Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raden Yogaswara
"Latar belakang: Untuk menentukan sindrom epilepsi selain anamnesis juga diperlukan adanya bukti gelombang elektroensefalografi (EEG) yang spesifik. Salah satu cara dengan melakukan teknik hiperventilasi (HV) untuk membangkitkan abnormalitas gelombang EEG. Stimulasi hiperventilasi dapat menimbulkan bangkitan umum dan parsial. Dengan mengetahui hal tersebut dapat menentukan terapi dan prognosis pasien epilepsi.
Tujuan: Mengetahui waktu terjadinya gelombang epileptiform tertinggi selama durasi HV 5 menit pada pemeriksaan EEG untuk meningkatkan manfaat pemeriksaan penunjang yang mendukung kearah diagnosis epilepsi.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif secara historis menggunakan teknik hiperventilasi selama 5 menit saat pemeriksaan EEG untuk mencari aktivitas epileptiform pada EEG pasien epilepsi dan atau dengan bangkitan epileptik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Dari 70 subyek penelitian didapatkan paling banyak tipe bangkitan parsial dengan sindrom epilepsi lobus temporal sebagai jenis sindrom terbanyak. Pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi terjadi aktivitas epileptiform paling banyak sedangkan pada menit ke-1 dan ke-5 terdapat aktivitas epileptiform paling sedikit. Terdapat hubungan yang bermakna antara bangkitan terkontrol obat dengan aktivitas epileptiform dan atau dengan bangkitan epileptik (p=0.043). Pada subyek yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat. Sedangkan faktor lainnya seperti jenis sindrom, tipe, onset dan frekuensi bangkitan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0.119; p=0.392; p=0.636; p=1.000).
Simpulan: Penelitian saat ini menunjukkan aktivitas epileptiform paling banyak terdapat pada menit ke-2 stimulasi hiperventilasi. Terdapat kecenderungan pasien epilepsi yang tidak terkontrol obat mempunyai resiko mengalami aktivitas epileptiform 0.22 kali lebih besar dibandingkan dengan yang terkontrol obat pada pemeriksaan hiperventilasi selama 5 menit.

Background: Diagnosis of epilepsy syndrome beside clinical judgement is also required specific wave evidence from electroencephalography (EEG). One of the method is to perform the hyperventilation techniques (HV) which can generate wave EEG abnormalities. Stimulation of hyperventilation can cause general and partial seizures. By knowing these things, we can determine further treatment and prognosis of the epilepsy patients.
Objective: To determine the highest timing of the wave emergence during 5 minutes hyperventilation in the EEG to improve the benefits of supporting the investigation towards the diagnosis of epilepsy.
Methods: The study was conducted using a historical prospective study design. All samples were collected in Cipto Mangunkusumo Hospital and undergo EEG with 5 minutes hyperventilation technique to look for epileptiform activity.
Results: From 70 subjects obtained, most of it are partial seizures with temporal lobe epilepsy syndrome as the most syndrome types. In the 2nd minute of hyperventilation stimulation occurs epileptiform activity most widely while at minute 1 and 5 are less epileptiform activity. There is a significant relationship between controlled drug patients with epileptiform activity and or with epileptic seizures (p = 0.043). In subjects who are at risk of uncontrolled drug had epileptiform activity 0.22 times larger than the controlled drug. While other factors such as the type of syndrome, type, onset and frequency of seizure showed no significant difference (p = 0.119, p = 0.392, p = 0636, p = 1.000).
Conclusions: The present study showed epileptiform activity are most common in the 2nd minute stimulation hyperventilation. There is a tendency of uncontrolled epilepsy patients who are at risk of experiencing epileptiform activity 0.22 times greater than the drug controlled patients during 5 minutes hyperventilation techniques.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Ayu Arditi
"[ABSTRAK
Tesis ini membahas refleks primitif pada anak usia 4-12 tahun dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) dan tanpa GPPH serta faktor-faktor yang memengaruhinya. Penelitian ini bersifat deskriptif dimana refleks yang dinilai adalah refleks Moro, asymmetric tonic neck reflex (ATNR), symmetric tonic neck reflex (STNR), tonic labyrinthe reflex (TLR), dan spinal Galant. Hasil yang ditemukan adalah banyak anak dengan GPPH ditemukan refleks primitif, terutama ATNR. Faktor-faktor yang mempengaruhi GPPH adalah pendidikan orangtua, pekerjaan ayah, pola asuh, kemiskinan, kesehatan ibu saat mengandung, dan paparan rokok. Diharapkan refleks primitif dijadikan sebagai pemeriksaan rutin pada anak sebelum memasuki usia sekolah.

ABSTRACT
Focus of the study was to describe primitive reflexes in 4-12 years old children with and without attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) and influenced factors in ADHD emerging. It was descriptive research. Five reflexes were valued that were oro refex, asymmetric tonic neck reflex (ATNR), symmetric tonic neck reflex (STNR), tonic labyrinthe reflex (TLR), dan spinal Galant. Results noted primitive reflexes could be found in ADHD, mainly ATNR. Parent?s education, father?s occupation, parenting, poverty, mother?s health in pregnancy, cigarette?s exposure related to persistence of primitive reflexes. We recommend primitive reflexes should be early physical assessment in children before entry school age, Focus of the study was to describe primitive reflexes in 4-12 years old children with and without attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) and influenced factors in ADHD emerging. It was descriptive research. Five reflexes were valued that were oro refex, asymmetric tonic neck reflex (ATNR), symmetric tonic neck reflex (STNR), tonic labyrinthe reflex (TLR), dan spinal Galant. Results noted primitive reflexes could be found in ADHD, mainly ATNR. Parent’s education, father’s occupation, parenting, poverty, mother’s health in pregnancy, cigarette’s exposure related to persistence of primitive reflexes. We recommend primitive reflexes should be early physical assessment in children before entry school age]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Samanta
"Latar Belakang. Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang serius yang dapat menyebabkan kematian, kecacatan fisik dan kecacatan mental. Cedera kepala dapat menyebabkan sel astrosit rusak sehingga mengeluarkan protein S 100B yang dapat dideteksi didalam darah perifer, sehingga dapat dipakai untuk memprediksi tingkat keparahan cedera kepala yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara kadar protein S 100B dengan tingkat keparahan cedera kepala.
Metode. Desain penelitian adalah potong lintang untuk mengetahui kadar protein S 100B pada pasien cedera kepala akut onset kurang dari 24 jam. Subyek penelitian sejumlah 85 pasien yang datang berobat ke Instalasi Gawat Darurat RSCM sejak bulan maret ? juni 2015. Dilakukan penilaian GCS, lamanya tidak sadarkan diri, lamanya amnesia pasca trauma dengan bantuan alat TOAG, pemeriksaan CT Scan dan pemeriksaan serum protein S 100B.
Hasil. Didapatkan kadar rerata protein S 100B serum 0,77 μg/L, rerata durasi amnesia 21,22 jam, rerata nilai GCS 13. Terdapat perbedaan kadar protein S 100B pada CKR (rerata 0,4175) dibandingkan dengan pada CKS dan CKB (1,0722) (p=0,020), nilai titik potong kadar protein S 100B pasien yang meninggal 0,765 μg/L (p= 0,002).
Simpulan. Kadar rerata protein S 100B pada cedera kepala ringan lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein S 100B pada cedera kepala sedang dan berat, semakin tinggi kadar protein S 100B akan semakin tidak baik keluaran pasien cedera kepala.

Background. Traumatic brain injury is still a serious community health problem can cause death, physical and mental disability. Protein S 100B release from destructive astrocyte from brain injury and detected in the peripheral blood, so that protein S 100B can serve as predictor of severity traumatic brain injury. This research aimed to find association between protein S 100B with traumatic brain injury severity.
Method. This was a cross sectional study focusing to protein S 100B value from acute traumatic brain injury patients with onset < 24 hours. Eighty five patients were recruited from emergency room RSCM. GCS value, duration of post traumatic amnesia with TOAG tools, duration loss of consciousness, brain CT scan and concentration serum protein S 100B were record.
Results. The mean concentration serum Protein S 100B were 0.77, mean PTA duration were 21,22 hours, and the mean GCS were 13. There is a significant differentiation value of concentration protein S 100B from mild trumatic brain injury compare moderate and severe traumatic brain injury (p=0,020), cut off point for death patients was 0,765 μg/L.
Conclusion. The mean serum Protein S 100 B from mild trumatic brain injury lower than moderate and severe traumatic brain injury higher consentration of protein S 100B have bad outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrunnisa
"Latar Belakang : Proses kognitif diartikan sebagai proses pengolahan informasi, yang diubah, disimpan, dan kemudian digunakan. Gangguan kognitif dapat terjadi akibat berbagai macam proses penyakit tem1asuk gangguan pada pembuluh darah di otak. Penelitian terdahulu menunjukkan penyandang Hipertensi memiliki skor kognitif yang lebih rendah dibanding individu normal. Kekerapan gangguan kognitif pada penyandang hipertensi meningkat 7-9%, bila tekanan darah tidak terkontrol. Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara tekanan darah dengan gangguan kognitif pada penyandang hipertensi yang bermanfaat untuk pencegahan, deteksi dini dan tatalaksana sehingga bila ditemukan gangguan kognitif ringan dapat segera diambil langkah-langkah untuk mencegah berlanjutnya komplikasi. Metode : Penelitian menggunakan disain analisis potong lintang deskriptif. Dilakukan pada pasien hipertensi yang datang berobat ke beberapa puskesmas di Jakarta, dengan 106 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, dilakukan anamnesis dan identifikasi catatan medis, selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik umum (tekanan darah sistolik dan diastolik, pengukuran berat badan dan tinggi badan) dan pemeriksaan neurologi rutin (pemeriksaan fisik, skor Hamilton, MMSE dan funduskopi). Subyek yang memenuhi kiteria inklusi dilakukan tes MoCA-lna. Variabel-variabel yang diduga berperan dalam gangguan kognitif pada hipertensi diuji statistik menggunakan analisis bivariat dan multivariat dan uji mutlak Fisher. Hasil: Dari 106 pasien hipertensi didapatkan perbandingan jumlah laki-laki dengan perempuan adalah I : I ,6 dengan jumlah terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun (40.6%) diikuti kelompok usia 40-50 tahun (34.9%), dan~ 61 tahun (24.5%) dengan 54 subjek (50.9%) berpendidikan rendah, 28 subjek (26.4%) berpendidikan sedang dan 24 subjek (22.6%) dengan pendidikan tinggi. Variabel pendidikan memiliki perbedaan proporsi yang signifikan bila dihubungkan dengan gangguan kognitif dari 106 subjek, dengan persentase 19.8% yang mengalami gangguan kognitif (skrining MoCA-lna) dengan gangguan paling dominan pada domain visuospasial sebanyak 43.4% disusul oleh domain bahasa (34.9%). Dari ke-6 domain MoCA-lna terdapat hubungan bermakna dengan beberapa variabel yang diteliti yaitu: fungsi eksekutif, atensi, konsentrasi dan working memory memiliki hubungan bermakna dengan variabel tingkat pendidikan; fungsi visuospasial terdapat hubungan bermakna dengan variabel grade hipertensi dan tingkat pendidikan; dan fungsi short term memory recall memiliki hubungan bermakna dengan variabel onset hipertensi. Dari data sekunder pun didapatkan -hubungan yang signifikan an tara grade hipertensi dan onset hipertensi bila dihubungkan dengan gambaran funduskopi. Kesimpulan : Terdapat 19.8% gangguan kognitif pada penyandang hipertensi dengan gambaran berupa gangguan fungsi visuospasial dan terdapat hubungan bermakna dengan beberapa variabel yang diteliti.

Background: cognitive process is defined as a process of converting, storing, and then using of information. Cognitive impairment can occur due to various disease including disorders of the blood vessels in the brain. Previous research has shown people with hypertension have a lower cognitive scores than normal individuals. In an uncontrolled blood pressure condition, frequency of cognitive impairment in people with hypertension increased 7-9%. Objective: To determine the relationship between blood pressure and cognitive impairment in people with hypertension. The aims are for the prevention, early detection and management of complication of mild cognitive impairment in hypetension. Methods: A cross-sectional descriptive analysis design. Performed in hypertensive patients who come for treatment to some centers in Jakarta, with 106 samples that met the inclusion criteria, conducted medical history and identification records, then performed a general physical examination (systolic and diastolic blood pressure, weight and height) and a routine neurological examination (physical examination, Hamilton score, MMSE and fundoscopy). Subjects who met inclusion criteria were conducted MOCA-Ina tests. The variables which were significant in cognitive impairment in hypertensive were statistically tested using bivariate and multivariate analysis and Fisher's absolute test. Results: Of 106 patients with hypertension the ratio between men and women was 1: 1.6 with the highest number in the age group was 51-60 years (40.6%) followed by 40-50 years age group (34.9%), and :2: 61 years (24.5%) with 54 subjects (50.9%) of low-educated, 28 subjects (26.4%) moderately educated and 24 subjects were well educated (22.6%). Education were significant proportion of the difference when linked with cognitive impairment in 106 subjects, with percentage of 19.8% who experienced cognitive impairment (screening MOCA-Ina) with predominant disturbance in as many as 43.4% visuospasial domains followed by domain language (34.9%). Executive function, attention, concentration and working memory are significantly associated with level of education; visuospasial functions are significantly associated with grade of hypertension and level of education; and short term memory recall function is significantly associated with onset of hypertension. From the secondary data there were significant relationship between hypertension grade and onset of hypertension with funduscopic. Conclusion: There were 19.8% cognitive impairment (visospatial dysfunction) in people with hypertension with and there were significant association between variables studied.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2012
T58407
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library