Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arie Dian Fatmawati
"Latar belakang. Cakupan imunisasi campak di Indonesia mencapai 80% namun prevalens campak di Indonesia masih tinggi, terutama pada anak usia 1-4 tahun. WHO merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada tahun kedua kehidupan. Di Indonesia diberikan pada usia 15-18 bulan dalam kombinasi vaksin MMR. Sayangnya cakupan imunisasi MMR masih rendah sehingga Depkes merekomendasikan pemberian imunisasi campak ke-2 pada usia 2 tahun untuk meningkatkan imunitas seorang anak terhadap penyakit campak.
Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak 1 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (2) proporsi anak usia 1-4 tahun yang telah mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali yang memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif dan rerata kadar antibodinya, (3) hubungan antara usia saat diperiksa kadar antibodi campak, usia saat imunisasi, status gizi, kondisi kesehatan saat imunisasi campak terhadap antibodi campak, (4) hubungan antara pemberian imunisasi campak dosis ke-dua terhadap antibodi campak.
Metode. Penelitian potong lintang di 6 posyandu di 5 wilayah DKI Jakarta pada bulan Juni hingga Agustus 2014. Anak yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa kadar IgG campak. Dari hasil pemeriksaan IgG campak, kemudian ditentukan apakah mencapai kadar protektif atau tidak dan rerata kadar antibodinya. Dicari apakah terdapat hubungan antara imunisasi campak dosis ke-dua dengan kadar antibodi campak.
Hasil. Dari 145 subjek penelitian, 125 subjek (86,2%) memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif (≥ 120 mIU/ml) dan 20 subjek (13,8%) memiliki kadar antibodi campak yang tidak mencapai kadar protektif (< 120 mIU/ml). Median kadar antibodi campak pada kelompok protektif adalah 844 mIU/ml, dengan nilai minimum 129 mIU/ml dan nilai maksimum 5000 mIU/ml. Kelompok usia 3-4 tahun memiliki kadar antibodi campak yang mencapai kadar protektif terbanyak (91,8%) dibanding kelompok usia 2-3 tahun (88,2%) dan 1-2 tahun (72,7%). Tidak didapatkan hubungan antara usia saat mendapatkan imunisasi campak dan status gizi terhadap kadar antibodi campak.
Simpulan. (1) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak 1 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 77% (54/70) dengan median kadar antibodinya adalah 733,5 mIU/ml, (2) Proporsi anak usia 1-4 tahun yang mendapatkan imunisasi campak ≥ 2 kali dan memiliki antibodi campak mencapai kadar protektif sebesar 94,6% (71/75) dengan median kadar antibodinya adalah 885 mIU/ml. (3) Pemberian imunisasi campak ≥ 2 kali meningkatkan timbulnya antibodi campak yang mencapai kadar protektif sebesar 1,227 kali dibanding pemberian imunisasi campak 1 kali.

Background. Indonesia measles immunization coverage reach 80% but measles prevalence remains high especially in children 1-4 years old. WHO recommended second dose of measles containing vaccine at second year of age. In Indonesia, it has been done through MMR vaccine at 15-18 month. Unfortunately MMR immunization coverage still low and Ministry of Health recommended second dose of measles containing vaccine for all 2 years old children who have never been immunized with MMR vaccine at 15-18 month to increase the immunity against measles.
Objectives. This study aimed to know: (1) proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (2) proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles vaccine and reach protective antibody level and mean of antibody, (3) association between age, age of immunization, nutritional status, and health status when being immunized with measles antibody level, (4) association between second dose of measles vaccine with measles antibody level.
Methods. Cross-sectional study performed in 6 posyandu in 5 region of Jakarta since June until August 2014. Children who met the inclusion criteria were checked for measles IgG, identified for reaching protective level and mean of antibody. Association between second dose of measles vaccine with measles antibody level was also measured.
Results. From 145 participants, 125 (86,2%) had protective measles antibody level (≥ 120 mIU/ml) and 20 (13,8%) had not reached protective level (< 120 mIU/ml). The median measles antibody level in protective group was 844 mIU/ml, with minimum point was 129 mIU/ml and maximum point was 5000 mIU/ml. Children in 3-4 years old group had highest percentage of protective measles antibody level (91,8%) compare to children in 2-3 years old group (88,2%) and 1-2 years old group (72,7%). There were no association between age of immunization and nutritional status with measles antibody level.
Conclusion. (1) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized one time measles immunization and reach protective measles antibody level was 77% (54/70) with the median of measles antibody level was 733,5 mIU/ml, (2) Proportion of children 1-4 years old who has been immunized twice or more measles immunization and reach protective measles antibody level was 94,6% (71/75) with the median of measles antibody level was 885 mIU/ml, (3) Twice or more measles immunization will increase protective level of measles antibody 1,227 times compare to one time measles immunization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jennie Dianita Sutantio
"ABSTRAK
Keterlambatan diagnosis gangguan spektrum autisme (GSA) masih menjadi masalah kesehatan anak di seluruh dunia hingga saat ini. Tenaga kesehatan yang kompeten dalam diagnosis GSA masih terbatas di pusat kesehatan tersier yang seringkali sulit dijangkau. Penggunaan telemedicine sebagai alat diagnosis dengan berbagai metode mulai diteliti; namun keterbatasan aplikasi menyebabkan telemedicine belum digunakan secara luas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas aplikasi telemedicine menggunakan rekaman video yang direkam dengan protokol khusus dibandingkan dengan observasi langsung terhadap aktivitas pasien dalam menegakkan diagnosis GSA. Sebanyak 40 subyek berusia 18-30 bulan yang datang dengan keluhan keterlambatan bicara atau perilaku acuh dan mendapat skor M-CHAT-R lebih dari dua mengikuti penelitian ini. Hasil rekaman video menurut protokol khusus dinilai berdasarkan kriteria GSA menurut DSM-5, kemudian subyek dinilai menurut kriteria yang sama pada observasi langsung. Tingkat kesesuaian diagnosis pada kedua metode mencapai 82,5%. Sensitivitas rekaman video dalam diagnosis GSA mencapai 91,3% (IK 95% 79,7% sampai 100%) dan spesifisitas 70,6% (IK 95% 48,9% sampai 92,2%). Nilai duga positif mencapai 80,7% (IK 95% 65,6% sampai 95,9%), sedangkan nilai duga negatif 85,7% (IK95% 67,4% sampai 100%). Rasio kemungkinan positif adalah 3,1 (IK 95% 1,47 sampai 6,5), sedangkan rasio kemungkinan negatif adalah 0,16 (IK 95% 0,03 sampai 0,47). Berdasarkan hasil di atas, telemedicine berbasis rekaman video cukup baik dalam mendiagnosis GSA, meskipun spesifisitas tidak tinggi. Pada kasus yang meragukan, observasi langsung tetap perlu dilakukan.

ABSTRACT
Delayed diagnosis of autism spectrum disorder (ASD) remains as a persisting child health problem throughout the world until now. Competent professionals in diagnosing ASD are limited in tertiary health care centers which are usually hard to access. The use of telemedicine as a diagnostic tool using various methods has been investigated; however, application limitations cause the telemedicine has not widely used. This study aimed to evaluate the effectiveness of telemedicine using video recording with special protocol compared to direct observation of patient s activities in diagnosing ASD. We included forty subjects aged 18-30 months old with chief complaints of delayed speech or ignoring behavior and M-CHAT-R score more than two. Video records guided by special protocol were assessed using DSM-5 criteria of ASD and the subjects were assessed using the same criteria during direct observation. Diagnostic agreement between the two methods was 82.5%. The sensitivity of video recording in diagnosing ASD was 91.3% (95% CI 79.7% to 100%), while the specificity was 70.6% (95% CI 48.9% to 92.2%). The positive predictive value was 80.7% (95% CI 65.6% to 95.9%), while the negative predictive value was 85.7% (95% CI 67.4% to 100%). The positive likelihood ratio was 3.1 (95% CI 1.47 to 6.55), while the negative likelihood ratio was 0.16 (95% CI 0.03to 0.47). Based on the results, telemedicine using video recording is effective for diagnosing ASD, despite its low specificity. In uncertain cases, direct observation is still need to be done. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suharyono
"LATAR BELAKANG PENELITIAN
Penyakit diare akut atau gastroenteritis akut merupakan satu penyakit penting di Indonesia yang masih merupakan sebab utama kesakitan dan kematian anak. Fenomena ini tercermin dalam laporan rumah-rumah sakit mengenai angka kesakitan dan kematian penderita diare di Bangsal Anak yang jauh melebihi penderita penyakit lain, yaitu sebanyak masing-masing 20 - 40 % dari jumlah bayi dan anak yang dirawat dan 10 - 20 % dari jumlah penderita diare yang dirawat.
Pada tahun 1967 dirawat sebanyak 2.085 penderita diare di Bangsal Anak R S Dr. Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta yang merupakan 37,2 % dari seluruh penderita anak (5.606) yang dirawat pada masa itu. Pada tahun 1974 dirawat sebanyak 1.233 anak dengan diare di bangsal yang sama, yaitu 27,2 % dari seluruh penderita anak (4.529) yang dirawat.
Pada Seminar Nasional Rehidrasi ke-I tahun 1974 dilaporkan tentang suatu penelitian longitudinal dan menyebutkan serangan diare dalam komunitas ialah 400 per tiap 1.000 penduduk setiap tahun dan kebanyakan (70 - 80 %) terdapat pada anak di bawah umur 5 tahun (Brotowasisto,. 1975). Banyak faktor, di antaranya kesehatan lingkungan, higene perorangan, keadaan gizi, faktor sosioekonomi, edukasi akan menentukan jumlah serangan diare ini. Walaupun hanya sebagian kasus diare akan mengalami dehidrasi, namun banyak kasus akan meninggal bila tidak dilakukan tindakan-tindakan seperlunya.
Pada tahun 1975 diperkirakan terdapatnya sebanyak 500 juta serangan diare pada anak Asia, Afrika dan Amerika Latin yang mengakibatkan 5 sampai 18 juta kematian (Rohde dan Northrup, 1976). Angka kematian kasus diare yang dirawat di rumah sakit (sebelum tahun 1974) masih sangat tinggi, yaitu di atas 15 % di pelbagai rumah sakit di Indonesia; Sutejo dkk. (1961) melaporkan kematian sebesar 20,2 %; bahkan sampai tahun 1974, sebelum diadakan Seminar Nasional Rehidrasi ke-I pada tahun 1974, angka kematian masih tinggi seperti dilaporkan oleh Taslim dkk. (1974) sebesar 26,4 %; demikian Pula angka kematian oleh sebab diare karena Kolera seperti. dilaporkan oleh Ismoediyanto dan Haroen Noerasid (1963) sebesar 46,2 %.
Pengelolaan diare akut pada bayi dan anak telah mengalami kemajuan pesat sejak ditingkatkannya pengetahuan tentang faktor-faktor yang menjadi penyulit (komplikasi) diare akut, Sejak sebelum tahun 1960 pada waktu angka kematian diare akut di Bangsal Anak RSCM/FKUI masih 60,2 %; diketahui bahwa komplikasi diare akut berupa asidosis merupakan salah satu penyebab utama kematian; maka cairan intravena yang semula terdiri dari glukosa dan NaCl 0,9 % dimodifikasi dengan menambahkan Nalaktat. Penggunaan cairan baru tersebut menyebabkan penurunan angka kematian dari 60,2 % menjadi 20,2 % (Sutejo dkk., 1961)."
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Putro Widodo
"Pendahuluan
Keringat dihasilkan oleh kelenjar keringat dengan komposisi 99 % air dan sisanya merupakan larutan yang mirip dengan larutan yang terdapat di dalam plasma. Natrium (Na+) dan klorida (Cl-) merupakan komponen terbanyak pada keringat.
Uji keringat adalah pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif kadar Na+ dan Cl- yang terkandung di dalam keringat.
Mengetahui batasan nilai normal kadar elektrolit keringat sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis penyakit fibrosis kistik (FK). Seperti diketahui bahwa uji keringat merupakan uji diagnostik utama untuk menegakkan penyakit FK, karena lebih dari 99 % kasus FK kadar elektrolit (Na+ dan Cl-) keringatnya lebih tinggi dari normal dan menetap (uji keringat positif). Keadaan ini ternyata tidak dijumpai pada penyakit lain ( Peterson dkk., 1959; Shwachman, 1983 ). Dan untuk mengetahui batasan nilai normal, diperlukan adanya suatu baku nilai elektrolit keringat yang dianggap normal ( Wood dkk., 1976; Shwachman, 1962).
Banyak kasus FK tidak dapat didiagnosis karena kematian pada waktu bayi yang disebabkan adanya mekonium ileus, penyakit paru yang progresif, atau tidak adanya sarana diagnostik sehingga laporan insidens sangat berbeda di berbagai negara (Di Sant Agnese dkk., 1967).
Selain itu, diketahui juga bahwa penyakit FK tetap merupakan penyakit "life-limiting", walaupun kelangsungan hidup selama 25 tahun terakhir ini meningkat secara dramatis (Doershuk dan Boat, 1983). Namun demikian masih diperlukan diagnosis dini sehingga dapat diberikan pengobatan/tindakan secara dini pula, untuk memperoleh harapan kelangsungan hidup yang lebih panjang (Di Sant Agnese dkk., 1967; Wood dkk., .1976).
Di Sant Agnese dkk.(1967) berpendapat dengan migrasi dan perpindahan orang-orang Kaukasia ke Asia (terjadi kawin "campuran") akan merubah frekuensi penyakit FK di Asia. "WHO/ICF meeting " (1985) melaporkan 65 kasus FK pada orang Jepang, sedang di Indonesia Handoyo dkk. (1980) melaporkan satu kasus FK pada seorang gadis Indonesia keturunan Cina berumur 18 tahun. Karjoo dkk. (1984) menemukan 3 kasus FK pada bayi dan anak Iran, hal ini menunjukkan bahwa gen FK telah ada di masyarakat Iran tetapi masih jarang.
Manfaat klinis dari hasil uji keringat terlihat dari adanya laporan Shwachman dkk.(1970) yang menemukan 130 kasus FK, 63 kasus di antaranya didiagnosis sebelum timbul gejala, 13 kasus dengan gejala ringan dan 54 kasus didiagnosis selama perawatan.
"
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anky Tri Rini Kusumaning Edhy
"BAB I PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan manifestasi klinis berat penyakit arbovirus. Penelitian tentang manifestasi klinis DBD telah banyak dan dibahas secara luas oleh Sumarmo (1983), tetapi tidak banyak diungkapkan keadaan sistem pernafasan pada DBD. Pengamatannya terhadap analisis gas darah telah sampai pada kesimpulan yang serupa dengan penelitian Pongpanich dan Kumponpant (1973), yaitu hasil analisis gas darah menunjukkan gambaran asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik kompensasi. Kompensasi ini berhubungan dengan asidosis metabolik akibat renjatan, seperti dilaporkan Varavithya dkk. (1973).
Dalam penelitian mereka pada pasien 'Dengue Shock Syndrome' didapatkan asidosis metabolik ringan dan alkalosis respiratorik, tetapi tidak dibedakan derajatnya. Selain itu Miller dkk.(1967) menduga pula bahwa alkalosis respiratorik ads kaitannya dengan peningkatan ventilasi karena kenaikan suhu tubuh seperti yang terjadi pada malaria, karena rangsangan demam terhadap pusat pernafasan. Faktor eksitasi serta rasa ketakutan juga diduga menjadi penyebab.
Bhamarapravati dkk. ( 1967 ) mengemukakan bahwa pada 100 autopsi pasien DBD ditemukan edema dan perdarahan paru di samping terdapatnya cairan di dalam rongga pleura, perikardium, dan peritoneum. Tamaela dan Karjomanggolo (1982) melaporkan bahwa secara radiologis edema paru dan efusi pleura bahkan telah terlihat sejak awal penyakit ini dan dapat digunakan sebagai pembantu diagnosis dalam keadaan yang meragukan.
Pada DBD terjadi gangguan pernafasan akibat kebocoran plasma melalui kapiler paru yang cedera dengan akibat lebih lanjut terjadi edema paru serta efusi pleura (Pongpanich dan Kumponpant, 1973; Rohde, 1978; WHO, 1986). Kasim (1982) mendapatkan kesan bahwa edema paru akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas di aloveoli dan selanjutnya terjadi hipoksemia yang dikompensasi dengan hiperventilasi. Hipoksemia dapat diikuti dengan hipoksia jaringan disertai laktoasidosis yang akan menambah keadaan hiperventilasi, dan pada analisis gas darah tampak seperti gambaran alkalosis respiratorik yang dapat disertai peningkatan pH.
Hiperventilasi adalah bertambahnya ventilasi alveolar karena berbagai sebab yaitu : hipoksemia, asidosis metabolik dan faktor central yang mengakibatkan tekanan parsial CO2 ( PaCO2 ) kurang dari 30 mmHg (Shapiro dkk., 1978).
Edema paru pada DBD terjadi sebagai akibat ekstravasasi cairan dan plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler. Edema ini pada stadium permulaan berupa edema interstisial yang akan menghambat difusi gas di paru. Hambatan difusi oksigen terjadi lebih dahulu oleh karena koefisien difusi oksigen adalah 1/20 koefisien difusi CO2. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan PaO2 atau keadaan hipoksemia yang akan merangsang pusat pernafasan dan terjadi hiperventilasi. Hipoksemia mengakibatkan berbagai derajat hipoksia jaringan dan diikuti peningkatan metabolisme anaerob dan pembentukan asam laktat serta asidosis metabolik yang dapat menambah hiperventilasi"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T1611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harmon Mawardi
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian
Hasil penanganan terhadap penderita dengan sindrom gangguan pernapasan (SGP) dan asfiksia neonatorum sampai saat ini masih belum memadai. Menurut catatan medik di Bagian IAA FKUI-RSCM selama periode Pebruari 1984 sampai Agustus 1987 tercatat sebanyak 265 kasus SGP (± 65 kasus pertahun), yang dirawat di bangsal Infeksi Bayi dan Unit Perawatan Intensif (ICU) neonatus. Angka kematian tercatat sebanyak 70,6% di antara jumlah kasus SGP tersebut. Kematian akibat SGP sebesar 56,86% merupakan jumlah terbesar di antara seluruh penyebab kematian neonatus di SubBagian Perinatologi IRA RSCM (Boedjang dkk., 1981). Sedangkan Karjadi dkk. (1986) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan angka kematian akibat SGP sebesar 92% pada tahun 1984, dan 59% tahun 1985.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa angka kejadian SGP pada neonatus masih tinggi, dengan angka kematian yang tinggi pula (di atas 50%).
Dahulu para ahli kurang memberi perhatian pada anoksia perinatal yang disebabkan oleh SGP atau asfiksia sebagai penyebab timbulnya gangguan fungsi ginjal (Dauber dkk., 1976). Beberapa kematian neonatus dengan SGP ternyata menderita gangguan fungsi ginjal, sehingga diperkirakan ada hubungan antara SGP dan asfiksia dengan fungsi ginjal.
Frekuensi terjadinya asfiksia neonatorum berkisar antara 10-20% (Buku Kuliah IRA, 1985), dengan angka kematian sebesar 56% (Hendarto, 1974 dikutip Kadri, 1982). Sebanyak 78% kasus SGP di ICU berusia di bawah 1 tahun, dan 60% di antaranya terdiri dari neonatus (Rezeki, 1981).
Selanjutnya Perlman dan Tack (1988) pada penelitiannya secara prospektif terhadap 120 kasus asfiksia pada neonatus cukup bulan (NCB) dan neonatus kurang bulan (NKB) mendapatkan adanya hubungan antara oliguria dan terjadinya kelainan neurologik atau kematian.
Stapleton dkk. (1987) melaporkan bahwa di ICU terdapat 8% GGA , dan sebanyak 9 di antara 15 kasus GGA pada neonatus mempunyai riwayat asfiksia perinatal.
Angka kematian GGA pada neonatus berkisar antara 14-73%.
SGP dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan GGA sering terjadi setelah mengalami asfiksia berat (Dauber dkk., 1976). Autopsi pada satu kasus penyakit membran hialin ditemukan kongesti vaskular dalam ginjal (Laporan Kasus IRA, 1988). Gangguan fungsi ginjal pada asfiksia berat pada umumnya reversibel apabila pemberian oksigen, keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi secara adekuat (Olavarria dkk., 1987). Sebaliknya GGA intrinsic dapat terjadi apabila iskemia berlangsung lama (Brenner dan Rector, 1986). Di Indonesia saat ini belum ada laporan penelitian tentang pengaruh SGP dan asfiksia neonatorun terhadap fungsi ginjal?
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hindra Irawan Satari
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Hot Saroha
"BAB I PENDAHULUAN
A, Latar Belakang Penelitian
Ekstraksi vakum merupakan persalinan dengan tindakan yang terbanyak (23,557.) setelah seksio sesaria di RSCM (Dardiri dan Prakosa, 1996).
Hudono (1970) selama 6 tahun (1964-1969) melakukan penelitian mengenai bayi lahir dengan tindakan EV dan hasilnya:
frekwensi asfiksia (19,3%,) dan gangguan serebral/neuralogik (5,5%) lebih tinggi dari partus spontan (7,5% dan 3,3%); keadaan ibu sebelum partus dan kelainan ibu ikut menentukan morbiditas anak; angka kematian perinatal EV (4,5%) lebih tinggi dari partus spontan (1,1%).
Sejak tahun 1980 sistem RG telah dilaksanakan di RSCM (Jakarta), yaitu hanya untuk bayi lahir spontan, berat lahir 2500-4010 gram, masa gestasi 38-42 minggu, letak kepala, tanpa asfiksia, tanpa KPD, tidak ada kelainan kongenital, refleks isap baik dan keadaan ibu baik.
Suradi (1983) meneliti selama periode 1 Januari 1981 sampai dengan 31 Desember 1982, dari 2729 bayi yang memenuhi kriteria tersebut, hanya 1971 bayi saja yang dapat dirawat di fasilitas rawat gabung dan 758 bayi terpaksa dirawat pisah oleh karena terbatasnya tempat.
Dengan membandingkan kedua kelampok ini ternyata angka mortalitas, morbiditas dan lama perawatan berbeda bermakna, Lebih rendah pada bayi yang di rawat gabung (0,47%; 0,05%; 17,9%; 2,13%; 4,7 ± 2,6; 2,5 ± 1,5 hari).
Melihat kenyataan tersebut di atas maka pada tahun 1983 kapasitas rawat gabung ditambah menjadi 40 tempat tidur dan kriteria rawat gabung diperlonggar. Bayi dengan berat lahir rendah antara '2000-2500 gram dan masa gestasi antara 36-38 minggu dapat di rawat di fasilitas rawat gabung bila refleks isap baik. Demikian juga pada bayi lahir letak bokong, seksio sesaria dan EV setelah di observasi ketat di ruang transisi seiama 6-24 jam dan memenuhi syarat yang telah ditentukan, dapat dirawat gabung (Rustina dan Wiknjosastro,1984;Sami1,1986).
Pada tahun itu juga dilakukan observasi o1eh Rustina dan Wiknjosastro (1984) pada bayi yang lahir dengan tindakan (termasuk EV) yang di RG, ternyata sebagian besar (84,7X) tidak mengalami kesulitan dan ditemukan morbiditas antara lain hiperbilirubinemia (8,37..), diare (2,0%), hipoglikemi (2,0%), funikulitis (1,0'%) dan lain--lain (2,0%).
Sejak saat itu terjadi peningkatan jumlah bayi EV yang dirawat gabung (gambar L). Evaluasi rawat gabung pada bayi lahir melalui.seksia sesaria sudah dilakukan oleh Idris (1985) di RSCM dengan kesimpulan bahwa bayi yang lahir dengan tindakan seksio sesaria dapat dirawat gabung, dan rawat gabung mempengaruhi kecepatan pengeluaran ASI serta-menurunkan angka morbiditas .
Sampai saat ini belum adayang me1aporkan secara khusus bayi yang lahir dengan cara ekstraksi vakum yang dirawat gabung di RSCM?
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budhy Djayanto
"ABSTRAK
Asma telah dikenal sejak zaman Hipocrates (abad ke- 4-5 . SM). Pada saat itu sampai ditemukannya IgE sekitar 20 tahun yang lalu diagnosis asma terutama didasarkan pada timbulnya gejala klinis misalnya sesak dan mengi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang kedokteran, beberapa hal yang belum diketahui tentang timbulnya asma dan timbulnya serangan asma mulai tersingkap; antara lain aspek fisiologis, aspek patologis, aspek imunologis dan aspek psikologis (Wirjodiardjo, 1990).
Asma merupakan penyakit kronik yang tersering dijumpai pada anak. Penyakit asma dapat mudah dikenal bila ditemukan gejala yang berat misalnya serangan batuk dengan mengi setelah latihan berat atau timbul waktu udara dingin. Kadang-kadang dapat juga ditemukan gejala yang ringan seperti batuk kronik dan berulang tanpa mengi yang dapat menyulitkan dokter, pasien atau keluarga pasien. Gambaran klinik dan perjalanan penyakit asma berbeda pada bayi, anak kecil dan anak yang lebih besar sesuai pertambahan usia (Rahajoe H. H., 1983).
Asma dapat mempengaruhi tumbuh kembang seorang anak. Asma yang merupakan penyakit kronik juga dapat memberikan masalah biologis, psikologis dan sosial pada penderita maupun keluarganya bila tidak ditanggulangi secara komprehensif antara penderita; orangtua; saudara kandung; dokter dan guru pada anak yang sudah sekolah (Steinhauer, 1974; Sudjarwo dan Suiaryo, 1990).
Dampak negatif asma yang utama pada anak sekolah adalah terganggunya pelajaran di sekolah. Di Amerika Serikat, sepertiga dari waktu absen di sekolah disebabkan oleh asma (Godfrey, 1983 b). Besar kecilnya angka absensi ini akan menjadi salah satu faktor yang menentukan intensitas gangguan terhadap tumbuh kembangnya dikemudian hari. Asma dapat timbul pada setiap umur, tetapi biasanya jarang timbul pada bulan-bulan pertama kehidupan. Delapan puluh persen asma pada anak mulai timbul pada usia di bawah 5 tahun (Blair,1977; Godfrey, - 1983 b).
Asma sangat erat hubungannya dengan hiperreaktivitas saluran nafas, hal ini dikemukakan oleh Boushey dkk (1980), Rahajoe dkk (1988), Gerritsen (1989) dan Pattemore dkk (1990).
Faktor alergi berperan pada asma anak. Sekitar 2/3 dari seluruh anak dengan asma mempunyai dasar alergi (Carlsen dkk, 1984). Bahkan menurut HcNicol dan Williams (1973), jika semua anak dengan asma diteliti sepanjang usianya; maka akan didapat bukti adanya faktor alergi yang berperan. Faktor alergi pada asma menyebabkan berbagai reaksi immunologik dengan hasil akhir berupa gejala asma. Keadaan atopi lebih banyak dijumpai pada penderita asma dan keluarganya dibanding kelompok kontrol (tidak asma). Asma juga lebih sering ditemukan pada keluarga penderita asma dibanding kelompok kontrol (Si.bbald dkk, 1980; Zimmerman dkk, 1988)"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bara Langi Tambing
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>