Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Libret Semuel Foenay
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam era pembangunan nasional berwawasan lingkungan sekarang ini, keserasian kota dan desa mendapat perhatian utama. Hal ini dari dimuatnya secara eksplisit tegas dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. 2 Tahun 1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Bab IV, D, butir 12 ayat f dan g. Pada dasarnya dua ayat tersebut merekomendasikan bahwa pemabangunan masyarakat pedesaan dan pembangunan kota perlu dilanjutkan dan ditingkatkan dengan selalu memperhatikan keserasian hubungan antara kota dan daerah pedesaan sekitarnya. Dipandang dari aspek lingkungan hidup, kota dan desa termasuk dalam pengertian kelompok lingkungan hidup buatan (binaan), bersama kelompok lingkungan hidup sosial dan kelompok lingkungan hidup alam, dalam kesatuan lingkungan hidup bumi.

Antara kota dan desa sebagai sub bagian dari lingkungan hidup buatan terjadi interaksi, adaptasi, dan mengalami seleksi melalui pertukaran materi, energi, dan informasi, yang merupakan ciri dari kesatuan lingkungan hidup bumi. Lingkungan hidup desa dalam penelitian ini diwakili oleh unsur-unsur: petani (manusia), tanah usahatani (sumber daya alam), dan panca usahatani (teknologi), kombinasi dari ketiga unsur ini menghasilkan barang berupa hasil produksi usahatani. Hasil produksi usahatani ini selanjutnya disalurkan ke kota Kupang untuk memenuhi permintaan konsumen akan hasil produksi usahatani tersebut.

Lingkungan hidup kota diwakili oleh unsur-unsur: konsumen (manusia), pasar (sumber daya buatan), angkutan (teknologi), melahirkan transaksi perdagangan atau jual beli atas hasil produksi usahatani yang berasal dari pedesaan sekitar Kupang.

Antara lingkungan hidup desa dan lingkungan hidup kota (Kupang) terjalin pertukaran materi (hasil produksi usahatani) melalui media yang dalam penelitian ini diidentifikasi atas: Papalele selaku perantara perdagangan dan transportasi.

Jenis kegiatan usahatani di delapan desa penelitian terdiri atas kegiatan usahatani pokok yaitu ladang dan atau sawah, dan kegiatan usahatani sampingan, yaitu mamar (kebun, tegalan) dan ternak. Faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani di pedesaan adalah faktor alamiah seperti kekeringan, kualitas tanah, faktor non alamiah seperti teknologi, luas tanah usahatani, orientasi pasar petani, modal dan pendapatan.

Jenis kegiatan perdagangan di kota Kupang terdiri atas tempat penjualan hasil produksi usahatani dari desa penelitian, yaitu kecamatan Kupang Timur, kecamatan Kupang Tengah, kecamatan Kupang Barat dan kecamatan Amarasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan penjualan (perdagangan) hasil produksi usahatani di pasar kota adalah: jarak, lokasi asal barang, papalele, dan jenis alat angkutan.

Dari ulasan seperti terurai diatas ditarik permasalahan sebagai berikut:

(1) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kegiatan ekonomi petani, mulai dari melakukan kegiatan usahatani di pedesaan sampai dengan penjualan hasil produksinya di pasar kota Kupang.

(2) Bagaimana hubungan pengaruh antara faktor-faktor kegiatan usahatani di pedesaan maupun faktor-faktor kegiatan penjualan hasil produksi usahatani di pasar kota Kupang

(3) Bagaimana proses tataniaga hasil produksi usahatani berlangsung, dan berapa besar peranan Papalele dalam proses tataniaga tersebut.

(4) Kecamatan (asal barang) mana saja yang menjadi pemasok utama barang hasil produksi usahatani ke pasar Naikoten dan pasar Kuanino kota Kupang

(5) Bagaimana orientasi pasar petani terhadap jenis kegiatan produksi usahatani yang dilakukan petani

Model analisis yang dipakai adalah: analisis deskriptif dengan frekuensi dan tabulasi silang serta analisis statistik uji x² (Khi Kuadrat).

Dalam menentukan tingkat hubungan pengaruh antara dua peubah, ditentukan berdasarkan klasifikasi sebagai berikut:

>0 % - 15% dinilai tidak kuat

>15% - 30% dinilai cukup kuat, dan

>30% - 50% dinilai sangat kuat.

Berdasarkan analisis yang dilakukan diperoleh temuan-temuan sebagai berikut:

(1) Terdapat hubungan pengaruh tidak simetrik antara faktor-faktor kegiatan penjualan hasil produksi kegiatan usahatani di pasar Naikoten dan pasar Kuanino pada tingkat hubungan sangat kuat (34,5 %), maupun antara faktor-faktor kegiatan usahatani petani di pedesaan pada tingkat hubungan cukup kuat (29,79 %)

(2) Papalele sebagai perantara perdagangan dalam proses tataniaga komoditas hasil usahatani mempunyai /memegang peranan menentukan karena menguasai 64,3 % saluran hasil produksi usahatani dari desa-desa penelitian di kota Kupang

(3) Orientasi pasar petani dilihat dari sifat pekerjaan kegiatan usahatani pokok dan kegiatan usahatani sampingan adalah sebagai berikut:

-tujuan atau motivasi dari kegiatan usahatani pokok (ladang atau sawah) adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga rumah tangga petani sendiri (usahatani subsistem)

-tujuan atau motivasi dari kegiatan usahatani sampingan adalah untuk dijual (orientasi pasar) guna memperoleh uang tunai

(6) Implikasi penelitian

Implikasi penelitian ini adalah berupa buah pikiran tentang alternatif pemecahan masalah berikut:

(1) Perlunya peningkatan pembinaan petani melalui penyuluhan lapangan oleh tenaga PPL tentang panca usahatani tanah kering

(2) Pemberian kemudahan-kemudahan kepada para petani dalam memperoleh Kredit usahatani

(3) Membentuk dan memfungsikan Koperasi Unit Desa dalam pemasaran hasil produksi usahatani

(4) Perlu pembinaan dan pengawasan terhadap Papalele dengan jalan didaftar dan ditampung dalam wadah organisasi Papalele

(5) Universitas Nusa Cendana dengan Tugas Ilmiah Pengembangan Pokok ?Pengembangan Pertanian Tanah Kering? perlu diberi kesempatan lebih besar dalam aplikasi hasil-hasil penelitiannya di daerah pedesaan Propinsi Nusa Tenggara Timur.
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Santoso Hadi
Abstrak :
ABSTRAK Pertumbuhan penduduk yang tinggi membawa berbagai masalah lingkungan perkotaan. Di kota-kota besar di Indonesia seperti Semarang, pada saat ini dirasakan ada gejala kualitas lingkungan yang menurun. Penanggulangan masalah lingkungan hidup perkotaan tersebut akan banyak memberi manfaat bila dimulai dari lingkungan pemukiman, khususnya pekarangan. Pekarangan merupakan istilah yang belum didefinisikan secara baku dalam lingkup nasional Berbagai instansi pemerintah, masih memberikan penafsiran yang simpang siur. Dalam tesis ini digunakan definisi kerja Karyono (1981) yaitu "Pekarangan adalah sebidang lahan sekitar rumah, dengan batas tertentu, yang ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan fungsional dengan rumah yang bersangkutan". Pekarangan mempunyai fungsi ganda bagi pemiliknya. Pada dasarnya fungsi pekarangan dapat dibedakan dalam fungsi (1) sosial, (2) estetik, (3) produksi subsisten, (4) komersial dan (5) pengawetan tanah dan sumberdaya genetik (Soemarwoto 1979, I979a). Cerminan ini di perkotaan, dapat dilihat dari bentuk dan pola penanaman serta kegiatan pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pekarangannya. Penelitian yang memilih lokasi di Kelurahan Krapyak, Kali Banteng Kulon, Gisikdrono, Salamanmloyo, Cabean, Karangayu, Krobokan, Bulu Lor, Bulu Stalan, dan Pendrikan pada Kecamatan Semarang Barat ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1) Dari jenis fungsi pekarangan yang diteliti, yaitu fungsi ekologik, estetik/ keindahan dan tempat usaba ternyata ketiga jenis fungsi tersebut dapat ditemukan pada pekarangan kota. Dapat dikemukakan, pertimbangan pemanfaatan pekarangan kota sebagai tempat usaha mungkin lebih diprioritaskan dari segi ekologik maupun estetik/ keindahan. 2) Luas pekarangan serta Building Coverage merupakan faktor yang mempengaruhi pola pengelolaan pekarangan kota secara nyata. Ternyata faktor karakteristik penghuni, baik karakteristik pekorangan maupun rumah tangga, tidak memiliki pengaruh hubungan yang nyata . 3) Faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap fungsi pekarangan, adalah sebagai berikut : a. Terhadap Fungsi Ekologik Karakteristik Perorangan tingkat pendapataan kepala keluarga merupakan faktor yang langsung berpengaruh. * Karakteristik Rumah Tangga Status pemilikan rumah yang dihuni serta luas Pekarangan dari rumah tersebut, merupakan faktor yang berpengaruh langsung. * Pengelolaan Pekarangan Building Coverage, merupakan faktor yang berpengaruh langsung. b Terhadap Fungsi Estetik/Keindahan * Karakteristik Perorangan Telaah lanjut menunjukkan bahwa Pendidikan, Pendapatan dan Jenis Pekerjaan secara bersama memberikan pengaruh langsung. * Karakteristik Rumah Tangga Luas Pekaranganterlihat sangat nyata pengaruhnya. * Pengelolaan Pekarangan Hanya Building Coverage yang merupakan faktor berpengaruh. c Terhadap Fungsi Tempat Usaha * Karakteristik Perorangan Pendidikan dan Pendapatan memberi pengaruh langsung. * Karakteristik Rumah Tangga Luas pekarangan yang berpengaruh, den inipun terjadi secara kurang nyata. * Pengelolaan Pekarangan Building Coverage dan Jenis tanaman tidak memberikan pengaruh sama sekali . 4) Implikasi Luas pekarangan serta besaran Building Coverage merupakan faktor yang relevan secara langsung dengan kemungkinan kebijaksanaan pemerintah dalam lingkup perbaikan lingkungan kota. Secara tidak 1angsung, factor pendidikan, pendapatan disamping status pemilikan bermanfaat sebagai indikator sosioekonomis, dari kondisi warga masyarakat dimana kebijaksanaan tersebut ingin diterapkan
ABSTRACT Rapid population growth in cities often brings about various environmental problems. In many big cities in Indonesia,Semarang for example, the phenomena of declining environment quality can be seen nowadays. It will be very advantageous if the efforts to over come such environmental problems in cities start from the residence area, especially the yard. Actually there is no clear and fixed definition about yard nationally accepted. That's why very often different interpretations on the term appear among government institutions. In this thesis the definition used is that of Karyono (1977) asserting that "A yard is a piece of land around a house which has fixed bounds, is planted with all sorts of planted with all sorts of plants and has a functional relationship with the house". A yard has a double function for its owner. A yard has fundamentally different functions (1) social, (2) aesthetic, (3) subsistence productions, (4) commercial and (5) soil and genetic resources conservations (Soemarwoto 1979, 1979 a). The different functions of a yard can be seen easily in cities through the planting form and pattern as well as the way the town people manage their yards. This research done in the village of Krapyak, Kali Banteng Kulon, Gisikdrono, Salamanmloyo, Cabean, Karangayu, Krobokan, Sulu lor, Bulu stalan, and Pendrikan in the district of Semarang Barat brings about conclusions as follows: (1) The city yards have consecutively ecological function, that is to create micro climate; aesthetic function to embellish the yards; and productive function, as a place used for business purposes. From the point of view of its degree--among other functions of yards-- function for business purpose comes first. (2) Size of the yard and building coverage were the significant factors that influences the way of the owners in managing their yards. Owner's characteristics such as individual and family characteristics have no significant influences on the yard's management. (3) Factors that have influences on perception of yard's functions, were as follows : a Perception on Ecological Function. * Individual characteristics The family's head of income has apparent influence on the perception of the yard's ecological function. * Family characteristics Status of ownership and the size of yard has significant corellation with perception of ecological function. * Yard's management Building Coverage has direct and significant influences on ecological function. b Perception on Esthetic function * Individual characteristics Family's head of level of education, amount of income and kind of job together has direct influences on esthetic function. *Family characteristics Size of yard has apparent relationship on esthetic function. * Yard's management Building Coverage was the only influencing factor on esthetic function. c Perception on the prospect of the yard as a business place * Individual characteristics Family's head of income and amount of income have direct influences * Family characteristics Only size of yard that have influence, without no apparent association. * Yard's management Building coverage and kinds of plantings have no influences at all. (4) Implication Size of the yard and building coverage were the relevant factors associated with the possibility of government policy concerning in managing the city environment. Family's head of level of education and the amount of income were useful as the indicators of. the citizen socio-economic conditions in the area, where the government policy would be executed.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhamlin
Abstrak :
ABSTRAK Pembangunan pertanian sub-sektor perkebunan di Indonesia telah dikembangkan dalam berbagai pola, di antaranya adalah pola Unit Pelaksana Proyek (UPP) dan pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun). Pengembangan perkebunan dengan pola PIR bertujuan untuk membangun masyarakat pekebun yang berwiraswasta dan sejahtera dengan melibatkan pengusaha perkebunan dan petani, dalam suatu sistem hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengusaha perkebunan bersama-sama dengan instansi terkait membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya melalui pembinaan petani. Di daerah Riau, pengembangan perkebunan dengan pola PIR telah dilaksanakan sejak tahun 1981. Salah satu di antaranya adalah PIR Khusus (PIR-Sus) Sei Tapung di Kecamatan Tandun, Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar, Riau. Proyek PIR-Sus ini mengusahakan budidaya kelapa sawit seluas 7.670 ha, meliputi 5.000 ha kebun plasma dan 2.670 ha kebun inti. Bersamaan dengan itu telah dimukimkan pula 2.500 kepala keluarga (KR) petani peserta yang terdiri dari 2.000 KK petani asal transmigrasi dan 500 KK petani lokal. Kegiatan proyek PIR-Sus sejak periode persiapan hingga periode pembayaran kembali, diduga telah menimbulkan dampak pada lingkungan hidup, khususnya terhadap Cara hidup petani lokal, terutama tentang persepsinya mengenai alokasi waktu. Kajian tentang alokasi waktu ini perlu dilakukan, karena di satu sisi perubahan jenis usaha tani dari tanaman pangan dan/ atau kebun karet ke usaha tani kebun kelapa sawit menuntut perubahan alokasi waktu. Sebab waktu yang diperlukan untuk usaha tani tanaman pangan hanya 144 hari kerja per ha per musim, sedangkan untuk mengelola dua ha kebun kelapa sawit yang telah menghasilkan diperlukan waktu 342 hari kerja per tahun. Di sisi lain ada kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat local, bahwa dalam seminggu biasanya mereka bekerja lima hari. Hal ini berarti dalam setahun hanya ada 260 hari kerja. Atas dasar ini diduga bahwa perubahan jenis usahatani akan mempengaruhi pola alokasi waktu petani lokal memperoieh penyuluhan yang relatif intensif, terpadu dan berkesinambungan dari pihak PTP sebagai pengelola PIR-Sus Sei Tapung. Sebagai hasil penyuluhan itu diduga telah terjadi perubahan persepsi petani lokal yang menjadi peserta PIR terhadap arti pentingnya waktu. Perubahan persepsi terhadap waktu tersebut dapat diketahui dari tanggapan petani tentang jumlah alokasi waktu untuk berbagai kegiatan. Bagi pihak pembina petani (penyuluh), pola alokasi waktu petani merupakan informasi penting terutama dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan yang tepat sasaran, tepat waktu, sangkil dan mangkus. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dampak penyuluhan yang dilakukan terhadap persepsi petani mengenai alokasi waktu. Mengetahui apakah ada perbedaan persepsi petani PIR dan non-PIR mengenai alokasi waktu ; dan untuk melihat apakah ada hubungan jenis usahatani dengan persepsi petani mengenai alokasi waktu. Sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian, diajukan hipotesis penelitian, yaitu persepsi petani mengenai jumlah alokasi waktu berhubungan dengan keikutsertaan petani dalam PIR, frekuensi kehadiran mengikuti penyuluhan dan jenis usahatani. Persepsi mengenai alokasi waktu diukur dengan tanggapan responden terhadap jumlah alokasi waktu, yang dibedakan atas tiga kategori tangga (RT) dan jumlah waktu yang dinikmati (K). Sedangkan keikutsertaan petani dalam PIR dibedakan atas dua kategori yaitu petani PIR dan petani non--PIR. Frekuensi mengikuti penyuluhan dibedakan atas tiga kategori yaitu kurang, sedang dan sering. Sedangkan jenis usahatani dibedakan atas usahatani tanaman pangan, tanaman kebun karet dan tanaman kebun kelapa sawit. Perselitian terhadap petani PIR dilakukan di Desa Tapung Jaya, sedangkan terhadap petani non-PIR dilakukan di Ke1urahan Ujungbatu, dengan jumlah sampel 20 persen dari masing-masing sub-populasi . Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan, sedangkan analisis data dilakukan dengan uji statistik kai kuadrat 2(X ). Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama (diabaikan) maka dari hasil analisis yang dilakukan, penelitian ini menyimpulkan bahwa: 1) Rata-rata alokasi waktu petani PIR untuk B adalah 8,0 jam per hari, untuk RT 1,0 jam per hari dan untuk K 10,4 jam per hari. Sedangkan rata-rata alokasi waktu petani non-PIR untuk B adalah 6,5 jam per hari, untuk RT 1,2 jam per hari dan untuk K 11,7 jam per hari. Berdasarkan alokasi waktu tersebut, maka waktu luang petani PIR dan non-PIR masing--masing adalah 4,6 jam per hari. 2) Ada perbedaan alokasi waktu petani PIR dengan petani non-PIR, di mana alokasi waktu B petani PIR lebih banyak dari petani non-PIR. Apabila dibandingkan dengan jam kerja baku (8,0 jam per hari) maka petani PIR lebih giat bekerja dari petani non-PIR. Sedangkan alokasi waktu untuk RT dan K petani PIR lebih sedikit dari petani non-PIR. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dengan masuknya petani lokal menjadi peserta PIR cenderung bertambah besar jumlah jam bekerjanya, sebaliknya berkurang jumlah waktu untuk kegiatan rurnah tangga dan jumlah waktu yang dinikmati. 3) Berdasarkan asumsi semula bahwa faktor produktifitas petani dianggap sama, ternyata ada perbedaan rata-rata alokasi waktu untuk berbagai kegiatan antara petani tanaman pangan, petani kebun karet dan petani kebun kelapa sawit. Dilihat dari rata-rata alokasi waktu bekerja, petani kebun kelapa sawit lebih giat dari petani kebun karat maupun petani tanaman pangan. 4) Dengan mengasumsikan bahwa faktor umur, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan merupakan faktor yang diabaikan, maka ternyata ada hubungan antara frekuensi kehadiran petani mengikuti penyuluhan dengan rata-rata alokasi waktu B, RT dan K. Frekuensi penyuluhan yang dihadiri petani berkorelasi positif dengan rata-rata alokasi waktu B, sebaliknya berkorelasi negatif dengan rata-rata alokasi waktu RT. 5) Dilihat dari rata-rata alokasi waktu luang (L) petani PIR dan non-PIR, (4,6 jam per hari) maka bagi petani PIR akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk kegiatan rumah tangga dan waktu yang dinikmati khususnya untuk kebutuhan sosial dan kebutuhan rekreasi. Sedangkan bagi petani non-PIR, jumlah waktu luang tersebut akan lebih sangkil bila dialokasikan untuk bekerja dan kegiatan rumah tangga. Berdasarkan kesimpulan di atas, diajukan beberapa pertimbangan sebagai berikut: 1) Mengikutsertakan petani lokal yang menjadi peserta PIR, ternyata mampu merubah perilaku mereka dalam mengalokasikan waktu untuk kegiatan produktif. Oleh karena itu, diusulkan agar petani lokal yang akan menjadi peserta PIR ditingkatkan jumlahnya. 2) Dari rata-rata alokasi waktu B, petani PIR lebih giat dari petani non-PIR. Besarnya jumlah jam kerja petani PIR disebabkan oleh perubahan Jenis usahatani (sistem kerja) ke arah diversifikasi usaha. Oleh karena itu untuk membina petani non-PIR agar waktu bekerjanya meningkat maka perlu ada upaya ke arah diversifikasi usaha dari pemanfaatan waktu luang. 3) Keikutsertaan petani dalam kegiatan penyuluhan ternyata mempunyai dampak positif dalam merubah persepsi petani tentang arti pentingnya waktu, hal ini tereermin dari pernyataan petani dalam mengalokasikan waktunya. Untuk menirigkatkan jumlah jam kerja petani lokal, salah satu alternatif yang diusulkan adalah menyelenggarakan penyuluhan yang intensif, terpadu, dan berkesinambungan. 4) Karena pola alokasi waktu petani berhubungan dengan jenis usahatani tertentu, maka agar penyuluhan yang diberikan kepada petani tepat waktu dan tepat sasaran, maka pihak penyuluh perlu mempertimbangkan pola alokasi waktu yang berlaku bagi masing-masing petani menurut jenis usahataninya_ Dalam hal ini waktu luang merupakan waktu yang tepat untuk memberikan penyuluhan kepada petani.
The sub-sector farming of agricultural development in Indonesia is extended in some patterns, two of them are Project Implementation Unit (Unit Pelaksana Proyek (UPP)) and Nucleus Estate Plantation (Perusahaan Intl Rakyat Perkebunan (PIR-Bun)) patterns. The purpose of farming extension with PIR patterns is the development of farmers society entrepreneurship and wealth, involving the entrepreneurs and farmers, in mutuality symbiosis system, integration and continuation. To achieve this objective, farming entrepreneurs and related institutions should assist and guide the surrounding smallholders by developing the farmers. In Riau Province, farming development of PIR patterns has been executed since 1981. One of these patterns is Special PIR (PI} Khusus or PIR-Sus) Sei Tapung in Tandun Sub-district, Kampar, Riau Province. This PIR-Sus project developed palm farming in 7.870 ha, included 5.000 ha plasma farm and 2.670 ha nucleus farm. At the same time, this area has been habitated by 2.500 families of PIR farmers, i . e 2.000 transmigrant families and 500 local inhabitant families. It is expected that the activities of PIR-Sus project, since preliminary period up to the repayment period, have proceeded the environmental impact, especially to the local farmers perception on time allocation. A study on this time allocation of farmers is necessary, because of the changing type of agribusiness from food, plantation and r or rubber farming to palm farming, needs changing of time allocation. Agribusiness of food plantation requires 144 working days' per ha per year, as well as 342 working days per year to manage two ha of productive palm farming. Beside that, the local society traditionally works for five days per week and 260 days per year. It is expected that the changing type of agribusiness will influence the pattern of local farmers allocation of time. PIR local farmers' get information intensively, integrated and continuously from PTP official, manager of PIR-Sus Sei Tapung. It is expected for the changing PIR member of local farmers' perception on the meaningful of time. Change of perception on time is indicated by the farmers? response on time allocation for a variety of activities. Patterns of farmers time allocation give an important information to the PIR informants, especially for the purpose of efficiency, effectiveness and on time of information activities. Getting data on this subject, it is necessary to perform research: To evaluate the impact of information which is performed on farmers perception about time allocation; To know whether there is a different perception among PIR farmers' and non-PIR farmers' on time allocation; o note down whether there is relationship between types f agribusiness with farmers perception on time allocation. As a temporary answer, it is necessary to develop research hypothesis, that there is a relationship between the farmers perception on the amount of time allocation with their participating in FIR, frequency of attending the information sessions and types of agribusiness. The perception on time allocation is indicated by the farmers response on time allocation for amount of time allocation is three categories of the amount of time allocation, i.e. the amount of time for working activities (bekeria (BY), the amount of time for housekeeping activities (rumah tng (RT)), and the amount of time for consumption (konsumsi (IC)). Two categories of farmers? position are PIR and non-PIR farmers'. Frequencies of attending farming information are seldom, often, and very often. And types of agribusiness are agribusiness of food plantation, of rubber farming, and of palm farming. Research on PIR farmers' was carried out in Tapung Jaya village and on non-PIR farmers' in Ujungbatu village, with 20 percent samples for each sub-population. Data collecting techniques are interview and observation. Analysis of data is 2 chi-square (X ) statistical test. Conclusions of this analysis of data are: The average time allocation of PIR farmers' for B is 8,0 hours per day, for RT is 1,0 hour per day, and for K is 10,4 hours per day. The average time allocation of non-FIR farmers' for B is 6,5 hours per day. The leisure time of FIR farmers' and non-PIR farmers' is only 4,6 hours per day. Time allocation difference of PIR and non-PIR farmers' is that time allocation of PIR farmers' for B has more time than non-FIR farmers'. According to standard working time (8,0 hours per day), FIR farmers' are more active than non-FIR farmers'. Because time allocation of PIR farmers' for RT and K is less compared to that of non-PIR farmers', there is an inclination that farmers who become FIR members spend more time on FIR activities than on household activities and consumption of time. Based on earlier assumption that each farmers has an equal productivity, it appears that there is a different of the average time allocation for a variety if' activities among food plantation farmers, rubber farming farmers, and palm farming farmers. For the average time allocation of B, palm-farming farmers are more active than food plantation farmers and rubber farming farmers. Without including age, education and earning factors in this assumption, it seems there is a relationship between the frequency of farmers attending the information sessions with the average time allocation given to B, RT and K. Frequency of information activities of attended farmers has positive correlation with the average time allocation for B, but the negative correlation with the average time allocation for VT. Regarding to the average amount of leisure time of .PIR and non-PIR farmers' which is 4,6 hours per day; it is more efficient if it is used for household activities and consumption of time, specifically for recreation and social activities. On the other hand it will be more efficient for to use that time for work and household activities. Based on the above conclusion, there are some recommendations: change their behavior of time allocation of productive activities. Therefore the members of PIR local farmers' should be pushed up. According to the average time allocation for B, PIR farmers' are more active than non-PIR farmers'. The number of agribusiness diversification that positively influence the income level. To increase the working hour capacity of non-PIR farmers', we should enhance the diversification of business and the spending of leisure time. Participation of farmers in the information activity has positive impact in changing farmers perception on the meaningful (important) of time; it is reflected from farmers behavior in allocating their time. According to the correlation of farmers time allocation patterns and type of certain agribusiness, the information activities given to the farmers on time and on the right target, the informants should consider to the patterns of time allocation of farmers type of agribusiness. Leisure time is the right time to give information to farmers.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwiyoto
Abstrak :
Sistem perladangan merupakan adaptasi terbaik dari masyarakat yang tingkat teknologinya sederhana. Sistem perladangan ini dapat dipertahankan selama penduduk masih sedikit dan hutan tersedia, namun sekarang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan pertanyaan : Mengapa sistem perladangan di Bengkulu mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup ? Apakah batas secara teknis dari kawasan hutan lindung yang ada sekarang sudah memadai ? Penelitian ini mengajukan dua hipotesis. (a) Terlalu besarnya jumlah penduduk yang bergantung pada bidang pertanian kecil, memaksa sebagian penduduk menggunakan tanah di kawasan hutan lindung sehingga mengakibatkan kerusakan hutan. (b) Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung di Kecamatan Kepahiang belum memadai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang mengakibatkan kerusakan hutan dan mengetahui batas secara teknis yang sesuai dari kawasan hutan lindung. Variabel bebasnya adalah penggunaan tanah, yang mempengaruhi kerusakan hutan sebagai variabel tidak bebas. Responden berjumlah 127 kepala keluarga, dan data dikumpulkan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan. Sampel kesuburan tanah diambil di wilayah berlereng 15%-40% dan lebih dari 40%. Data penggunaan tanah dan kemampuan tanah berasal dari Badan Pertanahan Nasional. Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dan data peta dianalsis dengan pendekatan analisis wilayah melalui teknik Overlay, kemudian keseluruhan data dikorelasikan. Temuan hasil penelitian ini yang penting adalah bahwa sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang dilakukan dengan membuka hutan primer dan luas tanah garapan 2,61 hektar tiap keluarga serta laju perluasan 0,49 hektar tiap keluarga tiap tahun. Daya dukung lingkungan yang ada sudah terlampaui sehingga sistem perladangan ini tidak dapat dipertahankan. Di samping itu, sifat berpindah-pindahnya bidang tanah garapan dengan mencari hutan primer mengakibatkan kerusakan hutan. Orientasi usahatani penduduk adalah perkebunan kopi, di mana penggarapan tanah wilayah berlereng lebih dari 40% menyebabkan terjadinya penurunan kandungan N,P,K dan pH. Penggarapan di kawasan hutan lindung merupakan akibat terlalu besarnya jumlah petani yang bergantung pada tanah dan timbulnya lapar tanah karena meningkatnya kebutuhan petani. Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung menurut Tata Hutan Guna Kesepakatan, ternyata belurn memadai dan sebagian tanahnya digarap sebagai tempat usahatani. Batas secara teknis untuk kawasan hutan lindung meliputi 28.049 hektar, yang terdiri dari 15.202 hektar sebagai kawasan hutan lindung mutlak, dan 12.847 hektar sebagai daerah penyangga.
Shifting cultivation system is the best adaptation from community with simple level technology. The shifting cultivation system can be maintained as long as population are rare and forest are still available, however this system now results in environmental destruction, therefore rise the question: Why do the shifting cultivation system in Bengkulu cause the destruction of environmental? Is the present technical boundary of the protecting forest area appropriate? The research proposes two hypothesis: The large population that depends on small farming area, press forces the part of the population to cultivate the land in protecting forest area, that resulting forest destruction. Technical boundary from protecting forest area in Kepahiang Sub-district is not sufficient yet. The aims of the research are to get to know the causes of shifting cultivation system in Kepahiang Sub-district which result in forest destruction, and to know the appropriate technical boundary from protecting forest area. The independent variable of this research is land utilization that influences forest destruction as a dependent variable. The number of respondence are 127 head of household, and the data was collected by interviewing based on the questionnaire list, and soil fertility samples were taken from area of slope 15%-40% and more than 40 %. The data of land utilization and land capability were gained from "Badan Pertanahan Nasional". The data were analyzed by Kruskal-Wallis test, and the data of maps were analyzed by region analysis approach with Overlay technic, then all of the data were correlated. The important finding of this research is that the shifting cultivation system in Kepahiang Subdistrict is carried out by cultiving primary forest and cultivation area 2,61 hectare for each family with growth area 0,49 hectare each family every year. The present environmental carrying capacity is exceeded therefore this shifting cultivation system can not be maintained. In addition, the shifting cultivation system by looking for primary forest causes forest destruction. The orientation of the farmer's work is coffee plantation, which the area cultivation in slope region is more than 40%, causes the declining deposit of N,P,K, and pH. The cultivation_ in protecting forest area is the result of too large number of farmers that depend on land, and need of land because of the increase of farmer's need. Technical boundary of the protecting forest area according to "Tata Guna Hutan Kesepakatan" actually is not appropriate yet, and part of this land cultivated as farmer's work area. Technical boundary of this protecting forest area comprises 28.049 hectare, consists of 15.202 hectare as an absolute protecting forest area, and 12.847 hectare as a buffer zone.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermayulis
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini mencoba melihat dampak pembangunan terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Sumatra Barat, khususnya Kotamadya Padang, sehubungan dengan terjadinya perubahan (pergeseran) pola penguasaan dan pola penggunaan tanah. Penyelenggaraan pembangunan nasional bukan hanya merigakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan untuk mendirikan bangunan, melainkan juga menimbulkan kebutuhan akan aturan yang menertibkan penguasaan tanah. Telah diketahui bahwa nilai-nilai yang menjadi rujukan dalam manusia mengembangkan interaksi dengan 1ingkungannya tidak statis dan teknologi serta perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan demikian ada hubungan timbal balik antara sistem nilai dengan lingkungan. Karena itu kalau lingkungan permukiman berubah karena bencana alam atau karena perubahan manusia, pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan terhadap lingkungan, khususnya lingkungan hidup sosial yang terlihat dari timbulnya perubahan hubungan social. Pengertian perubahan hubungan sosial dalan kajian ini adalah suatu proses pergeseran berupa pengurangan, atau penambahan unsur-unsur sistem nilai baru dalam struktur hubungan kekerabatan. Perubahan hubungan sosial ini dapat terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat dan adanya adaptasi, penerimaan dan inovasi nilai-nilai baru sebagai akibat adanya interaksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kenyataan tersebut terlihat dalam masyarakat Kotamadya Padang, yang banyak dipengaruhi oleh timbulnya nilai baru tentang pemilikan dan pentingnya pemilikan tanah secara pribadi. Hal ini di samping disebabkan oleh diberlakukan dan diterapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, juga disebabkan oleh dilaksanakan pembangunan fisik tanah. Perubahan pengggunaan tanah dengan dilaksanakan pembangunan, secara langsung atau tidak akan manyebabkan terjadinya perubahan dalam penguasaan tanah telah mengalami perubahan, seperti halnya dalam struktur masyarakat. Namun ada yang beranggapan bahwa perubahan yang mendasar belum terjadi karena adanya hubungan dengan masyarakat lain yang mempnnyai latar belakang budaya yang berbeda. Sehingga mereka berusaha untuk mempertahankan identitas sistem budayanya, sebagaimana yang dikenal?.
ABSTRACT This research tried to study the impact of development towards community life, particularly in the kinship systems of West Sumatra Community, specifically and utilization pattern of land_ The implementation of national development have not only resulted in the increasing need of land for building constructions but it has also caused the need for regulations dictating land tenure. It is known that man's values of reference in developing interactions with the environment is not static but keep on growing in accordance with the growth of the community, technological advancement and environmental transformations that occurred. Thus, there is an interrelationship between the value system and the environment. Therefore, should the residential environment change due to natural disaster or man-made, then, eventually, it can influence the value system of the community concerned. Conversely, especially, it can cause changes towards the environment, especially the social living environment, manifested in the occurrence of changes in social relationship. The meaning of social relationship change in this study is the shifting process in the form of reduction or increase in the element of the new value system in the structure of kinship relationship. This social relationship changes can occur because of the presence and innovations of new values as a result of interactions with the community and the surrounding environment. Those facts can be seen in the community of Padang Municipality, which is greatly influenced by the presence of new values on ownership and its importance individually. This has occurred, besides the enactment and implementation of Act number 5 year 1960 and Government Regulations number 10 year 1961, due to the implementation of physical development of land as well. The changes in land utilization anda the implementation of development, directly or indirectly, will cause in land tenure. Several researchers are of the opinion that the Minangkabau Culture has experienced changes like it it the case in the structure of the community. However, there are others who are of the opinion that basic changes has not yet occurred, because of the presence of relationship with other communities that have different cultural backgrounds. Thus, they tried to defend the identity of its cultural system, as is recognized in ?.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaret Pardede Gauthama
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana partisipasi masyarakat khususnya daerah Kelurahan Palmeriam, Jakarta Timur dalam menanggulangi masalah sampah pmukiman di daerahnya, serta bagaimana peranan nasyarakat dalam pengelolaan sampah pemukiman tersebut di samping usaha pengelolaan yang telah dijalankan oleh Pemerintah dalam hal ini Dinas Kebersihan DKI Jakarta.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Robert C. Angel yang menyatakan bahwa faktor umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lama tinggal akan mempengaruhi partisipasi seseorang dalam melakukan kegiatan dilingkungannya maka penelitian ini mencoba untuk melihat apakah faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat itu sendiri dibatasi dalam bentuk keturut-sertaan masyarakat dalam kegiatan kebersihan, sikap spontanitas terbadap kebersihan di lingkungannya, kesediaan rnembayar iuran/retribusi sampah dan pemilikan tempat sampah.

Dari masalah tersebut di atas ditarik hipotesis pertama yang menyatakan bahwa pengelolaan sampah di daerah pemukiman seperti Kelurahan Palmeriam tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peranan dan partisipasi masyarakat. Sedangkan hipotesis ke dua adalah bahwa partisipasi masyarakat dalam penanggulangan masalah sampah di Kelurahan Palmeriam dipengaruhi oleh faktor umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lama tinggal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan sampah pemukiman di daerah tersebut dilakukan dalam suatu sistem operasional yang saling berkaitan yaitu antara partisipasi/swadaya masyarakat dan Pemerintah atau Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Tanpa partisipasi masyarakat usaha pengelolaan sampah pemukiman tidak dapat berjalan baik. Hal ini disebabkan kegiatan yang dilakukan Pemerintah belum dapat menjangkau sampai ke tingkat rumah tangga yang setiap saat menghasilkan sampah. Sebaliknya tanpa usaha Pemerintah pengelolaan sampah pemukiman tidak dapat berjalan karena usaha tersebut membutuhkan sarana, tenaga dan dana yang besar.

Faktor umur, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan lama tinggal ternyata tidak lagi mempengaruhi partisipasi masyarakat. Dari pengamatan dan wawancara yang lebih mendalam ternyata partisipasi masyarakat lebih banyak dipengaruhi oleh adanya motivasi yang diberikan oleh aparat Pemerintah (Lurah atau RT/ RW) baik motivasi yang bentuk himbauan akan pentingnya menjaga kebersihan, atau motivasi yang berbentuk instruksi untuk melakukan kegiatan-kegiatan kebersihan.

Langkah yang perlu ditempuh untuk membantu pengelolaan sampah pemukiman di Kelurahan Palmeriam adalah : (1) membangun tempat penampungan sampah (TPS) yang memadai dan memenuhi syarat kebersihan lingkungan sehingga daerah tersebut bersih dari pemandangan sampah yang bertumpuk terutama di beberapa jalan besar dan pinggir kali, (2) bantuan peralatan dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, (3) penambahan frekuensi pengangkutan sampah, (4) penerangan akan pentingnya lingkungan yang bersih dan sehat agar kesadaran penduduk akan kebersihan meningkat tidak hanya padsalingkungan di sekitar rumahnya tetapi di lingkungan yang lebih jauh lagi.

Pada penelitian yang lebih mendalam dengan mengadakan studi kasus ditemukan adanya tokoh masyarakat yang karena perilaku dan tindakannya membuat tokoh tersebut disegani oleh masyarakat dilingkungannya. Tokoh semacam ini diharapkan dapat dijadikan motivator/penggerak atau sebagai kader kebersihan yang dapat meningkatkan dan menyebar-luaskan kesadaran akan lingkungan yang bersih dan sehat kepada masyarakat.
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library