Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 111 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Baktiansyah
"Ruang lingkup dan metodologi.
Telah banyak bukti yang menggambarkan dampak buruk dari kebiasaan merokok. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa kebiasan merokok mungkin berhubungan dengan gangguan pendengaran, hal yang umum terjadi pada usia tua. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan melibatkan total populasi pekerja di tempat penelitian. Peserta penelitian adalah 118 dari 142 (83.10%) orang pekerja di lokasi kerja dari PT-X, dengan rentang usia 23 - 56 tahun.
Wilayah penelitian ini mempunyai latar belakang bising 60 - 70 dB, masih lebih rendah dari nilai ambang batas bising 85 dB untuk 8 jam kerja. Paparan dialami pekerja selama 24 jam seharinya dalam waktu dua minggu kerja. Ditetapkan bahwa gangguan pendengaran adalah rata-rata nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz, yaitu lebih besar dari 25 dB pada telinga yang terburuk hasilnya. Data didapatkan dari hasil pemeriksaan kesehatan berkala tahun 2003, termasuk hasil audiogram, informasi kebiasaan merokok dan faktor risiko lainnya. Regresi log istik digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan gangguan pendengaran.
Hasil dan Kesimpulan.
Dari populasi penelitian, 58 orang (49.2%) adalah perokok dari segala klasifikasi berdasarkan indek Brikmann, dan 45 orang (38.1%) mempunyai tingkat pendengaran lebih dari 25 dB. Setelah dilakukan analisis multivariat, perokok dengan klasifikasi sedang-berat mempunyai risiko 5.4 kali lebih besar dibandingkan dengan perokok ringan (95% confidence interval, 1.50 - 19.28 dan p = 0.007). Di samping itu, beberapa faktor risiko lainnya mempunyai hubungan yang berrnakna dengan gangguan pendengaran, yaitu faktor usia (OR=38.808, 95% confidence interval 3,84 - 392.7 dan p = 0.002) dan indek masa tubuh (OR=2.90, 95% confidence interval 1.12 - 7.52 dan p = 0.028). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa merokok, terutama sedang-berat memainkan peranan panting dalam terjadinya gangguan pendengaran.

Scope and methodology.
Evidence was accumulated concerning the adverse effects of smoking habits. Studies have suggested that cigarette smoking may be associated with hearing loss, a common condition affecting older adults. This study was population-based and retrospective. The selected participants were 118 from 142 (83.10%) workers of PT-X who ranged in age from 23 to 56 years. This area has background noise of 60 - 70 db, lower than 85 dB TLV (8), Exposure to these noise levels was for 24 hours a day during a two-week period. Hearing loss was defined as a pure-tone average (500, 1000, 2000 and 4000 Hz) greater than 25 dB hearing level in worse ear. Data used were derived from periodic health examinations in 2003, including audiometry testing, information on smoking habits, and other risk factors. Logistic regression was used to examine the association among all risk factors and hearing loss.
Results and Conclusion.
We found that 58 workers (49.2 %) were smokers from any classification based on the Brikrnann index, and 45 workers (38.1 %) had a hearing level of more than 25 dB from audiogram. After conducting multivariate analyses, current smokers classified as moderate-severe, were 5.4 times more likely to experience hearing loss than mild smokers (95% confidence interval, 1.50 -19.28 and p = 0.007).
In addition, several risk factors were also directly related to hearing loss, such as age (OR=38.808, 95% confidence interval 3.84 - 392.7 and p = 0.002) and body mass index (OR=2.90, 95% confidence interval 1.12 - 7.52 and p = 0.028). From this study it was concluded that smoking, especially to a moderate-severe degree, may play a significant role in hearing loss.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13631
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zilfa Yenny
"Ruang lingkup dan metodologi : Telah banyak bukti yang menggambarkan dampak buruk dari debu kayu terhadap kesehatan. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa debu kayu mungkin berhubungan dengan timbulnya asma kerja di Mangan pekerja mebel sektor informal. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan melibatkan total populasi pekerja di tempat penelitian. Peserta penelitian adalah 135 dari 274 (49.27%) orang pekerja dengan rentang usia 18 - 60 tahun. Data didapatkan dari wawancara, pemeriksaan fisik serta pengukuran fungsi paru, dalam kurun waktu Juli sampai Augustus 2004. Dan selain itu, dilakukan juga pemeriksaan debu lingkungan kerja baik total maupun respirabel. Analisis bivariat digunakan untuk menilai hubungan semua faktor risiko tersebut dengan timbulnya asma kerja.
Hasil dan Kesimpulan : Dan populasi penelitian, 24 orang (17.8%) adalah penderita asma, dengan asma kerja 11,11% dan asma yang diperburuk oleh kerja sebesar 6.67%. Setelah dilakukan analisis multivariat, diketahui faktor risiko maupun yang berpengaruh terhadap timbulnya asma kerja, yaitu indeks masa tubuh (OR : 26.625, 95% CI : 4.198-168.846, dan p < 0.001), riwayat atopi (DR : 14.250, 95% CI : 2.685-75.620, dan p < 0.002), keluhan hidung (OR : 5.714, 95% CI : 1.779-18.356, dan p = 0.003) serta lokasi kerja dengan debu tinggi (OR : 4.295, 95% CI : 1.195-15.439 dan p = 0.026). Dapat disimpulkan bahwa indek masa tubuh, riwayat alergi serta pajanan debu tinggi memainkan peranan penting dalam terjadinya asma akibat kerja.

Scope and methodology : Evidence was accumulated concerning the adverse effects of wood-dust. Studies have suggested that wood-dust may be associated with work related asthma among furniture workers at informal sector. This study was population-based and retrospective. The selected participants were 135 from 274 (49.27%) workers who ranged in age from 18 to 60 years. Data used were derived from interview, physical examinations, and lung function test during July up till Augustus 2004. Beside that, measuring if dust at working environtment had been conducted, either against total dust or respirable. Bivariate analysis was used to examine the association among all risk factors and work-related asthma.
Results and Conclusion : Study found that 24 workers (17.8 %) were suffering from asthma, were divided into occupational asthma 11.11% and work-aggravated asthma 6.67%. After conducting multivariate analyses - logistic regression, risk factors which related to work-related asthma, were body mass index (OR : 26.625, 95% CI : 4.198 - 168.846, with p < 0.001), atopic historical (OR : 14.250, 95% CI : 2.685 - 75.620, with p < 0.002), nose problem (OR : 5.714, 95% CI : 1.779 -18.356, with p = 0.003) and high dust-exposure (OR : 4.295, 95% CI : 1.195 - 15.439 with p = 0.026). The study concluded that body mass index, allergic historical and high dust-exposure might play significant role, in work-related asthma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakhmi Savitri
"Latar belakang: Psoriasis adalah penyakit kronis, menyakitkan, merusak, dan melumpuhkan yang tidak ada obatnya, dengan dampak negatif yang besar pada kualitas hidup pasien. Kerusakan, kecacatan, dan hilangnya produktivitas, termasuk ketidakhadiran karena sakit adalah tantangan umum bagi orang-orang dengan psoriasis.
Tujuan: Untuk mengetahui risiko absenteeism pada pekerja dengan psoriasis.
Metode: Dilakukan pencarian literatur menggunakan mesin pencari PubMed dan Google Scholar. Kriteria inklusi adalah desain systematic review, cohort, atau case control; subyek penelitian adalah pekerja; indikator yang tercantum dalam judul adalah psoriasis yang tidak dibedakan dalam bentuk atau jenis psoriasis apa pun; dan luaran adalah absenteeism dan sinonimnya. Kriteria eksklusi adalah artikel ditulis tidak dalam bahasa Inggris, teks lengkap tidak tersedia, artikel telah digunakan dalam systematic review terbaru, subyeknya adalah pekerja kasar atau pekerja non-kantor, dan tidak relevan menurut PICO. Telaah kritis dilakukan menggunakan kriteria validitas standar untuk studi etiologi/bahaya/risiko.
Hasil: Terpilih 1 artikel retrospective matched case control analysis dengan tingkat kekuatan bukti 3b –. Pasien psoriasis secara signifikan lebih mungkin daripada kontrol untuk melewatkan jam kerja (OR = 1,37; 95% CI 1,00-1,89; p <0,05) dan hari (OR = 1,21; 95% CI 0,72 - 2,05) pada minggu sebelumnya karena alasan kesehatan.
Kesimpulan: Psoriasis meningkatkan risiko cuti sakit/absen karena penyakit daripada mereka yang tidak psoriasis. Tingkat keparahan penyakit tidak selalu menjadi satu-satunya faktor risiko peningkatan absenteisme. Area kelainan yang terkena, dapat menjadi faktor risiko peningkatan absenteeism pada pekerja dengan psoriasis.

Background: Psoriasis is a chronic, painful, destructive, and disabling disease that has no cure, with a large negative impact on a patient's quality of life (QoL). Damage, disability, and loss of productivity, including absence due to illness are common challenges for people with psoriasis
Aim: To know the absenteeism risk of workers with psoriasis.
Method: A literature search using search engine PubMed and Google Scholar was conducted. The inclusion criteria are systematic review, cohort, or case control study; the subjects of studies are workers; the indicator listed in the title is psoriasis that is not differentiated in any form or type of psoriasis; and the outcome is absenteeism and its synonyms. The exclusion criteria are the articles not written in English, full text is not available, the articles have been used in the recent systematic review, the subjects are blue collar worker or non-office worker, and not relevant according to PICO. Critical appraisal was conducted using standard validity criteria for etiologic/harm/risk studies.
Result: A retrospective matched case control analysis was selected with the level of evidence 3b –. Psoriasis patients were significantly more likely than controls to skip working hours (OR = 1.37; 95% CI 1.00 - 1.89; p <0.05) and days (OR = 1.21; 95% CI 0.72 - 2.05) at the previous week due to health reasons.
Conclusion: Psoriasis increases the risk of sick leave/absenteeism due to illness than those without psoriasis. The severity of the disease is not always the only risk factor for increased absenteeism. The area of abnormality affected can be a risk factor for increased absenteeism in workers with psoriasis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ma`rifatul Mubin
"Sindrom Kelelahan Kronik adalah kumpulan gejala dari penurunan substansial kemampuan dalam aktivitas pekerjaan, pendidikan, sosial, atau pribadi selama lebih dari 6 bulan dan disertai kelelahan, malaise pasca-kerja, dan tidur yang tidak menyegarkan ditambah setidaknya satu dari dua manifestasi gangguan kognitif dan intoleransi ortostatik. Salah satu dampak pajanan logam berat adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik pada pekerja. Ada banyak bukti bahwa beberapa bentuk kelelahan dapat disebabkan atau diperburuk oleh kerja. Hubungan kerja dan sindrom kelelahan kronis dapat dipertanyakan, tetapi unsur-unsur di tempat kerja dapat memperburuk gejala sindrom kelelahan kronis. Pekerja tambang emas skala kecil menggunakan merkuri dalam pekerjaannya, sehingga berisiko tinggi mengalami keracunan kronik merkuri, apalagi Pekerja Emas Skala Kecil termasuk populasi pekerja yang tidak dilindungi. Pekerja jarang menggunakan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu masalah kesehatan akibat pajanan merkuri adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik yang belum pernah diteliti pada PESK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mencari hubungan antara variabel bebas seperti usia, jenis kelamin, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja, kadar merkuri urin dan kadar merkuri urin kumulatif dengan variabel terikat adalah sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner asesmen kesehatan populasi terpajan merkuri dari WHO UNEP, pemeriksaan match box test, dan kadar merkuri urin terkoreksi kreatinin.
Hasil: Prevalensi sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten didapatkan sebesar 17,9%. Berdasarkan hasil, faktor usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan sindrom kelelahan kronik (p > 0,05).
Kesimpulan: Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif dengan sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK.

Introduction: Chronic fatigue syndrome is a collection of symptoms from a substantial reduction in the ability to engage in preillness levels of occupational, educational, social, or personal activities that persists for more than 6 months and is accompanied by fatigue, post-exertional malaise, unrefreshing sleep. One of the effects of heavy metal exposure is the occurrence of chronic fatigue syndrome in workers. There is plenty of evidence that some form of fatigue can be caused or exacerbated by work. The working relationship and chronic fatigue syndrome can be questioned, but the elements in the workplace can worsen the symptoms of chronic fatigue syndrome. Small-scale gold miners use mercury in their work, so there is a high risk of chronic mercury poisoning. Workers rarely use personal protective equipment in doing their jobs. One of the health problems due to exposure to mercury is the occurrence of chronic fatigue syndrome that has not been studied at Artisanal and Small scale Gold Mining (ASGM).
Method: This study uses a cross-sectional design to find the relationship between independent variables such as age, sex, working period as a miner, type of work activities in ASGM, and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten province. The instrument used is a health assessment questionnaire of mercury-exposed population established by WHO UNEP, match box test, and creatinine-corrected urinary mercury levels.
Results: The prevalence of chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten provinces was 17,9%. Based on the results, the factors of age, sex, work period, type of work, and cumulative urinary mercury levels did not have a statistically significant relationship with chronic fatigue syndrome (p> 0.05).
Conclusion: There was no significant relationship between age, sex, work period, type of work, urinary mercury level and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina Margaretha Laka Bansena
"Pendahuluan: Debu tepung adalah pajanan alergen terhadap pembuat roti yang telah diidentifikasi sebagai faktor determinan sensitisasi alergi dan dapat dilihat dari tingginya prevalensi kejadian atopik alergen gandum. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor individu dan faktor pekerjaan yang berperan terhadap kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta.
Metode: Penelitian potong lintang komparatif ini dilakukan pada pembuat roti tradisional di 10 pabrik roti di Jakarta dengan membandingkan antara 26 pekerja yang atopik terhadap alergen gandum dengan 79 pekerja yang tidak atopik. Data faktor individu dan faktor pekerjaan diperoleh dengan menggunakan kuesioner, data atopik alergen gandum diperoleh dengan melakukan tes tusuk kulit, dan data higiene lingkungan kerja diperoleh dengan menggunakan nilai tilik mold & dampness assessment sheet NIOSH.
Hasil: Berdasarkan hasil analisis regresi logistik, ditemukan bahwa faktor determinan kejadian atopik alergen gandum pada pembuat roti tradisional di Jakarta adalah kebiasaan merokok (p = 0,047; OR 0,14; 95% CI 0,02-0,97), atopik terhadap tungau debu rumah (p = 0,022; OR 12,20; 95% CI 1,45-119,49), dan masa kerja (p = 0,044; OR 3,52; 95% CI 1,03-11,98).
Kesimpulan: Atopik terhadap tungau debu rumah dan masa kerja meningkatkan risiko untuk mengalami kejadian atopik alergen gandum, sedangkan kebiasaan merokok sedang-berat mengurangi kejadian atopik alergen gandum.

Background: Wheat flour is an occupational exposure to the bakers that has been identified as a determinant allergen among the bakers that can be seen from the high prevalence of atopic events. This study aimed at exploring factors that contribute to the event atopic wheat allergens in traditional bakers in Jakarta.
Methods: This cross sectional comparative study was conducted in 10 traditional bakeries in Jakarta by comparing 26 atopic workers to wheat allergens with 79 non-atopic workers. Data about individual and occupational factors were obtained using a questionnaire, atopic to wheat allergens obtained by conducting skin prick tests, and work environment hygiene data obtained by using NIOSH mold & dampness assessment sheet.
Results: Based on the results of logistic regression analysis, it was found that the determinant factor for developing atopic wheat allergens among traditional bakers in Jakarta was smoking habits (p = 0.047; OR 0.14; 95% CI 0.02-0.97), atopic to house dust mites (p = 0.022; OR 12,20; 95% CI 1.45-119.49), and work period (p = 0.044; OR 3.52; 95% CI 1.03-11.98).
Conclusion: Atopic to house dust mites and work period increases the risk factors to the occurrence of atopic to wheat allergen, while moderate-heavy smoking habits reduced the risk of the occurrence of atopic to wheat allergen.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Susilo Joko
"ABSTRAK
Latar belakang: Mata masih merupakan salah satu organ yang paling sering terluka dalam kecelakaan kerja. Diperkirakan 1,6 juta orang buta terhadap cedera mata di seluruh dunia. Secara umum, cedera mata di tempat kerja dapat dicegah dan disebabkan oleh tidak digunakannya kacamata pelindung. Tujuan dari laporan kasus berdasarkan bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas alat pelindung diri (APD) untuk pencegahan cedera mata akibat kerja.
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Cochrane, Science Direct, dan Wiley Online. Kriteria inklusi dari strategi pencarian ini adalah teks lengkap, manusia, dan diterbitkan dalam 10 tahun terakhir. Kriteria eksklusi dari pencarian ini adalah anak-anak, artikel teks lengkap yang tidak dapat diakses, dan penelitian yang tidak berfokus pada pekerjaan. Artikel-artikel itu dinilai secara kritis dengan menggunakan kriteria yang relevan oleh Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil: Dua artikel yang relevan dan valid ditemukan. Sebuah studi kasus-kontrol oleh Zakrzweski H et.al menyatakan bahwa APD mata tidak dikenakan oleh 66,9% dari responden, dengan 33,1% dari responden mengalami cedera mata akibat pekerjaan meskipun telah menggunakan APD. Penggunaan APD tidak mengurangi proporsi yang signifikan dari pekerja tersebut dari kemungkinan cedera. Sebuah studi cross-sectional oleh Lombardi DA et.al (2009) menyatakan bahwa kurangnya kenyamanan, dan asap/embun dan goresan kacamata merupakan hambatan paling penting dalam penggunaan APD. Usia yang lebih muda dan kurangnya pelatihan keselamatan adalah faktor penting lainnya yang mempengaruhi pengunaan APD.
Kesimpulan: Efektivitas penggunaan APD untuk mencegah cedera mata masih belum terbukti. Advokasi untuk penggunaan dan pemilihan APD mata yang tepat di tempat kerja masih merupakan hal penting yang harus terus didorong untuk dilaksanakan.

ABSTRACT

Background : The eyes are still among the organs most frequently injured in occupational accidents. It is estimated that 1.6 million people are blinded as a result of eye injuries worldwide. In general, ocular injuries at work can be preventable and attributable to non-use of protective eyewear. The purpose of this evidence based case report was to determine the effectiveness of PPE for the prevention of occupational ocular injury.
Method : The literature search was conducted through PubMed, Cochrane, Science Direct, and Wiley Online. The inclusion criteria of this searching strategy were full text, humans, and published within 10 years. The exclusion criteria of this searching were children, inaccessible full text article, and non-occupational focus study. The articles were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result : Two relevant and valid articles were included. A case-control study by Zakrzweski H et.al stated that eye PPE was not worn by 66.9% of the cohort, with 33.1% of the cohort sustaining an occupational eye injury despite the use of eye PPE. Its use does not preclude a significant proportion of such workers from injury. A cross-sectional study by Lombardi DA et.al (2009) stated that lack of comfort/fit, and fogging and scratching of the eyewear were suggested as the most important barriers to PPE usage. Younger age and lack of safety training were other important factors affecting use of PPE
Conclusion : The effectiveness of PPE usage to prevent ocular injury is still inconclusive. The advocating for both the use and appropriate selection of eye PPE in the workplace is still an important thing that should be continuously encouraged.
"
2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ariningsih
"ABSTRAK
Latar Belakang: Silikosis adalah pneumokoniosis yang disebabkan inhalasi silika kristal. Risiko relatif pada silikosis masih menjadi perdebatan.Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini untuk mengetahui risiko kanker pada silikosis.
Metode: Pencarian literature menggunakan data base PubMed dan Scopus. Kriteria inklusi penelitian ini adalah meta-analisis, and studi kohort, kasus kontrol, dewasa dengan silikosis, risiko kanker paru. Kriteria eksklusi adalah artikel yang tidak relevan, tidak dapat diakses, studi kohort dan kasus kontrol yang termasuk dalam meta-analisis. Artikel telah dilakukan penilaian kritis menggunakan kriteria Oxford Center for Evidence-Based Medicine.
Hasil: Sebagai hasil, kami memilih 29 studi. 2 artikel meta analisis dilakukan penilaian kritis setelah melalui kriteria eksklusi. Berdasarkan penilaian kritis 2 artikel meta analisis tersebut valid. Meta-analisis oleh Kurihara N, dkk (2004) menjelaskan risiko relative kanker paru adalah 2.37 (95% CI, 1.98-2.84) pada silikosis dan 0.96 (95% CI, 0.81-1.15) untuk non-silikosis. Pada pasien silicosis dan merokok (RR, 4.47; 95% CI, 3.17-6.30). Artikel yang lain adalah meta-analisis oleh Erren T.C, dkk (2011) yang memasukkan 38 studi. Artikel ini menjelaskan risiko kanker paru pada silikosis adalah RR=2.1 (95% CI, 2.0-2.3), dan pada non silikosis adalah RR=1 (95% CI, 0,8-1,3).
Kesimpulan dan Rekomendasi: Silikosis merupakan faktor risiko kanker paru. Merokok sangat meningkatkan risiko kanker paru pada silikosis. Pasien silikosis harus dilakukan pemantauan secara berkala. Pada studi mendatang agar melakukan investigasi silicosis dan pajanan silika sebagai risiko kanker paru di Indonesia.

ABSTRACT
Background: Silicosis is a pneumoconiosis caused by the inhalation of crystalline silica. The higher relative risks among those with silicosis stimulated continued debate.The purpose of this evidence based case report was to know probability silicosis as risk of lung cancer.
Method: The literature search was performed to answer clinical question via electronic databases: PubMed and Scopus. The inclusion criteria of this searching strategy were systematic reviews, and cohort study, adult with silicosis, risk of lung cancer. The exclusion criteria of this article were not relevance, inaccessible articles, cohort or case control that have been used in recent systematic review. Article was critically appraised using criteria Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Result: As a result, we chose 29 study. 2 meta analysis articles was critically appraised after exclusion criteria. Critical appraisal of meta analysis that 2 articles was valid. Meta-analysis by Kurihara N, et al (2004) states the relative risks of lung cancer were 2.37 (95% CI, 1.98-2.84) for those with silicosis and 0.96 (95% CI, 0.81-1.15) for non-silicosis. Cigarette smoking strongly increased the lung cancer risk in silicosis patients (relative risk, 4.47; 95% CI, 3.17-6.30). The other article is a meta-analysis by Erren T.C, et al (2011) which included 38 studies. It stated that silicosis lung cancer risks were found to be doubled RR=2.1 (95% CI, 2.0-2.3), and in non silicosis were found RR=1 (95% CI, 0,8-1,3).
Conclusion and recommendation: Silicosis is a risk factor of lung cancer. Smoking strongly increased the lung cancer risk in patients with silicosis. Silicotic patients who have a risk of lung cancer should be continuously followed-up. Future study should investigate silicosis and silica exposure being as a risk of lung cancer among patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonnie Medana Pahlavie
"Nyeri punggung bawah menduduki 10% kondisi penyebab pelemahan yang mengakibatkan perubahan usia harapan hidup akibat kecacatan. Nyeri punggung bawah bukan merupakan keganasan dan merupakan kondisi yang dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi pasien selalu mencari terapi untuk mengurangi keparahan dari gejala yang dialami. Nyeri Punggung Bawah Kronis (Chronic Low Back Pain) dapat mengubah gaya hidup dan peningkatan angka absensi yang berkepanjangan saat bekerja hingga mengakibatkan keterbatasan fisik. Ketidaknyamanan akibat nyeri punggung bawah kronis merupakan pertanda membutuhkan penanganan yang segera. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk mendapatkan jawaban yang tepat tentang latihan McKenzie dalam menurunkan nyeri punggung bawah pada pekerja perkantoran. Pencarian artikel dilakukan melalui PubMed, Embase dan Cochrane Library. Kriteria inklusi adalah Tinjauan Sistematis, Meta-Analisis, Randomized Control Trial (RCT), Dewasa atau Usia Produktif, Nyeri Punggung Bawah Kronik Non Spesifik dan Latihan McKenzie. Kemudian ditelaah secara kritis menggunakan kriteria CEBM oxford untuk studi intervensi-terapi. Dari hasil pencarian artikel didapatkan 1 artikel penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dengan jenis Randomized Control Trial (RCT). Hasil telaah kritis menunjukkan bahwa latihan McKenzie dapat mengurangi keluhan nyeri punggung bawah pada 5 minggu perlakuan, namun latihan ini tidak menunjukkan efek klinis perupa pengurangan keluhan nyeri punggung bawah setelah dilaksanakan selama 3,6 dan 12 bulan.

Low back pain is a 10% debilitating condition that results in a change in life expectancy due to disability. Low back pain is not a malignancy and is a self-limiting condition, but patients always seek treatment to reduce the severity of their symptoms. Chronic Low Back Pain can alter lifestyle and increase the rate of prolonged absenteeism at work resulting in physical limitations. Discomfort due to chronic low back pain is a sign that requires immediate treatment. The purpose of this evidence-based case report is to get the right answer about McKenzie exercise in reducing low back pain in office workers. Article searches were conducted through PubMed, Embase and Cochrane Library. Inclusion criteria were Systematic Review, Meta-Analysis, Randomized Control Trial (RCT), Adult or Productive Age, Non Specific Chronic Low Back Pain and McKenzie Exercise. Then critically reviewed using Oxford CEBM criteria for intervention-therapy studies. From the results of the article search, 1 research article was obtained that met the inclusion criteria with the type of Randomized Control Trial (RCT). The results of the critical review showed that McKenzie exercise can reduce complaints of low back pain at 5 weeks of treatment, but this exercise did not show a clinical effect in the form of a reduction in complaints of low back pain after being implemented for 3,6 and 12 months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Ernandini
"Pendahuluan Kehilangan pendengaran adalah problem yang sering diderita pekerja yang terpajan bising, diantaranya adalah masinis kereta api. Pajanan bising dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif yang menyebabkan kematian pada sel rambut melalui proses nekrosis atau apoptosis. Untuk mengatasi hal tersebut, tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan endogen dengan membentuk enzim antioksidan, salah satunya glutathione peroxidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk korelasi antara aktivitas glutathione peroxidase dengan hasil pemeriksaan audiometri dan mengetahui akurasi aktivitas glutathione peroxidase sebagai prediktor hasil pemeriksaan audiometri yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kehilangan pendengaran akibat bising. Metode Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional pada masinis kereta api. Variabel prediktor mencakup aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia. Variabel respon adalah nilai rerata ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, dan 6000 Hz. Hasil Subyek penelitian terdiri dari 46 orang masinis yang memiliki rerata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, 6000 Hz < 25dB. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase berhubungan dengan nilai ambang pendengaran (p = 0,03) dengan kekuatan korelasi negatif yang lemah (r = -0,312). Dari analisis regresi linier didapatkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia melalui sebuah persamaan regresi (p = 0,018) dapat digunakan untuk memprediksi nilai ambang pendengaran = 15,104 – 0,019 (glutathione peroxidase) - 0,002 (indeks brinkman) – 0,474 (indeks massa tubuh) + 0,237 (usia) dengan nilai adjusted R2 = 0,175. Kesimpulan Aktivitas glutathione peroxidase bersama indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia dapat memprediksi nilai ambang pendengaran sesuai dengan persamaan regresi yang didapatkan dalam penelitian ini. Namun, masih terdapat beberapa variabel lain yang mungkin dapat memengaruhi nilai ambang pendengaran yang harus diperhitungkan.

INTRODUCTION Hearing loss is a common problem among workers, including train drivers exposed to loud noise. Noise exposure results in oxidative stress that damages hair cells permanently. One of the antioxidant enzymes produced by the human body’s endogenous defense mechanism is glutathione peroxidase. This study aims to determine the correlation between glutathione peroxidase activity and hearing threshold level, as well as the accuracy of glutathione peroxidase activity as a predictor of the hearing threshold for the early detection of noise-induced hearing loss.
MATERIALS AND METHODS This population study of train drivers used a cross-sectional design. Predictor variables include age, glutathione peroxidase activity, the Brinkman index, and the body mass index. The response variable is the mean hearing threshold at 3000, 4000, and 6000 Hz.
RESULTS 46 train drivers with a mean hearing threshold below 25 dB at 3000, 4000, and 6000 Hz were included as subjects. The correlation test showed that glutathione peroxidase activity was associated with a hearing threshold value (p = 0.03) with a relatively weak negative correlation (r = -0.312). According to linear regression analysis, age, glutathione peroxidase activity, Brinkman index, and body mass index can be used to predict the hearing threshold value = 15.104 + 0.237 (age) - 0.019 (glutathione peroxidase) - 0.002 (Brinkman index) - 0.474 (body mass index) with adjusted r squared = 0.175.
CONCLUSION This study reveals that age, glutathione peroxidase activity, Brinkman index, and body mass index can predict hearing threshold values. However, there are additional variables that must be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Redy
"Latar belakang: Dalam beberapa dekade terakhir, dunia kerja industri transportasi telah mengalami perubahan luar biasa seperti halnya bidang pekerjaan lain. Tuntutan operasional transportasi 24 jam kerja dalam sehari dan 7 hari kerja dalam seminggu menciptakan risiko keselamatan dan kesehatan yang berkaitan dengan rasa kantuk, yaitu suatu kondisi yang diketahui mengganggu kinerja saat mengemudi dan merupakan salah satu penyebab timbulnya kecelakaan dan kematian saat berlalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi risiko mengantuk pada pengemudi bus jarak jauh dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Dua ratus satu pengemudi yang bekerja di hari libur panjang nasional diikutsertakan dalam penelitian. Data sekunder didapatkan dari kuesioner dan hasil pemeriksaan medis pengemudi bus pada liburan akhir tahun 2018 oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Hasil: Proporsi kantuk pada pengemudi bus jarak jauh adalah 9,5%. Mengemudi lebih dari 1.001 km dalam satu kali perjalanan dengan ORs=7.927 (CI 95%=2.184-28.769; p=0.002) dan kondisi kelelahan dengan ORs=3.824 (CI 95%=1.393-10.499; p=0.009) merupakan faktor determinan utama penyebab rasa kantuk pada pengemudi bus jarak jauh. Jumlah trayek selama sebulan dan faktor individu seperti usia, riwayat hipertensi, dan riwayat diabetes melitus tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan kejadian kantuk (p>0.05).
Kesimpulan: Sebanyak 9,5% pengemudi bus jarak jauh mengalami kecenderungan mengantuk. Faktor jarak perjalanan dan kelelahan merupakan faktor yang terkait dengan timbulnya risiko kantuk pada pengemudi bus jarak jauh (R2=0.235).

Background: As is the case with many other occupations, the work organization of transport operators has undergone tremendous changes over the past several decades. Transportation’s 24 hours in a day an 7 days in a week operational demands create safety and health risks related to sleepiness, a condition that is known to impair driving performance and causes of motor vehicle crashes and fatalities. This study aims to identify the risk of sleepiness in long distance commuter bus drivers and its associated factors.
Method: This study used a cross sectional study design. Two hundred and one drivers who are working in long national holidays were involved in this study. The secondary data was gathered from questionnaires and medical examination of bus driver in year-end holidays 2018 by Jakarta Provincial Health Office.
Result: The proportion of sleepiness in long distance commuter bus drivers 9.5%. Driving more than 1,001 km in a single commute trip with ORad=7.927 (95%CI=2.184-28.769; p=0.002) and fatigue condition with ORad=3.824 (95%CI=1.393-10.499; p=0.009) are dominant determinants of sleepiness in long distance commuter bus drivers. Monthly number of trip and individual factors such as age, history of hypertension, and history of diabetes mellitus do not have a statistically significant relationship with the incidence of drowsiness (p>0.05).
Conclusion: Nine point five percent of long distance commuter bus drivers is experiencing sleepiness. Trip distance and fatigue are associated factors with the risk of sleepiness in long distance commuter bus drivers (R2=0.235).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58874
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>