Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Firtanty Tasya Andriami Syahputri
"ABSTRAK
Latar Belakang: Rekonstruksi pada pasien Fournier Gangrene membutuhkan hasil yang baik secara fungsi dan estetik karena dapat mempengaruhi kondisi psikosologis pasien. Karena, penilaian penampilan estetik sangat subjektif, kami mengumpulkan data persepsi estetik pasien Fournier gangrene yang telah dilakukan prosedur STSG menggunakan Visual Analog Scale.
Tujuan: Mendapatkan data mengenai persepsi estetik terhadap pasien Fournier Gangrene
Metode: Residen bedah plastik, pasien Fournier gangrene dan pasangannya diberikan foto pasien Fournier gangrene yang telah menjalani prosedur STSG. Mereka memberikan nilai bedasarkan VAS. Kami menanyakan apakah ada keluhan tambahan pada pasien.
Hasil: Dari Januari 2011 hingga Agustus 2019, didapatkan 91 pasien Fournier gangrene di RSHS. Kami melakukan seleksi pada pasien menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi dan mendapatkan 11 pasien. Hampir semua pasien menyatakan bahwa hasil prosedur STSG secara estetik baik, mean 8,10 (SD 0,74). Sedangkan semua residen bedah plastik dan pasangan dari pasien memberikan nilai yang baik atas hasil operasi, mean 8,36 (SD 0,50) dan 8,22 (SD 0,62). Tidak ada pasien yang mengeluhkan keluhan tambahan setelah prosedur STSG.
Kesimpulan: Tiap kelompok penelitian memiliki latar belakang yang berbeda, namun didapatkan hasil persepsi estetik yang sama (baik) atas prosedur STSG tersebut.

ABSTRACT
Background: Reconstruction of Fournier Gangrene patient is required functional and aesthetic appearance for psychological reasons. However, aesthetic perfection varies greatly and depends on subjective perception.
Methods: Plastic Surgery residents, Fournier gangrene patients and their spouses are given the photos of patients after STSG. They made score based on VAS. We also asked for any complaints after the procedure.
Aim: Provide database regarding aesthetic perception of Fournier gangrene patient after STSG.
Result: From January 2011 until August 2019, there is 91 fournier gangrene patients at Hasan Sadikin hospital. We got 11 patients after selecting those using inclusion and exclution criteria. Almost all patients claimed that the aesthetic result after STSG procedure were good, the mean value were 8,10 (SD 0,74). While, all off the plastic surgery residents and the spouses of the patients argued that the aesthetic outcome of Fournier gangrene patients after STSG procedure were good. The mean value were 8,36 (SD 0,50) and 8,22 (SD 0,62). All of the patients didnt complaint any additional complaint.
Conclusion: While each subject group has different background, we got same aesthetic perception from all groups (good result)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdilla Ridhwan Irianto
"ABSTRAK
Latar belakang: Perkembangan terkini dalam pelayanan pasien luka bakar telah menurunkan angka mortalitas serta lamanya perawatan pasien di rumah sakit. Oleh karenanya, angka kesintasan pasien bukan lagi tolok ukur hasil akhir yang memadai, akan tetapi penilaian kualitas hidup telah menjadi aspek yang lebih utama. Burn Specific Health Scale Brief (BSHS-B) merupakan instrumen yang banyak digunakan dan divalidasi di banyak pusat pelayanan luka bakar dalam rangka evaluasi kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untu dapat menghasilkan sebuah instrumen yang telah terstandarisasi sebagai metode untu evaluasi kualitas hidup paskapelayanan luka bakar di Indonesia.
Metode: Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap: tahap penerjemahan dan tahap validasi. BSHS-B akan diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, sesuai dengan standar yang berlaku. Setelah didapatkan terjemahan yang telah disepakati, terjemahan ini akan digunakan pada uji coba validasi linguistik serta evaluasi validitas dan reliabilitas. Tahap validasi ini melibatkan 30 pasien luka bakar yang berbahasa Indonesia, yang mengisi Form BSHS-B versi bahasa Indonesia dan Short Form-36 (SF-36) versi bahasa Indonesia. Entri data dan analisis statistik dilakukan menggunakan program Statistical Package for Social Sciences versi 25.0 untuk Windows.
Hasil: Hasil Cronbach s alpha untuk versi Bahasa Indonesia BSHS-B adalah 0.852. Dengan didapatkan korelasi signifikan (Spearman s rho: 0,325 - 0,782) dalam analisis validasi criterion antara BSHS-B dengan SF-36 menunjukkan hasil yang sesuai dengan arah diharapkan yaitu korelasi positif. Domain fungsi berhubungan secara signifikan dengan aspek vitalitas dari SF-36, sedangkan Domain aspek kulit memiliki korelasi kuat dengan aspek kesehatan umum, kesehatan mental serta vitalitas. Domain afek dan hubungan memiliki korelasi sangat bermakna dengan aspek kesehatan umum, kesehatan mental dan aspek vitalitas, dan yang terakhir aspek pekerjaan berkorelasi siginifikan dengan aspek fungsi fisik, nyeri badan, kesehatan umum, vitalitas dan fungsi sosial dari SF-36.
Kesimpulan: Terjemahan bahasa Indonesia dari BSHS-B telah menunjukkan konsistensi internal dan validitas criterion yang memuaskan, yang sangat mendukung serta dianjurkan untuk diaplikasikan dalam praktik klinis secara rutin serta dalam penelitian internasional.

ABSTRACT
Background: Recent advancement in care of burned patients, many aspects have improved over the years. Decreased mortality and decreased length of hospital stay, have been truly outstanding and amazing. Therefore, survival is no longer a sufficient outcome measure, but quality of life (QOL) measurements are of prime importance. The Burn Specific Health Scale Brief (BSHS-B) is the most commonly used instrument used to evaluate burn survivors quality of life (QOL). This study aims to provide a standardized instrument for an evaluation method of after-burn care quality of life in Indonesia.
Methods: The study was conducted in two steps: translation and validation. The Burn Specific Health Scale-Brief (BSHS-B) translated from the English version into Bahasa Indonesia, carried out according to accepted standards. The first step of the process requires two forward translations of the English version of the questionnaire into Bahasa Indonesia by two certified translator and the scond step was to translate the reconciled Bahasa Indonesia version back into English. Once the translation has been reviewed, the preliminary translation will undergo linguistic validation, a pilot-testing. In order to test the validity and reliability of the Bahasa Indonesia version of the BSHS-B, 30 burn survivors Bahasa Indonesia speakers completed the BSHS-B and SF-36. Data entry and statistical analysis will be performed using the Statistical Package for Social Sciences version 25.0.
Results: The overall Cronbach s alpha value for the Bahasa Indonesia scale was 0.852. Significant correlations (Spearman s rho: 0,325 - 0,782) between the Bahasa Indonesia BSHS-B and the criterion measure, the SF-36, were in the expected direction. The function domain was significantly associated with the vitality aspects of SF-36, while the skin involvement domains correlated with the general health, mental health, and vitality. The affect and relationship domains significantly correlated with the general health, mental health, and vitality aspects, and lastly work domain correlates significantly with physical function, body pain, general health, vitality, and social function aspects of SF-36.
Conclusion: The Bahasa Indonesia translation of BSHS-B has shown satisfactory internal consistency and criterion validity, supporting its application in routine clinical practice as well as in international studies."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Sidik
"Latar Belakang: Sebagai rumah sakit rujukan nasional, divisi bedah plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, menangani banyak kasus anomali kongenital. Salah satu anomali bawaan yang paling umum adalah bibir sumbing dan langit-langit. Ada dua teknik yang paling banyak digunakan untuk mengoperasi pasien dengan bibir sumbing unilateral, yaitu teknik rotation-advancement oleh Gentur berdasarkan teknik Millard dan teknik Fisher. Penelitian ini akan membandingkan hasil estetika dari kedua teknik tersebut menggunakan sistem penilaian Asher McDade.
Metode: Tiga puluh dua pasien dengan bibir sumbing unilateral dioperasi oleh dua ahli bedah senior bersertifikat, menggunakan teknik rotation-advancement oleh Gentur atau teknik Fisher kemudian dilakukan pengambilan foto pasca operasi setidaknya 6 bulan setelah operasi. Empat penilai akan mengevaluasi pasien dengan sistem penilaian Asher-McDade untuk membandingkan hasil estetika dari kedua teknik operasi tersebut.
Hasil: Tidak ada perbedaan kelamin yang signifikan antara kelompok Gentur dan Fisher. Terdapat perbedaan yang signifikan dalam usia saat operasi antara kedua metode (p = 0,032) dimana pada teknik Fisher, operasi lebih sering dilakukan pada pasien dengan usia 3-6 bulan. Keandalan intra-penilai untuk skor keseluruhan memiliki kesepakatan yang baik pada penilai 1 (ICC = 0,672), dan kesepakatan yang sangat baik untuk penilai 2, 3, dan 4 (ICC = 0,842; 0,828; 0,883 secara berurutan). Keandalan antar penilai dalam skor keseluruhan memiliki nilai kesepakatan yang baik (ICC = 0,668). Berdasarkan penilai 2, 3, dan 4, tidak ada perbedaan skor Asher McDade yang signifikan antara dua kelompok (p = 0,221; 0,144; 0,472 secara berurutan).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan kesepakatan yang baik hingga sangat baik dalam reliabilitas intra-penilai dan kesepakatan yang baik dalam reliabilitas antar-penilai dalam mengevaluasi hasil estetika dari pasien yang dilakukan operasi perbaikan bibir sumbing. Tidak ada perbedaan hasil estetika antara metode Gentur dan teknik Fisher dalam perbaikan bibir sumbing yang dievaluasi oleh sistem penilaian Asher McDade.

Background: As a national referral hospital, Cipto Mangunkusumo Hospital, the division of plastic surgery has been treating many congenital anomaly cases. One of the most common congenital anomalies that can be found in the plastic surgery division are cleft lip and palate. There are two mostly used technique to operate patient with unilateral cleft lip. Rotation-advancement method by Gentur based on Millard technique and The Fisher technique repair. This study will compare the aesthetic outcome of those techniques using Asher McDade scoring system.
Methods: Thirty two patients with unilateral cleft lip operated by two senior board-certified surgeons, using rotation-advancement technique by Gentur and Fisher technique then took postoperative photographs at least 6 months after the surgery. Four observers will evaluate the patient with Asher-McDade scoring system to compare aesthetic outcome of those operation techniques.
Results: There is no significant differences between Gentur and Fisher groups in gender. There is a significant difference in age at repair between both method (p=0,032) with the Fisher method is predominantly done in the patient with age 3-6 month old. The intra-rater reliability for overall score has good agreement for rater 1 (ICC = 0,672), and excellent agreement for rate 2, 3, and 4 (ICC = 0,842; 0,828; 0,883 accordingly). The inter-rater reliability in overall score are in a good agreement (ICC = 0,668). based on the rater 2, 3, and 4, there are no significant Asher McDade score differences between two groups (p = 0,221; 0,144; 0,472 respectively).
Conclusion: This study shows a good to excellent agreement in intra-rater reliability and good agreement in inter-rater reliability between the observer that assess the aesthetic outcome for the cleft lip repair patient. There is no aesthetic outcome difference between Gentur s method and Fisher technique in cleft lip repair evaluated by Asher McDade scoring system.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Pudya Hapsari
"Background : In the long-term observation of autologous grafted cartilage grafts, it is hoped that the grafts will not experience atrophy and cell viability can be maintained, thereby preventing the possibility of irregular contours being formed. Based on the potential factors that determine the viability of the shredded cartilage grafts such as preservation of the perichondrium and the substance used to close the cartilage graft, this study aims to investigate the relationship between cartilage cell regeneration and degeneration in cartilage with intact perichondrium, perichondrium as covering substance. cartilage, and shredded cartilage without
perichondrium Methods: 18 chopped cartilage grafts were taken from the side of the auricular concha of the hycole rabbit and implanted into the subcutaneous sac in the posterior trunk region of the rabbit. Chopped cartilage grafts are divided into 3 groups, namely cartilage with an intact perichondrium on one side, perichondrium as a bone covering substance.
cartilage, and chopped cartilage without perichondrium. After 12 weeks of the implantation period, an analysis of the shredded cartilage graft was performed
macroscopically and microscopically through Hematoxylin and Eosin staining, as well as Mason Trichrome. The results of the examination were compared in the three groups. Results: There was no significant difference in the macroscopic examination of the shape, color, and contour in the three groups compared to post-implantation, it was found that the capsules that covered the chopped cartilage grafts were found. Viability in groups 1 and 2 was found to be higher than in group 3. Cell proliferation under the perichondrium was found evenly in groups 1 and 3, while in group 2 there was a spike in proliferation of young cells at the incision site. The perichondrium is the substance that surrounds the bone graft
Chopped cartilage showed moderate cartilage cell resorption and proliferation of young cells slightly below the perichondrium (11.5%)
Conclusion: The intervention of the perichondrium, both as a wrapping substance and as an adhesive on the chopped cartilage grafts, did not differ macroscopically. However, there was a significant difference in cell viability microscopically, which was characterized by
with differences in cell regeneration and degeneration.
Latar Belakang : Dalam pengamatan jangka panjang tandur tulang rawan cacah autolog, diharapkan tandur tidak mengalami atrophia dan viabilitas sel dapat dipertahankan, sehingga mencegah kemungkinan terbentuknya kontur irregular. Berdasarkan faktor-faktor potensial yang menentukan viabilitas tandur tulang rawan cacah seperti preservasi perikondrium dan substansi yang dipakai untuk menutup tandur kartilago, studi ini bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara regenerasi dan degenerasi sel kartilago pada tulang rawan dengan perikondrium yang intak satu sisi, perikondrium sebagai substansi penyelimut tulang rawan, dan tulang rawan cacah tanpa
perikondrium Metode: 18 tandur tulang rawan cacah diambil dari sisi concha auricular kelinci hycole dan dimplantasikan kedalam kantung subkutan pada regio trunkus posterior kelinci. Tandur tulang rawan cacah dibagi menjadi 3 group yaitu tulang rawan dengan perikondrium yang intak satu sisi, perikondrium sebagai substansi penyelimut tulang
rawan, dan tulang rawan cacah tanpa perikondrium. Setelah 12 minggu masa implentasi, dilakukan analisa tandur tulang rawan cacah secara
makroskopis dan mikroskopis melalui pewarnaan Hematoxylin dan Eosin, serta Mason Trichrome. Hasil pemeriksaan dibandingkan pada ketiga grup. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna pada pemeriksaan makroskopis bentuk, warna, dan kontur pada ketiga grup dibandingkan pasca implantasi, didapatkan kapsul yang menyelimuti tandur tulang rawan cacah. Viabilitas pada grup 1 dan 2 didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan grup 3. Proliferasi sel dibawah perikondrium didapatkan merata pada grup 1 dan 3, sedangkan pada grup 2 didapatkan lonjakan proliferasi sel muda pada sisi sayatan. Perikondrium sebagai substansi yang menyelimuti tandur tulang
rawan cacah didapatkan resorpsi sel tulang rawan sedang dan proliferasi sel muda yang sedikit dibawah perikondrium (11.5%)
Kesimpulan: Intervensi perikondrium baik sebagai substansi pembungkus maupun melekan pada tandur tulang rawan cacah tidak berbeda secara makroskopis. Namun terdapat perbedaan signifikan pada viabilitas sel secara mikroskopis, yang ditandai
dengan perbedaaan regenerasi dan degenerasi sel."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Gina Yunita Joice
"
Latar Belakang: Madu telah digunakan sebagai makanan dan obat-obatan di banyak negara sejak dahulu kala. Untuk tujuan pengobatan, madu juga digunakan dalam perawatan luka kronis dan kompleks. Telah banyak studi yang menyatakan fungsi madu dan efek yang menguntungkan selama perawatan. Luka kronis adalah luka yang gagal untuk melalui fase penyembuhan normal secara tepat. Studi ini merupakan studi dengan hewan percobaan yang membandingkan dua madu lokal dan madu Manuka untuk menemukan madu lokal yang memiliki efek yang lebih baik dalam perawatan luka kronis
Metode: menggunakan 36 hewan percobaan tikus dengan strain Sprague Dawley yang dibuat perlukaan pada bagian kulit punggung dan diberi bakteri Pseudomonas Sp. hingga luka memiliki gambaran sebagai luka kronis dan luka dirawat dengan Manuka Honey, Madu Murni Nusantara dan Java Honey. Evaluasi makroskopis dilakukan pada hari 0, 3, 5, 7, 10 dan 13 pasca perawatan dan pada hari 5 dan 13 pasca perawatan, hewan dinekropsi. Parameter yang diamati, luas luka, presentasi jaringan nekrotik, slough dan granulasi dievaluasi dengan aplikasi Image J dan dibandingkan diantara tiga kelompok perawatan madu.
Hasil: secara statistik, didapatkan perbedaan yang signifikan antara tiga kelompok perawatan madu pada parameter luas luka pada hari 3 – hari 0 (p=0.021) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.009) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.03) dan presentasi slough pada hari 3 – hari 0 (p=0.025) dengan analisa post-hoc didapatkan perbedaan signifikan antara Manuka Honey dan Java Honey (p=0.059) serta Madu Murni Nusantara dan Java Honey (p=0.008). Hari perawatan selanjutnya tidak didapatkan perbedaan signifikan pada semua parameter evaluasi makroskopis.

Kesimpulan: madu lokal dapat digunakan sebagai modalitas alternative pada perawatan luka kronis, seperti halnya Manuka Honey, namun dengan biaya rendah dan kemudahan mendapatkannya di pasaran.


Background: Honey has been used for food and medicine in many centuries and countries. For medicinal purposes, honey is used to treat chronic and complex wounds. There have been many reports stating its function and beneficial effect during treatment. A chronic wound is a wound that fails to progress through the normal phases of healing in an orderly and timely manner. This research is an experimental animal study comparing two local honey and Manuka Honey to find which has a better effect in chronic wound treatment

Methods: 36 rats, Sprague Dawley strain were had wounded at muscle based on the dorsum side and were given bacteria Pseudomonas Sp. until the wound has a chronic wound appearance and then treated with Manuka Honey, Madu Murni Nusantara, and Java Honey. A Macroscopic evaluation was observed on day 0, 3, 5, 7, 10, and 13 post wound treatment and on day 5 dan day 13 post wound treatment, the rats were euthanized. The observed parameters, wound area, presentation of necrotic tissue, slough and granulation were evaluated by Image J application and compared between the three honey treatment groups.
Result: Statistically, there was a significant difference between the three honey treatment groups on the wound area parameters on day 3 - day 0 (p = 0.021) with post-hoc analysis found a significant difference between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.009) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.03) and slough presentation on day 3 - day 0 (p = 0.025) with post-hoc analysis found significant differences between Manuka Honey and Java Honey (p = 0.059) and Madu Murni Nusantara and Java Honey (p = 0.008). The next day of treatment there was no significant difference in all macroscopic evaluation parameters.

Conclusion: Local honey can be used as an alternative modality for wound chronic treatment the same as Manuka Honey, but with low cost and easily available in the market.

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nandya Titania Putri
"Sumbing bibir dan lelangit adalah kelainan kongenital yang paling umum ditangani oleh bedah plastik. Teknik ortodonti dan orthofasial yang diaplikasikan untuk menangani masalah terkait lebarnya celah sumbing bibir dan lelangit bervariasi. Salah satu Teknik yang diaplikasikan di institusi kami adalah pemasangan nasoalveolar molding (NAM). Tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi dan membandingkan lebar celah alveolar dan palatum, dan perbedaan panjang celah alveolar pada cast intermaksila pada pasien dengan sumbing bibir dan lelangit satu sisi, sebelum dan sesudah NAM. Studi ini merupaka studi pre- post-, data diambil retrospektif. Seluruh cast intermaksila diambil dari pasien sumbing bibir dan lelangit satu sisi sebelum dan sesudah NAM di CCC Divisi Bedah Plastik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Terdapat 21 pasang cast intermaksila diinklusikan. Terdapat hubungan signifikan pada ukuran lebar interalveolar dan interspina sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Serta terdapat hubungan signifikan pada panjang alveolar sebelum dan sesudah NAM (p=0.00). Hubungan signifikan menunjukkan lebar interalveolar dan interspina berkurang, dan dapat mencapai arah yang diinginkan dengan menggunakan NAM.

Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies treated by plastic surgeons. Pre and postsurgical orthodontic and orthofacial techniques which have been applied to overcome the problems associated with wide unilateral cleft lip and palate (UCLP) are varies. One of technique that we use in our institution is nasoalveolar molding (NAM). The aim of this study is to evaluate and compare the cleft width of alveolar and palate, and the length of alveolar gap on the intermaxillary cast from the patient with unilateral cleft lip and palate, before and after NAM. The study is a prepost- study, the data was collected retrospective. Intraoral maxillary cast taken from all unilateral cleft lip and palate patients before and after NAM at CCC Plastic Surgery Divison Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 21 pairs of intermaxillary casts included. The results showed that the interalveolar and interspina width before and after NAM was significance (p=0.00). And also the correlation between interalveolar length before and after NAM was significance (p=0.00). The significance correlation of the intermaxillary casts showed all the interalveolar and interspina width could be reduced by NAM application and achieved the desired direction using NAM."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitha Christine
"Background: As the second most common congenital structural anomaly, CL/P may functionally disable children with regard to eating, drinking, speaking, breathing, and hearing. Psychosocial health issue is important in school-age children because by the
age of 7 years, children start to make judgments about physical attractiveness in their peers. This study aims to evaluate psychosocial problems in Indonesian cleft center school-age patients identified using CBCL/6-18 despite any surgical interventions. Methods: We conducted a cross-sectional study on patients’ parents from Bandung,
Indonesia from 2011 to 2016, have undergone CL/P associated surgeries in Bandung Cleft Center using the Bahasa Indonesia version of CBCL/6-18 questionnaire (administered orally by phone). The data was entered to the official ASEBA-Web
online calculator. We depicted the findings using descriptive statistics. Results: There were 104 patents who can be contacted from the Bandung Cleft Center surgery database from 2011 to 2016. The median age was 8 years old, 56.7% of them were male, and 73.0% of them has cleft of lip, gum, and palate. We found that the speech and appearance problem were not perceived on 36 patients (34.6%) after undergoing surgery. We found that 78,8% of the patients had below normal score in Activities scale, while 93.3% of the patient had normal score in the Social scale and 92.3% of the patient had normal score School scale. Seven patients (6.7%) scored Borderline or Clinical Range in the Problem Items section. Sixteen patients (15.4%) were noted for some of the Critical Items put in among the Problem Items checklist as a
red flag indicator. Conclusion: In this study, we found 6.7% of the school-age children population with
CL/P had psychosocial problems. As the Indonesian population is very diverse, a wider sample from all regions of Indonesia are necessary to give more complete understanding. The result of this study hopefully can shed some light in the long-term
psychosocial conditions of the CL/P children post-operatively and be a baseline for further studies and care in Indonesian cleft center

Latar Belakang: Sebagai kelainan kongenital struktural kedua paling umum, CL/P dapat menyebabkan gangguan fungsional dalam hal makan, minum, berbicara, bernapas, dan mendengar. Masalah psikososial menjadi penting pada anak usia sekolah
karena pada usia 7 tahun, anak mulai dapat melakukan penilaian daya tarik fisik pada teman sebayanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi masalah psikososial pada pasien usia sekolah di pusat sumbing Indonesia menggunakan CBCL / 6-18 setelah dilakukan intervensi bedah. Metode: Kami melakukan studi potong lintang pada orang tua pasien dari Bandung,
Indonesia dari tahun 2011 hingga 2016, telah menjalani operasi terkait CL/P di Bandung Cleft Center menggunakan kuesioner CBCL / 6-18 versi Bahasa Indonesia (diberikan secara lisan melalui telepon). Data dimasukkan ke kalkulator online resmi ASEBA-Web. Kami menguraikan temuan menggunakan statistik deskriptif. Hasil: Terdapat 104 pasien yang dapat dihubungi dari database operasi Bandung Cleft
Center dari tahun 2011 sampai 2016. Median umur adalah 8 tahun, 56,7% berjenis
kelamin laki-laki, dan 73,0% diantaranya mengalami celah bibir, gusi, dan lelangit.
Kami menemukan bahwa masalah bicara dan penampilan tidak dikeluhkan pada 36
pasien (34,6%) setelah menjalani operasi. Kami menemukan bahwa 78,8% pasien memiliki skor di bawah normal pada skala Aktivitas, sedangkan 93,3% pasien memiliki skor normal pada skala Sosial dan 92,3% pasien memiliki skor normal Skala Sekolah.
Tujuh pasien (6,7%) mendapat skor borderline atau clinical range di bagian Problem Items. Enam belas pasien (15,4%) dicatat untuk beberapa Critical ITems yang dimasukkan dalam daftar periksa Problem Items sebagai indikator bendera merah. Kesimpulan: Dalam penelitian ini ditemukan 6,7% dari populasi anak usia sekolah dengan CL/P memiliki masalah psikososial. Mengingat jumlah penduduk Indonesia
yang sangat beragam maka diperlukan sampel yang lebih luas dari seluruh wilayah
Indonesia untuk memberikan pemahaman yang lebih lengkap. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjelaskan kondisi psikososial jangka panjang pada anak CL / P
pasca operasi dan menjadi dasar untuk studi dan perawatan lebih lanjut di pusat
sumbing di Indonesia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadia Ayundya Duhita
"Latar belakang: Pada negara maju, terapi pada luka bakar mayor saat ini telah bergeser dari eksisi segera dan standur kulit menjadi eksisi bertahap dan penutupan luka sementara dengan xenograft, yang tidak tersedia di Indonesia. Saat ini, perawatan luka pada luka bakar masih menggunakan kasa jenuh paraffin-vaselin. Studi ini merupakan studi preliminary untuk clinical trial mengenai kulit ikan tilapia sebagai xenograft. Dilakukan evaluasi terhadap waktu yang diperlukan untuk mencapai dasar luka yang baik, frekuensi redebridement, dan frekuensi penggantian balutan.
Metode: Studi preliminary ini merupakan clinical trial terrandomisasi dengan kasa jenuh paraffin-vaselin sebagai pembanding, dengan analisis intention to treat. Sampel pada studi ini adalah ekstremitas atas atau bawah pasien luka bakar akut dewasa, usia 18-60 tahun, dengan luas area luka bakar 20-40%; yang terdapat luka bakar full thickness. Kedua sisi harus dapat dibandingkan, evaluasi luka dilakukan tiap kali dilakukan penggantian balutan.
Hasil: Total 7 sampel didapatkan dari 4 pasien. Tidak didapatkan adanya reaksi alergi pada semua subjek, baik berdasarkan klinis dan hasil laboratorium. Dua subjek meninggal dunia sebelum dilakukan penggantian balutan pertama, sehingga tidak dapat dilakukan evaluasi luka. Tidak ada perbedaan waktu untuk mencapai bed luka yang baik dan frekuensi redebridement antar kedua kelompok. Ekstremitas dengan balutan kulit ikan tilapia xenograft membutuhkan frekuensi penggantian balutan yang lebih sedikit secara signifikan.
Kesimpulan: Xenograft kulit ikan tilapia dapat digunakan sebagai dressing alternative pada luka bakar. Studi lebih lanjut sangat dibutuhkan.

Background: In developed countries, major burn treatment have shifted from early excision and skin grafting to staged excision and temporary coverage with xenograft, which were not available in our country. Paraffin-impregnated gauze is still utilized in most of our burn injury cases. Xenografts have been proven to be superior than non –biological dessings. This study was a preliminary to clinical trial of tilapia fish skin xenograft that we put together locally. We evaluated the efficacy based on reduction of time to well granulated wound bed, redebridement frequency and wound dressing change frequency.
Method: This preliminary study is a randomized clinical trial, with paraffin-impregnated gauze as the comparison, with intention to treat analysis. Samples of the study were upper or lower limb pairs of adults, aged 18-60 year old, acute burn patients with total body surface area of burn ranged from 20-40%; which contains full thickness burn. The injury on both sides of the lim pairs have to be comparable. The wound was evaluated every time the dressing was changed.
Result: Total of 7 samples were obtained from 4 subjects. There was no evidence of allergic reaction on all subjects , either clinically or from laboratory examinations. Two subjects passed away before the first dressing change, thus the wound cannot be evaluated. There was no difference in time to well granulated wound bed and redebridement frequency between groups. Limbs treated with tilapia fish skin xenograft significantly require less frequent dressing change.
Conclussion: The tilapia fish skin xenograft appears to be a legible alternative to paraffin impregnated gauze. Further study is strongly advised.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Danila
"Latar Belakang: Penelitian luas dalam literatur sosial dan psikologi tentang reaksi terhadap daya tarik fisik menunjukkan dampak signifikan terhadap harga diri dan kesejahteraan individu. Dalam praktik estetika, keberhasilan prosedur terutama ditentukan oleh kepuasan pasien, yang hanya dapat dinilai secara akurat oleh pasien itu sendiri. Hal ini mengharuskan klinisi untuk mempertimbangkan perspektif pasien saat mengevaluasi hasil prosedur. FACE-Q© Aesthetics adalah alat penilaian yang divalidasi secara psikologis untuk individu yang menjalani prosedur estetika, mencakup tiga domain: penampilan wajah, kualitas hidup, dan efek samping. Menerjemahkan kuesioner pasien yang dilakukan sendiri untuk berbagai negara dan budaya, terutama di negara multikultural seperti Indonesia, memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi target. PenerjemahanFACE-Q© Aesthetics ke dalam bahasa Indonesia menekankan proses validasi lintas budaya, dengan mempertimbangkan perbedaan pemahaman bahasa dan perbedaan sosio-kultural selama fase cognitive debriefing.
Metode: Kuesioner ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mengikuti pedoman terbaik dari International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) melalui empat tahap. Selama proses penerjemahan dan diskusi, fokus diberikan pada memastikan kesetaraan antara versi asli dan versi Indonesia dalam empat aspek: kesetaraan semantik (mempertahankan makna), kesetaraan idiom (mengadaptasi ungkapan idiomatik), kesetaraan empiris (menggunakan istilah yang relevan secara budaya), dan kesetaraan konseptual (memastikan konsistensi makna lintas budaya). Wawancara cognitive debriefing dilakukan untuk menilai pemahaman pasien dan kesesuaian budaya dari kuesioner yang diterjemahkan. Proses penerjemahan mencakup 39 skala dan 315 item pertanyaan, melewati proses ketat penerjemahan–ulang– penerjemahan, serta wawancara cognitive debriefing pada pasien berusia 18-75 tahun yang menjalani prosedur estetika oleh ahli bedah plastic minimal satu minggu setelah prosedur. Wawancara bertujuan memastikan kuesioner yang diterjemahkan mudah dipahami, relevan secara budaya, dan mempertahankan makna yang dimaksudkan dari instrumen asli. Tanggapan peserta tentang pemahaman bahasa dan relevansi sosio- kultural dikumpulkan dan dianalisis.
Hasil: Studi ini melibatkan 38 peserta dan wawancara menunjukkan bahwa hampir semua peserta memahami versi bahasa Indonesia dari kuesioner FACE-Q© Aesthetics. Permasalahan yang ditemui meliputi masalah tata bahasa, makna yang ambigu, makna ganda, kata yang mirip, dan ketidakbiasaan dengan pengalaman subjektif, dengan sedikit penyesuaian yang diperlukan untuk kesesuaian budaya. Pasien mengonfirmasi bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan pengalaman estetika mereka dan secara efektif menangkap kepuasan mereka terhadap hasil dan kualitas hidup. Istilah dan frasa utama disesuaikan untuk menyesuaikan dengan nuansa sosio-kultural Indonesia, memastikan integritas konseptual instrumen tetap terjaga.
Kesimpulan: Dengan mengintegrasikan umpan balik dari wawancara cognitive debriefing, kami memastikan bahwa versi Indonesia dari kuesioner ini sesuai secara budaya dan siap digunakan dalam praktik klinis. Artikel ini memberikan penjelasan rinci tentang prosescognitive debriefing, menyoroti perannya yang penting dalam mengadaptasi kuesioner untuk budaya beragam di Indonesia.

Background: Extensive research in social and psychological literature exploring reactions to physical attractiveness reveals a statistically significant impact on individuals' self-esteem and overall well-being. In aesthetic practice, the success of a procedure is primarily determined by patient satisfaction, which can only be accurately assessed by the patients themselves. This requires clinicians to consider their perspectives when evaluating procedural outcomes. FACE-Q© Aesthetics is a psychologically validated assessment tool for individuals undergoing aesthetic procedures, covering three domains: facial appearance, quality of life, and adverse effects. Translating self-administered patient questionnaires for different countries and cultures, especially in a multicultural country like Indonesia, requires careful consideration to ensure equivalence between the original and target versions. The translation of FACE-Q© Aesthetics into Indonesian emphasizes a transcultural validation process, considering variations in language comprehension and socio-cultural differences during the cognitive debriefing phase. Method: The tools were translated into Indonesian following best-practice guidelines by the International Society for Pharmacoeconomics and Outcomes Research (ISPOR) and took place in four stages. During translation and discussion, emphasis was placed on ensuring equivalence between the original and the Indonesian version in four areas: semantic equivalence (maintaining meaning), idiom equivalence (adapting idiomatic expressions), empirical equivalence (using culturally relevant terms), and conceptual equivalence (ensuring consistent meanings across cultures). Cognitive debriefing interviews were conducted to assess patient understanding and cultural appropriateness of the translated questionnaire. The translation process involved 39 scales and 315 question items, underwent a strict translation–back–translation process, and included cognitive debriefing interviews among patients aged 18-75 who had aesthetic procedures by a plastic surgeon in a leading aesthetic clinic at least one-week post-procedure. The interviews aimed to ensure that the translated questionnaire is easily understood, culturally relevant, and maintains the intended meaning of the original instrument. Participants' feedback on language comprehension and socio-cultural relevance was collected and analyzed. Result: This study involved 38 participants and the interviews showed that almost all participants understood the Indonesian version of the FACE-Q© Aesthetics questionnaire, Issues encountered included grammatical problems, ambiguous meanings, multiple meanings, similar words, and unfamiliarity with subjective experiences, with minimal adjustments needed for cultural appropriateness. The patients confirmed that the questions were relevant to their aesthetic experiences and effectively captured their satisfaction with outcomes and quality of life. Key terms and phrases were adapted to suit Indonesian socio-cultural nuances, ensuring the instrument's conceptual integrity was maintained.
Conclusion: Through incorporating feedback from cognitive debriefing interviews, we have ensured that the Indonesian version of the questionnaire is culturally appropriate and ready for use in clinical practice. This article provides a detailed account of the cognitive debriefing process, highlighting its critical role in adapting the questionnaire for Indonesia's diverse culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jeihan Nabila Fadel Muhammad
"Pencarian dalam melakukan uji biokompabilitas terhadap material bioabsorbable dan osteofixation dilakukan, namun hingga kini banyak penelitian yang dilakukan tidak mengikuti standarisasi yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi terhadap uji biokompabilitas yang telah dilakukan sebelumnya. Pencarian database terhadap scoping review dilakukan di PubMed, Embase and Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), dengan PRISMA-ScR guidelines digunakan dalam metodologi pemilihan literatur. Terdapat 26 penelitian masuk dalam inklusi penelitian, dengan metodologi animal study. Uji biokompabilitas yang tersedia untuk implant material biabsorbable yaitu uji cytotoxisitas, uji sensitisasasi, uji iritasi, systemic toxicity,uji genotoksisitasy,uji implantasi, dan uji hemokompabilitas, ditemukan hanya satu penelitian yang melakukan seluruh uji biokompabilitas, namun tidak adanya hewan kontrol dalam penelitian tersebut. Uji implantasi dilakukan oleh seluruh studi, yang melakukan evaluasi terhadap reaksi inflasmasi, penyembuhan tulang, dan degradasi implan. Hanya tiga penelitian yang menggunakan International Standard Operation (ISO), sebagai acuan dalam prosedur uji biokompabilitas.

The quest of performing biocompatibility study for biodegradable material remains to be abstruse. Numerous studies have been conducted to investigate the biocompatibility of a biodegradable material for bone fixation devices. However, they rarely follow any known standard, which might make it difficult to compare, draw a conclusion, or to extrapolate the data. Therefore, this study aims to evaluate the biocompatibility tests performed in those studies in order to take note of their underlying concept and present the key points investigated. Database search of PubMed, Embase and Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL) was conducted, and PRISMA-ScR guideline was used. Twenty-six studies were included in the review, and all of the studies utilize animal preclinical model as their biocompatibility assessment. Among the biocompability test are cytotoxicity, sensitization, irritation, systemic toxicity, genotoxicity, implantation, and hemocompatibility test. It was found that only one study performed all of the biocompatibility tests, however this study did not provide comparative animal control. Most of the studies conducted implantation test, evaluating inflammatory reaction, bone healing, and implant degradation. Only three studies referred to International Standard Operation (ISO) for conduction biocompability test. Although renowned standardization bodies such as ISO has published an international standard on biocompatibility studies, it was found that most researches were not able to thoroughly follow the standard."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>