 3,3% hingga 21,5%.
Terdapat 2 Cara transmisi infeksi CT yaitu secara horizontal dan vertikal. Infeksi horizontal umumnya terjadi melalui hubungan seksual lewat vagina dan anus tanpa pelindung, sedangkan infeksi vertikal terjadi saat proses kelahiran. Meskipun infeksi Iebih sering terjadi pada genital dan konjungtiva, temyata permukaan mukosa faring, uretra dan rektum juga merupakan lokasi kolonisasi CT. Hubungan orogenital awalnya tidak dipikirkan sebagai jalur transmisi CT, sehingga pemeriksaan skrining rutin untilk infeksi CT faring belum dianjurkan pada pedoman di Amerika Serikat dan Inggris. Namun dengan semakin banyaknya praktek fellatio dan jarangnya penggunaan kondom, kemungkinan transmisi CT pada orofaring dapat terjadi. Chlamydia trachomatis sering merupakan penyebab infeksi anorektum (proktitis akut) yang ditularkan secara seksual, khususnya pada populasi men who have sex with men (MSM) yang melakukan hubungan seksual lewat rektum tanpa perlindungan kondom.
Selain MSM, waria juga merupakan kelompok risiko tinggi yang rentan terhadap infeksi tersebut. Waria memiliki jumlah pasangan seksual Iebih banyak dibandingkan dengan kelompok risiko tinggi lain (penjaja seks wanita dan MSM), Iebih banyak bekerja menjajakan seks demi uang, memiliki pendapatan paling rendah, banyak yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Waria adalah istilah yang hanya digunakan di Indonesia, yaitu singkatan dari wanita-pria. Walaupun hingga saat ini belum ada data yang akurat mengenai jumlah populasi waria di Jakarta, namun menurut data yang didapat diperkirakan sekitar 8000 orang yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Pasangan seksual waria adalah laki-laki heteroseksual, waria tidak pernah berhubungan seksual dengan sesama waria atau dengan laki-laki homoseksual. Waria melakukan hubungan seksual secara orogenital dan anogenital reseptif dan memiliki perilaku seksual yang sangat berisiko." Banyak waria di Jakarta terlibat dalam hubungan seks komersial lewat oral dan anal reseptif tanpa pelindung/kondom. Masalah perilaku seksual tersebut merupakan pintu masuk bagi penularan IMS pada kelompok waria. Meskipun perilaku ini meningkatkan risiko untuk terkena IMS dan HIV, sangat sedikit data yang ada mengenai prevalensi infeksi ini berikut perilaku seksualnya. Pada kelompok ini angka prevalensi panting untuk diketahui karena prevalensi 1MS merupakan salah satu indikator yang memberi gambaran prevalensi infeksi HIV/AIDS.
Sebagian besar individu yang terinfeksi CT bersifat asimtomatik, sehingga merupakan sumber penyebaran infeksi yang potensial. Guna mencegah penyebaran infeksi, perlu diperhatikan diagnosis dini berdasarkan tes laboratorik yang akurat dan pengobatan yang efektif. Hingga tahun 80-an, diagnosis infeksi CT hanya berdasarkan pada isolasi organisme dengan kultur jaringan. Meskipun kultur masih merupakan baku emas untuk pemeriksaan CT, teknik ini membutuhkan pengambilan spesimen yang teliti dan kondisi transpor yang ketat. Selain itu pemeriksaan kultur belum distandarisasi dan dapat terjadi variasi hasil antar laboratorium. Uji nonkultur untuk deteksi CT pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 80-an dan perkembangannya sangat baik karena tidak membutuhkan organisme hidup, sehingga mengatasi masalah pengambilan dan transportasi spesimen yang berhubungan dengan metode kultur."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18013
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erawita Endy Moegni
"Infeksi menular seksual (IMS) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar, balk di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Di beberapa negara berkembang IMS pada usia dewasa muda bahkan menempati kelompok lima besar kunjungan ke fasilitas kesehatan.
Dalam konteks kesehatan reproduksi, IMS berkaitan dengan infeksi saluran reproduksi (ISR). Kesehatan reproduksi adalah keadaan proses reproduksi dalam kondisi sehat mental, fisik, maupun sosial terpenuhi dan tidak hanya babas dari penyakit atau kelainan pada proses reproduksi tersebut. Secara gender, wanita memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan kehamilan dan persalnan, jugs terhadap penyakit kronik dan infeksi. Berbagai jenis IMS pada wanita dapat menyebabkan ISR yang dapat menimbulkan bukan hanya keluhan fisik, ,gangguan psikologis, maupun gangguan keharmonisan perkawinan, namun dapat dapat disertai komplikasi yang lebih lanjut. Hal tersebut terjadi terutama karena keterlambatan diagnosis dan penanganan yang tidak tepat, terutama untuk jenis IMS dan ISR pada wanita yang tidak menimbulkan gejala khas. Komplikasi IMS atau ISR pada wanita dapat berupa penyakit radang panggul (PRP), kehamilan di luar kandungan, kanker serviks, infertilitas, serta kelainan pada bayi dalam kandungan, misalnya beret badan lahir rendah (BBLR), prematuritas, infeksi kongenital danlatau perinatal serta bayi lahir mati. Separuh dari wanita dengan IMS di Indonesia mungkin tidak menyadari bahwa mereka menderita IMS karena ketidakmampuan untuk mengenali gejalanya, sehingga sebagian besar dari mereka tidak berobat. Infeksi menular seksual dan ISR merupakan masalah kesehatan masyarakat serius namun tersembunyi, sehingga sering disebut sebagai the hidden epidemic.
Prevalensi IMS yang paling banyak diteliti pada wanita adalah pada kelompok populasi risiko tinggi, misalnya pada wanita penjaja seks (WPS). Sedangkan pada kelompok populasi risiko rendah, prevalensi IMS pada wanita yang juga pernah diteliti, misalnya ibu hamil atau pengunjung klinik keluarga berencana (KB).
Tiga di antara IMS yang sering tidak menimbulkan gejala atau asimtomatis adalah sifilis, infeksi virus herpes simpleks (VHS), dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Sejauh ini pemeriksaan serologik ke-3 penyakit tersebut hanya dilakukan bila terdapat kecurigaan klinis maupun riwayat perilaku yang berisiko tinggi pada pasien. Setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda-beda terhadap pemeriksaan ke-3 penyakit di atas pada wanita hamil, termasuk di Indonesia sendiri belum ada kesepakatan mengenai hal tersebut.
Pola distribusi IMS bergantung pada berbagai penyebab, antara lain faktor lingkungan, budaya, biologis, dan perilaku seksual yang salah atau berisiko tinggi. Faktor lingkungan dan budaya, dalam hal ini perubahan nilai, misalnya kebebasan individu dalam masyarakat dan mundurnya usia pernikahan berperan besar dalam peningkatan insidens IMS secara umum. Faktor biologis, misalnya perbaikan gizi secara umum akan menyebabkan makin mudanya usia menarche pada remaja putri.' Hal ini menyebabkan kesenjangan antara kematangan biologis dengan usia menikah, sehingga sering terjadi kehamilan remaja. Sedangkan perilaku seksual berisiko, misalnya berganti-ganti pasangan seksual dan hubungan seks pranikah.1 Faktor risiko yang dihubungkan dengan sifilis, infeksi VHS tipe-2 dan infeksi HIV antara lain: status sosio-ekonomi rendah, lamanya melakukan aktivitas seksual, jumlah pasangan seksual multipel, promiskuitas, penggunaan narkotika, serta riwayat IMS lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18012
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qatra Dini Seprida
"Infeksi menular seksual hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, balk di negara maju maupun di negara berkembang. Gonore merupakan salah satu IMS yang paling sering ditemukan dan merupakan salah satu kofaktor untuk transmisi HIV. Penularan penyakit ini terutama melalui kontak seksual. Umumnya infeksi bersifat lokal di tempat inokulasi. Waria merupakan kelompok risiko tinggi untuk terkena gonore faring dan rektum karena orientasi seksualnya secara orogenital reseptif dan anogenital reseptif. Infeksi di kedua daerah ini sebagian besar bersifat asimtomatis, maka sering tidak disadari sehingga dapat menjadi somber penularan.
Penelitian ini merupakan survei potong lintang analitik, yang bertujuan untuk mengetahui proporsi gonore faring dan gonore rektum pada populasi waria, serta hubungan antara perilaku seksual dengan kedua infeksi di atas. Diagnosis gonore faring dan rektum ditegakkan berdasarkan pemeriksaan PCR.
Penelitian dimulai pada bulan Juni sampai dengan Juli 2006. Pemeriksaan dilakukan terhadap 43 SP, yaitu waria yang berkunjung ke klinik PKBI Jakarta Timur yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Pemeriksaan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisis, pengambilan spesimen dari daerah faring dan rektum untuk pemeriksaan gonore dengan PCR. Setelah itu dilakukan pencatatan, perhitungan, dan analisis statistik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18005
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Niode, Nurdjanah Jane
"Hepatitis B merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sehingga kelompok risiko tinggi seperti WPS rentan terhadap kemungkinan terinfeksi penyakit ini dan juga menularkannya kepada orang lain.
Di Sulawesi Utara belum ada penelitian tentang prevalensi hepatitis 8 di kalangan risiko tinggi termasuk WPS.Jumlah WPS di Bitung, Sulawesi Utara cukup tinggi, sehingga perlu diketahui seberapa besar masalah hepatitis B dan hubungannya dengan -pengetahuan, sikap, Berta perilaku mereka terhadap penya kit tersebut.
RUMUSAN MASALAH
a. Berapakah prevalensi kepositivan serologik HBsAg pada WPS di Bitung ?
b. Bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku WPS di Bitung terhadap hepatitis B?
c. Apakah terdapat hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap hepatitis B pada WPS di Bitung dengan kepositivan serologik HBsAg?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reza Yuridian Purwoko
"Sebagai kelompok yang mempunyai risiko tinggi tertular IMS, PSK pria nontransgender belum banyak diteliti. Di Indonesia baru tercatat satu penelitian di bidang sosiobudaya mengenai kelompok tersebut yang dilakukan di Yogyakarta dan belum ada satu pun penelitian di bidang kesehatan. Penelitian kesehatan Iebih banyak ditujukan pada PSK wanita, PSK pria transgender, atau ketompok MSM.
Diduga PSK pria di kota besar, khususnya Jakarta telah meningkat pasat sesuai perkembangan waktu, keterbukaan seksual, dan faktor ekonomi, namun hingga saat inl belum terdapat data penelitian mengenai faktor sosiodemografis PSK pria nontransgender, mencakup usia, pendidikan, pendapatan atau status ekonomi, dan pekerjaan lain. Juga belum diketahui data prevalensi penyakit IMS pada kelompok tersebut.
Karena belum terdapat data, dan berdasarkan penelitian mengenai PSK pria nontransgender di negara lain, serta belum ada program intervensi terhadap kelompok PSK pria nontransgender di Jakarta, maka ditegakkan dugaan bahwa prevalensi IMS pada kelompok tersebut masih tinggi, pengetahuan PSK pria nontransgender terhadap IMS yang masih rendah, sikap mereka yang kurang mempedulikan pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut, serta perilaku mereka yang cenderung berisiko tinggi tertular 1MS.
Pengukuran prevalensi memerlukan sumber dana, tenaga, dan waktu yang cukup besar, sehingga pada penelitian ini dibatasi pada tiga penyakit IMS yang menjadi prioritas pemberantasan penyakit menutar di Indonesia, yaitu gonore, sifilis, dan infeksi HIV/ AIDS. Proporsi kepositivan pemeriksaan kultur gonore, serologis sifilis, dan serologis infeksi HIV/ AIDS, dilakukan untuk mendapatkan perkiraan prevalensi penyakit tersebut pada PSK pria nontransgender di Jakarta.
Pertanyaan penelitian
? Bagaimana identitas atau faktor sosiodemografis PSK pria nontransgender, mencakup usia, pendidikan, pendapatan atau status ekonomi, dan pekerjaan lain.
? Berapa proporsi kepositivan kultur gonore, serologis sifilis, dan serologis infeksi HIV pada PSK pria nontransgender.
? Bagaimana pengetahuan, sikap, dan perilaku PSK pria nontransgender terhadap IMS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21448
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9   >>