Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alvin Mohamad Ridwan
"Pendahuluan: Ataksia merupakan salah satu gangguan koordinasi gerakan otot sadar dan merupakan kelainan fisik namun bukan penyakit, meskipun kasusnya cukup jarang namun memiliki potensi dampak tinggi terhadap terjadinya disabilitas. Ataksia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor dan salah satunya adalah pajanan uap merkuri. Di Indonesia, terdapat sekitar 150.000 pekerja pertambangan emas skala kecil (PESK) yang berisiko terpajan merkuri, dan sampai saat ini belum ada penelitian yang secara spesifik menilai prevalensi ataksia terkait pajanan merkuri pada pekerja PESK dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Desain potong lintang digunakan dalam penelitian ini untuk mencari hubungan antara usia, kebiasaan merokok, kebiasaan konsumsi alkohol, konsumsi ikan, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja dalam PESK, dan terpajan pestisida. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner asesmen kesehatan populasi terpajan merkuri dari WHO UNEP dan pemeriksaan fisis ataxia of gait (walking).
Hasil: Berdasarkan hasil analisis multivariat, ditemukan bahwa faktor determinan terjadinya gangguan ataksia pada pekerja PESK adalah jenis aktivitas kerja yang bukan peleburan (p=0,018; RO:0,18; IK95%:0,05-0,71) dan terpajan pestisida (p=0,004; RO:8,26; IK95%:1,98-34,55). Faktor lain tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Didapatkan hubungan yang bermakna pada penelitian ini yaitu jenis aktivitas kerja yang bukan peleburan dan terpajan pestisida

Introduction: Ataxia is a disorder of coordination of conscious muscle movements and is a physical disorder but not a disease, although it is quite rarely found in everyday practice, but it has a high potential impact due to disability. Ataxia can be caused by various factors and one of them is exposure to mercury vapor. In Indonesia, there are around 150,000 artisanal small-scale gold mining (ASGM) workers at risk of exposure to mercury, and to date no studies have specifically assessed the prevalence of ataxia related to mercury exposure in ASGM workers and related factors.
Method: Cross-sectional design was used in this study to find out the relationship between age, smoking habits, alcohol consumption habits, fish consumption, working period as ASGM workers, type of activity working in ASGM, and exposure to pesticides. The instrument used was a health assessment questionnaire in the population exposed to mercury from WHO UNEP and physical examination of ataxia of gait (walking).
Result: Based on the results of multivariate analysis, there were found that the determinant factors of ataxia disorder in ASGM workers, namely the type of work activities that were not smelting (p = 0.018; RO: 0.18; IK95%: 0.05-0.71) and exposure to pesticides (p = 0.004; RO: 8.26; IK95%: 1.98-34.55). Other factors found no relationship that was statistically significant.
Conclusion: There were found significant relationships in this study, namely the type of work activities that were not smelting and exposed to pesticides."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anditta Zahrani Ali
"ABSTRAK
Pendahuluan: Prevalensi pasien dengan penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (HD) pada usia kerja cukup tinggi. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry 2017 terdapat 85,73% pasien dengan HD kronik berada pada usia produktif. Dengan menjalani HD, diharapkan sebagian besar pekerja masih dapat bekerja secara produktif. Di Indonesia belum terdapat studi mengenai status kerja pada pekerja dengan HD kronik. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui proporsi status kerja, pekerja yang menjalani HD, faktor-faktor yang berhubungan dan status kelaikan kerjanya
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Sebanyak 79 pekerja yang telah menjalani HD minimal tiga bulan diikutsertakan dalam penelitian. Data didapat dari wawancara umum, kuisioner Skala Kepuasan Kerja, rekam medis dan penilaian kelaikan kerja oleh dokter spesialis kedokteran okupasi.
Hasil: Proporsi pekerja dengan hemodialisis kronik yang tidak aktif bekerja lagi adalah 38%. Hanya 3,8% membuat keputusan untuk berhenti atau lanjut bekerja berdasarkan nasihat dokter. Status kepegawaian dan sektor usaha tempat kerja dan sektor usaha tempat kerja merupakan faktor determinan status kerja pada pekerja yang menjalani HD, dengan nilai p keduanya < 0,01. Proporsi pekerja yang tidak kerja namun laik kerja dengan catatan setelah dilakukan penilaian kelaikan kerja oleh dokter spesialis kedokteran okupasi adalah sebanyak 76,7%.
Kesimpulan: Sebanyak 38% pekerja yang menjalani HD kronik sudah tidak kerja. Faktor pekerjaan seperti status kepegawaian dan sektor usaha memengaruhi status kerja pekerja yang menjalani HD.

ABSTRACT
Introduction: The prevalence of End-Stage Renal Disease patients who need hemodialysis (HD) at productive age is quite high. Based on 2017 Indonesian Renal Registry data, 85.73% of of patients with chronic HD, are at productive age. With HD it is expected that most of the patients can still be actively engaged in their daily life, including work. In Indonesia no study exists on the work status of workers with chronic HD. This study aims to identify the proportion of work status, in workers receiving chronic hemodialysis treatment, its associated factors and their fit to work status.
Method: This study used a cross sectional study design. Seventy nine workers who are receiving HD treatment for at least three months were involved in this study. Data was gathered from questionnaires, Job Satisfaction Survey, medical records and Fit to Work Assessment by occupational medicine specialists.
Result: The proportion of workers with chronic hemodialysis who have stopped working is 38%. Only 3.8% of the respondents, made the decision to stay or stop working based on advise by the doctor. Employee status and work sector are determinants of work status in workers with chronic HD, with both p values <0.01. Results of Fit to Work Assessment showed, that 76.7% of those workers, who have stopped working are actually still fit to work with note.
Conclusion: Thirty eight percent of workers with chronic HD stopped working. Employee status and work sector are associated with employment status of workers who with chronic HD.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Joni Fiter
"Pendahuluan: Pekerja gilir memiliki risiko gangguan tidur akibat kerja gilir karena terganggunya irama sirkardian. Pemberian melatonin diyakini dapat mengatasi masalah ini. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas pemberian melatonin dalam mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir.
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Kriteria inklusi adalah RCT, tinjauan sistematis, pekerja gilir/pekerja malam dengan gangguan tidur, pemberian melatonin dan plasebo, dan hasil luaran gangguan tidur. Kemudian dilakukan telaah kritis dengan menggunakan kriteria yang relevan dari Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil: Telah dipilih dua artikel yang relevan dan valid. Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Liira J, dkk (2014) menyatakan bahwa total waktu tidur pada hari berikutnya pada kelompok melatonin adalah 24,34 menit lebih lama daripada plasebo. Total waktu tidur pada malam berikutnya pada kelompok melatonin adalah 16,97 menit lebih lama dari plasebo. Melatonin meningkatkan kewaspadaan selama kerja gilir malam. Tidak ada perbedaan efek samping antara plasebo dan melatonin. Sebuah RCT oleh Sadeghniiat-Haghighi K, dkk (2016) menyatakan bahwa efisiensi tidur melatonin secara statistik meningkat sekitar 2,96%. Latensi onset tidur melatonin membaik secara statistik sekitar 6,6 menit.
Kesimpulan: Melatonin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir, terutama untuk meningkatkan total waktu tidur. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan kualitas yang lebih baik.

Introduction: Shift workers have a risk of shift work sleep disorder because of circardian rhythm disturbing. Melatonin administration is believed to overcome this issue. The purpose of this evidence-based case report was to determine the effectiveness of melatonin to overcome shift work sleep disorder.
Method: The literature search was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Results: Two relevant and valid articles were included. A systematic review and meta-analysis by Liira J, et al (2014) states that total sleep time in the next day on melatonin group was 24.34 minutes longer than placebo. Total sleep time in the next night on melatonin group was 16.97 minutes longer than placebo. Melatonin increased alertness during the night shift work. The side effects were not differ between placebo and melatonin. One RCT by Sadeghniiat-Haghighi K, et al (2016) stated that sleep efficiency of melatonin was statistically improved about 2.96%. Sleep onset latency of melatonin was statistically improved about 6.6 minutes.
Conclusion: Melatonin can be considered as an option for overcoming shift work sleep disorder, especially for increasing total sleep time. Further researches with better quality are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Olieve Indri Leksmana
"Diketahui bahwa vaksinasi COVID-19 menurunkan angka kesakitan dan kematian, dan penurunan insiden dari infeksi SARS CoV-2 yang bergejala, namun fenomena yang ditemukan di berbagai negara adalah masih ditemukan infeksi SARS CoV-2 pada perawat yang telah divaksin walau dalam skala kecil. Perlindungan yang ditimbulkan oleh vaksinasi ini, dimediasi melalui interaksi yang kompleks antara imunitas bawaan, humoral, dan imunitas seluler karena itu kekebalan yang dibentuk pun sangat bervariasi dari individu satu ke yang lainnya dan dipengaruhi oleh berbagai faktor intrinsik dan ekstrinsik. Penelitian sebelumnya menyatakan stres menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan respon imun pada individu yang mendapatkan vaksinasi Pneumococcal Pneumoniae (p<0,03), Influenza (p =0,02) dan Hepatitis B (p <0.001). Stres kerja terus meningkat dan konstan diantara perawat pada kondisi pandemi COVID-19 dan angka kejadian COVID-19 didapat meningkat pada perawat dengan stres kerja (p<0,001). Stres kerja dapat memiliki hubungan dengan kejadian infeksi COVID-19 pada perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap.
Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi Sars- CoV-2 diantara perawat yang telah mendapatkan vaksin COVID-19 lengkap
Metode penelitian : Penelitian menggunakan metode cross-sectional dengan kuesioner daring, terdiri dari kuesioner data diri, faktor komorbid, data okupasi, dan kuesioner ENSS yang terdiri dari 5 skala likert. Analisis univariat dilakukan untuk seluruh variabel, dan analisis bivariat dilakukan untuk menentukan variabel bebas mana yang paling berpengaruh.
Hasil : Faktor stres kerja adalah faktor determinan untuk kejadian Infeksi Sars-CoV-2 pada populasi perawat yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap (OR = 1,5, 95% CI = 1,3 - 1,8; p <0,001fs). Faktor individu dan faktor lain dari pekerjaan, tidak ada yang menjadi faktor determinan terhadap kejadian infeksi Sars CoV-2 di antara perawat yang telah mendapatkan vaksinasi COVID-19 lengkap.

Introduction. During this pandemic era, nurses experienced a higher level of occupational stress and high exposure to COVID viruses at their workplace. This occupational stress could reduce their immune response, so they are more susceptible to COVID infection. This study aimed to understand the association between occupational stress and the incidence of COVID infection among completely vaccinated nurses (breakthrough infection).
Method. This was a cross-sectional study in which 161 nurses at the main referral hospital for COVID-19 in Pekanbaru were involved. We compare the incidence of breakthrough infections among nurses with high occupational stress and low occupational stress using the Extended Nursing Stress Scale (ENSS) questionnaire which were taken during February to April 2022. We also analyzed the individual and other occupational factors with the incidence of COVID breakthrough infections. Analysis was performed using fisher’s exact and chi-square bivariate analysis.
Results. A total of 17.4 % COVID-19 breakthrough infection was occurred in this study. Overall ENSS mean score is 58.39 (±30.56). About 49.7% of respondents with high occupational stress and the rest were low level. We found that high occupational stress is significantly associated with breakthrough infections (OR = 1.5; 95% CI : 1.3-1.8 p<0.001) among nurses. Individual factors such as age, gender, nutritional status, and marital status, as well as occupational-related factors, such as night shift and working unit, have no association with the breakthrough infection (p>0.05).
Conclusion. Occupational stress becomes the main contributor to infection among nurses who have been completely vaccinated. Thus, stress management is important to be enacted within the hospital to mitigate COVID infections on top of mandatory vaccination among healthcare workers. Future studies are needed to establish a robust connection between occupational stress in post-vaccinated nurses, particularly through thorough quantitative titer antibody assessment and prospective study method.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library