Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Wahyono
"Meningkatnya kasus-kasus kriminalitas dan bencana massal baik yang di akibatkan oleh atas maupun ulah manusia semakin memperkuat pentingnya penerapan ilmu kedokteran forensik. Pemeriksaan autopsi yang dilakukan terhadap korban akan sangat membantu pemecahan masalah tersebut. Korban yang diperiksa secara forensik bisa berupa mayat yang masih segar, sudah membusuk lanjut, hangus terbakar, berupa potongan tubuh atau berupa kerangka yang terkait kasus pembunuhan, kecelakaan maupun bunuh diri. Salah satu pemeriksaan forensik yang perlu dilakukan adalah identifikasi personal. Identifikasi adalah cara untuk mengenali jati diri korban. Prinsip identifikasi personal adalah membandingkan antara data antemortem dan data post mortem. Prinsip identifikasi adalah semakin banyak data yang terkumpul akan memperkuat identifikasi. Sedangkan data yang tidak sesuai akan menyingkirkan ekslusi)
Pada identifikasi dikumpulkan beberapa data yang meliputi data mengenai usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, ciri tertentu misalnya kelainan khas seperti cacat, patah tulang, penyakit tertentu, tahi lalat, tato, kelainan radiologis tertentu serta sidik jari DNA.
Tinggi badan merupakan salah satu data yang perlu dikumpulkan pada identifikasi personal. Perkiraan tinggi badan diperlukan agaar proses penentuan identifikasi menjadi lebih terarah. Proses perkiraan tinggi badan akan lebih sulit apabila mayat ditemukan dalam kondisi yang telah hangus terbakar atau hanya berupa potongan tubuh manusia. Angka kejadiaan ditemukannya mayat tidak utuh pada tahun 2002 - 2003 di Bagian Forensik FKUI adalah sebanyak 12 (dua belas) kasus, sedangkan pada tahun 2004 hanya sebanyak 5 ( lima) kasus. Pada semua kasus tersebut, semua korban berhasil diidentifikasi.
Dasar perkiraan tinggi badan pada mayat tidak lengkap adanya korelasi antara panjang bagian tubuh dengan tinggi badan. Perkiraan tinggi badan pada kasus - kasus tersebut dapat dilakukan dengan salah satu metode sebagai berikut :
1.Faktor multipikasi : bilangan yang menyatakan faktor pengali terhadap panjang bagian tubuh sehingga diperoleh tinggi badan.
TB= FMXT
2.Ratio porposi : bilangan yang menyatakan panjang bagian tubuh terhadap tinggi badan dalam bentuk prosentasi.
TB = 100 X T
T = panjang bagian Ratio tubuh
3.Rumus regersi : rumus yang menyatakan hubungan liner antara panjang tubuh dengan tinggi badan,
TB=aT +b
Berbagai metode perhitungan tinggi badan yang ada pada saat ini umumnya mengkaitkan tinggi badan dengan panjang tulang panjang atau bagian tulang panjang atau tulang vertebra.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baety Adhayati
"Penelitian ini membahas perubahan konsentrasi etanol pada darah jantung (BAC), isi lambung (SAC) dan rasionya (SAC:BAC) pada luka bakar derajat 4 untuk menilai difusi postmortem dari SAC ke BAC. Metode penelitian merupakan studi eksperimental pada tikus Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 2 kelompok (kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (luka bakar derajat 4)). Hasil dan diskusi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara BAC dan rasio SAC:BAC, sedangkan SAC pada kelompok perlakuan secara signifikan lebih rendah. Kesimpulannya, difusi postmortem etanol dari isi lambung ke darah jantung pada luka bakar derajat 4 dengan waktu terbakar dan postmortem interval yang singkat, kecil kemungkinan terjadinya.

This research studies the ethanol concentration changes in heart blood (BAC), stomach content (SAC) and its ratio (SAC: BAC) on 4th degree burn injury to determine the postmortem diffusion from BAC into SAC. The experimental study uses Sprague-Dawley rat, divided into 2 groups (control and treatment (4th degree burn injury)). The result and discussion show no significant difference between BAC and SAC: BAC ratio, while SAC on treatment group is significantly lower. The conclusion is ethanol postmortem diffusion from stomach content into heart blood on 4th degree burn injury with short burning duration and postmortem interval is unlikely to occur.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syarifah Hidayah Fatriah
"Latar Belakang: Hasil pemeriksaan dokter dalam bentuk visum et repertum mengandung derajat luka yang merupakan gambaran dari efek kekerasan atau penganiayaan sesuai dengan KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Tidak ada uraian/batasan yang jelas mengenai derajat luka sehingga kesimpulan yang dibuat oleh para dokter pemeriksa menjadi berbeda. Ketidakseragaman penentuan derajat luka dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban maupun pelaku tindak pidana.Tujuan: Menentukan kriteria luka ringan, luka sedang, dan luka berat.Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan rancangan Teori Grounded. Sampel penelitian adalah pakar hukum pidana, hakim, advokat, dokter forensik dan dokter forensik yang sekaligus sarjana hukum. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan Focus Group Discussion FGD . Penelitian dilakukan selama bulan September-Desember 2016. Teknik pengujian kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi.Hasil: Berdasarkan wawancara mendalam dan FGD didapatkan bahwa luka ringan tidak ada di dalam undang-undang yang dipakai di Indonesia. KUHP memiliki definisi mengenai aniaya ringan, dan penganiayaan. Luka sedang dapat dirumuskan sebagai bukan luka berat maupun luka ringan, dan kriteria luka berat dapat dirumuskan dari pengertian luka berat dalam pasal 90 KUHP.Kesimpulan: Luka terbagi menjadi dua yaitu luka berat pada pasal 90 KUHP dan luka sedemikian rupa pada pasal 360 KUHP ayat 2 . Luka berat disimpulkan dengan menyebutkan kondisi mediknya saja. Ada perbedaan pemahaman antara pakar pidana, hakim, advokat dan dokter forensik. Kata Kunci: Analisis Medikolegal, Derajat Luka, KUHP

"Background The result from the doctors rsquo examination can be written in a form of a medical report visum et repertum which includes the degree of the injury associated with the effect of the assault according to the National Criminal Code. There is still an unclear explanation on the degree of injury, which results in a variety of conclusions made by the physician examiner. Error in determining the degree of injury can cause injustice not only to the victim but also to the prepetrators of the crime.Purpose To determine mild, moderate and severe injury.Method This study is a qualitative study using grounded theory. The sample of this study were criminal law experts, judges, advocates, forensic doctor and also forensic doctors with a law degree. Data collection was by indepth interview and focus group discussion FGD which was done from September until December 2016. Triangulation is used to test the credibility of data.Result The results obtained from the indepth interview and FGD was that the description of a mild injury was not stated in the constitution used in Indonesia, there it is only stated the definition of assault and mild assault. A moderate injury is defined as an injury not categorized as a severe or mild injury, and the criteria a severe injury is defined from the definition of severe injury in the Criminal Code article 90.Conclusion The degree of injury is divided into two, a severe injury defined in the Criminal Code article 90 and an injury as stated in the Criminal Code article 360 paragraf 2 . The severe injury is conluded by stating the medical condition itself. There was a different understanding between law experts, judges, advocates and forensic doctors. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Made Ayu Mira Wiryaningsih
"Perkiraan saat kematian merupakan hal yang sangat penting terutama pada kasus forensik dan merupakan salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh penyidik. Penegakan perkiraan saat kematian pada pemeriksaan kedokteran forensik di Indonesia paling umum menggunakan parameter tanatologi (lebam mayat, kaku mayat dan perubahan suhu mayat). Parameter tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Berdasar belum ditemukannya penelitian terhadap lebam mayat, kaku mayat, dan penurunan suhu mayat pada iklim tropis di Indonesia, sehingga peneliti berharap dapat melihat ketiga perubahan tanatologi tersebut selama 24 jam postmortem untuk meningkatkan akurasi perkiraan saat kematian di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan menggunakan hewan coba tikus Sprague-dawley. Hasil penelitian menunjukkan fenomena lebam mayat yang hilang pada penekanan dipengaruhi oleh kadar hemoglobin dan hematokrit pada interval post mortem kurang dari 12 jam, ada tidaknya kaku mayat dipengaruhi terutama oleh suhu lingkungan, hilangnya kaku mayat pada iklim tropis dapat tumpah tindih dengan munculnya tanda-tanda pembusukan awal, serta penurunan suhu rektal tikus pada iklim tropis membentuk suatu kurva linear yang menurun mendekati suhu lingkungan hingga jam ke-6 postmortem, kemudian landai mengikuti pola perubahan suhu lingkungan. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat akurasi penentuan saat kematian, terutama pada kondisi iklim tropis, tidak dapat ditentukan oleh satu faktor saja, melainkan harus dipertimbangkan berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.

Estimation time of death is important in forensic cases and is one of the question that is often asked by police investigators. Livor mortis, Rigor mortis and Algor mortis are the main parameters used to do so. These parameters are influenced not only by internal factors but also by external factors. No study has been yet conducted to analyze these parameters in Indonesia tropical climate. The author hopes to see the changes in these parameters during the first 24 hours postmortem period, which in the end will help increase the accuration of estimating the time of death in a tropical climate. This study is an experimental study, using Sprague-dawley rats. The results of this study shows that: internal factors (hemoglobin and hematocrite) influence the blanching of livor mortis only in the first 12 hours postmortem, rigor mortis is majorly influenced by the ambient temperature and is often overlapping with the early decomposition and the decrease of rectal temperature in tropical climates will form a linear curve that slopes down in the first 6 hours postmortem before it follows the changes in ambient temperature. In conclusion, to increase the accuracy in estimating time of death, especially in tropical climates, can not be determined by a single parameter and has to consider internal and external factors also."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sofiana
"Pendahuluan: Terwujudnya sikap altruis dan voluntary pendonor merupakan tolok ukur keberhasilan pengelolaan transplantasi ginjal di Rumah Sakit dan diharapkan mampu mencegah adanya permasalahan etik dan hukum terutama masalah komersialisasi ginjal. Sikap altruis dan voluntary pendonor dinilai dalam bingkai kaidah dasar bioetika melalui wawancara, analisa dokumen dan observasi lapangan.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan observasi lapangan, analisa dokumen dan wawancara semiterstruktur. Sampel terdiri dari 3 pendonor unrelated dan 1 pendonor related yang telah menjalankan transplantasi ginjal di RSCM pada tahun 2018 dan bertempat tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Penelitian dilakukan di tempat tinggal pendonor atau di tempat sesuai dengan kesepakatan antara subjek dan peneliti dari bulan Oktober hingga bulan Desember tahun 2019.
Hasil: Pada penelitian ini, 2 dari ke-4 subjek yang merupakan pendonor ginjal related dan unrelated memenuhi gambaran altruis dan voluntary yaitu terdapatnya aspek empati, tanggung jawab sosial, meyakini keadilan dunia, kontrol diri internal dan ego yang rendah, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial seperti hubungan donor dengan resipien, yang diharapkan dari resipien, motivasi donasi, kualitas hidup, status sosial ekonomi, religi dan keterbukaan perihal donasi.
Kesimpulan: tidak semua pendonor ginjal unrelated di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2018 memiliki sikap altruis dan voluntary.

Introduction: The realization of altruist and voluntary attitudes of donors is a measure of the success of kidney transplant management in hospitals and is expected to be able to prevent ethical and legal problems, especially the problem of kidney commercialization. Altruist and voluntary attitudes of donors are assessed in terms of basic rules of bioethics through interviews, document analysis and field observations.
Methodology: This research is a qualitative research, using field observations, document analysis and semi-structured interviews. The sample consisted of 3 unrelated donors and 1 related donor who had performed a kidney transplant at the RSCM in 2018 and resided in the Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi regions.
Results: In this study, 2 of the 4 research subjects who are donors of related and unrelated kidneys have an altruist description that fulfills all five aspects namely the presence of aspects of empathy, social responsibility, belief in world justice, internal self-control and low ego, which are influenced by psychosocial factors such as donor relations with recipients, which are expected from recipients, donation motivation, quality of life, socioeconomic status, religion and openness about donations.
Conclusion: not all unrelated kidney donors at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2018 have altruistic and voluntary attitudes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Rafni Rafid
"Latar belakang: Memar merupakan salah satu kekerasan fisik yang paling sering terjadi. Akan tetapi, perubahan warna memar belum cukup untuk menentukan usia memar dan sering kali bukti adanya memar tidak terlihat dengan pengamatan langsung tanpa alat. Oleh sebab itu, peneliti ingin menilai kemampulaksanaan sumber cahaya alternatif (ALS) dalam memperkirakan usia memar. Metode: Penelitian eksperimental dengan teknik consecutive sampling dengan jumlah 20 memar pada orang dewasa berkulit sawo matang. Sampel yang memenuhi kriteria akan dibekam di lengan atas kiri dan kanan di bagian sisi dalam untuk induksi memar. Memar kemudian diamati sesaat setelah induki dengan pengamatan langsung tanpa alat dan pengamatan dengan sumber cahaya alternatif (ALS) dengan panjang gelombang 430-470 nm sampai memar tidak tampak lagi dengan ALS atau paling lama hari ke-28 pengamatan. Hasil: Di awal induksi, memar berwarna merah dan merah keunguan. Memar lalu berubah warna menjadi ungu, kuning, dan coklat seiring dari hari ke hari. Perbandingan luas memar ditemukan signifikan secara statistik pada hari ke-4, hari ke-5, hari ke-6, hari ke-7, hari ke-8 dan hari ke-15. Perbandingan ada dan tidaknya memar ditemukan signifikan secara statistik pada hari ke-7 dan pada hari ke-8. Median usia memar yang diamati secara langsung tanpa alat yaitu 6 hari sedangkan median usia memar yang diamati dengan ALS yaitu 8,5 hari. Perbandingan usia memar ditemukan signifikan secara statistik dengan nilai p<0,05. Kesimpulan: Penggunaan ALS dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dalam membantu melihat adanya memar dibandingkan dengan pengamatan langsung tanpa alat. Kata kunci: pengamatan langsung, sumber cahaya alternatif, usia memar, ukuran memar, warna memar

Introduction: Bruises are one of the most common forms of physical violence. However, the discoloration of a bruise is not sufficient to determine the age of a bruise and the evidence of a bruise is often not visible by direct observation without any tools. Therefore, the researcher aimed to assess the efficacy of alternative light sources (ALS) in estimating the age of bruising. Methods: Experimental study with consecutive sampling in tan-skinned adults. Twenty samples that meet the criteria will be cupped on the left and right upper arm on the inside for bruising induction. Then, bruises were observed after induction by direct observation without any tools and observation with an alternative light source (ALS) with wavelenght 430-470 nm until they were not visible with ALS or until the 28th day of observation. Results: Right after induction, the bruises were red and purplish in color. The bruise color then changes to purple, yellow, and brown as the day progresses. The comparison of bruise area was found statistically significant on the day-4, day-5, day-6, day-7, day-8 and day-15 observations. The comparison of the presence and absence of bruising was found to be statistically significant on day-7 and day-8 observations. The median age of bruising observed directly without tools was 6 days, while the median age of bruising observed with ALS was 8.5 days. The comparison of bruise ages was found to be statistically significant with p value <0.05. Conclusion: The use of ALS can provide a more accurate picture to see the presence of bruises compared to direct observation without tools. Keywords: alternative light source, bruise color, bruise age, bruise size, direct observation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arfiani Ika Kusumawati
"Latar Belakang: Kematian adalah siklus kehidupan yang mengakibatkan hilangnya berbagai hak dan kewajiban sosial serta hukum. Kematian akan dilaporkan secara tertulis pada surat keterangan kematian mencangkup semua informasi tentang kematian dan keterangan dokter secara terperinci termasuk didalamnya keterangan penyebab kematian. Surat keterangan penyebab kematian menjadi sangat penting karena berkaitan dengan hilangnya semua hak dan kewajiban yang dalam hal ini diatur oleh negara. Untuk itulah, penulisan surat keterangan penyebab kematian harus memenuhi unsur medis dan hukum.
Tujuan: Mengetahui perbedaan tujuan dan alur pikir penulisan sebab kematian dalam sudut pandang hukum dan medis serta untuk mengetahui strategi pemenuhan tujuan hukum dan medis penulisan sebab kematian.
Metode: Penelitian ini merupakan tipe kualitatif grounded theory, dan menggunakan teknik snowballing dalam menganalisa data. Penulisan sebab kematian dari segi hukum akan dilakukan grounded theory dari teori adekuasi yang akan menilai sufficiency dan relevancy, sedangkan penulisan sebab kematian dari segi medis akan dilakukan grounded theory terhadap teori patofisiologi.
Hasil: Berdasarkan hasil analisa, perbedaan tujuan penulisan sebab kematian didasarak pada dua standart yang berbeda; secara medis penulisan penyebab kematian didasarkan pada formulir merujuk ICD-10, sedangkan tujuan penulisan secara hukum adalah penulisan yang mencangkup sebab akibat dari proses kematian itu sesuai disiplin ilmu terkait. Penulisan sebab kematian menggunakan konsep urutan logic yang disesuaikan dengan teori patofisiologi untuk menentukan penyebab langsung kematian. Urutan yang digunakan pun seragam, dimana antar urutan satu dengan lainnya memiliki hubungan sebab akibat yang jelas. Sedangkan untuk hukum yang melihat dari segi teori pembuktian, dimana segala poin-poin yang ada di dalam sertifikat penyebab kematian adalah relevan, namun untuk seluruhnya menjadi sebuah sebab, harus memenuhi unsur sufficient berdasarkan bobotnya masing-masing. Adapun strategi untuk memenuhi tujuan hukum dan medis dalam penulisan sebab kematian adalah tercapainya unsur sufficienty, yakni unsur waktu dan urutan logik yang akurat sehingga pada akhirnya surat keterangan kematian yang ada dapat memenuhi kecukupan hukum dan medis secara utuh.
Kesimpulan: Perbedaan tujuan penulisan sebab kematian dari segi medis adalah berdasarkan aturan ICD-10, sedangkan dari hukum adalah kepastian hukum bahwa seseorang subyek hukum meninggal dan pembuktian penyebab kematian terkait dengan hak-hak hukumnya. Alur pikir medis menggunakan konsep urutan logik, sedangkan alur pikir hukum melihat dari segi teori pembuktian yang relevan namun untuk menjadi sebuah sebab memerlukan unsur sufficiency berdasarkan bobotnya masing-masing, sedangkan strategi pemenuhan tujuan hukum dan medis dalam penulisan sebab kematian adalah pemenuhan unsur sufficiency yakni unsur waktu dan urutan logik yang akurat.

Background: Death is the end of a life cycle in which different social and legal rights and duties are lost. It will be reported in writing on a death certificate which includes all information about death and a detailed doctor's statement, including a statement of the cause of death. The certificate of the cause of death is crucial since it pertains to the loss of all rights and duties, which in this case are regulated by the state. For this reason, writing a certificate of cause of death must meet medical and legal elements.
Aims: Knowing the contrasts between the legal and medical aims and trains of thought when writing a cause of death, as well as the strategies for achieving the legal and medical goals when writing a cause of death.
Method: This research was a qualitative-grounded theory study and used the snowballing technique in analyzing the data. Grounded theory from adequacy theory was applied to writing the cause of death from a legal perspective which will assess sufficiency and relevance while writing the cause of death from a medical perspective will receive grounded theory treatment for pathophysiological theory.
Result: The different purposes for writing the causes of death were based on two different standards, according to the results of the analysis: in the view of medical, the writing of the cause of death was based on the form referring to the ICD-10, while legally, the writing of the cause of death was based on writing that includes the cause and effect of the death process according to the related discipline. To discover the direct cause of death, the cause of death was written using the notion of a logical sequence that was applied to pathophysiological theory. The sequence used was also uniform, where between sequences, one another has a clear causal relationship. According to the proof theory, all of the points in the certificate of cause of death were significant, but for each of them to be a cause, they must fulfill sufficient elements based on their relative weights. The strategy for writing the cause of death that meets legal and medical objectives was to achieve adequate aspects, such as elements of time and exact logical order, so that the current death certificates may meet legal and medical adequacy as a whole.
Conclusion: From a medical standpoint, the goal of writing the cause of death is based on ICD-10 standards, however from a legal one, it is legal certainty that a legal subject dies, and demonstrating the reason for death is connected to his legal rights. The medical line of thought employs the concept of logical sequence, whereas the legal line of thought examines the relevant theory of evidence. However, to become a cause, each requires an element of sufficiency based on their respective weights, and the strategy for achieving legal and medical objectives in writing the cause of death is to satisfy the element of sufficiency, namely the element of time and accurate logical sequence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Octavianty
"Kedokteran Militer di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) memiliki peran dalam dukungan dan layanan kesehatan pada masa perang dan damai. Ancaman terhadap pertahanan yang tidak hanya berasal dari serangan agresor tetapi juga kondisi bencana alam. Layanan kedokteran forensik dan medikolegal merupakan suatu hal yang baru dalam instansi TNI AL, sehingga penelitian ini akan membahas potensi peranan dokter spesialis forensik dan medikolegal (Sp.FM) di instansi TNI AL dalam mendukung tugas pokok TNI AL, serta memetakan potensi risiko/konflik dalam pemberian layanan kedokteran untuk hukum (yandokkum) serta mitigasi konflik serta membangun imparsialitas dan independensi dalam tugas pelayanan. Sebagai penelitian kualitatif eksploratif dengan pendekatan grounded theory, data diambil dengan metode FGD dan wawancara mendalam terhadap pemangku kebijakan di level menengah dan pemangku kebijakan pusat. Hasilnya, didapatkan bahwa peran Sp.FM yang diharapkan dominan dalam pembuktian kasus perkara pidana, ternyata diutamakan untuk mendukung tata kelola kebencanaan melalui proses identifikasi. Peranan Sp.FM diharapkan dapat berkolaborasi untuk mengatasi konflik baik internal dari kedokteran militer dan antar matra di TNI, maupun eksternal dengan korps lain di TNI dan unsur di luar TNI melalui pendekatan multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin sehingga tujuan yandokkum di instansi TNI AL dapat terwujud.

Military Medicine in the Indonesian Navy (TNI AL) plays a crucial role in providing healthcare. Defense threats arise not only from aggressor attacks but also from natural disasters. Forensic and medicolegal services is a relatively new field within the Indonesian Navy. This study explores the potential role of forensic and medicolegal specialists (Sp.FM) in supporting the Indonesian Navy's primary duties, mapping potential risks and conflicts in providing forensic medical services, proposing conflict mitigation strategies, and ensuring impartiality and independence in service tasks. This is an exploratory qualitative study with grounded theory approach. Data was collected through FGDs and in-depth interviews with mid-level and top policymakers. The findings revealed that the role of Sp.FM, which was expected to be dominant in criminal case investigations, was primarily directed towards supporting disaster management through identification processes. The role of Sp.FM is anticipated to collaborate in addressing internal conflicts within military medicine, inter-service conflicts within the navy, and external conflicts with other corps and external entities. This can be achieved through comprehensive collaboration with multidisciplinary, interdisciplinary, and transdisciplinary approaches, ensuring that the objectives of medical services for legal purposes are met in the navy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fonataba, Anthon Gamaliel
"Latar Belakang: Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan yang terjadi pada pasangan maupun pada seluruh anggota keluarga yang tinggal dalam satu lingkungan rumah tangga. Tindakan KDRT mencangkup kekerasan fisik, kekerasan seksual, pelecehan psikologis, penelantaran, penyalahgunaan finansial dan tindakan lain yang bertujuan untuk mengontrol korban. Angka pelaporan kasus KDRT di Papua lebih rendah jika dibandingkan dengan pelaporan kasus KDRT di provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Rendahnya kasus KDRT ini memiliki dua arti, angka kasus KDRT di Papua rendah, atau berarti rendahnya pelaporan oleh korban karena berbagai alasan. Hal yang mungkin berpengaruh pada rendahnya pelaporan kasus ini diantaranya adalah rendahnya ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan dan budaya patriarki.
Tujuan: Mengetahui persepsi istri Papua terkait KDRT dan faktor yang memengaruhi pelaporan kasus KDRT di Papua.
Metode: Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan pendekatan fenomenologi melalui wawancara mendalam kepada perempuan asli Papua yang sudah menikah baik yang belum/pernah mengalami KDRT atau pernah menyaksikan kejadian KDRT.
Hasil: Sebagian besar subjek yang di wawancara pernah mendengar dan mengalami KDRT setidaknya sekali sejak menikah. Pemahaman atas KDRT masih terbatas pada kekerasan fisik dan verbal. Sebanyak 9 subjek yang di wawancara memilih tidak melaporkan kasus KDRT dengan alasan berupa menganggap masalah keluarga yang tidak perlu diceritakan, keadaan finansial keluarga yang bergantung pada suami, sayang kepada suami, takut akan keluarga suami dan tindakan KDRT yang dianggap masih ringan.
Kesimpulan:  Persepsi istri-istri Papua tentang KDRT masih terbatas pada kekerasan fisik dan verbal. Budaya Patriarki menjadi faktor sosiokuktural yang paling mempengaruhi pelaporan. Tingkat Pendidikan dan ketergantungan ekonomi menjadi faktor berikut yang paling sering dikemukakan oleh istri-istri Papua

Background: Domestic violence is an act of violence that occurs against a partner or all family members who live in the same household environment. Domestic violence includes physical violence, sexual violence, psychological abuse, neglect, financial abuse, and other actions aimed at controlling the victim. The reporting rate of domestic violence cases in Papua is lower compared to provinces of West Java and DKI Jakarta. The low number of domestic violence cases has two meanings, the number of domestic violence cases in Papua is truly low or it means low reporting by victims for various reasons. Factors that might influence the low reporting of these cases include low economic conditions, low levels of education and patriarchal culture.
Purpose: To find out the perceptions of Papuan wives regarding domestic violence and the factors that influence reporting of domestic violence cases in Papua.
Method: This research was conducted qualitatively using a phenomenological approach through in-depth interviews with married native Papuan women who had not/had experienced domestic violence or had witnessed incidents of domestic violence.
Result: Most of the subjects had heard of and experienced domestic violence at least once since getting married. Subjects’ comprehensions of domestic violence are still limited to physical and verbal violence. There where 9 subjects chose not to report cases of domestic violence for reasons such as considering it is a family problems that did not need to be discussed, the financial situation of the family being dependent on the husband, love for the husband, fear of the husband's family and acts of domestic violence that were considered minor.
Conclusion: Papuan wives' perceptions of domestic violence are still limited to physical and verbal violence. Patriarchal culture is the sociocultural factor that most influences reporting. Education level and economic dependence are the following factors most often mentioned by Papuan wives.
Conclusion: Papuan wives' perceptions of domestic violence are still limited to physical and verbal violence. Patriarchal culture is the sociocultural factor that most influences reporting. Education level and economic dependence are the following factors most often mentioned by Papuan wives.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Youga Balian Firdaus
"

Latar belakang: Cedera gigi traumatis (traumatic dental injury/ TDI) biasanya disebabkan oleh jatuh, kecelakaan, atau cedera. Trauma gigi pada praktiknya selalu dikategorikan sebagai luka derajat sedang tanpa mempertimbangkan klasifikasi dan jumlah gigi yang patah, padahal penentuan derajat luka dalam visum et repertum (VeR) penting karena mempengaruhi kompensasi bagi korban dan konsekuensi bagi pelaku. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi apakah patah gigi dapat dikelompokkan menjadi luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi.

Metode: Populasi penelitian adalah seluruh dokter spesialis forensik, dokter gigi, jaksa, dan pengacara di Jabodetabek. Sampel penelitian didapatkan melalui purposive sampling, yakni memilih narasumber yang ahli dalam bidang yang berkaitan dengan penelitian. Data dikumpulkan melalui focus group discussion (FGD) dan dianalisis menggunakan grounded theory.

Hasil: Penelitian menemukan bahwa derajat luka untuk patah gigi dalam VeR di Indonesia hampir selalu dianggap luka derajat sedang, tanpa mempertimbangkan jumlah dan klasifikasi gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat luka dapat dikategorikan sebagai luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi yang terlibat.

Kesimpulan: Derajat luka untuk patah gigi dalam VeR dapat dikategorikan sebagai luka derajat ringan, sedang, atau berat berdasarkan klasifikasi dan jumlah gigi yang terlibat.


Introduction: Traumatic dental injuries (TDI) are typically caused by falls, accidents, or injuries. In practice, dental trauma is often categorized as moderate injury without further consideration. However, the degree of injury in a visum et repertum (VeR) is crucial to determine the compensation for the victim and the consequences for the perpetrator. Therefore, this study aims to identify whether dental fractures can be classified based on the classification and number of fractured teeth.

Method: The study included all forensic specialists, dentists, prosecutors, and lawyers in the Greater Jakarta area (Jabodetabek). The sample was obtained through purposive sampling, selecting experts in fields relevant to the study. Data were collected through focus group discussions (FGD) and analyzed using grounded theory.

Result: The study found that the degree of injury for dental fractures in VeR in Indonesia is almost always considered moderate, without regard to the number and classification of teeth. The findings indicate that the degree of injury can be categorized as minor, moderate, or severe based on the classification and number of teeth involved.

Conclusion: The degree of injury for dental fractures in VeR can be categorized as minor, moderate, or severe based on the classification and number of teeth involved."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>