Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sahadatun D.
Abstrak :
Tesis ini membahas mengenai pengaruh tekanan internasional terhadap kebijakan Indonesia dalam rangka penghormatan Hak Asasi Manusia yang terjadi selama periode Mei 1997-Desember 2000 di tiga wilayah konflik bersenjata, yaitu Timor-Timur, Aceh, dan Irian Jaya. Pada periode ini Indonesia mengalami tiga masa pemerintahan (Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid) yang memiliki kebijakan dan pendekatan yang berbeda terhadap masalah HAM. Kebijakan Indonesia di bidang HAM mengalami perubahan yang signifikan pada tiap pergantian pemerintahan. Perubahan tersebut terjadi akibat tekanan internasional yang begitu besar atas pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Timor-Timur, Aceh, dan Irian Jaya.

Dengan munculnya berbagai pelanggaran HAM di Indonesia tersebut, masyarakat internasional tidak tinggai diam. Didorong oleh kepentingan masing-masing, terlepas apakah kepentingan itu murni untuk kemanusiaan atau bersifat politis, berbagai negara dan organisasi internasional dan transnasional menekan Pemerintah RI dengan berbagai cara, baik yang bersifat persuasif maupun koersif, untuk meningkatkan penghormatan di bidang HAM serta menindak pelanggaran HAM yang terjadi.

Untuk menganalisa permasalahan ini penulis menggunakan model lingkungan (environmental model) yang dikemukakan antara lain oleh Papadakis, Starr, dan Sprouts. Model ini mengedepankan konsep negara sebagai suatu entitas dalam sebuah lingkungan. Lingkungan tersebut menentukan pilihan tindakan yang akan diambil oleh negara tersebut, serta bagaimana tindakan nyata yang diambil oleh negara tersebut untuk menanggapi lingkungannya, dengan memperhatikan berbagai faktor. Menurut Papadakis dan Starr, lingkungan terdiri dari beberapa tingkatan, salah satunya adalah International System. Pemikiran ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Kegley dan Wittkopf, yang antara lain menyatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi kebijakan suatu negara, yang salah satunya adalah faktor the external (global) source category. Pengaruh faktor international system atau the external (global) source category inilah yang kemudian digunakan oleh penulis untuk menganalisa perubahan kebijakan Indonesia di bidang HAM. Sedangkan untuk menganalisa bentuk-bentuk tekanan internasional terhadap Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat, teori yang dikemukakan oleh Holsti dapat dijadikan sebagai acuan. Dalam hal ini, bentuk-bentuk tekanan yang menonjol yang dapat diidentifikasi adalah tindakan persuasi, ancaman hukuman, dan pelaksanaan hukuman tanpa kekerasan.

Hasil dari penulisan adalah bahwa kebijakan Indonesia dalam rangka penghormatan terhadap HAM di Timor-Timur, Aceh, dan Irian Jaya dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu tekanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat.
2001
T7045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Cahaya Sumirat
Abstrak :
Penulisan ini ditujukan untuk mengkaji mengenai upaya negosiasi yang dilakukan Indonesia dalam menghadapi Uni Eropa (UE) yang mengajukan prakarsa chairperson's statement mengenai situasi HAM Timor Timur (Timtim) dalam Sidang Komisi HAM (KHAM) PBB ke-58 tahun 2002 yang berlangsung di Jenewa. Prakarsa tersebut telah diajukan oleh UE sejak tahun-tahun sebelumnya karena pada dasarnya UE selalu bersikap kritis terhadap penanganan isu-isu yang terkait dengan HAM oleh Pemerintah Indonesia (Pemri) terutama isu pelanggaran HAM di Timtim.

Kerangka pemikiran yang diajukan adalah mengenai digunakannya taktik counter proposal dan timing untuk mendudukkan posisi kedua pihak agar berada pada posisi yang sama sebelum memasuki substansi negosiasi. Hal ini dilakukan setelah pihak pertama (UE) telah mengajukan proposal dan berupaya menekan pihak kedua (Indonesia) agar segera memberikan tanggapan dan berupaya mendorong untuk memasuki proses negosiasi. Dalam konteks ini, proses negosiasi tidak langsung antara kedua pihak lebih memakan waktu lama dibandingkan dengan negosiasi formalnya. Penelitian tesis ini adalah penelitian kualitatif, dengan jenis penelitian deskriptif sedangkan teknik pengumpulan data adalah studi pustaka dan wawancara.

Pada akhir penelitian diperoleh kesimpulan bahwa politik negosiasi yang dilakukan Pemri pada akhirnya berhasil mengubah posisi UE untuk mengurangi jumlah paragraf dalam draft awal chairperson's statement yang semula lima paragraf rujukan mengenai Indonesia menjadi dua. Dari dua paragraf ini pun pada dasarnya tidak terdapat hal-hal yang dapat dianggap sebagai tekanan keras terhadap Pemri. Rumusan akhir dalam chairperson's statement bersifat lunak kepada Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7046
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Hotrun
Abstrak :
Tesis ini membahas kebijakan pemerintah Habibie tentang Timor Timur dengan mengambil kasus pemberian dua opsi tahun 1999. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan implikasi perubahan politik di Indonesia terhadap kebijakan pemerintah Habibie dalam menyelesaikan masalah Timor Timur. Pokok masalah dalam penelitian adalah mengapa pemerintah Habibie memberikan dua opsi tersebut kepada rakyat Timor Timur.

Untuk menganalisis masalah tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan transisi politik dan teori elitisme. Metode penelitiannya menggunakan tipe penelitian deskriptif analisis, dan pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara mendalam.

Hasi1 penelitian ini cenderung menunjukkan adanya tekanan publik internasional terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang menyebabkan pemerintah Habibie berupaya menyelesaikan masalah Timor Timur. Argumentasi yang dapat dikemukakan bahwa dengan memberikan dua opsi tersebut, pemerintah Habibie mengharapkan agar upaya memperoleh bantuan lembaga-lembaga internasional, terutama IMF dan Bank Dunia, yang dimaksudkan untuk memulihkan ekonomi dalam negeri dapat dilakukan. Keberhasilan memulihkan ekonomi diharapkan dapat meminimalkan delegitimasi publik. Dengan demikian, urgensi dan argumentasi pemerintah Habibie memberikan dua opsi tersebut kepada rakyat Timor Timur cenderung didasarkan dalam kerangka pragmatisme ekonomi-politik.

Kebijakan dua opsi itu diambil setelah memperoleh kontribusi dari para staf ahli presiden, sehingga formulasinya cenderung lebih menunjuk pada tindakan yang tidak melibatkan proses institusionalisasi, yang dibuktikan dengan tidak terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pihak legislatif dan berupa penggunaan mekanisme struktural yang dimiliki presiden terhadap sebagian birokratnya. Selain tahap dari otonomi khusus menuju munculnya tawaran dua opsi tersebut, substansi dan mekanisme yang dipilih (jajak pendapat) kelihatannya juga lebih didasarkan pada persepsi dan kepentingan pemerintah. Dengan demikian, formulasi pengambilan dua opsi itu bermula dari atas dan tidak didasarkan pada prinsip domokratisasi dan HAM, sehingga pernyataan komitmen pada nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945 cenderung dipandang sebagai justifikasi atas kebijakan yang telah diputuskan.
2001
T7177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
Abstrak :
Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September. Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 . Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS. Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor. Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah. Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB. Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catur Hadianto
Abstrak :
Krisis di selat Taiwan merupakan peristiwa yang dapat membawa hubungan antara dua negara besar di kawasan Asia Pasifik mengarah ke dalam konflik. Kedua negara tersebut yakni Amerika Serikat -- yang merupakan satu-satunya kekuatan global dan negara adi daya yang masih tersisa pasca perang dingin -- dan RRC -- yang merupakan kekuatan regional yang mulai tumbuh menjadi negara yang mempunyai potensi menjadi negara adi daya. Karena itu, isu Taiwan merupakan salah satu isu yang dapat mempengaruhi hubungan kedua negara besar tersebut, selain masalah-masalah lainnya seperti, hak-hak asasi manusia, proliferasi senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya, perdagangan dan sebagainya. Taiwan secara de facto merupakan negara berdaulat tetapi secara de jure bukanlah negara yang merdeka, karena Taiwan tidak mendapat pengakuan intemasional sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, terutama dari PBB. Ditambah lagi, Amerika Serikat telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan pindah ke RRC, walaupun tetap mempertahankan hubungan informalnya dengan Taiwan melalui Taiwan Relations Act. Sebagai negara adi daya, Amerika Serikat mempunyai peranan dalam menentukan masa depan Taiwan. Tetapi politik domestik Amerika Serikat yang mempunyai banyak kelompok kepentingan yang selalu berusaha mempengarnhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat sehingga turut menentukan apa yang akan terjadi di lintas selat Taiwan. Di lain pihak, RRC juga ikut menentukan masa depan Taiwan dengan menyatakan bahwa Taiwan merupakan "bagian" dari wilayah RRC dan untuk mempertahankannya bila perlu dengan menggunakan kekuatan militer, Krisis di selat Taiwan pada tahun 1995/1996 dan tahun 1999/2000 mendapat reaksi yang berbeda dari pemerintah Amerika Serikat. Dalam krisis pertama, pemerintah Amerika Serikat menempatkan dua kapal induknya ke lokasi krisis sehingga dapat memicu perang terbuka, sedangkan pada krisis yang kedua pemerintah Amerika Serikat hanya menyampaikan keprihatinannya saja kepada RRC. Dalam dua krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat mengarnbil tindakan yang bertolak belakang, di mana pada krisis pertama tindakannya menyampaikan pesan lebih tegas kepadaRRC sedangkan yang kedua lebih lunak. Pengaruh dari dalam negeri Amerika Serikat seperti Kongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan dan kepentingan kelompok lainnya yang tentunya mempengaruhi perbedaan tersebut. Selain itu, kondisi domestik RRC sendiri turut pula mempengaruhi kebijakan yang diambil pemerintah Amerika Serikat terhadap RRC dalam menghadapi dua krisis yang terjadi di selat Taiwan tersebut Penulis menerapkan kerangka pemikiran dari Kegley dan Wittkopf mengenai proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Menurut Kegley dan Wittkopf, proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dipengaruhi faktor-faktor internal (domestik) dan faktor-faktor ekstemal. Kedua sumber tersebut merupakan input yang masuk ke dalam Decision Making Process politik luar negeri Amerika Serikat. Kemudian, dari input tersebut akan keluar output berupa kebijakan Amerika Serikat terhadap RRC. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor internal (domestik) seperti KCongres, Media Massa, Civil Society, Lobby Taiwan, kepentingan kelompok lainnya dan sebagainya, ditambah faktor-faktor eksternal yakni perubahan yang terjadi di RRC telah merubah sikap pemerintah Amerika Serikat pada krisis yang terjadi di selat Taiwan 1999-2000. Karena pada krisis tahun 1995/1996, pemerintah Amerika Serikat berani berisiko terjadi konflik dengan RRC.
2000
T2330
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library