Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 319 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ida Zahrotu Saidah
Abstrak :
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang ditandai dengan anjloknya nilai Rupiah terhadap dollar, membuat Indonesia mengundang masuk IMF untuk mengatasi hal tersebut. Akhirnya IMF pun masuk ke Indonesia dengan memberikan "resep" kepada pemerintah Indonesia yang tertuang di dalam Letter of Intent (LoI). Di dalam letter of Intent tersebut banyak sekali hal yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia meliputi segala sector termasuk bidang hukum yang jika tidak dilakukan oleh pemerintah Indonesia, tidak segan-segan IMF menunda pencairan pinjaman atau bahkan membatalkan. Pembentukan sejumlah peraturan di bidang ekonomi -hasil desakan IMF- merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia, namun hal ini tidak dapat disalahkan oleh hukum internasional karena hal ini terjadi atas kerelaan dari si negara penerima pinjaman. Dan bukan rahasia lagi seringkali perjanjian internasional atau pemberian pinjaman dimanfaatkan untuk mengintervensi negara penerima pinjaman untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginan pemberi pinjaman. Di bidang hukum ekonomi ada beberapa undang-undang yang dibentuk hasil tekanan dari IMF dan salah satunya adalah UU kepailitan. Karena dibuat terburu-terburu dan tidak melewati analisa yang mendalam, akhirnya Perpu Nomor 1 tahun 1998 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 4 tahun 1998 malah mengakibatkan kekacauan di dalam dunia bisnis Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Priambodo
Abstrak :
Dari data pada Bank Indonesia diketahui bahwa sepanjang tahun 2004, kredit Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi (UKMK) telah menunjukkan kinerja yang terus membaik. Sampai dengan bulan September 2004 (Triwulan III-2004), baki debet kredit UKMK telah mencapai Rp. 262,7 trilyun, meningkat sebesar 23,1 % dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah baki debet kredit UKMK tersebut adalah 50,7% dari total kredit perbankan (Rp. 518,4 trilyun) dan sebagian besar merupakan sektor produktif. Dari jumlah perkembangan kredit yang cukup signifikan tersebut tidak terlepas dari kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh UKMK dalam memanfaatkan dana lembaga trust "perbankan". Permasalahan yang selalu dihadapi oleh UKMK adalah masalah permodalan dan tersedianya agunan yang memenuhi persyaratan bank teknis. Dengan kondisi tersebut diperlukan adanya peranan pemerintah dalam mengangkat keberadaan dan memberdayakan UKMK Dalam hal Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Transmigrasi dan Koperasi Nomor 99/Kpts/MENTRANS-KOP/1970 tanggal 1 Juli 1970 telah membentuk suatu Lembaga Jaminan Kredit Koperasi (LJKK). Kemudian PP No. 51/1981 jo PP No. 27/1985, LJKK meleburkan menjadi Badan Usaha Mink Negara (BUMN) di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia dengan nama Perusahaan Umum (Perum) Pengembangan Keuangan Koperasi. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2000, Pemerintah telah memperluas jangkauan kepada UKMK dalam penjaminan kredit dengan perubahan nama menjadi Perusahaan Umum (Perum) Sarana Pengembangan Usaha (Perum Sarana) Sebagai satu-satunya lembaga penjamin kredit yang dimiliki oleh pemerintah, Perum Sarana berupaya untuk memberikan mediasi penjaminan kepada kegiatan usaha UKMK dalam menjembati kendala permodalan dan persyaratan agunan yang memenuhi persyaratan bank teknis. Sampai dengan 30 September 2004 (Triwulan III-2004) Perum Sarana telah menjamin kredit senilai Rp. 7,747 trilyun suatu jumlah yang cukup material dan signifikan bagi stimulus bisnis penjaminan kredit di Indonesia. Seiring dengan perkembangan produk perbankan yang semakin kompetitif dalam menarik perhatian nasabah. Kini dalam dunia perbankan dikenal 2 (dua) lembaga kredit yaitu kredit cash loan dan kredit non cash loan. Kedua jenis tersebut sangat dibutuhkan oleh kalangan pengusaha baik berskala korporasi yang konglomerasi maupun sekelas UKM. Keberadaan kredit non cash loan ini diminati oleh kalangan pengusaha sekelas UKM, mengingat dengan kehadiran Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah memberikan kesempatan kepada UKMK untuk dapat berkiprah secara aktif dalam kegiatan usaha di bidang pengadaan barang dan jasa. PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk salah satu Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di Industri perbankan menaruh perhatian yang cukup intens untuk pengembangan UKMK yaitu memanfaatkan salah satu product knowledge yaitu 'Kredit Non Cash Loan". Kredit Non Cash Loan ini dapat berupa UC Impor, Negosiasi Wesel Ekspor, Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), Forex Line dan Bank Garansi. Jenis kredit non cash loan yang cukup diminati oleh UKMK adalah Bank Garansi. Dalam pemberian fasilitas Kredit Non Cash Loan berupa bank garansi kepada UKMK, Bank Mandiri juga mempersyaratkan adanya agunan/collateral yang mempunyai nilai marketable yang tinggi dan dilindungi dengan status hukum yang pasti dalam hak kepemilikan agunan/collateral tersebut. Persyaratan demikian menimbulkan hambatan bagi UKMK dalam memperoleh fasilitas kredit non cash loan tersebut. Dengan adanya keberadaan lembaga penjamin kredit "Perum Sarana? hambatan yang dialami oleh UKMK dapat dieliminasi mengingat keberadaan Perum Sarana adalah sebagai lembaga penjamin kredit UKMK yang dapat berfungsi sebagai pengganti agunan/collateral yang tidak dimiliki UKMK. Berkaitan dengan penjaminan kredit non cash loan (bank garansi) oleh Perum Sarana juga menimbulkan pertanyaan mendasar di bidang hukum apakah penjaminan terhadap kredit non cash loan diperkenankan oleh konsepsi atau konstruksi hukum penjaminan yang berlaku di Indonesia. Pemanfaatan konstruksi hukum penanggungan hutang sebagaimana termuat pada Pasal 1820-1850 KUHPerdata dalam konstruksi penjaminan kredit non cash loan (bank garansi) merupakan sumbangan hukum dalam pembangunan ekonomi khususnya memberikan solusi bagi UKMK dalam mengakses ke lembaga trust "perbankan". Perlu dipahami selama ini bisnis di bidang penjaminan kredit belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang cukup lengkap dibandingkan bisnis di bidang asuransi kredit sehingga dalam memberikan pelayanan penjaminan kredit non cash loan kepada UKMK perlu mencari terobosan hukum (legal loophole) yang tidak menimbulkan gesekan dengan konsepsi dasar hukum konstruksi penjaminan. Perlu dipahami bahwa antara penjaminan kredit dan asuransi kredit adalah 2 (dua) konstruksi hukum yang berbeda. Sebagai perbandingan diambil contoh dari negara Jepang yang mempunyai lembaga penjaminan, kredit dan lembaga asuransi kredit dalam pengembangan UKMK. Sampai saat ini lembaga penjaminan kredit belum mempunyai peraturan perundangan-undangan yang terkodifikasi dibandingkan dengan lembaga asuransi kredit. Dalam hal ini akan dikaji secara hukum apakah diperkenankan melakukan konstruksi hukum penjaminan atas kredit non cash loan (bank garansi) tersebut. Diharapkan terobosan hukum atas konstruksi hukum penjaminan seperti penjaminan kredit non cash loan ini dapat memberikan implikasi yang positif bagi pembaharuan konstruksi hukum penjaminan dan memberikan manfaat yang positif dalam mendukung UKMK dalam memperoleh akses ke perbankan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marba`i
Abstrak :
Didalam melaksanakan kegiatan ekonomi perusahaan para pelaku usaha akan selalu menjalankan dengan cara-cara yang baik sesuai aturan-aturan yang biasa digunakannya, namun seringkali menjumpai masalah diantara para pelaku usaha tersebut. Keadaan seperti itu sesungguhnya sudah disadari sejak awal oleh pelaku usaha, oleh karena itu jauh-jauh hari sudah disiapkan juga suatu cara-cara pemecahan bila masalah-masalah tersebut memang benar-benar menjadi kenyataan dan tidak dapat dihindari. Disamping penyelesaian sengketa dengan cara musyawarah dimana cara ini merupakan cara penyelesaian sengketa paling sederhana namun dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa, maka apabila cara ini gagal ditempuh biasanya menggunakan cara-cara lain diantaranya adalah mediasi. Sudah lama diketahui bahwa penyelesaian perkara melalui pengadilan menghabiskan banyak waktu, apalagi apabila harus melalui proses banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali, disamping diperlukan biaya-biaya yang cukup tinggi. Itulah sebabnya kemunculan cara arbitrase, menjadi tandingan yang nyata bagi pengadilan, mengingat proses arbitrase dibatasi hanya enam bulan. Dalam waktu enam bulan tersebut harus sudah ada putusan, sedangkan putusannya sendiri bersifat final dan mengikat. Dikeluarkannya Undang-Undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan suatu produk hukum yang ditunggu-tunggu pelaku usaha, hal ini terlihat betapa antusiasnya pelaku usaha menggunakan cara ini, dan tampak nyata makin padatnya acara-acara penyelesaian perkara melalui arbitrase. Pada saat ini keberadaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia sangat menonjol, hal mana tidak terlepas dari menonjolnya keunggulan arbitrase, terutama sekali karena unggulnya disebabkan karena waktu penyelesaian lebih cepat, putusan cepat diperoleh, biaya pun relatif lebih murah, jika dibanding penyelesaian perkara diselesaikan melalui pengadilan, dimana penyelesaian proses pengadilan sehingga diperoleh suatu putusan tetap, memerlukan waktu yang lama malahan hingga beberapa tahun. Bagi para pelaku usaha kecepatan penyelesaian sengketa adalah sangat perlu, sebab disamping segera terbebas dari hambatan karena masalah tersebut, waktu akan diperuntukkan bagi pengembangan usaha. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menangani banyak masalah seperti disebut didalam buku pelayanannya disebutkan bahwa bahan-bahan yang dapat diarbitrasekan adalah: Asuransi, Keuangan Perbankan, Paten, Hak Cipta, Penerbangan, Telekomunikasi, Ruang Angkasa, Kerjasama, Pertambangan, Angkutan Laut & Udara, Lingkungan Hidup, Fabrikasi, Industri, Perdagangan, Lisensi, Keagunan, Hak Milik Intelektual, Design, Konsultasi, Distribusi, Maritim & Perkapalan, Konstruksi, dan Penginderaan Jauh. Dari begitu banyak bidang yang dapat ditangani oleh BANI, pada saat ini terutama setelah terjadi kelesuan ekonomi pada 1997, masalah-masalah konstruksi menjadi sangat menonjol. Seiring dengan perkembangan pembangunan negara maka hal yang sangat menjadi dasar perkembangan kemajuan negara adalah bertumpu pada masalah kebutuhan sarana dan prasarana pembangunan negara. Terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana pembangunan negara, seperti pembangunan jalan, jembatan, bendungan, lapangan terbang, pelabuhan, gedung bertingkat untuk perkantoran maupun untuk tempat tinggal maupun gudang-gudang merupakan sarana yang wajib ada untuk dapat memperlancar roda ekonomi. Pada saat ini negara kita sedang giat-giatnya memacu pembangunan sarana dan prasarana tersebut, dengan harapan tercapainya pembangunan tersebut akan mempercepat pertumbuhan ekonomi negara. Bidang kerja seperti tersebut diatas sering disebut bidang konstruksi. Kegiatannya sangat tipikal, malahan yang lebih menonjol lagi bidang tersebut dibawah penanganan dan pengawasan suatu departemen yang dikenal dengan nama Departemen Pekerjaan Umum. Didalam praktek pelaksanaan pembangunan banyak melibatkan konstruktor-konstruktor dari dalam negeri, maupun dari luar negeri, mengingat sebagian biaya pembangunan tersebut berasal dari luar negeri juga, disamping untuk pelaksanaan konstruksi-konstruksi khusus memerlukan ahli-ahli khusus pula dari luar negeri.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T14548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salviadona Tri P.
Abstrak :
Asas legalitas merupakan suatu asas yang utama dalam hukum pidana. Asas ini berlaku secara universal karena diakui dan dianut oleh semua sistem hukum di dunia. Salah satu yang terpenting dalam elemen asas legalitas adalah larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan perundang-undangan. Asas ini dianut dan diterapkan telah begitu lama di hampir semua sistem hukum termasuk di Indonesia. Pengakuan atas prinsip ini terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP serta dalam Pasal 28 I UUD 1945 Amandemen Kedua. Sejalan dengan prinsip tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 013/PUU-I/2003 menyatakan bahwa Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan Konstitusi serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap proses pemeriksaan para tersangka, terdakwa dan terpidana Bom Bali adalah semuanya harus dinyatakan batal demi hukum. Atas dasar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/PUU-I/2003, maka muncul hak-hak bagi para tersangka, terdakwa dan terpidana bom Bali. Pelaku yang masih berstatus tersangka mempunyai hak untuk tidak diproses secara hukum baik materiil maupun formil dengan menggunakan Undang-Undang tentang Pemberantasan Terorisme. Namun dalam pelaksanaannya Putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak ditaati dan dilaksanakan oleh lembaga yang terkait dengan sistem peradilan pidana. Faktor yang menyebabakan tidak ditaati dan dilaksanakannya Putusan Mahkamah Konstitusi adalah karena Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur mengenai konsekwensi atau akibat hukum yang harus dilaksanakan apabila suatu Undang-Undang dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15422
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endo Anugrah
Abstrak :
Rokok adalah salah satu produk komoditi perdagangan yang terdapat hampir di seluruh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Rokok juga diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Menurut Pasal 1 butir 1 peraturan Pemerintah nomor 81 Tahun 1999 juncto pasal 1 butir 1 peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan menjelaskan definisi dari rokok adalah: "Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tobacum, Nicotiana Rustica, dan species lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan" Tingkat konsumsi rokok di Indonesia dewasa ini sudah pada tahap mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan di sini adalah pada faktor kesehatan, baik kesehatan bagi si konsumen itu sendiri maupun bagi orang-orang disekitarnya yang tidak mengkonsumsi rokok. Karena dari asap yang dihasilkan satu batang rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia seperti nikotin, CO, NO, HCN, NH4, acrolein, acetilen, benzaldehyde, urethane, benzene, methanol, coumarin, etilkatehol-4, ortokresol, perilen dan lain-lain yang dapat mencemarkan udara dan menganggu sistem pernapasan si perokok. Hal inilah yang coba diatur oleh Pemerintah, baik Pemerintah pusat maupun Pemerintah daerah untuk menanggulangi dampak negatif yang diakibatkan dari rokok dengan cara melakukan kampanye anti rokok maupun dengan cara mengeluarkan produk-produk hukum pengaturan konsumsi rokok yang bertujuan untuk menjaga kesehatan kita bersama.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rengga Damayanti
Abstrak :
Penelitian berjudul Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini berisi tentang kondisi pra dan pasca kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak tahun 2005. Penulis ingin mengetahui bagaimana keterlibatan konsumen dalam perumusan kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini. Keterlibatan konsumen ini dinilai penting berkait dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen DaIam PasaI 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Selain itu penulis juga ingin mengetahui landasan hukum yang dijadikan pegangan pemerintah dalam menaikan harga Bahan Bakar Minyak tahun 2005. Terakhir, penulis hanya berharap agar di kemudian hari pemerintah dapat melibatkan konsumen dalam setiap pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, khususnya kebutuhan harga pokok seperti kenaikan harga bahan bakar minyak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan_ yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Purnamasari
Abstrak :
World Trade Organization (WTG) telah menghasilkan Persetujuan Umum Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement on Trade in Services-GATS). Dalam GATS terdapat prinsip-prinsip dasar yang terdiri dari Most Favoured Nations; National Treatment; dan Transparansi. Sehubungan dengan hal tersebut, semakin merebaknya masalah globalisasi serta liberalisasi ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia, akan mempengaruhi industri asuransi di Indonesia. Apabila Indonesia akan membuat komitmen dalam jasa asuransi, maka Indonesia harus tunduk pada ketentuan GATS. Konsekuensi pelaksanaan komitmen itu ialah melakukan reformasi terhadap semua peraturan perundangan-undangan di bidang asuransi yang tidak sesuai dengan prinsip dan ketentuan GATS. Pokok permasalahan yang dikemukakan adalah apakah peraturan perundangan-undangan perasuransian yang berlaku saat ini telah mendukung apabila Indonesia membuat komitmen untuk tunduk pada GATS dalam sektor jasa asuransi dan bagaimana prakteknya di Indonesia; hal-hal apakah yang ditentukan oleh GATS terhadap negara-negara anggotanya dalam membuat komitmen serta bagaimana proteksi Pemerintah Indonesia terhadap industri asuransi nasional melalui peraturan. Dalam penulisan tesis ini, tipe penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis-normatif. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang akan dianalisis secara kualitatif. Dalam menarik kesimpulan akan digunakan metode induktif. Hasil penelitian menunjukkan dalam peraturan perundang-undangan perasuransian Indonesia masih terdapat beberapa pasal yang harus disesuaikan dengan prinsip National Treatment. Dalam kenyataannya, walaupun Indonesia belum membuat komitmen dalam GATS, ada beberapa perusahaan asuransi asing, dengan bentuk joint venture antara pihak asing dengan pihak nasional, yang telah melakukan usahanya di Indonesia. Dalam membuat komitmen di GATS, ada beberapa hal yang harus dipenuhi, berkaitan dengan kewajiban-kewajiban oleh negara anggota, sebagaimana yang dimuat dalam GATS. Secara garis besar, proteksi pemerintah terhadap industri asuransi nasional dapat dibedakan atas 3 (tiga) hal, yaitu perlindungan terhadap kepemilikan saham pihak nasional; pembatasan bagi pihak asing; kesehatan perusahaan asuransi nasional.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
MDC Firdaus
Abstrak :
Latar belakang tesis ini adalah adanya cara atau prosedur sengketa pajak yang diatur dalam UU KUP maupun UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, yang bila dicermati belum memberikan perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak. Masalah yang dikaji adalah mengapa beberapa ketentuan sengketa pajak yang diatur dalam UU KUP belum memberikan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak?; dan mengapa beberapa ketentuan sengketa pajak yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2002 tidak memberikan perlindungan hukum kepada Wajib Pajak? Hasil penelitian menunjukkan ketentuan dalam UU KUP belum memberikan perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak antara lain; Pasal 25 ayat (1) bahwa STP tidak dapat diajukan keberatan karena penerbitan STP tidak menimbulkan persengketaan. Ironis dengan Pasal 14 ayat (2) UU KUP bahwa STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP, seharusnya atas STP dapat juga diajukan keberatan; Pasal 25 ayat (7) UU KUP pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak, selain bukan syarat formal pengajuan keberatan juga bertentangan dengan pelaksanaan sistem self assesment sebagaimana Pasal 12 ayat (1) UU KUP; dan Pasal 26 ayat (3) UU KUP tidak mengakomodir keputusan sengketa pajak berupa surat jawaban Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan formal tersebut, dapat diajukan banding. Hasil penelitian lainnya; Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP permohonan peninjauan pengurangan/pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, tidak memberikan peluang kepada Wajib Pajak meneruskan sengketa pajak ke tingkat banding di Pengadilan Pajak ; ketentuan Pasal 27 A UU KUP tidak memberikan perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak karena imbalan bunga hanya dapat diberikan apabila Keputusan Keberatan atau Putusan Banding berasal dari keberatan atau banding atas SKPKB atau SKPKBT saja yang mengakibatkan lebih bayar; dan adanya ketentuan persyaratan melunasi 50% pajak terutang dalam pengajuan banding bertentangan dengan mekanisme peradilan pada umumnya karena belum terdapat keputusan hukum yang tetap. Penuiis mengusulkan adanya perubahan dalam ketentuan UU KUP dan UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berkait dengan sengketa pajak, guna perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak.
The thesis has background the way or procedure of the tax dispute as arranged in UU KUP and UU Number 14 Year 2002 about The Tax Court, if being concerned aren't give the law protection to the Taxpayer. Problems that discussed in this research are: why such rules about tax dispute as arranged in UU KUP are not yet give the law protection to the Taxpayer?; and why such rules about tax dispute as arranged in UU Number 14 Year 2002 are not give the law protection to the Taxpayer? The results of the research indicate that such rules about the tax dispute as arranged in UU KUP are not yet give the law protection to the Taxpayer for example; Section 25 paragraph (1) that objection cannot be raised over STP because the publication of STP will not generate the tax dispute. Ironic if be compared with Section 14 paragraph (2) UU KUP determine STP have same legal force with SKP, the objection should be raised over STP; Section 25 paragraph (7) UU KUP the objection shall not delay the obligation to pay the tax and performance of the collection, beside not the formal conditions to submitted the tax dispute that the objection its contrary with self assessment system performance as arranged in Section 12 paragraph (1) UU KUP; and Section 26 paragraph (3) UU KUP is not accommodate the tax dispute decision by replied letter from Director General of Tax that declare the objection submitted by the Taxpayer do not fulfill the formal conditions, the request for appeal shall be submitted. Such another result of the research ; Section 36 paragraph (1) point b UU KUP the request for reviewing the deduction or the cancellation of the uncorrectly tax decision do not give to the Taxpayer having chance to performing their tax dispute process up to the Tax Court appeal level; the rule as Section 27 A UU KUP do not give the law protection to the Taxpayer because the interest refund is only give to the Taxpayer if the objection or appeal decision based on the objection or appeal over SKPKB or SKPKBT that proceed overpayment; and existence of the condition to pay 50 % of the tax debts in the submission of request for the appeal contrary with the common of the court mechanism because its have not yet the definitive of the law decision. The writer proposes to be performing some kind of changes to the law and regulations of the taxation in UU KUP and UU Number 14 Year 2002 that circumstance to the performance of the law protection to the Taxpayer in the tax dispute.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Anwarsyah
Abstrak :
Dalam perkembangan dunia perdagangan yang semakin maju, merek mempunyai peran yang sangat panting, bahkan pentingnya merek ini dapat melebihi dari produk yang dihasilkan. Merek yang pada awalnya digunakan untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan dengan menunjukkan asal-usul barang, pada perkembangan selanjutnya digunakan pula untuk menghindarkan terjadinya peniruarl, bahkan dewasa ini merek telah menjadi bagian dari komoditi dagang itu sendiri. Oleh karena itu, negara-negara yang berkepentingan terhadap merek tersebut selalu memperbaharui perundang-undangan merek di negaranya tersebut. Di Indonesia sendiri pengaturan atas merek telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir adalah dengan dikeluarkannya UU No. 15 Tahun 2001, yang dimaksudkan antara lain selain untuk mengikuti dan menghadapi era perdagangan global serta untuk mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, juga sebagai tindak lanjut penerapan konvensi-konvensi internasianal tentang merek yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Untuk memberikan kepastian hukum terhadap pemakai merek, UU Merek No. 15 Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif, yaitu sistem yang memberikan perlindungan hukum kepada pihak yang telah mendaftarkan mereknya secara resmi_ Meskipun sistem konstitutif yang dianut cleh UU Merek dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemilik merek terdaftar, tetapi UU Merek juga memberikan hak kepada yang berkepentingan untuk memohon penghapuscn dan atau membatalkan pendaftaran merek dari daftar umum merek. Dalam prakteknya, yang menjadi alasan pembatalan suatu merek terdaftar adalah sebagaimana disebut pada Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001 yaitu mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milk pihak lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang danlatau jasa sejenis. Sedangkan untuk menilai apakah suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya tersebut adalah pengadilan. Penelitian penulis membuktikan bahwa terhadap kriteria adanya persamaan pada keseluruhannya, pengadilan cenderung berpendapat yang sama antara satu putusan dengan putusan lainnya terhadap perkara sejenis. Namun, terhadap kasus-kasus yang mengandung adanya persamaan pada pokoknya, pendapat pengadilan cenderung tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini sebenamya bertolak belakang dari latar belakang perubahan sistem pendaftaran merek dari sistem dekiaratif menjadi konstitutif yang diatur dalam UU Merek, yang bertujuan untuk menciptakan adanya kepastian hukum. Apalagi yang menjadi alasan pembatalan merek tersebut adalah alasan substantif yang sebenarnya telah dilewati dalam proses permohonan di kantor merek. Oleh karenanya, untuk merealisasikan kepastian hukum sebagaimana dikehendaki oleh UU tersebut, petugas pendaftaran merek juga perlu untuk meningkatkan kinerja dalam melaksanakan pendaftaran merek tersebut, sehingga terhadap merek yang jelas sama tidak dapat didaftarkan kembali dan merek-merek yang diterima pendaftarannya adalah merek-merek yang jelas telah memenuhi persyaratan substantif.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Aulawi
Abstrak :
Perkembangan e-commerce tidak terlepas dari laju pertumbuhan Internet, hal ini mengingat Internet merupakan infrastruktur bagi e-commerce. Tak kurang dari 45 juta orang di dunia pada bulan Juli 1999 telah menggunakan Internet. Memang tak dipungkiri bahwa sejumlah pengguna Internet itu akan menggunakan jasa internet untuk melakukan transaksi E-commerce. E-commerce sebagai suatu perangkat transaksi perdagangan yang menggunakan teknologi yang cukup tinggi, tentunya dihadapkan oleh sekelumit permasalahan hukum yang kompleks. Tidak saja bagaimana hukum mengatur tentang sistem keamanan transaksinya, namun juga lebih jauh dan itu, bagaimana hukum menjamin perlindungan atas pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi e-commerce itu Secara garis besar permasalahan e-commerce dalam perlindungan konsumen muncul pada mekanisme pembayaran, kontrak dan perlindungan terhadap data-data individual konsumen yang diberikan kepada perusahaan atau pelaku usaha. Aspek hukum perlindungan konsumen terutama pada perlindungan terhadap hak-hak konsumen saat ini merupakan suatu perhatian yang mendapat tanggapan secara global, terutama bagi negara-negara yang mengaktualisasikan e-commerce ini sebagai bagian dari proses perdagangan. Perhatian ini cukup ditekankan mengingat telah banyaknya kasus yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce. Berdasarkan analisa terhadap studi kasus yang dilakukan oleh Lembaga Konsumen Internasional, terjadi beberapa kasus pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Perlindungan terhadap hak konsumen untuk mendapat keamanan dalam transaksi e-commerce dapat dikaji dan perlindungan atas hak konsumen untuk mendapatkan keamanan dari sudut mekanisme pembayaran, kontrak dan perlindungan atas data-data individu konsumen yang diberikan kepada pelaku usaha. Sedangkan kajian atas analisa yuridis terhadap perlindungan terhadap hak konsumen untuk mendapat keamanan dalam transaksi e-commerce dilakukan dengan memperhatikan kajian atas peraturan perundang-undangan dan studi kasus, walaupun sampai saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang relevan yang mengatur tentang hal tersebut.
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T16657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>