Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puspa Handayani
Abstrak :
ABSTRAK
Perbaikan gizi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, karena erat hubungannya dengan peningkatan derajat kesehatan, pertumbuhan jasmani, dan kecerdasan. Protein hewani diketahui memiliki kelebihan dibandingkan protein nabati, karena mengandung asam-asam amino esensial yang lebih lengkap den seimbang, lebih mudah dicerna dan diabsorpsi, sehingga nilai biologisnya lebih tinggi. Widya Karya Pangan dan Gizi III tahun 1983 (1), yang membahas keadaan gizi di Indonesia, mengusulkan angka kecukupan protein hewani sebesar 10 g/kapita/hari. Namun, pada pendataan Biro Pusat Statistik (BPS) 1985 (2) didapatkan konsumsi protein hewani masyarakat sebesar 8,22 g/kapita/hari atau 11,80 % konsumsi protein total. Jumlah ini masih jauh di bawah kebutuhan yang dianjurkan, yakni 20 % konsumsi protein total. Pada Widya Karya Pangan dan Gizi 1988 (3) target konsumsi protein hewani sebesar 15 g/kapita/hari atau merupakan 30 % seluruh kebutuhan protein yaitu sebesar 50 g/kapita/hari.

Data BPS 1985 menunjukkan bahwa 59,65 % protein hewani yang dikonsumsi berasal dari ikan, 34,94 % nya berasal dari ikan asin {21 % dari protein hewani berasal dari ikan asin).

Ikan diketahui mengandung protein yang mempunyai kualitas setara protein daging hewan lain, mengandung asam lemak tak jenuh lebih tinggi daripada daging, berserat halus, dan mudah dicerna. Oleh karena itu untuk meningkatkan konsumsi protein hewani, ikan asin merupakan salah satu pilihan. Ikan asin selain digemari masyarakat, secara ekonomis relatif terjangkau, dan produksinya memadai.

Di Indonesia pembuatan ikan asin dilakukan secara tradisional, yang pada umumnya dibuat dari ikan segar dengan menambahkan garam dapur (NaCl) sebanyak 25-30 % berat ikan, kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Di dalam proses pengolahan kadangkala ditambahkan garam sendawa sebagai pengawet (4). Garam sendawa mengandung kalium nitrat dan natrium nitrit, yang merupakan prekursor nitrosamin yang dikenal bersifat karsinogenik. Nitrosamin dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara nitrit dan senyawa amin pada daging ikan dan hewan lain {5-9). Reaksi nitrosasi dapat terjadi baik in vitro maupun in vivo (5-10). Hadiwiyoto dan kawan-kawan membuktikan bahwa penggunaan garam sendawa yang berlebih pada 'cured meat' menimbulkan senyawa nitrosamin dan reside nitrit (4). Christiansen dan kawan-kawan, dikutip dari Hadiwiyoto, membuktikan genggunaan 2000 'part per million' (ppm) garam nitrat pada sosis mengakibatkan terbentuknya senyawa nitrosamin (4). Penelitian Yu dan kawan-kawan (6,7) serta Tannenbaum dan kawan-kawan (11) menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish' yang juga dibuat secara tradisional dengan penggaraman dan pengeringan di bawah sinar matahari.

Beberapa penelitian menghubungkan konsumsi ikan asin dengan keganasan nasofaring (KNF). Penelitian Poirier dan kawan-kawan di 3 daerah dengan resiko tinggi KNF (Tunisia, Cina Selatan, den Greenland), menemukan adanya nitrosamin pada sampel makanan yang diawetkan, termasuk 'Cantonese-style salted fish'. Penelitian Yu den kawan-kawan menemukan adanya nitrosamin pada sampel 'Cantonese-style salted fish', dan adanya hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dengan timbulnya KNF di Hong Kong dan Guang-xi, Cina. Penelitian terhadap etnik Cina yang bermukim di California dan Malaysia juga menemukan hubungan bermakna antara konsumsi ikan asin dan timbulnya KNF. Pada penelitian eksperimental dengan tikus percobaan oleh Yu dan kawan-kawan yang diberi 'Cantonese-style salted fish' menimbulkan karsinoma daerah nasal atau paranasal {12). Penelitian lain {13) menyatakan adanya kaitan antara virus Epstein-Barr (VEB) dan konsumsi ikan asin merupakan penyebab utama timbulnya KNF.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sultan Buraena
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian. Lingkungan kerja yang tercemar dengan uap benzen dapat memberikan pengaruh, baik secara akut ( kecelakaan ) maupun secara kronis terhadap tenaga kerja yang terpapar. Pengaruh kronis dari keterpaparan uap benzen terhadap sistim hemopoitis telah banyak diketahui, namun pengaruhnya terhadap gambaran EEG masih sangat sedikit yang dilaporkan. Penelitian kros-seksional dilakukan terhadap 31 orang tenaga kerja pada pabrik ban di Jakarta yang mengalami pemaparan benzen antara 6 - 25 tahun, dengan usia antara 30 - 49 tahun. Gambaran EEG kelompok penelitian diatas diperbandingkan dengan gambaran EEG dari kelompok pembanding ( kontrol ) sebanyak 31 orang yang tidak mengalami pemaparan dengan usia antara 32 - 49 tahun. Untuk melengkapi informasi mengenai pengaruh benzen terhadap kesehatan tenaga kerja, pemeriksaan parameter lainnya juga diperiksa, yaitu pemeriksaan hematologis, SGPT / SGOT, urin dan feses rutin. Hasil dan kesimpulan. Proporsi tenaga kerja yang mengalami kelainan EEG ( 12,9 % ) yang bekerja pada lingkungan udara yang terpapar dengan benzen rata - rata 9,35 ppm ( jangkauan 1,3 - 26,6 ppm ) tidak berbeda bermakna dengan Proporsi tenaga kerja yang mengalami kelainan EEG ( 19,4 % ) yang bekerja pada lingkungan yang tidak terpapar dengan benzen. Selain M. C. V. ( = Mean Corpuscular Volume ), nilai nilai hematologis lainnya, nilai SGPT I SGOT, dan kandungan fenol dalam urin menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara ke dua kelompok tersebut. Kesimpulan dari penelitian ini ialah tingkat pemaparan uap benzen rata - rata 9,35 ppm tidak memberi pengaruh yang bermakna terhadap gambaran EEG tenaga kerja, akan tetapi tingkat pemaparan ini telah mempengaruhi sistim hemopoetik, yaitu mengakibatkan timbulnya makraeritrositosis secara bermakna. Tenaga kerja yang menderita kelainan EEG pada kelompok yang terpapar mempunyai korelasi dengan nilai abnormal SGPT dan SGOT.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rusli
Abstrak :
Scope and Method of Study: Typhoid and paratyphoid fever are still a major problem in developing countries viewed from epidemiological, laboratory, as well as clinical aspects. Reliable laboratory diagnosis is the blood culture. However, failure of the blood culture occurs, due to the bactericidal effect of blood (phagocytes, complement, and specific and nonspecific antibodies, among others). Microbiologists are challenged to improve the blood culture by adding sodium polyanethol sulphonate (SPS) in the media. SPS is capable to inactivate the blood bactericidal effect, is an effective anticoagulant, non-toxic to most pathogens, stable to high temperature, acid and alkaline solutions, and is water-soluble. The objective of this study is to compare bile culture plus 0.05% SPS to conventional bile culture for the growth of salmonella in blood. The result was evaluated by the rate of growth in both cultures after 1 minute, 4 hours and 12 hours (logarithmic phase). The number of organisms was calculated from growth on nutrient agar plates when the range-of growth were 30-300 colonies per 0.1 ml inoculum, and the dilution of both cultures. Findings and Conclusions: Fifty isolates representing five species of salmonellae has been tested and showed that the number of organisms per ml in the SPS bile culture was not significantly different compared to conventional bile culture. In conclusion, the SPS bile culture is the same as conventional bile culture for the growth of S. typhi, S. pa-atyphi A, B, C, and S. typhimurium in blood from healthy humans, with a blood-broth ratio of 1: 10.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58503
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Hartamto
Abstrak :
Hasil analisis semen yang dilakukan di Bagian Biologi FKUI dari-tahun 1975 - 1980 terhadap 1000 pasangan ingin anak (PIA) menunjukkan, bahwa 32,8% dari pasangan tersebut penyebab kegagalan memperoleh anak berasal dari pihak suami (28 ). Hasil penelitian yang tidak jauh berbeda telah didapatkan oleh Shane dkk (54 ) di Amerika Serikat. Di antara PIA tersebut ada sekelompok suami yang semennya termasuk golongan normozoospermia. Secara teoritis kelompok ini mempunyai kemungkinan keberhasilan yang lebih besar dalam menahasilkan konsensi dibandingkan dengan kelompok oligozoospermia. Penelitian yang dilakukan oleh Van Zyl (64 ) mebuktikan, bahwa kelompok ologozooepermia cenderung memiliki abnormalitas kromosom yang tinggi. Kecenderungan ini akan lebih nyata terlihat pada kelompok oligozoospermia berat. Akhir-akhir ini, dalam penanganan kasus-kasus infertilitas sering dilakukan tindakan inseminasi buatan dengan semen suami, atau dilakukan.fertilisasi in vitro yang diteruskan dengan transfer embrio ke dalam rahim isteri. Untuk kepentingan tersebut digunakan spermatozoa yang telah diisolasi atau dijaring dengan metode tertentu. Farris& Douglas (19 ); Amelar & Hotchiss ( 1 ), Berta Elliason & Lindholmer (15 ) menggunakan fraksi pertama dari "split ejaculate untuk inseminasi. Fraksi ini mengandung spermatozoa dengan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi-fraksi berikutnya. antuk keperluan yang sama Herman dkk.(30) serta Glass & Ericson (21) menggunakan teknik pencucian spermatozoa. Paulson & Polakoski (52) melakukan inseminasi dengan menggunakan spermatozoa motil yang telah dipisahkan dari serpihan-serpihan sel maupun spermatozoa immotil melalui proses penyaringan menggunakan "glass won". Di samping teknik-teknik yang disebutkan di atas, terdapat metode lain yang dapat digunakan untuk merjaring spermatozoa motil in vitro. Metode tersebut merupakan modifikasi migrasi spermatozoa ke getah serviks pada keadaan in vivo menggunakan medium tertentu sebagai pengganti getah serviks. Metode ini kemudian dikenal sebagai metode migrasi ke atas (swim up). Beberapa peneliti menggunakan beberapa larutan yaitu larutan Hams, Tyrode, dan nosphat buffer saline, telah membuktikan bahwa spermatozoa semen golongan oligozoospermia yang terjaring dengan metode swim up memiliki kualitas yang baik (12, 27, 35, 40).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Sukasediati
Abstrak :
ABSTRAK
Ruang lingkup dan cara penelitian : Sediaan teofilin oral biasanya diberikan setelah makan untuk mengurangi gangguan saluran cerna. Beberapa laporan menunjukkan bahwa makanan mempengaruhi pola absorpsi dan bioavalabilitas teofilin dari beberapa sediaan lepas lambat. Euphyllin retard, satu-satunya sediaan teofilin lepas lambat yang beredar di Indonesia, belum mempunyai data mengenai hal ini.

Penelitian ini dilakukan dengan disain menyilang, tersamar tunggal dan acak pada 10 orang sukarelawan, dalam keadaan puasa dan setelah makan. Darah diambil dari vena kubiti sebelum makan obat dan pada jam-jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10, 12, dan 24 setelah makan obat. Kadar serum teofilin diukur dengan cara enzyme-multiplied immunoassay tehnique {EMIT) dan digunakan untuk menghitung luas area kurva kadar teofilin dalam plasma terhadap waktu dari 0 sampai 24 jam (AUCO_24 jam) dan menentukan kadar puncak teofilin dalam plasma (Cmax) dan waktu untuk mencapai (tax).

Uji statistik t berkaitan digunakan untuk membandingkan AUCO_24 jam dan kadar serum pada berbagai waktu pengamatan dan uji Wilcoxon untuk data berkaitan digunakan untuk membandingkan Cmax dan tmax yang dicapai teofilin pada pemberian tanpa dan dengan makan .

Hasil dan kesimpulan: Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pola absorpsi dan bioavailbilitas Euphyllin dalam keadaan puasa berbeda dengan pemberian setelah makan. Pemberian Euphyllin retard setelah makan dibandingkan dengan pemberian pada perut kosong memperlihatkan :

a. AUCO-24jam yang lebih tinggi 83,5% (p = 0.02)

b. Kadar serum pada jam ke 4 sampai dengan jam ke 10 lebih tinggi 113.9 - 157.6% (p<0.01)

c. Cmax teramati lebih tinggi 138.5% (p < 0.02), sedangkan tmax tidak berbeda bermakna.

1986
Tpdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarso Brotosoetarno
Abstrak :
ABSTRAK
Demam tifoid dan paratifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman golongan Salmonella. Penyakit ini disebut pula demam enterik, tifus, dan paratifus abdomen. Paratifoid biasanya lebih ringan perjalanannya dan menunjukkan gambaran klinis yang sama seperti tifoid atau menyebabkan enteritis akut. Kedua jenis penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting, terutama di negara-negara yang sedang berkembang baik ditinjau dart segi epidemiologi, segi diagnosis laboratoriumnya serta kelengkapan dart laboratorium kliniknya. Hal ini berhubungan erat pula dengan keadaan sanitasi dan kebiasaan higiene yang kurang memuaskan.

Diagnosis demam tifoid ditegakkan atas dasar klinis dan ditopang oleh diagnosis laboratorium. Pemeriksaan jumlah leukosit pada penderita demam tifoid kurang dapat menyokong diagnosis kliniknya. Walaupun menurut literatur pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leukopenia tidak sering dijumpai. Pada sebagian besar kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada darah tepi masih dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit kurang dapat menyokong diagnosis klinis demam tifoid.

Sejak ditemukannya uji serologi Widal lebih kurang 80 tahun yang lalu, uji ini mempunyai nilai diagnostik yang tinggi dan masih luas dipergunakan di negara-negara yang sedang berkembang. Uji serologi ini didasarkan atas pemeriksaan adanya antibody dalam serum penderita akibat infeksi oleh kuman Salmonella. Tetapi akhir-akhir ini kegunaan uji serologi Widal masih banyak diperdebatkan oleh para ahli. Hal ini disebabkan adanya berbagai faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji Widal, antara lain : keadaan gizi penderita, nengobatan dengan antibiotika, pernah mendapat vaksinasi Typhus Paratyphus A-Paratyphus B ( TAB ) atau infeksi sebelumnya, saat pengambilan darah, dan sebagainya.

Dalam upaya untuk meningkatken perawatan penderita tersangka demam tifoid diperlukan suatu hasil pemeriksaan laboratorium sedini mungkin, untuk menyokong penegakkan diagno sis klinisnya. Adapun jenis pemeriksaan laboratorium yang dapat lebih menyokong diagnosis klinis demam tifoid adalah menemukan kuman Salmonella dengan cara mengisolasikannya dari darah, urin, tinja atau cairan badan lainnya. Frekuensi dapat ditemukannya kuman dari darah, urin, tinja ataupun cairan badan lainnya berhubungan dengan patogenesis penyakit. Pada permulaan penyakit lebih mudah ditemukan kuman dalam darah, baru pada stadium selanjutnya dalam tinja, kemudian dalam urin?
1985
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain Edward
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Enzim fosfatase alkali antara lain digunakan dalam teknik ?enzyme immunoassay?, untuk mengukur kadar sesuatu zat dalam cairan tubuh dalam jumlah yang sangat kecil. Dalam penelitian ini diusahakan isolasi dan pemurnian enzim fosfatase alkali dari E. coli. Identifikasi kuman dilakukan dengan agar Endo, agar darah, tes pewarnaan Gram, sifat-sifat biokimia, dan tes serologik. Untuk pemurnian enzim digunakan sonikator, kromatografi pertukaran ion dengan DEAE Biogel, dan kromatografi gel dengan Sephadex G-100. Kemurnian enzim diperiksa dengan elektroforesis pada membran selulosa asetat. Aktivitas enzim secara kuantitatif ditentukan dengan spektrofotometer, dan secara kuaLitatif dapat dilihat dengan agar substrat. Kadar protein diukur dengan metoda Lowry. Terhadap fraksi gel diteliti pengaruh suhu, pH, ion logam, dan jenis bufer atas aktivitas enzim. Demikian pula ditentukan nilai Km dan Vmax, serta reaksi hidrolisis tanpa dan dengan transfosforilasi. Hasil dan Kesimpulan: Kuman diidentifikasi sebagai E. coli non-patogen. Enzim diperoleh setelah fraksi gel dengan ,pemurnian 242 kali dan hasil 59%. Pada eLektroforesis ditemukan kadar protein enzim 52,8%. Enzim memiliki pH optimum 8,0, dan tidak stabil bila diinkubasi selama 1 jam diluar pH optimum. Aktivitas enzimeningkat secara Linier sampai suhu 45° C, dengan koefisien suhu 1,49. Enzim stabil pada inkubasi selama 20 menit pada suhu 25 - 45° C. Aktivitas enzim tidak dipengaruhi penambahan ion Mg dan Zn (0,01 M). Aktivitas meningkat dengan meningkatnya molaritas bufer, Vmax terbesar didapatkan dalam buffer Tris dan Km terkeciL pada bufer AMP. Reaksi hidrolisis dan transfosforilasi berlangsung pada bufer Tris dan AMP, sedangkan pada bufer glisin hanya terjadi reaksi hidrolisis.
Scope and Method of Study: The enzyme alkaline phosphatase is used among others in enzyme immunoassay, to enable the quantitation of a small amount of substances in body fluids. In this study, an attempt was carried out for the isolation and purification of the enzyme from E. coli. The bacteria was identified through culture on Endo and blood agar, Gram staining, biochemical tests, and serology. The bacteria were disrupted by ultrasonication, and the enzyme purified by ion exchange chromatography on DEAE Biogel followed by gel chromatography on Sephadex G-100. Enzyme purity was examined by electrophoresis on cellulose acetate. Enzyme activity was determined by spectrophotometry, and protein concentration was measured by the method of Lowry. The gel fraction was tested for the effect of pH, temperature, metal ion, and type of buffer. The Km and Vmax was measured, for hydrolysis with and without transphosphorylation. Findings and Conclusions: The bacteria was identified as non-pathogenic E. coli. After gel chromatography the enzyme was purified 242 fold, at 59%, yield. Electrophoresis revealed that the enzyme content was 52.8 %. The enzyme has a pH optimum of 8.0, and it was unstable on standing for 1 hour outside the pH optimum. Enzyme activity increased Linearly with temperature (to 45° C), with a temperature coefficient of 1.49. The enzyme is stable for 20 minutes at 5° - 45++ C, and the activity not influenced by Mg++ and Zn++ ions (0.01 M). The activity increased with increased molarity of the buffer, the highest Vmax was observed with Tris buffer, and the Lowest Km with AMP buffer. Hydrolysis and transphosphorylation occurred in Tris and AMP buffer, while in glycine buffer only hydrolysis was observed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahriyati Mulyadi
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1983
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salman Rodijat
Jakarta: Fakulitas Kedokteran Universitas Indonesia , 1998
T56900
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, W.S.
Abstrak :
ABSTRAK
Untuk menilai fungsi korteks adrenal serta status sumbu adrenal-hipotalamus-hipofisis, yang lazim dilakukan ialah penetapan kadar kortisol total dalam serum atau kortisol dan metabolitnya dalam sampel urin 24 jam. Dalam darah, sebagian besar kortisol terikat dengan protein plasma, hanya sebagian kecil yang bebas. Penetapan kadar kortisol bebas dalam serum merupakan cara yang lebih tepat, karena aktivitas biologik terdapat pada fraksi ini. Akan tetapi, penetapan kortisol bebas dalam serum memerlukan waktu yang lebih lama sehingga tidak cocok untuk pemeriksaan rutin. Untuk mengatasi kendala tersebut, beberapa peneliti menggunakan air liur sebagai bahan penelitian. Dilaporkan bahwa perubahan kadar kortisol dalam darah, selalu berkaitan dengan kortisol air liur. Pengamatan Hiramatsu menunjukkan, bahwa antara kortisol total dan kortisol bebas dalam serum, demikian juga antara kortisol bebas dalam serum dan kortisol air liur terdapat korelasi yang baik.

Kortisol di dalam darah mudah berubah. Banyak faktor, seperti suhu dingin, radiasi oleh sinar X, kerja fisik, infeksi oleh kuman, hipoglikemia, takut, nyeri dan faktor psikologik yang lain dapat meningkatkan kadar kortisol darah. Kortisol total dalam darah, juga dipengaruhi oleh kadar protein pengikat yang juga berubah oleh pengaruh beberapa obat, termasuk estrogen dan pil KB. Kortisol bebas kurang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.

Pemakaian air liur sebagai bahan untuk penetapan kadar kortisol lebih mudah dilaksanakan. Pengumpulan air liur lebih sederhana, noninvasif dan mudah diulang tanpa menimbulkan stres psikologis pada subjek yang diteliti. Konsentrasi kortisol air liur dapat diukur secara langsung, menggunakan "solid phase radioimmunoassay".

Tujuan penelitian ini ialah menentukan kadar kortisol dalam serum dan air liur dan kemudian membandingkannya dan melihat apakah antara keduanya terdapat korelasi linier. Apabila antara keduanya terdapat korelasi yang baik maka, air liur dapat digunakan sebagai bahan untuk penetapan.kadar kortisol.

Subjek yang digunakan pada penelitian ini adalah 36 mahasiswa PSIK-FKUI. Umur antara 20 - 37 tahun. Darah dan air liur dikumpulkan sekitar pukul 11 dan 14 WIB. Pengambilan darah dilakukan kira-kira 5 menit setelah air liur dikumpulkan. Air liur dan serum (yang dipisahkan dari -darah) disimpan pada suhu --20°C.Penetapan kadar .kortisol pada kedua sampel dilakukan dengan cara "solid.phase-RTA" menggunakan Kit RIA buatan DPC (Diagnostic Products Corporation). Prosedur dilakukan menurut petunjuk yang terdapat pada manual dalam 'Kit, kecuali sedikit modifikasi. Karena kadar kortisol dalam air liur sangat sedikit, perlu menggunakan kalibrator 0,25 dan 0,5 ug/dL. Kalibrator ini dapat diperoleh dari pengenceran kalibrator 1 ug/dL.

Kadar rata-rata kortisol -'dalam -serum-_dan air liur yang dikumpulkan pada pukul 11 WIB adalah, .berturut-turut 10,32 + 4,44 ug/dL dan 0,35 + 0,13 ug/dL dengan koefisien korelasi r = 0,32. Dalam serum dan air liur yang dikumpulkan pukul 14 WIB diperoleh, berturut-turut 7,79 + 3,16 ug/ dL dan 0,38 + 0,14 ug/dL dengan koefisien korelasi r=0,27. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa, antara kadar kortisol serum dan air liur tidak terdapat -korelasi. Namun, penelitian ini memperlihatkan bahwa kadar kortisol dalam air liur dapat diukur dengan "solid phase-RIA".

Masih diperlukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengurangi faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi hasil penelitian.
ABSTRACT
To Correlate Serum And Salivary Cortisol ConcentrationIn order to assess the adrenal cortex function and the status of the adreno-hipotalamo-pituitary axis, determination of total cortisol concentration in serum: or cortisol and its metabolite in the 24 hours urine sample is usually performed. Cortisol in blood is largely bound -.to plasma protein and only a small amount is in unbound fraction. Since this fraction has the biological activity, the determination of the unbound cortisol would be a preferable tool for the assessment. However, the determination of free cortisol in serum is time-consuming, and it is unsuitable for routine laboratory work. To overcome this problem, some authors used saliva as the working sample. It was reported that the variation of cortisol in blood is constantly related to salivary cortisol. Hiramatsu observed that there is an excellent correlation between total and unbound cortisol in serum and, accordingly between unbound cortisol in serum and cortisol in saliva.

The cortisol in blood is easily changed. Many factors, such as exposure to cold or X-radiation, physical exercise, bacterial infection, hypoglycaemia, fear, pain and the other psychological stresses could increase blood cortisol level. The total cortisol in blood is also influenced by the concentration of binding protein, which is altered by some drugs, including estrogens and oral contraceptive. The free blood cortisol is less affected by such factors.

Using saliva as working sample for cortisol determination is more easy to-:,perform. Collection of saliva is simple, noninvasive and it can be repeated easily without psychological stress to the subject. The salivary cortisol concentration can be measured directly by the solid phase radioimmunoassay.

The aim of this work is to determine serum and salivary cortisol concentrations and to investigate if there is a linear correlation between the results. If the correlation-is excellence;- the saliva can be used as a working sample for cortisol measurement.

The subjects for our work were 36 students of PSIK-FK-UI. Aged 20 - 37 years. Blood and saliva were provided by the subjects at about 11 AM and 14 PM. Blood sample were drawn at about 5 minutes after salivary collection. The saliva and sera (separated from the blood sample) were stored at -200C. The cortisol concentration in both samples were measured by the solid phase-RIA method, using RIA Kit obtained from DPC (Diagnostic Products Corporation). The procedure was accomplished as directed by a manual supplied in the Kit, with some modification. Since the salivary cortisol concentration is very low, it is necessary to use 0,25 and 0,5 ug/dL calibrators. These calibrators can be sup-plied by dilution of 1 ug/dL calibrator.

The mean cortisol concentration in serum and saliva collected at 11 AM, we found 10,32 + 0,44 ug/dL and 0,35 + 0,13 ug/dL, respectively- and:its correlation coefficient r = 0,32. In serum and saliva, collected at 14 PM, we found 7,79 + 3,16 ug/dL and 0,38 + 0,14 ug/dL, respectively, and its correlation coefficient r = 0,27. In this work we found that there is no correlation between serum and salivary cortisol concentration. Nevertheless; it was shown in this work that the solid phase-radioimmunoassay method can be used to determine of salivary cortisol concentration.

Further investigation is still needed to minimize the factors that might be affecting our result.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>