Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 124 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Imron Heriyanto
"Penelitian ini membahas tentang kraton di masa kini. Dalam penelitian ini ditunjukkan sebuah proses adaptasi yang dilakukan oleh kraton terhadap keadaan sosial dan kebudayaan yang telah berubah dari kondisi awalnya. Penelitian mengenai hal ini akan dilihat secara spesifik pada momentum penyelenggaman kegiatan Upacara Panjang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat.
Penelitian ini dibangun dalam perspektif antropologis, dengan menggunakan pendekatan khasnya, yaitu metode kualitatif. Melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, sebagai teknik utama pengumpulan datanya, penelitian ini berusaha menggali informasi mengenai keadaan obyektif kraton pada saat ini, baik mengenai sisi materialnya maupun aktivitas-aktivitasnya yang kemudian dihubungkan dengan keadaan lingkungan fisik, sosial, dan kebudayaan di sekitarnya yang telah dan sedang berubah. informasi mengenai hal tersebut dilihat secara holistik dan dalam perspektif lokal.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perubahan sosial dan kebudayaan yang telah dan sedang terjadi di lingkungan Cirebon telah mempengaruhi situasi dan kondisi Kraton Kasepuhan. Perubahan sosial dan kebudayaan tersebut, di antaranya, telah mempengaruhi keseragaman tata cara hidup tradisional. Kraton sebagai institusi yang terlahir dari tradisi lama, pun tidak luput dari pengaruh perubahan tersebut.
Sebagai sebuah langkah adaptasi terhadap keadaan lingkungan di sekitarnya, kini Kraton Kasepuhan telah membangun sebuah pola baru kehidupan sosial dan kebudayaan yang ditata menurut kerangka kerja struktur sosial dan kebudayaan yang berubah-ubah. Kehadiran Yayasan Kraton Kasepuhan di institusi tradisional ini, telah membawa angin perubahhan. Penerapan tata kerja birokrasi modern di yayasan ini, bersamaan dengan masih berlakunya sebagian kecil dari tata kerja birokrasi tradisional yang ada, telah membuat kraton tidak lagi hadir sebagai sebuah institusi ekseklusif melainkan justru hadir sebagai sebuah institusi yang terbuka; sebuah institusi yang dapat diajak bekerja sama oleh institusi manapun. Keberadaan Yayasan Kraton Kasepuhan sebagai organisasi berbadan hukum formal tersebut semakin mengukuhkan identitas Kraton Kasepuhan pada masa kini. Fenomena tersebut jelas sekali terlihat dalam penyelenggaraan kegiatan Upacara Panjang Jimat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T2649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiryanti Eko Mekarsari
"Tesis ini mengkaji hubungan antara Napza, remaja, keluarga dan gejala perkotaan dilihat sebagai suatu jaringan sosial yang terbentuk pada remaja pengguna Napza dan orang-orang yang terlibat serta upaya marjinalisasi dari kelompok lain.
Pengkajian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi, yang memusatkan perhatian pada penyalahgunaan Napza di kalangan pelajar. Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan, wawancara mendalam dan penggunaan literatur yang relevan.
Dalam kajian ini ditemukan bahwa terjadinya penyalahgunaan Napza di kalangan pelajar SMU Duren Tiga Jakarta Selatan disebabkan oleh akumulasi antara kompleksitas kehidupan kota dan peran teman sebaya (peer group). Kondisi kota yang sangat kompleks dan sarat beban, ditandai munculnya gejala sosial, kemiskinan, populernya gaya hidup metropolis, banyak menyita perhatian remaja, sehingga mereka ikut arus kehidupan kota, termasuk menyalahgunakan Napza. Dalam hal ini, peran teman sebaya sangat dominan, yakni melalui tindakan mempengaruhi, menyediakan dan mengajarkan bagaimana mengkonsumsi Napza.
Proses sosialisasi Napza berawal dari jenis ringan kemudian ke jenis yang lebih berat. Napza yang banyak digunakan adalah ganja, morphin, dan heroin. Produk ini dikonsumsi secara berkelompok dan individual. Akibat penggunaan Napza tersebut mereka jadi mabuk/teler, bahkan ada yang dirawat di rumah sakit; merosot prestasi akademiknya; menyebabkan tindakan menyimpang. Karena tindakan menyimpang itu, kelompok pengguna Napza cerai berai. Kesolidan mereka terjadi karena jaringan penyalahgunaan Napza dibangun dalam konstelasi hubungan antarpribadi atas dasar sejumlah ukuran: pribadi, kategori, tindakan, dan lapangan.
Penyalahgunaan Napza di kalangan pelajar merupakan proses enkulturasi (budaya), dimana pihak-pihak yang terlibat berusaha dan mengharapkan anggota-anggota baru mengikuti harapan budaya yang nota bene identik dengan harapannya. Dalam konteks ini, penggunaan Napza dengan segenap jaringan dan pola sosialisasinya adalah produk budaya dalam arti dinamis berdimensi negatif bila dilihat dari perspektif medik, moral, sosial, hukum, dan agama.
Sebagai produk budaya, kelompok pengguna Napza mengembangkan gaya hidup yang khas, terutama dalam berpakaian; mengenakan aksesoris; potongan rambut; dan irama musik."
2001
T4466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dade Mahzuni
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk perlawanan nelayan, dalam konteks hubungan nelayan-Bok serta menganalisis kondisi-kondisi yang memicu munculnya perlawanan nelayan tersebut. Untuk tujuan tersebut, dalam penelitian digunakan metode pengamatan terlibat dan wawancara mendalam. Dalam tesis ini Bok diartikan sebagai pemilik modal yang memberikan bantuan-bantuan kepada nelayan, juga sekaligus berperan sebagai pedagang pengumpul hasil laut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa memburuknya perimbangan pertukaran, dalam konteks hubungan kerjasama nelayan-Bok, dibarengi dengan semakin sulitnya kehidupan ekonomi nelayan sebagai akibat dari kelangkaan sumberdaya laut (ikan) serta meningkatnya biaya kebutuhan hidup, mendorong munculnya perlawanan nelayan terhadap Bok. Perlawanan nelayan tersebut juga dipicu karena keterbatasan alternatif-alternatif lainnya yang dapat diakses nelayan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonominya.
Memburuknya perimbangan pertukaran, dari perspektif nelayan, dapat dilihat dari kondisi-kondisi: pertama, semakin berkurangnya atau bahkan hilangnya bantuan-bantuan yang biasa diberikan Bok kepada nelayan, terutama bantuan yang tergolong "non-marketing services", sehingga Bok tidak bisa lagi diandalkan sebagai jaminan hidup nelayan; kedua, hilangnya praktik-praktik keagamaan yang lazimnya dilakukan Bok seperti ritual yang berhubungan dengan usaha atau kehidupan kenelayanan yang dapat mempererat solidaritas, memberikan ketenangan dalam usaha serta dapat memberikan tambahan makanan kepada nelayan yang pada umumnya miskin; ketiga, terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan Bok terutama dalam proses penimbangan hasil tangkapan nelayan sebagai upaya menekan kerugian akibat terjadinya kelangkaan ikan dan meningkatnya biaya kebutuhan hidup serta sebagai upaya Bok untuk memperoleh keuntungan yang besar; dan keempat, penggunaan perahu jaring gardan (sejenis trawl) yang dilakukan Bok telah merusak ekosistem laut dan menyebabkan menurunnya hasil tangkapan serta merusak alat tangkap nelayan.
Adapun bentuk-bentuk perlawanan nelayan terhadap Bok adalah: pertama, bentuk-bentuk perlawanan sebagai upaya merusak nama baik Bok yaitu berupa penyebaran gosip dan pemberian julukan yang buruk; kedua, bentuk-bentuk perlawanan sebagai upaya menghalang-halangi beroperasinya perahu jaring gardan milik Bok, yaitu berupa teguran, pertengkaran mulut, sampai penenggelaman jaring gardan; ketiga, bentuk-bentuk perlawanan sebagai upaya menghadapi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak Bok terutama dalam penimbangan hasil tangkapan yaitu berupa protes langsung, tidak menerima uang penjualan ikan dan mogok kerja; dan keempat, bentuk perlawanan sebagai upaya dalam memperoleh harga penjualan ikan yang lebih tinggi yaitu berupa penjualan ikan (sebagian) kepada pihak lain.
Bentuk-bentuk perlawanan nelayan tersebut di atas, yang umumnya dilakukan secara personal dan ada kalanya secara sembunyi-sembunyi, merupakan protes terhadap ketidakadilan Bok dan untuk menuntut Bok melakukan apa yang menurut anggapan nelayan merupakan kewajibannya, serta sebagai upaya nelayan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4702
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnayu Sitaresmi
"Tesis ini menjelaskan pemahaman anak-anak anggota Sanggar Kukuruyuk, tentang ajaran moral triguna, yang merupakan bagian dari norma masyarakat Bali yang berlandaskan ajaran agama Hindu Dharma, yang mereka terima melalui simbol dalam fabel "Katuturan Kambing Takutin Macan". Asumsi yang disusun adalah fabel, yang merupakan cerita yang mengajarkan moral dan terdiri dari wacana yang menyampaikan pesan tentang moral tersebut dengan menggunakan simbol bahasa, menjadi alat transmisi yang mewariskan ajaran moral kepada anak-anak sebagai anggota masyarakat Bali.
Pemahaman anak ini didekati dengan menggunakan pendekatan antropologi linguistik, yang dikaitkan dengan pendekatan simbolik dan kognitif. Pendekatan ini melihat bahasa sebagai sistem pemaknaan simbolik dan terdiri dari susunan konsep, yang membantu menyusun pemahaman seseorang tentang suatu rangsangan. Pemaknaan ini tidak bersifat individual, melainkan merupakan hasil pengamatan bersama dari kebudayaan yang dianut masyarakat yang menjadi tempat individu tersebut bersosialisasi.
Metode yang digunakan ialah etnografi terfokus, dengan menggunakan teknik pengumpulan data partisipasi observasi, yang didukung studi literatur, wawancara, pengamatan, serta penyebaran kuesioner, untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif.
Temuan-temuan penting dalam penelitian ini adalah (1) wacana dalam fabel "Katuturan Kambing Takutin Macan" merupakan bentuk penyampaian pesan tentang ajaran moral triguna, (2) penyampaian ajaran moral melalui fabel "Katuturan Kambing Takutin Macan" mengembangkan imajinasi anak, sehingga anak dapat menjelaskan sebab akibat munculnya tindakan dalam sebuah interaksi sosial.
Penyampaian fabel "Katuturan Kambing Takutin Macan" membantu anak mengembangkan imajinasi mereka tentang sifat-sifat dalam ajaran moral triguna yang mempengaruhi tindakan pelaku dalam fabel tersebut. Imajinasi ini mempengaruhi penyusunan konsep dalam pemahaman anak tentang alasan tindakan, perkiraan tentang tanggapan yang akan terjadi terhadap tindakan tersebut, penilaian mengenai tindakan, dan alasan mereka memberikan penilaian tersebut. Imajinasi ini memperkuat pemahaman mereka untuk memahami konsep awal yang ingin diwariskan penutur cerita, tetapi juga menyebabkan munculnya pemahaman yang berlawanan dengan konsep awal tersebut. Pemahaman yang berlawanan tidak disebabkan kesalahan pemahaman, melainkan disebabkan kreativitas yang dipancing oleh fabel yang mengajak mereka berkelana ke wilayah imajiner. Sehingga, meskipun terdapat pemahaman yang berlawanan, secara garis besar anak-anak tetap memahami makna pesan yang ingin disampaikan penutur cerita melalui fabel "Katuturan Kambing Takutin Macan"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarumaha, Aloma
"Penelitian ini membahas tentang pemahaman kaum muda tentang gereja di Paroki Trinitas Cengkareng, Jakarta Barat. Pemahaman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah (sebuah) akumulasi pengetahuan, penghayatan, dan interpretasi kaum muda tentang gereja. Pemahaman itulah yang akan menjadi alat untuk memperlakukan gereja. Kaum muda yang dimaksud dalam studi ini adalah sejumlah orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang umurnya antara 15 s.d. 35 tahun dan belum menikah, yang selalu datang dan aktif di gereja.
Pendekatan yang dipergunakan untuk mendeskripsi pemahaman tersebut adalah pendekatan kualitatif, dengan tekanan pada pemahaman informan. Maksudnya dengan pendekatan ini, peneliti berusaha memahami orang-orang secara personal dan memandang mereka sebagaimana mereka sendiri mengungkapkan pandangannya tentang gereja. Untuk mendapatkan pemahaman tersebut, saya melakukan field work dan kajian pustaka. Field work untuk mendapatkan data primer dan kajian pustaka untuk data-data sekunder. Data-data primer diperoleh dengan menggunakan teknik pengamatan, wawancara, diskusi terfokus. Informan penelitian ini adalah anak-anak muda, umat, tokoh umat, pimpinan Paroki. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan teori.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa pemahaman kaum muda tentang gereja cenderung tidak dilihat (semata-mata) sebagai tempat sakral, berdoa; tetapi sebagai sebuah arena sosial, tempat berkumpul dan berbuat sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Gereja dipandang sebagai arena sosial, dalam mana potensi-potensi yang dimiliki dapat diakomodir dan dikembangkan. Dengan hasil studi ini, peneliti menduga bahwa apa yang dilakukan oleh informan atau kaum muda yang tercakup dalam pemahaman tersebut, dapat direfleksi bahwa di dalam kaum muda ada kebudayaan yang berkembang sesuai dengan pemahamannya.
Gereja bermakna sebagai sebuah arena untuk menjawab kebutuhan sosial kaum muda. Misalnya, ketika tidak mempunyai pekerjaan, mengalami masalah dalam keluarga, maka solusinya adalah kembali ke gereja, dimana ia dapat bertemu dengan orang-orang yang dapat menolongnya (yang awalnya berupa informasi bagaimana seseorang dihubungkan dengan sumber informasi). Ketika mau belajar untuk mengembangkan kemampuan yang dimiliki, maka gereja dipandang sebagai tempat yang aman untuk berlatih, karena diberi peluang untuk mengembangkan potensi yang dimiliki; hal ini operasional dalam munculnya kelompok kegiatan kaum muda di gereja."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7059
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triana Wulandari
"Dalam masyarakat multietnik, hubungan antar etnik merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh individu-individu yang terlibat dalam masyarakat tersebut. Seringkali hubungan antar etnik membawa berbagai konsekuensi, yang tidak saja positip tetapi juga negatip. Dalam masyarakat Kenten, dimana keragaman etnisitas mewarnai kehidupannya, hubungan-hubungan antar individu yang berlatarbelakang kultur berbeda-beda ternyata tidak selamanya menimbulkan konsekuensi-konsekuensi negatip. Masing-masing individu yang berbeda kultur tersebut, disamping masih mempertahankan identitas budayanya, juga melakukan hubungan-hubungan sosial yang saling mengisi dan melengkapi, dimana individu-individu saling belajar dan berkomunikasi secara akomodatif.
Perbedaan-perbedaan yang ada terakomodasi melalui serangkaian tindakan warga masyarakat dengan melakukan aktivitas-aktivitas sosial, seperti lomba adu ayam, arisan, kegiatan kematian, pengajian, doa bersama, dan lain sebagainya. Dalam berbagai aktivitas tersebut, warga masyarakat memberikan apresiasi secara partisipatif, dengan meminimalkan perbedaan-perbedaan yang ada, dan secara langsung ataupun tidak langsung telah memungkinkan terjadinya proses pembauran. Pembauran dapat berlangsung secara alami dalam lingkungan masyarakat Kenten, manakala antar warga berusaha mengurangi sikap prasangka dan diskriminatif terhadap etnis lain yang berbeda. Dalam banyak kasus, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sikap-sikap stereotipik dan berbagai persepsi negatit masih mewarnai interaksi sosial yang terjadi. Akan tetapi pada umumnya sikap stereotipe berkembang atau tumbuh karena pengalaman-pengalaman individual, yang seringkali sangat sulit untuk dijadikan patokan atau pedoman bagi warga lainnya.
Persepsi ataupun pengetahuan yang kurang proporsional yang dimiliki sebagian kecil masyarakat Kenten, misalnya etnis Palembang yang pemalas, etnis Minang yang suka main curang, etnis Cina yang kikir, ataupun etnis Jawa dan Sunda yang suka bermanis muka, dalam kehidupan sehari-harinya ternyata tidak ditampakkan secara berlebihan sehingga pembauran antar warga dapat berlangsung dengan alami. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh warga yang banyak melakukan perkawinan dengan etnik yang berbeda. Dalam perkawinan antar etnik, masing-masing individu mengikuti kesepakatan bersama yang dilakukan oleh pihak keluarga mempelai wanita ataupun pria.
Disisi lain konflik-konflik yang sering muncul, sebagai akibat perbedaan-perbedaan kultur yang ada, lebih banyak diselesaikan secara kekeluragaan. Dalam banyak kasus konflik-konflik yang muncul dinilai oleh sebagian masyarakat Kenten sebagai kekurangpahaman individu di dalam menterjemahkan setiap pesan dan tindakan yang dilakukan oleh individu yang lain. Karena itu konflik yang ada dapat dengan mudah diselesaikan, walaupun seringkali konflik muncul dengan permasalahan yang relatif sama dan kualitas yang relatif sama pula. Misalnya konflik antar agama, dimana seringkali emosi seseorang dengan mudah diaktifkan, penyelesaiannnya relatif lebih sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Siasanya peran tokoh agama menjadi sentral, dan musyawarah atau negosiasi yang berulang-ulang dilakukan untuk memperoleh persepsi yang sama. Dengan kata lain, penyelesaian konflik yang bersumber dari agama membutuhkan kerja keras para warga masyarakat untuk bisa menerima perbedaan-perbedaan nilai yang terkadung dalam masing-masing agama yang dianut. Pengalaman para warga masyarakat selama ini dalam memecahkan setiap konflik yang bersumber dari agama, tampaknya dijadikan modal oleh warga masyarakat dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Dengan demikian konflik-konflik yang muncul dapat terselesaikan secara baik, dan ini meneguhkan tesis bahwa konflik bersumber agama bagi masyarakat Kenten bukanlah faktor yang dapat mengurangi solidaritas sosial yang dibangun selama ini."
2001
T9705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Gustina
"Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan penggunaan lagu oleh anakanak dalam identitas dan peranannya sebagai murid di Sekolah Musik Faasto, Rawamangun - Jakarta Timur, saat melakukan interaksi antar-murid di dalam komuniti sosial tersebut. Murid-murid sekolah musik ini dipandang sebagai individuindividu yang memiliki kebudayaan tersendiri sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik mereka.
Kajian ini merupakan studi kasus. Fokus kajian adalah Iagu-lagu yang digunakan oleh murid-murid dalam interaksi yang terjadi. Untuk memahami fokus kajian, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan penekanan pada pengamatan dan pengamatan terlibat. Dengan pendekatan ini, saya berusaha untuk mengkaji obyek-obyek kajian, yaitu murid-murid dalam setting yang ada. Pendekatan kualitatif ini juga melibatkan pendekatan interpretif/naturalistik, yang merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menginterpretasi gejala-gejala yang berkaitan dengan makna-makna yang diberikan oleh obyek kajian terhadap lagu-lagu yang digunakan.
Perrnasalahan yang dikemukakan dalam kajian ini memperlihatkan bahwa lagu yang digunakan oleh murid-murid dalam interaksi antar-murid, baik secara horisontal maupun vertikal, berfungsi sebagai simbol bagi identitas. Tindakan muridmurid dalam menggunakan lagu dipandang sebagai tindakan simbolik. Sebagai tindakan simbolik, seorang murid memberi makna-makna pada lagu-lagu yang digunakan dalam interaksi untuk memenuhi kebutuhan dalam memperoleh identitasnya (the self) yang berbeda dari murid yang lain (the other)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10680
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sokoy, Fredrik
"Ada kecenderungan para ekonom mengabaikan aspek-aspek non ekonomi yang biasanya ikut berpotensi mendorong sekaligus mengganjal sebuah kemajuan dan pengembangan masyarakat. Aspek-aspek non ekonomi atau yang sering disebut aspek sosio kutural dalam aktivitas pembangunan menjadi unsur yang begitu penting karena perwujudannya berada di `belakang' sebuah tindakan dan baru dapat dipahami melalui tindakan sosial dan hasil karya.
Gagasan tentang pentingnya aspek-aspek sosio kultural inilah yang membuat saya meneliti di lingkungan perusahaan PT. Freeport Indonesia Mimika, terutama pada departemen Bisnis Incubator. Secara kelembagaan PT. Freeport Indonesia menganggap program pengembangan masyarakat melalui projek Incubator akan melahirkan dan mengikubasi penduduk asli untuk menjadi calon pengusaha. Dengan cara ini, pengusaha asli selain menyuplai sejumlah materi yang di butuhkan PT. Freeport Indonesia (tanaman hias, sample bag, kebutuhan sembilan bahan pokok [sembako], pallet, pupuk kompos, meubel rotan, meubel kayu, batu batako dan lain sebagainya) juga melalui program Incubator akan menjadi sarana yang dapat memberi peluang kerja bagi penduduk setempat yang sedang mencari pekerjaan.
Hasil penelitian saya terhadap 10 orang pengusaha dengan menggunakan metode evaluasi etnografi dan pendekatan kostruksi menunjukkan bahwa program pengembangan incubator di kategorikan kurang berhasil. Dari 10 orang yang menjadi sampel pengusaha hanya 2 orang yang berhasil dan seorang kurang berhasil selebihnya gagal total. Faktor-faktor sosio kultural seperti: pranata kekerabatan orientasi ekonomi konsumtif, tidak disiplin dalam hal waktu, sikap hidup tidak hemat, tidak mau menunda keinginan untuk memperoleh sesuatu pada saat itu juga. Mereka yang dikelompokan dengan kategori berhasil selain memiliki pengetahuan dalam hal bagaimana melakukan aktivitas bisnis secara benar, juga memiliki sistem manajemen yang lebih modern, misalnya sistem komputerize, sistem bonus, menempatkan karyawan atas dasar profesi dan seterusnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mukh Doyin
"Tesis ini bertujuan untuk mencari alasan mengapa dosen dan mahasiswa di UNNES menggunakan anekdot sebagai simbol ekspresifnya dalam merespons kejadian dan keadaan di sekelilingnya dan untuk mengungkapkan makna yang ada di balik penggunaan anekdot tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut dalam tesis ini digunakan pendekatan holistik dengan metode wawancara mendalam dan pengamatan terlibat, serta prinsip intertekstualitas dalam analisis datanya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anekdot yang digunakan oleh dosen dan mahasiswa di UNNES cukup bervariasi, baik dilihat dari sasaran-anekdot dengan sasaran tokoh dalam karnpus dan anekdot dengan sasaran tokoh luar kampus; topik-- anekdot sosial, anekdot politik, anekdot agama, dan anekdot akademik; asal-anekdot dari dalam, anekdot hasil adaptasi, dan anekdot dari luar; maupun tempat berlakunya--anekdot yang bersifat esoteris dan eksoteris. Ada dua fungsi anekdot yang ditemukan dalam penelitian ini, yaitu fungsi primer-sebagai sarana pelampiasan perasaan yang berhubungan dengan ketidaksukaan, ketidakpuasan, kejengkelan, kebencian, kemarahan, dan perasaan-perasaan semacamnya-dan fungsi sekunder--sebagai bahan hiburan (pengisi waktu luang, untuk selingan, untuk memunculkan suasana ceria, dan untuk memunculkan suasana keakraban), sebagai analogi dalam menjelaskan sesuatu, sebagai contoh dalam menjelaskan sesuatu, sebagai penarik perhatian, dan sebagai alat untuk menilai orang lain.
Anekdot-anekdot digunakan dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah karena anekdot sesuai dengan prinsip ketidaklangsungan masyarakat Jawa, pemakai dapat melimpahkan tanggung jawab pada sifat anekdot-anonim dan milik kolektif, anekdot bersifat lucu, dan karena anekdot mudah ditemukan, bahkan dapat dibuat sendiri. Dalam penggunaan anekdot tersebut ditemukan juga kendala-kendala, baik yang berasal dari pencerita maupun dari pendengar; namun selalu ada cara untuk menanggulanginya.
Dengan adanya berbagai macam jenis, fungsi, dan penggunaan anekdot seperti tersebut di atas, terlihatlah bahwa anekdot merupakan kebutuhan integratif bagi dosen dan mahasiswa. Dalam anekdot yang disampaikan tersebut terkandung makna-makna tertentu. Oleh karena itu, anekdot dalam kasus ini dapat juga dikatakan mempunyai makna sebagai simbol ekspresif, dalam arti menjadi sarana pengungkapan perasaan penggunanya.
Ungkapan perasaan yang dapat berupa ketidaksukaan, ketidaksenangan, ketidaksetujuan, ketidakpuasan, kemarahan, atau perasaan-perasaan semacamnya akan menjadikan penggunanya merasa lega, bebas dari himpitan yang ada dalam batinnya. Lepasnya ketegangan emosi yang kemudian memunculkan kepuasan itu disaranai oleh anekdot. Oleh karena itu, anekdot juga mempunyai makna penting sebagai katarsis jiwa bagi penggunanya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T1603
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Farida Swasono
"Disertasi ini mengkaji masalah kesehatan jiwa, khususnya masalah stres yang dialami oleh penduduk miskin yang tergusur oleh proyek pembangunan yang dilaksanakan di tempat tinggal mereka. Obyek penelitian adalah masyarakat Marunda Besar di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.
Kajian disertasi ini menunjukkan bahwa kompensasi material berupa biaya pindah tempat, yang kadangkala juga ditambah dengan penyediaan lokasi pemukiman baru sebagai suatu paket penggusuran, tidak menjamin penyelesaian masalah yang menimpa penduduk tergusur itu. Penggusuran ternyata memerlukan penyelesaian yang lebih terintegrasi, cermat dan penuh kepekaan, yang meliputi kesehatan jiwa mereka.
Peningkatan stres dan disintegrasi sosial-budaya terjadi pada pihak yang tergusur karena proyek pembangunan mengakibatkan perubahan lingkungan fisik dan sosial-budaya yang cepat. Terdapat lebih banyak respons maladaptif daripada respons adaptif, karena adanya keterbatasan kemampuan budaya masyarakat dalam beradaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan yang terlalu berat; yang muncul karena kehadiran proyek pembangunan dan segala akibatnya itu_ Karena itu kajian mengenai masalah stres yang dialami oleh masyarakat yang sedang membangun menjadi obyek yang relevan dan merupakan suatu tuntutan bags penelitian antropologi.
Penelitian ini mengacu kepada model teoritis yang dihasilkan oleh D.P. Lumsden mengenai sistem terbuka yang mengalami stres (amnen system under stress) dan teori integrasi-disintegrasi sosial-budaya yang diajukan oleh A.H. Leighton.
Untuk mengukur tingginya stres, digunakan instrumen penelitian Daftar Isian Kesehatan Cornell Medical Index (CMI) yang telah dimodifikasi oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI untuk digunakan di Indonesia. Dengan memodifikasi pula indikator-indikator Leighton agar sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Marunda Besar, dapat dihasilkan perhitungan korelasi antara skor disintegrasi sosial-budaya dan skor CMI.
Dari penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup empat pokok, yaitu:
Pertama, berbagai masalah lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya yang berat yang harus dihadapi oleh Marunda Besar, berpengaruh negatif pada kesehatan jiwa mereka.
Kedua, hasil pengukuran stres yang menggunakan kuesioner CMI menemukan adanya 73 orang dari 166 orang responden (43,98%) yang mengalami gangguan psikofisiologi yang bermakna. Angka persentasi ini cukup tinggi diperbandingkan dengan ukuran WHO yang menentukan prevalensi gangguan jiwa ringan dalam masyarakat pada umumnya hanya berkisar antara 40-80 orang di antara 1000 penduduk (4-8%).
Ketiga, perhitungan korelasi antara skor dieintegrasi sosial-budaya dan skor CMI lebih rendah (0,271) daripada penemuan hasil penelitian Leighton yang menunjukkan korelasi yang lebih tinggi (sekitar 0,45). Korelasi yang lebih rendah ini tampak berkaitan dengan konsepsi tentang nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang menimbulkan rasa aman, yang sebenarnya bersifat semu.
Keempat, pembangunan di lingkungan itu ternyata telah menimbulkan penderitaan psikologi, sosial-budaya dan ekonomi pada penduduk setempat. Hal ini dapat dilihat sebagai kekurangtepatan orientasi pembangunan dalam bentuk model pembangunan yang mengutamakan manfaat ekonomi secara makro, umat kurang memperhatikan kepentingan masyarakat di tingkat mikro, spasial dan sektoral. Kajian tentang stres, disintegrasi sosial-budaya, dan respons maledaptif yang bersumber pada hambatan kemampuan budaya masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam lingkungan, menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat diabaikan dalam penanganan masalah penggusuran. Masalah penggusuran dan kesehatan jiwa harus diperlakukan sebagai bagian integral dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Development Project, Relocation of Kampungs and Stress among the Marunda Besar Population, Northern JakartaThis dissertation examines the mental health problem, particularly stress, suffered by the poor facing relocation of their living quarters. The object of research was the population of Marunda Besar, Kelurahan Marunda, Northern Jakarta.
The research pointed out that material compensation in the form of moving expenses which sometimes was supplemented by the preparation of new location as a relocation package, did not guarantee in solving the problems' faced by the people. It turned out that re-location needed a more integrated 'solution, which is meticulous and subtle, towards the people's mental health.
An increase of the degree of stress and socio-cultural disintegration had been experienced by the relocated people, as the development project in the area created rapid environmental as well as socio-cultural changes. There were more maladaptive responses to these changing physical and socio-cultural environments than adaptive responses, since the existence of the project and its entire consequences had turned to be beyond the people's cultural ability to overcome_ Therefore the study on stress experienced by a developing community becomes a relevant one, which calls for an anthropological research.
This dissertation is based on the theoretical model by D.P. Lumeden concerning an open system under stress and the theory of socio-cultural integration-disintegration put forward by A. H. Leighton.
In measuring the degree of stress, the research instrument Cornell Medical Index (CMI) has been used. The instrument has been modified by the Directorate of Mental Health of the Department of Health of the Republic of Indonesia, for its use in Indonesia. With further modification on Leighton's indicators to make it relevant to the socio-cultural conditions of the Marunda Besar population, a correlation of the score of socio-cultural disintegration and CMI score could be made.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an integral part of the implementation of development projects.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an intregral part of the implementation of development projects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
D356
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>