Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riza Gaffar
"Kepailitan diharapkan menjadi upaya terakhir penyelesaian masalah utang-piutang yang dapat dilaksanakan dengan mudah, cepat dan efektif. Untuk itu Undang-Undang Kepailitan menggunakan lembaga lelang sebagai alternatif utama untuk penjualan (eksekusi) harta pailit. Di samping itu jika lelang tidak tercapai dimungkinkan dilakukan penjualan di bawah tangan oleh Kurator dengan izin Hakim Pengawas. Meskipun pada dasarnya lelang mempunyai asas-asas yang sangat tepat sebagai sarana penjualan harta pailit, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak selalu demikian. sehingga menimbulkan tambahan biaya yang akan membebani harta pailit. Jadi sering terjadi sudah beberapa kali dilelang, harta pailit, tidak terjual. Dalam hal jika sudah dilakukan lelang, tidak terjual juga, maka Undang-Undang Kepailitan memberikan alternatif penyelesaian dengan cara penjualan di bawah tangan, yang harus dengan izin Hakim Pengawas. Undang-Undang Kepailitan sendiri tidak memberikan kriteria apa dan bagaimana yang dimaksud dengan penjualan di bawah tangan. Sehingga dalam prakteknya, Kurator mencari jalan keluar sendiri, yang mana agar bisa diterima oleh Hakim Pengawas dengan tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang ada. Yang dilakukan oleh Kurator untuk melakukan penjualan di bawah tangan didahului dengan melakukan penilaian atas harta pailit yang dilakukan oleh Penilai Independen, meminta persetujuan para Kreditor, sehingga akan didapat harga yang wajar.

Bankruptcy becomes significant problem in Indonesia as the monetary and economic crisis in 2008. Bankruptcy is expected to be a last resort debt-settlement issues that can be implemented easily, quickly and effectively. For that use the Bankruptcy Act as the main alternative auction institutions for bankruptcy asset sales. Besides, if the auction is not possible to be achieved unofficial public auction (direct sale) with the permission of the Supervisory Judge. Although basically the auction has principles that is appropriate as a means of bankruptcy asset sales, but its execution was not always so. Often there is an auction sale of the assets of bankrupt (bankruptcy assets execution) does not occur because there are no bids, or bidders only one person, resulting in additional costs which will burden the bankruptcy assets. This happens because the auction is not fully understood by society and the lack of dissemination of information about the auction. In case if you've done an auction, not sold as well, so by the Bankruptcy Act provide alternative solutions by way of sale unofficial public auction (direct sale) to the assets of bankrupt, which should be with the permission of the Supervisory Judge. Bankruptcy Act itself does not provide criteria for how and what is meant by the sale under the counter. Thus, in practice, the curator looking for a way out themselves, which in order to be accepted by the Supervisory Judge rules to not infringe existing legislation. Conducted by the curator to make direct sale preceded by conducting assessments of the bankruptcy assets conducted by the Independent Appraiser, requested approval of its creditors, which will get a fair price."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27421
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riyana Ridwan
"Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sengketa pajak timbul karena adanya kesalahpahaman, perbedaan persepsi, atau perbedaan dalam menafsirkan dan menerapkan ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku atau masalah perbedaan dalam cara perhitungan pajak.
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu terhadap Putusan Pengadilan Pajak tersebut tidak bisa lagi dilakukan Banding atau Kasasi. Namun bagi pihakpihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim yang tidak memihak (impartial) sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Jadi tidak dapat bila putusan Hakim Pengadilan Pajak yang memenangkan Wajib Pajak dianggap merugikan negara. Penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis dan data yang dianalisis dengan pendekatan kualitatif.

Taxes are cash contributions to the people of the State based on law (which can be enforced) by not getting services-lead (contra), who may be appointed directly and used to pay for general expenses. Tax disputes arise because of misunderstandings, differences of perception, or differences in interpreting and applying the provisions of the applicable tax or issue differences in the way of tax calculation. The Tax Court is the judicial bodies carry out the judicial authorities for Taxpayers or tax Insurers who seek justice against the tax dispute. Tax Court decision is a final decision and have permanent legal force. Therefore, to the Tax Court can no longer be done Appeal or the Appeal. But for the parties to the dispute may file a judicial review against the verdict to the Supreme Court. Tax Court decision is taken based on the assessment of evidence, taxation laws and regulations concerned, and based on the belief that judges are impartial as the implementation of an independent judicial power. So can not judge if the Tax Court decision that won the taxpayer is considered detrimental to the state. Writing this juridical normative research methods and data were analyzed using a qualitative approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27425
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hapsari Setiarini
"Tesis ini membahas mengenai pelanggaran jabatan Notaris berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris dalam penerbitan dua salinan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT XYZ yang dibuat oleh Notaris N denfan nomor yang sama tetapi memuat isi yang berbeda. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan tipologi deskriptif analisis dan preskriptif. Hasil penelitian menyarankan bahwa Notaris hendaknya meneliti kelengkapan dan keabsahan dokumen serta mempertimbangkan kebenaran materil dari keterangan para pihak sebagai suatu sikap kehati-hatian dan seksama dalam menerbitkan salinan akta."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T27433
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Feby Adli Yanti
"Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur mengenai kewenangan, kewajiban dan larangan Notaris, serta mengatur tata cara pembuatan akta Notaris. Notaris adalah pejabat umum dan dasar utama profesi Notaris adalah kepercayaan, oleh karena itu Notaris wajib bertindak jujur dan tidak berpihak. Dalam penulisan tesis ini penulis membahas mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris, menganalisis putusan Majelis Pemeriksa Pusat Notaris, dalam upaya untuk mengetahui dampak yang ditimbulkannya serta sanksi yang dapat diberikan kepada Notaris yang melakukan pelanggaran. Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata, administrasi maupun pidana.

Constitution number 30 of 2004 of Notary`s profession regulates an authority, obligations and prohibitions of Notary`s, and regulate the procedure of making Notary's deed. Notary`s is a public official and the main basis of the Notary`s profession is trust, therefore a Notary obliged to act honestly and not taking side. In this thesis author discusses about the violations commited by Notary`s, analize the council decision investigator Notary`s center`s, during its effort to learning the impact and the sanctions that can be given to the Notary who commit violations. In Notary profession constitution were ruled that if Notary found commits a violation the sanction will be imposed for Notary such as civil code sanction, administration or even criminal law."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T 27409
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Zaleha Saptaria
"Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Apabila Notaris tersebut dalam menjalankan jabatannya ternyata diketahui melakukan pelanggaran, kesalahan atau kelalaian yang menimbulkan kerugian bagi kliennya, maka Notaris tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Sanksi Notaris diatur dalam Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN. Dalam UUJN diatur sanksi Perdata dan sanksi Administratif bagi Notaris yang melakukan pelanggaran tersebut. UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris. Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas yang bertugas membantu Menteri dalam mengawasi Notaris meliputi perilaku dan pelaksanaan dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris.

Notary is a public officer who by law is given the authority and trust of the people to run some power of the State to create an authentic written evidence in the field of civil law. Deed authenticated by the Notary has the power itself of perfect proof and provide legal certainty. If the Notary is found in exercise his job have some fraud or negligence, errors or omissions that causes losses for his clients, then the Notary is obliged by law to account and liability for his actions. Notary sanctions provided in Article 84 and Article 85 UUJN. In UUJN Civil penalties and sanctions provided for the notary who Administrative committed the fraud. UUJN not regulate criminal sanction for the Notary. In supervising the notary, the Minister formed the Supervisory Council of Ministers tasked to assist in overseeing the conduct and execution of Notary included in exercise his job as a Notary if there Notary who has committed a violation of regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27493
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alfa Sidharta Brahmandita
"Sebelum adanya pengaturan dalam UU No. 24 Tahun 2009, tidak ada kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap Nota Kesepahaman dan Kontrak perorangan. Seluruh pengaturan mengenai perjanjian masih murni menggunakan ketentuan didalam KUH Perdata, yang mana aturan-aturan atau Pasal-Pasal dalam suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak akan berlaku sebagai hukum yang mengikat para pihak yang dalam perjanjian. Setelah tanggal 9 Juli 2009 telah disahkan dan diundangkan UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu Kebangsaan. Pada kesempatan ini bentuk perjanjian yang akan penulis bahas adalah mengenai transaksi derivatif dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 81/PDT.G/2009/PN.JKT.PST. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata gugatan dalam tingkat pertama menjatuhkan putusan dalam perkara antara: PT. Nubika Jaya sebagai Penggugat dan Standard Chartered Bank sebagai Tergugat. Transaksi Derivatif yang dilakukan antara Penggugat dan Tergugat dalam perkara ini dibuat oleh Tergugat dalam Bahasa Inggris, dimana Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 dan No. 11/26/PBI/2009 yang mewajibkan setiap produk Bank dalam hal ini Transaksi Derivatif untuk membuatnya dalam Bahasa Indonesia, yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara Serta Lagu Kebangsaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Target Redemption Forward antara PT. Nubika Jaya dan Standard Chartered Bank ini bertentangan dengan Undang-Undang, selanjutnya akibat hukum dari Perjanjian ini seharusnya menjadi batal demi hukum, dikarenakan tidak memenuhi syarat keempat dalam Pasal 1320 KUH Perdata tentang kausa yang halal, sehingga Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala konsekuensi hukumnya. Penelitian ini merupakan penelitian yang deskriptif dengan menggunakan metode yuridis normatif.

Prior to the setting in the Law No. 24 In 2009, there is no obligation to use Indonesian in each individual Memorandum of Understanding and Contract. The whole arrangement of the agreement is still pure use provisions of Civil Code, which rules or Articles in a contract lawfully made by the parties shall enter into force as law binding on the parties in the agreement. After the date of July 9, 2009 was approved and promulgated the Law No.24 year 2009 on Flag, Language, and the State Seal, and the song Nationality. On this occasion an agreement that will form the authors discuss are related to derivative transactions in the Central Jakarta District Court Decision No: 81/PDT.G/2009/PN.JKT.PST. Central Jakarta District Court to examine and adjudicate civil litigation matters in the first degree verdict in the case between: PT. Nubika Jaya as the Plaintiff and Standard Chartered Bank as a defendant. Derivative transactions are conducted between the plaintiff and defendant in this case made by the Accused in English, which the Bank Indonesia issued Bank Indonesia Regulation. 7/6/PBI/2005 and No. 11/26/PBI/2009 which requires every bank product in this case the Derivative Transactions to make it in Bahasa Indonesian, which is in accordance with the provisions of Article 31 paragraph (1) of Law No. 24 Year 2009 About the Flag, Language, and the Seal of State And National Anthem. It concluded that the Target Redemption Forward Agreement between PT. Nubika Jaya and Standard Chartered Bank is in contravention of the Law, then the legal consequences of this agreement should become null and void, because not meet the fourth requirement in Article 1320 Civil Code regarding the lawful movement, so the agreement between plaintiff and defendant does not have the force binding law with all its legal consequences. This study is a descriptive study using a normative juridical."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27504
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library