Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ali Akbar
"Sudah sejak lama diketahui bahwa Jakarta dan sekitarnya banyak terdapat temuan prasejarah seperti tembikar, terakota, beliung persegi, batu serpihan, batu asahan, gelang batu, manik-manik, alat logam, cetakan logam, dan lain-lain. Temuan-temuan tersebut berasal dari penduduk yang umumnya diperoleh di sawah atau ladang mereka. Berdasarkan informasi penduduk itulah maka lokasi temuan dapat diketahui. DMS DKI Jakarta dan PUSLITARKENAS kemudian melakukan penelitian berupa survei dan ekskavasi. Namun, tidak semua lokasi temuan telah diteliti baik berupa survei maupun ekskavasi. Bahkan sebagian besar temuan hasil penelitian arkeologi tersebut, kini tidak dapat dilacak lagi keberadaannya.
Atas dasar itulah, penelitian ini berusaha memilah lokasi-lokasi temuan prasejarah di wilayah ini. Lokasi-lokasi temuan dibagi ke dalam dua kategori yaitu situs permukiman dan bukan situs permukiman. Hasil pemilahan menunjukkan hanya 7 dari 39 lokasi temuan yang dapat dikategorikan sebagai situs permukiman. Kemudian, dari 7 situs permukiman tersebut hanya 4 situs yang temuannya dapat dilacak kembali keberadaannya, yaitu situs Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni.
Hasil analisis menunjukkan bentuk-bentuk tembikar yang ada adalah periuk, tempayan, cawan, cawan berkaki, piring, pasu, dan kendi. Teknik pembentukannya adalah teknik tangan, sambung, tatap pelandas, dan roda pemutar. Tahap penyelesaian akhir menggunakan pengupaman, pemberian slip warna merah, dan memberikan hiasan. Hiasan dihasilkan dengan teknik gores, tatap pukul, tekan, gabungan antara teknik tekan dan gores. Hiasan yang dihasilkan adalah garis sejajar, garis tak beraturan, garis silang, tumpal, jala, anyaman, duri ikan, lingkaran memusat, kerang, gabungan garis lengkung dan titik-titik. Mengenai persebarannya terlihat bahwa Kelapa Dua memiliki variasi yang paling sedikit, baik dalam hal bentuk, teknik pembuatan, teknik penyelesaian, teknik bias, dan hiasan. Pejaten dan Kampung Kramat memiliki variasi yang terbanyak. Tembikar dari Kelapa Dua berasal dari masa Bercocok Tanam atau lebih tua dari situs lainnya.
Hasil analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang mutlak antara tingkat porositas dan daya serap air baik terhadap tembikar tipis maupun yang tebaI. Hal tersebut tergantung dari penyelesaian akhir yang dilakukan. Kemudian, komposisi kimia tembikar dari keempat situs adalah sama, yaitu silikat, aluminium, kalsium, magnesium, dan besi dengan kadar yang relatif tidak berbeda. Bahan campurannya pun, yaitu lempung dan pasir berukuran relatif sama. Masyarakat tampaknya telah mempunyai standar tertentu dalam memilih bahan baku dan campurannya.
Sebagian besar situs yaitu Kelapa Dua, Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong terletak pads satuan Kipas Gunung Api Bogor. Jenis-jenis mineral tanah di satuan ini dan jenis-jenis mineral tembikar dan situs-situs memperlihatkan cukup banyak persamaan. Sungai-sungai yang mengalir dikeenam situs menghasilkan endapan pasir atau lempung. Proses pengendapan ini membuat situs-situs itu mengandung sumber daya bahan untuk membuat tembikar. Tampaknya tembikar dari situs-situs tersebut menggunakan bahan baku yang diambil dari wilayahnya sendiri dan tembikar yang dihasilkan merupakan produksi lokal.
Bentuk atau tipe beliung persegi di wilayah ini ada 3 tipe. Bahan beliung persegi terdiri dari batuan Cheri, Metalimestane, Dacite, Horn fels, Jasper, Siltstone, dan Silisifiedwaod. Berdasarkan peta geologi, Kelapa Dua mengandung sumber bahan haku Cheri, Silisifedwaad, dan Siltstone, Sedangkan Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni tidak mengandung batuan untuk pembuatan beliung persegi. Beliung persegi yang terbuat dari Chart, Silistfiedwood, dan Siltstone kemungkinan berasal dari Kelapa Dua. Sedangkan, yang terbuat dari batuan lainnya kemungkinan berasal dari luar wilayah ini. Beliung persegi yang terdapat di Kelapa Dua, Pejaten, dan Kampung Kramat sebagian besar menunjukkan bekas-bekas pemakaian untuk keperluan praktis yakni pengerjaan kayu seperti membuat ukiran kayo. Beliung persegi dari Buni semuanya. masih utuh dan mungkin digunakan untuk alat upacara serta digunakan sebagai hekal kubur.
Artefak logam berasal dari Pejaten, Kampung Kramat, dan Buni. Sedangkan, Kelapa Dua tidak mengandung artefak logam. Hasil analisis menunjukkan terdapat artefak besi dan perunggu di Pejaten serta terak logam di Kampung Kramat dan Buni. Di Pejaten dan Kampung Kramat terdapat temuan yang mengindikaslkan aktivitas pembuatan alat logam. Namun, berdasarkan keadaan geologi, wilayah ini tidak mengandung bahan baku untuk pembuatan alat logam.
Mengenai hubungan antara situs dan keadaan lingkungan alamnya terlihat bahwa iklim di wilayah ini relatif nyaman. Situs-situs umumnya terletak pada satuan morfologi yang banyak mengandung rempah-rempah gunung api dan membuat tanah menjadi subur. Sehingga, berbagai Penis flora dan fauna yang dibutuhkan manusia, dapat hidup dan berkembang dengan baik di wilayah ini.
Berdasarkan temuan dan keadaan lingkungan alamnya, situs-situs di wilayah ini terdiri atas 3 tipe. Tipe 1 yaitu Kelapa Dua dari masa Bercocok Tanam dan terdapat di bagian pedalaman Aktivitas di sites ini adalah perbengkelan beliung persegi tahap awal sampai akhir. Beliung persegi tersebut kemudian didisiribusikan ke situs lain yang berada di utara Kelapa Dua. Pejaten, Kampung Kramat, Condet, Tanjung Barat, dan Serpong tergolong Tipe 2 dari masa Barcacok Tanam dan terus berlanjut sampai Perundagian. Situs-situs itu terdapat di bagian tengah wilayah penelitian ini. Aktivitas yang terjadi di sini adalah perbengkelan beliung persegi tahap pembentukan dan penyelesaian akhir serta perbengkelan logam. Situs Tipe 3 yaitu Buni dari masa Perundagian dan terdapat di dekat pantai. Aktivitas yang terjadi di sini adalah sebagai tempat pertemuan atau interaksi antara masyarakat yang tinggal di sites ini dengan masyarakat lain dari luar situs.
Situs-situs permukiman prasejarah di wilayah ini menunjukkan suatu model bahwa pada awalnya permukiman ditempatkan pads suatu daerah yang mengandung bahan bake untuk membuat artefak. Kriteria itu hares dipenuhi, meskipun daerah yang mengandung bahan baku tersebut terietak di pedalaman_ Pada masa berilcutnya penempatan situs lebih mempertimbangkan faktor kemudahan berinteraksi dengan daerah luar. Sehingga, masyarakat pada masa itu lebih memilih daerah pantai, walaupun daerah ini miskin sumber bahan bake pembuatan artefak. Namun, suatu hal yang tidak berubah adalah perilaku masyarakat untuk tetap memilih daerah yang dekat aliran sungai."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T546
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akin Duli
"Penelitian ini berjudul "Peninggalan Megalitik di Sillanan, Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan, Suatu Rekonstruksi Masyarakat atas Dasar Kajian Etnoarkeologi". Pemiihan topik tersebut, dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu pertimbangan keilmuan, daerah tersebut belum pernah diteliti secara arkeologis, potensi data arkeologis dan data etnografi, data arkeologis yang kompleks dibanding situs lainnya di Tana Toraja, adanya kepercayaan masyarakat bahwa daerah tersebut sebagai kampung tertua, penyelamatan data arkeologi, dan keterjangkauan dalam mengumpulkan data, waktu dan biaya.
Temuan yang didapatkan, adalah : menhir (bentuk, tata letak, komposisi berbeda), lumpang batu, lesung batu, altar batu, tahta batu, temu gelang, umpak, batu angsa, teras berundak, pagar batu, karopik, batu batu monolit, dan hang. Temuan-temuan tersebut, tersebar pada enam situs, yaitu situs Tongkonan Layuk, situs Pakpuangan, situs Rante Simbuang, situs Bubun, situs 'Rante Sarapuk, dan situs Liang. Berdasarkan variabilitas temuan tersebut, maka permasalahan yang sangat mendasar adalah fungsi masing-masing temuan dan situs, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pola keletakan temuan dan situs.
Tujuan penelitian ini secara umum, adalah untuk merekonstruksi kehidupan komunitas di daerah Sillanan pada masa lampau. Secara khusus tujuan penelitian ini, adalah untuk merekonstruksi sebahagian kecil dari sistem religi komunitas di daerah Sillanan pada masa lampau, terutama sistem religi yang erat kaitannya dengan unsur-unsur peninggalan budaya fisik. Dalam hal ini, adalah merekonstruksi tentang fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi fenomena peninggalan budaya tersebut.
Metode penelitian yang dipergunakan, adalah dengan pendekatan konsep religi dengan interpretasi berdasarkan metode etnoarkeologi. Langkah-langkah penelitian, adalah pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi data.
Hasil dari penelitian ini, adalah :
1. Inventarisasi data :
a. Situs Tongkonan Layuk : menhir (basso, tumpuang, pesungan banek), lumpang, lesung, umpak, temu gelang, tahta batu, pagar batu, teras berundak, dan fragmen gerabah. Situs ini secara umum berbentuk terasan berundak, terdiri dari tiga teras, yaitu teras I, teras II sembilan petak, teras III tiga petak.
b. Situs Pakpuangan : lumpang batu, menhir pesungan banek, dan batu angsa. Secara umum situs ini berbentuk terasan berundak, yang terdiri dari tiga teras.
c. Situs Rante Simbuang : menhir ,smbuang, karapik, batu-batu monolit. Situs ini berbentuk tanah lapang.
d. Situs Bubun : tiga buah menhir jenis pesungan banek, bentuk situs adalah empat persegi panjang.
e. Situs Rante Sarapuk : menhir jenis pesungan banek dan altar batu. Bentuk situs adalah lapangan memanjang timur-barat.
f. Situs Liang : Jiang sillik, Jiang erong, Jiang tokek, Jiang pak, patane, dan kandean dulang, wadah erong berbentuk kerbau, perahu, dan persegi. Situs ini berada di tebing perbukitan batu gamping.
2. Hasil Pembahasan
Hasil interpretasi, dapat diketahui fungsi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pola keletakan masing-masing temuan dan situs, sebagai berikut :
a. Temuan yang menjadi fokus utama pada situs Tongkonan Layuk, situs Pakpuangan, situs Rante Simbuang, situs Bubun, situs Rante Sarapuk, adalah menhir, sedangkan temuan-temuan lainnya seperti lumpang, lesung, altar, batu angsa, temu gelang, hanyalah sebagai sarana pundukung dalam pelaksanaan upacara.
b. Fungsi menhir, erat kaitannya dengan bentuk, tata letak, komposisi, dan konteks.
c. Fungsi temuan dapat dikelompokkan atas :
- Sarana upacara pemujaan, seperti : menhir pesungan banek, menhir basse, menhir tumpuang, altar batu, batu angsa, lumpang batu, dan kandean dulang.
- Sarana upacara intekrasi dan pengukuhan sosial, seperti menhir basse, menhir simbuang, dan tahta batu.
- Batas antara daerah sakral dan profan, seperti : menhir turnpuang, susunan batu terrmu gelang, dan pagar batu. Sarana upacara kematian, seperti menhir simbuang dan karopik
- Aktivitas keseharian (profan), seperti : lumpang no. 1, lesung batu, umpak batu, dan fragmen gerabah.
- Sarana penguburan, seperti karopik, hang, dan wadah kubur erong.
d. Fungsi masing-masing situs, adalah :
- Situs Tongkonan Layuk, sebagai situs pemukiman dan upacara
- Situs Pakpuangan sebagai situs pemujaan kepada Puang Matua
- Situs Rante Simbuang sebagai situs upacara kematian Situs Bubun sebagai - - - Situs upacara pemujaan kepada Puang Matua
- Situs Rante Sarapuk sebagai situs upacara pemujaan kepada Deata
- Situs Liang sebagai situs penguburan.
e. Dalam kepercayaan otang Toraja, antara alam fana dan alam baka tidak jelas batas dan perbedaannya secara tegas dapat dilihat pada pola pemukiman dan pola tata letak kubur, stratifikasi sosial dan stratifikasi dewa (arwah leluhur).
f. Refleksi stratifikasi sosial, secara simbolis tampak pada menhir, tahta batu, bentuk-bentuk //wig, bentuk dan tats letak wadah kubur (erong), fungsi ruang tertentu seperti teras-teras dan petak-petak.
g. Pola keletakan temuan dan situs, sangat dipengaruhi oleh fungsi dan peranan yang diatur oleh konsep kosmologi yang dipahami oleh masyarakat pendukungnya sebagai sistem gagasan. Kosmos dibagi atas : timur - barat, utara - selatan, atas -- bawah. Kehidupan manusia adalah alam antara, sebagai keseimbangan dan keselarasan yang berpusat pada Tongkonan sebagai simbol kosmos (mikrokosmos).
h. Tongkonan sebagai simbol dari tokoh adat, dengan demikian yang menjadi pusat dari mikrokosmos adalah tokoh adat itu sendiri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T1608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aruan, Yessy Puji
"Mata uang logam perunggu Cina merupakan salah satu artefak peninggalan masa lalu yang memiliki potensi yang cukup penting untuk mengungkapkan mengenai teknologi pembuatan logam masa lalu. Mata uang logam perunggu Cina tersebut umumnya ditemukan di situs Trowulan, Jawa Timur. Oleh beberapa ahli arkeologi keberadaan artefak tersebut telah membuktikan adanya hubungan dagang yang erat antara Cina dengan kerajaan Majapahit sekitar abad 10-13. Komposisi unsur logam mata uang Cina secara umum termasuk dalam kelompok "binary alloys" yaitu campuran logam Cu dan Sn sebagai bahan pokok dan kelompok "ternary alloys" dengan penambahan unsur Pb, Zn, atau Fe.
Penelitian artefak mata uang logam perunggu Cina yang dilakukan terdiri dari analisis non destruktif dan analisis destruktif berupa analisis komposisi unsur-unsur kimia, dan analisis teknik pembuatan yang pernah diterapkan dalam proses produksi. Hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa komposisi unsur logam mata uang Cina masa dinasti Song adalah Cu, Sn, dan Pb dengan prosentase yang berbeda. Penelitian ini juga dapat menyimpulkan bahwa "mata uang Cina" yang dibuat di Indonesia amat berbeda komposisi kimianya. Melalui analisis destruktif dengan alat SEM (Scanning Electron Microscope) diketahui bahwa teknik pembuatan mata uang logam perunggu Cina dilakukan dengan cara dicetak dan mengalami penempaan ringan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rohyani
"Penelitian tentang candi Borobudur telah banyak dilakukan para ahli terdahulu, baik mengenai bangunannya maupun reliefnya. Demikian pula penelitian tentang relief Karmawibhanga yang terdapat di kaki candi Borobudur, banyak dijadikan referensi untuk penelitian baik dari segi ekonomi, sosial ekonomi, ekologi maupun keagamaan. karena relief Karmawibhanga menggambarkan tentang keadaan sehari-hari dalam kehidupan masyrakat kebanyakan.
Penelitian ini mencoba untuk mengetahui teknik skenario yang dipakai untuk pemahatan relief Karmawibhanga di candi Borobudur. Hal tersebut didasarkan karena ditemukannya naskah Mahakarmawibhanga yang berisi ajaran agama Buddha. Apakah naskah tersebut yang dijadikan patokan dalam pembuatan relief dan bagaimana para pemahat memvisualkan ajaran yang terdapat dalam naskah tersebut.
Deretan panil relief candi seperti deretan film yang ditayangkan, bila film merupakan media komunikasi yang bergerak maka relief juga sebagai media komunikasi walaupun secara visual tidak bergerak namun bila diamati bersifat dinamis pula. Dalam pembuatan film diawali dengan adanya naskah scenario. Skenario film merupakan acuan yang berisi rangkaian sekuen dan adegan walaupun bukan dalam bentuk yang persis. Untuk membuat film seorang sutradara memerlukan suatu script, yaitu naskah skenario yang berisi catatan perubahan untuk acuan kerja para pekerja film.
Dalam pembuatan relief nakah Mahakarmawibhanga dapat dikatakan sebagai suatu skenario, dan para silphin menggunakan inskripsi pendek yang terdapat pada panil untuk acuan silphinan. Karena keterbatasan media maka petunjuk yang digunakan cukup singkat dan untuk menggambarkan figur yang dikehendaki mereka menggunakan contoh dari lingkungan sehari-hari. Para silphin menggunakan contoh yang ditemukan dalam lingkungan mereka supaya masyarakat mudah memahami ajaran agama yang dituangkan dalam relief tersebut. Dalam penggambarannya silphin bangyak menggunakan unsur pohon untuk batas adegan. Hal ini karena pohon merupakan salah satu unsur alam yang sangat dekat dengan masyarakat agraris yaitu memberi kemakmuran, kebahagiaan dan harapan. Penggunaan unsur pohon dalam pemahatan juga karena pohon merupakan unsur alam yang hidup sehingga secara keseluruhan adegan pada panil mengalir secara luwes dan tidak kaku."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11808
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusinah Hanum
"Tujuan penelitian ini untuk mengoptimalkan peranan museum di kalangan masyarakat terutama sekali kalangan pendidikan sebagai penunjang sarana pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah. Museum berfungsi sebagai sarana pendidikan, terutama pendidikan budaya yang harus ditransformasikan kepada masyarakat luas termasuk kalangan pendidikan, namun pemanfaatannya sebagai sarana pendidikan itu belum maksimal digunakan. Belum maksimalnya pemanfaatan itu terlihat dari tingkat kunjungan kalangan pendidikan ke museum.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini berkenaan dengan pengelolaan koleksi museum dalam tata pamernya sebagai sarana informasi dan pemanfaatan museum sebagai sarana pendidikan. Semua itu dilakukan untuk mendapatkan keterangan tentang museum dan permasalahan-permasalahannya, sehingga akan memudahkan menemukan solusi yang perlu dilakukan untuk menarik minat masyarakat untuk berkunjung dan mengoptimalkan peranan museum sebagai sarana pendidikan.
Penelitian ini mencoba menawarkan pendekatan deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif, terhadap pengelolaan koleksi museum Nanggroe Aceh Darussalam terutama dalam hal penataan koleksinya dalam pameran yang dirancang museum. Pameran yang dibuat museum sebagai sarana informasi dan sarana komunikasi dengan pengunjung dapat membantu pengunjung dalam mendapatkan pengetahuan, terutama pengetahuan budaya. Dalam hal ini dilakukan wawancara kepada petugas museum dan juga mengumpulkan data dari pengunjung museum dan dari guru-guru sekolah yang ada di sekitar museum yang memanfaatkan museum sebagai sarana pendidikan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini ialah museum belum mampu memposisikan dirinya sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat umum terutama kalangan pendidikan. Hal ini terlihat dari 323 Sekolah Dasar yang ada di Kotamadya Banda Aceh dan Aceh Besar hanya 18 kelompok Sekolah Dasar saja yang berkunjung ke museum, kunjungan ini pun dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun.
Pemanfaatan museum yang tidak optimal ini disebabkan lembaga pendidikan tersebut tidak memahami dengan jelas manfaat museum dalam proses belajar mengajar. Di pihak lain museum dalam melaksanakan kegiatannya belum menyadari sepenuhnya tentang kebutuhan pendidikan, karena itu para siswa kurang tertarik pada pameran yang disajikan museum. Promosi atau sosialisasi kegiatan museum belum sepenuhnya menjangkau masyarakat umum, khususnya kalangan pendidikan. Akibatnya hubungan antara pihak museum dengan pihak lembaga pendidikan tidak terjalin dengan baik. Kalangan pendidikan menganggap museum hanya sebagai tempat menyimpan benda-benda kuno.
Kenyatan tersebut menunjukkan bahwa museum harus berbenah diri agar tercapai tujuan dan fungsi museum sebagai lembaga penunjang dalam penelitian, pendidikan dan juga tempat rekreasi bagi masyrakat. Pembenahan ini bukan hanya dilakukan terhadap pengelolaan koleksi museum saja tetapi juga penyebaran informasi kegiatan-kegiatan museum kepada masyarakat melalui penyebaran brosur-brosur museum."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11819
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taqyuddin
"Bangunan air di DAS Ciliwung sebagai obyek penelitian atau sebagai kebudayaan materi yang diteliti secara arkeologi tanpa melakukan penggalian. Berdasarkan konsep pengelolaan sumberdaya air di suatu DAS yang dikemukakan Asdak (1995), bangunan air tersebut dalam pembahasannya dikaitkan dengan karakteristik lingkungan abiotik DAS Ciliwung. Dengan mengkaji keterkaitannya diharapkan dapat menjelaskan upaya pengelolaan sumberdaya air di DAS Ciliwung yang dilakukan pada masa kolonial (dalam hal ini penekanannya pada keahlian teknik mengatur air atau water engineering).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masa kolonial sudah melakukan pengaturan sumberdaya air di DAS Ciliwung. Pengaturan yang dilakukan yaitu dengan tujuan untuk rnengendalikan banjir di Batavia, untuk keperluan pengairan lahan perlanian dan keperluan kebutuhan air bersih kota. Dengan memperhatikan keberadaan banguan air yang ditemukan di wilayah hilir (di sekitar kota Batavia) yang merupakan dataran rendah menunjukkan fungsi pengelolaan bangunan air tersebut kecenderungannya untuk menanggulangi banjir. Dan bangunan yang ada di hulu pengelolaannya dengan tujuan untuk menghambat dan menyalurkan sebagian air Ciliwung ke saluran-saluran irigasi agar tidak seluruhnya mengalir ke hilir. Bagian tengah DAS hanya sebagai pelintasan saja tidak ditemukan bangunan air yang memiliki tujuan yang sudah disebutkan di atas.
Dapat disimpulkan bahwa pengaturan yang dilakukan belum menyelesaikan permasalahan secara jangka panjang, dan menyeluruh dari ancaman air melimpah di wilayah hilir di Batavia, jika dinilai dengan menggunakan konsep Asdak (1995) yang menyatakan bahwa bagian hululah yang diprioritaskan untuk dikelola karena sangat mempengaruhi bagian tengah dan hilirnya. Dan pengaturan yang dilakukan pada masa kolonial menunjukkan kecenderungan budaya penanganan dari pada budaya pencegahan dengan dibangunnya bangunan air di wilayah hilir. Hal ini terbukti bahwa lingkungan fisik di bagian hulu dan tengah yang berpotensi mengirim air dengan jumlah besar ke hilir ternyata diatur dengan dua bangunan air yang kapasitasnya terbatas."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2004
T11822
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Sejarah mata uang di Indonesia telah berlangsung lama yaitu kira-kira sejak abad 6 Masehi. Penggunaan mata uang seringkali disebutkan di dalan prasasti-prasasti dan naskah-naskah kuno pada jamannya, ditambah lagi dengan catatan orang-orang asing yang pernah singgah dan melakukan kegiatan berdagang di Indonesia. Keterbukaan bangsa Indonesia melakukan diplomasi dagang ini merupakan awal mula dikenalnya mata uang. Hubungan dengan bangsa India dan Cina pada awal-awal abad Masehi jelas membawa dampak beredarnya mata uang mereka di bumi Nusantara. Mata Uang yang beredar pada masa Klasik tersebut adalah mata uang ma (yaitu mata uang untuk satuan ukuran emas) yang ditulis dengan huruf Prenagari yang berasal dari India Utara dan mata uang kepeng dari Cina atau mata uang lokal. Berita Cina dan isi prasasti Bendosari dari masa Majapahit menyiratkan bahwa mata uang-mata uang yang beredar itu mungkin dibuat di tempat asalnya untuk kemudian dibawa ke Indonesia untuk dipergunakan di dalam perdagangan. Hal ini diperkuat pula dengan kenyataan-kenyataan di jaman berlangsungnya kerajaan-kerajaan islam di Indonesia. Pada sekitar abad 14-17 masehi telah beredar beberapa jenis mata uang diantaranya mata uang picis, mata uang real Belanda, mata uang Cruzadon (Portugis), mata uang Tanga (Siam), mata uang real Spanyol mata uang Piaster (Spanyol) dan beberapa jenis mata uang lokal. Mengamati mata uang berarti melacak sejarah. Pada fungsinya sebagai alat pembayar, pengamatan mata uang akan membawa kita kepada perkembangan perekonomian. Banyak aspek akan saling terkait di dalam kegiatan perekonomian itu, misalnya-peranan penguasa, petani, pedagang, pialang, letak geografis, iklim, teknologi perkapalan, keadaan alam dan lain-lainnya. Namun pada sisi lain, sebagai alat pertukaran, benda upacara atau jimat, mata uang (coin) merupakan benda yang mempunyai arti magis dan tidak dipergunakan sebagai alat pembayar. Mata uang ini pada umumnya diukir dengan gambar-gambar yang melambangkan suatu kepercayaan tertentu dan mempunyai suatu tujuan tertentu pula. Misalnya, menggambarkan lambang-lambang penciptaan dunia dalam wujud tumbuhan dan binatang. Adapun tujuan yang lazim termaktub dalam lukisan-lukisan tersebut adalah memperoleh keselamatan, pemujaan pada kesuburan dan ruwat. Maknanya lebih jauh akan semakin jelas apabila dihubungkan dengan naskah-naskah keagamaan pada masa yang sama. Pada masa berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam, masih ada pula mata uang-mata uang yang semula berfungsi sebagai alat pembayaran pada masa sebelumnya kemudian digunakan sebagai jimat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"ABSTRAK
Majapahit dikenal sebagai kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah berperan dalam abad 13-15 di wilayah Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Namun kebesaran tersebut umumnya dikaitkan dengan aspek sejarah, geo-politik, agama maupun kesenian, sedangkan gambaran tentang permukimannya masih sedikit sekali diketahui. Padahal sebagaimana dikemukakan Gordon R. Willey:
"....settlement patterns are, to a large extent, directly shaped by widely
held cultural needs, they offer a strategic starting point for the functional interpretation of archaeological cultures.... " (Willey 1953)
Dengan ungkapan tokoh arkeologi permukiman tersebut jelaslah bahwa pola permukiman merupakan awal yang strategis untuk memahami berbagai aspek budaya dari masyarakat pendukungnya, meliputi sistem teknologi, sistem sosial, dan sistem ideologi. Pala permukiman merupakan wilayah kajian yang diteliti oleh berbagai disiplin selain arkeologi, seperti: antropologi, sejarah, sosiologi, dan arsitektur. Dengan kata lain kajian permukiman merupakan tempat bertemunya berbagai peniikiran dari sejumlah disiplin. Sifat multidisipliner inilah yang mengharuskan arkeologi menggali dan menjajikan data dari kebudayaan mesa lalu untuk selanjutnya dimanfaatkan oleh berbagai disiplin lain.
Sumber-sumber sejarah seperti karya sastra, prasasti, berita asing dan relief relief pada candi memang telah membantu kita mengetahui sebagian kecil atau beberapa hal mengenai permukiman di Majapahit, tetapi gambaran tersebut hanyalah bersifat umum dan belum tentu terkait dengan pemukiman di situs Trowulan. Oleh sebab itu untuk memperoleh bukti konkret yang dapat diamati (observable) dan dapat diukur (measurable) mengenai permukiman Majapahit di situs Trowulan diperlukan tipe penelitian arkeologi dengan cara ekskavasi (digging research).
Situs Trowulan yang letaknya lebih kurang 10 km di sebelah tenggara Mojokerto adalah sebuah situs yang berdasarkan penelitian regional terakhir (Mundardjito dkk. 1995) memiliki luas lebih kurang 9 x 11 km. Sedemikian luasnya sehingga dapat difahami jika sites ini dikategorikan oleh para peneliti sebagai situskota. Kitab Nagarakertagama memberikan gambaran umum tentang pola perkotaan ibukota Majapahit, tetapi struktur setiap satuan bangunannya atau gugusannya tidak dapat diketahui secara pasti. Relief-relief candi memberi bantuan untuk memahami bentuk umum suatu satuan bangunan, tetapi sifatnya yang terbatas tidak memungkinkannya untuk memberikan rincian dari unsur-unsur bangunan itu.
Selain data sejarah (historical record) kita masih dapat memanfaatkan data lain, yaitu artefak-artefak, untuk memahami secara lebih faktual dan jelas mengenai pola permukiman masyarakat Majapahit. Sebagaimana diketahui Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Buda terakhir yang berkuasa sekitar 200 tahun (1293-1478), dan sites Trowulan adalah satu-satunya contoh situs-kota dari masa Hindu-Buda yang sisa-sisa pemukimannya masih dapat kita lihat sekarang (Bandingkan dengan lokasi sejumlah situs-kota yang sampai kinibelum diketahui seperti dari: kerajaan Mulawarman abad 5 di Kalimantan Timur, Tarumanagara abad 6 di Jawa Barat, Sriwijaya abad 7 di Sumatera, Mataram abad 7--10 di Jawa Tengah, Kediri abad I I dan Singhasari abad 12 di Jawa Timur). Di situs Trowulan, yang merupakan wakil utama dari sisa kegiatan manusia Majapahit, ditemukan sejumlah indikator penting yang dapat membantu kita memahami aspek-aspek permukiman dalam skala mikro secara lebih jelas. Indikator tersebut antara lain berupa sisa-sisa struktur, bailk dari sebuah unit bangunan (household) maupun dari gugusan bangunan (household cluster). Sebagai suatu himpunan temuan data tersebut sesungguhnya mencerminkan satu bagian dari suatu sistem yang kompleks, yaitu sistem kehidupan masyarakat kota Majapahit yang lebih menyeluruh. ltulah sebabnya usaha penelitian yang diawali dari data arkeologi yang paling dasar dalam skala mikro, dapat memberikan sumbangan yang sangat penting untuk memberi isi kepada gambaran dari satuan pemukiman yang lebih besar.
Usaha untuk merekonstruksi pola permukiman ibukota Majapahit telah dilakukan. Namun usaha-usaha tersebut dihadapkan pada banyak masalah. Bukti-bukti fisik yang hingga kini diyakini sebagai sisa ibukota Majapahit tidak menunjukkan kesesuaian dengan uraian sumber-sumber tertulis mengenai tempat tersebut. Usaha untuk menjawab masalah-masalah tersebut tentu tidak dapat dilaksanakan seketika, melainkan memerlukan perencanaan penelitian bertahap dan perlu melibatkan sejumlah disiplin. "
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Widiati
"Keramik kuno merupakan salah satu jenis benda yang diproduksi oleh manusia masa lalu untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka di dalam hidupnya. Pada prinsipnya pengertian keramik adalah setiap benda yang dibuat dari tanah liat, dan yang kemudian dibakar untuk memenuhi fungsinya. Pengertian dari istilah tersebut mancakup tiga macam benda yang dalam kepustakaan arkeologi dikenal sebagai: (1) "porselin" (porcelain), (2) "bahan-batuan" (stoneware), dan (3) "tembikar" (earthenware) (Ayat rohaedi et al. 1978:83; McKinnon et al. 1991). Porselin dan bahan-batuan dapat dibedakan secara tegas dengan tembikar karena kedua jenis benda keramik yang disebut terdahulu pada umumnya mempunyai beberapa ciri utama yaitu: benda tersebut dibuat dari bahan dasar tanah liat berwarna relatif putih yang dicampur dengan bahan-batuan tertentu (petuntze); permukaannya dilapisi dengan lapisan glasir; dan dibakar dengan suhu tinggi antara 1150° hingga 1350° C. Sementara tembikar memiliki beberapa ciri utama yang berbeda yaitu: benda dibuat dari bahan dasar tanah liat (biasa) yang dicampur dengan pasir, atau pecahan kerang, atau sekam pada permukaannya tidak dilapisi dengan lapisan glasir, dan dibakar dengan suhu rendah sekitar 900° C.
Oleh sebagian orang di Indonesia keramik berglasir sering disebut sebagai "keramik asing" (Ridho 1977, 1980, 1984; Hadimuljono 1980, 1985), sebaliknya tembikar disebut sebagai "keramik lokal". Kedua istilah tersebut untuk pertama kalinya muncul dalam penelitian yang dipimpin oleh Teguh Asmar dan B. Bronson di Rembang (Asmar et al. 1975). Dalam rangka kegiatan penelitian situs-kota oleh Indonesian Field School of Archaeology (IFSA) di Trowulan yang dipimpin oleh Mundardjito dan J. Miksic diputuskan bahwa istilah keramik mencakup pengertian dari ketiga macam benda seperti tersebut di atas (Mundardjito et al. 1992). Bagi para peneliti masa prasejarah Indonesia, istilah keramik lokal sering disebut sebagai "gerabah" (Soegondho 1993, 1995) atau juga sering disebut "kereweng" jika ditemukan dalam bentuk pecahan seperti dalam penelitian di Ratubaka (Asmar dan Bronson 1973). Namun beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak semua benda tembikar atau gerabah adalah keramik lokal yang dibuat di Indonesia. Ada di antara himpunan benda tembikar itu merupakan barang impor atau yang dibuat di luar Indonesia (Miksic dan Tack 1988, 1992). Pengertian keramik dalam tesis ini mencakupi "keramik berglasir" dan "keramik tidak berglasir" yang keduanya dapat dipastikan berasal dari luar Indonesia dan merupakan barang impor.
Berdasarkan ciri-ciri fisik yang tampak pada keramik-keramik tersebut dapat diindentifikasi asal daerah pembuatannnya dan pertarikhannya. Keramik-keramik impor yang ditemukan di Indonesia berasal dari berbagai negara seperti: Cina, Asia Tenggara (antara lain Thailand, Vietnam, dan Khmer), Timur Tengah, Jepang, dan Eropa (seperti Belanda, dan Jarman). Di antara negara-negara penghasil keramik tersebut, keramik dari Cina merupakan temuan yang paling banyak (de Flines 1969; Ridho 1993/94:20). Sementara itu cara memberi pertarikhan (dating) atas benda keramik ditemukan oleh masa pemerintahan dinasti-dinasti Cina, yang tahun awal dan akhir kekuasaannya dapat diketahui. Tarikh tertua dari keramik yang pernah ditemukan di Indonesia diketahui dari masa dinasti Han yang berkuasa di Cina tahun 202 SM hingga 202 M (Ridho 1977). Namun yang banyak ditemukan di Indonesia terutama keramik-keramik yang dibuat dari masa sesudahnya, yaitu dari masa dinasti Tang (abad VII-X), Lima dinasti (abad X), dinasti Song (abad X-XIII), dinasti Yuan (abad XIII-XIV), dinasti Ming (abad XIV-XVII), dan terakhir dinasti Ching."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T12558
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>