Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17606 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yulia Anastasia Fu`ada
Abstrak :
Transfer pricing audit sering mengakibatkan perselisihan (dispute) antara perusahaan multinasional dengan pemerintah setempat atau otoritas pajak asing lainnya. Pemeriksaan, proses administrasi dan proses peradilan yang menyertai pendekatan tradisional dalam menyelesaikan masalah transfer pricing ini bia-sanya memakan waktu, tenaga dan biaya untuk kedua belah pihak. Masalah yang terkatung-katung secara berlarut-larut ini menimbulkan ketidakpastian bagi perusahaan multinasional. Penerapan APA merupakan solusi yang lebih baik untuk menghindari proses pengadilan (litigation) atau arbitase. Program APA memberikan kesempatan kepada Otoritas Pajak dan perusahaan multinasional untuk saling bertemu dalam satu meja untuk menyelesaikan masalah transfer pricing lebih awal dan dalam satu proses yang lebih cepat. Kondisi ini akan lebih menghindarkan kedua belah pihak dari perselisihan yang berlarut-larut dan lebih memberikan kepastian kepada perusahaan multnasional mengenai nasibnya dimasa yang akan datang berkaitan dengan masalah transfer pricing. Penerapan APA di negara-negara terutama di kawasan Amerika dan Eropa dan sedikit negara pasifik dipertimbangkan sebagai alternatif penyelesaian masalah transfre pricing lebih awal. Di Indonesia, penerapan APA sebagai pendekatan baru untuk mencegah transfer pricing juga merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan lagi dan merupakan konsekuensi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat perpajakan internasional. Mengingat APA merupakan hal yang masih baru, Direktorat Jenderal Pajak berusaha untuk mengadopsi aturan-aturan APA yang telah diberlakukan oleh negara lain dan yang diterapkan oleh OECD untuk kemudian diaplikasikan di Indonesia setelah dilakukan penyesuaian seperlunya. Penelitian ini ditujukan untuk membahas perbandingan antara draft peraturan APA Indonesia dengan peraturan APA Amerika Serikat. Hasil perbandingan tersebut akan dijadikan sebagai dasar usulan dalam pembuatan APA di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Nur Astari
Abstrak :
Pada Krisis ekonomi yang dimulai pada tahun 1997 perbankan menduduki posisi kritis yang secara umum disebabkan oleh dua hal yakni pertama, deregulasi bidang perbankan yang terlalu mamberikan kemudahan bagi bank-bank disertai kurangnya pengawasan pemerintah untuk menjalankan deregulasi tersebut dan kedua yaitu timbulnya kredit macet yang besar akibat faktor yang pertama tadi. Untuk mengatasi hal tersebut Bank Indonesia menyarankan agar Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melakukan tindakan terhadap bank-bank umum peserta rekapitalisasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1989 tentang program rekapitalisasi bank Umum, yang bertujuan rnembantu meningkatkan permodalan bank Umum. Dalam rangka pelaksanan program rekapitalisasi bank Umum itu rnaka pemerintah memandang perlu dilakukan rekapitalisasi terhadap Bank Dalam Penyehatan yang berstatus Bank Take Over (BTO) yaitu Bank Dalam Penyehatan yang pengoperasian serta pengendaliannya diserahkan oleh Bank Indonesia kepada BPPN. Dengan kewenangan yang dimilikinya itu BPPN melakukan merger terhadap Bank-Bank Take Over yang diperkirakan tidak dapat memenuhi rasio kecukupan modal 8 persen pada akhir tahun 2001 dengan bank lain yang rasio kecukupan modalnya lebih baik sehingga dapat diperoleh bank yang lebih solid, tangguh dan sehat, yang kemudian diharapkan dapat mengakhiri krisis perbankan saat ini. Untuk dapat mencapai tujuan diatas maka BPPN mengadakan merger antara Bank Danamon dan Delapan Bank Take Over; Bank Tiara, Bank Duta, Tamara Bank, Bank Jaya, Bank Pos Nusantara, Bank Rama, Bank Nusa Nasional, dan Bank Risyad Salim Internasional.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16323
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Elvandari
Abstrak :
Kemajuan teknologi dunia yang semakin pesat, ternyata menyangkut juga dalam sektor perdagangan khususnya perbankan. Hal ini terlihat dan terbukti adanya produkproduk perbankan yang lebih menjamin keamanan dan kepraktisan dalam lalulintas pembayaran khususnya kartu kredit. Pada dasarnya, bentuk perjanjian penggunaan kartu kredit, pada dasarnya mengacu pada klausula baku, yang berarti substansi perjanjiannya telah ditentukan sepihak oleh pihak produsen yakni Bank, dimana Bank sebagai pihak yang dominan, maka konsekuensi dipihak konsumen, adalah : a. Konsumen berada dipihak yang tidak dominan, konsumen hanya dapat menyepakati, yang berarti akan tunduk terhadap seluruh kewajiban dan persyaratan dalam perjanjian baku tersebut, tanpa punya kesempatan tawar menawar atau konsumen tidak menyepakati. b. Pada perjanjian baku banyak terdapat klausula eksorerasi, yaitu syarat yang secara khusus membebaskan pihak yang dominant yaitu produser yakni pihak Bank dari tanggung jawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dari pelaksanaan perjanjian baku. Akan tetapi didalam pelaksanaannya, sering kita jumpai penyalahgunaan kartu kredit, oleh karena itu praktek penyalahgunaan kartu kredit meliputi aspek-aspek hukum yang terkait dalam penerbitan, penggunaan kartu kredit, dan secara perlindungan konsumen dapat dikaitkan dengan jenis perlindungan hukum yang diberikan kepada pengguna kartu kredit, serta kendala-kendala yang dihadapi dan upaya penyelesaiannya. Aspek-aspek tersebut diharapkan mampu meminimalisir terjadinya kasus penyalahgunaan kartu kredit dari waktu dan kewaktu.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaenudin
Abstrak :
Sejarah perburuhan tidak terlepas dari masalah ekonomi dan situasi politik yang berkembang di Indonesia oleh sebab itu pada saat Negara Indonesia sedang mengalami krisis yang ditandai dengan ambruknya system perbankan nasional dengan dilikuidasinya beberapa bank, dampaknya terasa sekali bagi dunia usaha yang pada akhirnya akan membawa akibat yang buruk bagi buruh, dimana lapangan kerja semakin berkurang dan pemutusan kerja terjadi dimana - mana, belum lagi situasi politik yang memanas dan tidak adanya suatu kepastian hukum yang mengakibatkan perusahaan - perusahaan modal asing memindahkan modalnya kenegara lain yang relatif lebih aman dan terjaminnya kepastian hukum, keadaan ini dapat terlihat pasca jatuhnya pemenntahan soeharto. Krisis multi dimensi yang terjadi di Indonesia pasca pernerintahan soeharto menyebabkan kondisi yang tidak berimbang yaitu sempitnya lapangan pekerjaan sedangkan tenaga kerja semakin bertambah, baik mereka yang baru saja di putus hubungan kerja (PHK), maupun mereka yang telah memasuki usia kerja. Pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhimya kemampuan membiayai keperiuan hidup sehari - hari baginya dan kelaarganya, permulaan dari berakhimya menyekolahkan anak - anak dan sebagainya. Hukum Perburuhan dari awal kelahirannya menghendaki keadilan sosial dalam azas perimbangan kepentingan buruh dan majikan, akan tetapi apabila kita melihat hubungan kerja yang bersumber pada perjanjian kerja antara buruh dan majikan pada hakekatnya merupakan kebebasan berkontrak sebagaimana diisyaratkan dalam pasal 1338 jo 1320 BW yang menyatakan perjanjian sah yang dibuat adalah mengikat sebagai undang - undang bagi pars pihak yang membuatnya. Dalam hubungan antara buruh dengan majikan berbeda dengan hubungan perdata lainnya. Secara yuridis buruh bebas namun secara sosiologis buruh adalah tidak bebas, sebagai orang yang tidak berdaya karena mengharapkan penghasilan pada majikan atau pengusaha, buruh harus tunduk pada syarat - syarat kerja yang ditentukan oleh majikan atau pengusaha. Oleh sebab itu selama segala sesuatu mengenal hubungan antara buruh dan majikan diserahkan kepada kebijaksanaan kedua belah pihak yang Iangsung berkepentingan, maka akan sukar tercapai keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak yang memenuhi rasa keadilan sosial yang merupakan tujuan pokok hukum perburuhan.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T18953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kusuma Wardhani
Abstrak :
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank telah menjadi sasaran utama tindak pidana pencucian uang karena sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyamarkan asal usul dana. Besarnya jumlah dana yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang dapat mempengaruhi atau merusak sistem ekonomi dan politik suatu negara. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya penerapan Prinsip Mengenal Nasabah untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang. Berkaitan dengan hal tersebut, apakah Prinsip Mengenal Nasabah dapat digunakan sebagai upaya pencegahan terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui bank?; Bagaimanakah upaya penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dilakukan oleh bank umum, khususnya Bank Mandiri dan Bank Bukopin?; Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh kedua bank tersebut dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah? Dengan diterapkannya Prinsip Mengenal Nasabah, bank dapat mengenal dan memahami sebaik mungkin setiap calon nasabah dan nasabah, termasuk kegiatan yang mereka lakukan yang berkaitan dengan rekening yang dimilikinya. Dengan demikian, apabila nasabah tersebut melakukan transaksi keuangan mencurigakan, bank dapat langsung melaporkankannya kepada PPATK dan pihak yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Sebagai bank umum, Bank Mandiri dan Bank Bukopin telah melakukan berbagai upaya secara serius dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Salah satunya adalah dengan menetapkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang memuat beberapa kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan pengorganisasian, penerimaan dan identifikasi, pemantauan dan pelaporan, dan manajemen risiko yang didalamnya tercakup pelatihan karyawan. Jika dilihat dari segi pelaksanaannya, penerapan Prinsip Mengenal Nasabah di kedua bank tersebut belum efektif karena masih menemui berbagai kendala yang berasal dari pihak bank, pihak masyarakat, dan pihak PPATK. Oleh karena itu upaya penyempurnaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah perlu terus-menerus ditingkatkan agar tercapai penerapan yang efektif sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui bank.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T18952
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asra
Abstrak :
Dimulai dengan terjadinya krisis ekonomi akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (US $) secara tajam dan mendadak pada tahun 1998. Akibat dari krisis ini diperkirakan banyak perusahaan (Debitor) dalam keadaan pailit (Insolvency) atau tidak mampu membayar utang-utangnya (insolven). Untuk keperluan ini, hukum kepailitan (bunkrupcy law) sebagai sarana penagihan utang yang merupakan pelaksanaan pasal 1131 dan 1132 KUH. Perdata. Undang-undang Kepailitan yang diatur dalam Faillisements Verordenings stbl. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 perlu difungsikan dan dirubah, maka lahirlah PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tertanggal 22 April 1998, yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Sebagai sarana penagihan utang, hukum kepailitan harus dibedakan penggunaanya dengan gugatan perdata biasa, untuk membedakannya, maka secara umum dianut adanya keadaan Insolven (unable to pay) sebagai persyaratan atau merupakan indikasi adanya kepailitan. Tetapi PERPU No. 1 Tabun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tidak mengandung persyaratan ini dan telah melahirkan putusan putusan yang mengundang perdebatan (debatable). Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 (3) PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 ini mengatur persyaratan pernyataan pailit, tetapi keadaan insolven tidak merupakan persyaratan. Dengan demikian, Dengan mudahnya Debitor dapat dinyatakan pailit dengan hanya memenuhi syarat-syarat: Adanya dua Kreditor, utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dan dapat dibuktikan secara sederhana. Menurut beberapa pakar hukum kepailitan, persyaratan yang termuat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan ini mempunyai kelebihan dan kecanggihan dibandingkan dengan hukum kepailitan negara lain yang mengharuskan adanya persyaratan insolven (unable to pay) dimana undang-undang ini diharapkan untuk menjangkau para Debitor yang tidak mau membayar utang (unwilling to pay), atau alias Debitor nakal walaupun Debitor tersebut masih solven (able to pay debts). Tetapi kenyataan tidak demikian. Salah satu contoh yang aktual adalah putusan perkara kepaitan PT. Manulife Indonesia, putusan ini dikritik oleh Pemerintah Canada. Kritikan atau kecaman ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya semua pihak dapat memahami adanya perbedaan pengertian pailit dalam perspektif negara lain dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dimana di negara lain pailit berarti tidak mampu membayar (insolven), sedangkan pailit dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 berarti tidak membayar utang, bila utang itu dibayar kepailitan itu tidak ada. Disamping itu, upaya hukum pengajuan permohonan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU) dapat digunakan untuk melawan permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor terhadap Debitor di pengadilan niaga. Dan kepada hakim diharapkan dapat menerapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1988 secara arif dan bijaksana.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Syafaruddin
Abstrak :
Arah kebijakan negara, baik menurut Pasal 33 ayat (33) UUD 1945 maupun Pasal 2 ayat (1) UUPA 1960 adalah memberikan hak penguasaan kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada negara untuk menggunakannya bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan-ketentuan dasar tersebut di atas dijabarkan MPR RI dalam TAP MPR Nomor IVIMPRI1999 Tentang Garis-Garis Besar Haitian Negara Tahun 1999-2004 pada Bab III Visi dan Misi butir (B-9), Bab IV Arah Kebijakan Ekonomi butir (B-6) dan Bab IV Arah Kebijakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup butir (H-1). Salah satu hal panting yang diamanatkan oleh GBHN Bab IV Arah Kebijakan Ekonomi butir (B-6) secara ringkas adalah mengelola kebijakan makro dan mikro ekonomi secara terkoordinasi dan sinergis dalam menyediakan kebutuhan pokok terutama perumahan dan pangan rakyat. Salah satu upaya untuk mengantisipasi dan menangani masalah sulitnya pengadaan tanah untuk pembangunan perkotaan adalah melalui konsolidasi tanah seperti telah ditempuh oleh negara-negara lain; suatu metoda pembangunan areal perkotaan di daerah pinggiran kota (urban fringe) untuk mengantisipasi perluasan pembangunan kota yang dikenal dengan Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai suatu bentuk kegiatan penataan kembali tanah di wilayah perkotaan (urban) atau di pinggiran kota (urban fringe) dengan mengandalkan partisipasi masyarakat melalui sumbangan tanah (contribution/land contribution/sharing) yang diberikan peserta KTP. Pendekatan bottom up ini kemudian diwujudkan dalam program Pembangunan Perumahan Bertumpu Pada Kelompok. Terdapat 2 (dua) kegiatan yang dilakukan secara simultan dalam suatu kegiatan KTP yaitu Pertama: Penataan pertanahan yang meliputi penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah; dan Kedua: Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana lingkungan di lokasi pelaksanaan KTP. Mengingat KTP merupakan model pembangunan partisipatif yang menurut ide dasarnya, pembiayaan KTP diperoleh dari STUP yang diserahkan oleh peserta KTP. Secara asumtif, hukum dapat dijadikan sebagai salah satu sarana untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam KTP. Pemikiran aliran hukum sosiologis (sociological jurisprudence) menyatakan bahwa hukum dapat mempengaruhi masyarakat serta hukum dapat sebagai sarana rekayasa social (law as a tool of social engineering). Ketentuan tersebut mengandung 2 (dua) implikasi yuridis yaitu Pertama : Ketentuan itu merupakan pedoman untuk menentukan `kelayakan hukum' suatu lokasi yang direncanakan; dan Kedua : Persetujuan para pemilik tanah itu sekaligus merupakan dasar hukum materil (substantive law) bahwa pelaksanaan KTP secara hukum materil (substantive law) tunduk pada hukum perdata yaitu hukum perikatan yang berasal dari perjanjian. Norma hukum yang mengikat para peserta KTP adalah persetujuan yang ditandatanganinya yang menyatakan kesediaannya sebagai peserta KTP sebagaimana tertera pada Pasal 1338 ayat (1), (20 dan (3) KUH Perdata.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18949
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suroso
Abstrak :
Penerimaan negara dan sektor pajak dalam Anggaran Penenerimaan dan Belanja Negara, terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.. Dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak tersebut, sistem pemungutan pajak, administrasi pajak maupun penyempurnaan dan penegakan hukum pajak terus dilakukan. Komitmen untuk meningkatkan penerimaan pajak tersebut diawali dengan reformasi hukum pajak pada tahun 1983 yang merubah sistem pemungutan pajak di Indonesia dari Official Assessment menjadi Self Assessment. Sistem pemungutan pajak Self Assessment memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Di lain pihak sistem ini juga membutuhkan penegakan hukum (law enforcement) yang tegas. Salah satu bentuk penegakan hukum tersebut adalah dalam bentuk pemeriksaan yaitu untuk menguji tingkat kepatuhan wajib pajak, dan apabila diketahui bahwa wajib pajak masih kurang dalam membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan surat ketetapan pajak. Praduk surat ketetapan pajak tersebut antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang menimbulkan kewajiban kepada Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang ditetapkan. Apabila sampai dengan jatuh tempo wajib pajak tidak membayar kewajibannya tersebut akan menimbulkan hutang pajak yang harus dilakukan proses penagihan oleh aparat pajak. Landasan hukum penagihan pajak diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentag Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000. Proses penagihan pada dasarnya merupakan upaya hukum untuk memaksa wajib pajak agar membayar utang pajaknya. Lembaga penyanderaan (gijzeling) merupakan bagian dari upaya penagihan pajak dengan surat paksa. Lembaga penyanderaan pada dasarnya sudah dikenal dalam lapangan hukum perdata sebagai upaya paksa agar debitur (pihak yang berutang) melaksanakan kewajibannya kepada kreditur (pihak yang berpiutang) Sedangkan dalam hukum pajak lembaga sandera dikenakan terhadap wajib pajak yang memliki utang pajak dalam jumlah tertentu yang tidak atau tidak mempunyai itikad baik untuk melunasi utang pajaknya. Dalam hukum pajak ketentuan mengenai penyanderaan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 19 Tahun 2000. Penerapan lembaga sandera pada awalnya tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan hak asasi manusia, yaitu dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975. Sejalan dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 yang menghidupkan kembali lembaga penyanderaan (gyseling), Direktorat Jenderal Pajak menerapakan penyanderaan sebagai upaya dalam melaksanakan penagihan pajak. Lembaga penyanderaan merupakan bentuk penegakan hukum (law enforcement) dibidang perpajakan yang diharapkan dapat berjalan efektif dan berdampak pada pencairan tunggakan pajak.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosephine Riane Ernita Rachmasari
Abstrak :
Sistem self assessment untuk Pemberitahuan Impor Barang (PIB) memberi kepercayaan importir dalam menghitung, melaporkan dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang.Oleh karena itu, data pemberitahuan impor barang dianggap sebagai data yang sebenarnya. Petugas Bea dan Cukai hanya wajib untuk mengawasi, mengoreksi apabila ada kekeliruan atau kecurigaan adanya pemalsuan data sebagai upaya penyelundupan pajak baik secara legal maupun illegal. Bentuk pengawasan petugas dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Kekuarangan Pernbayaran Bea Masuk, cukai, denda administrasi dan Pajak Dalam Rangka Impor (SPKPBM). Jumlah SPKPBM yang terbit 8.46% dari PIB yang dilayani. Terbitnya SPKPBM pada jalur merah karena penetapan nilai pabean sering menjadi keluhan importir. Jumlah keberatan atas SPKPBM sedikit namun menghasilkan penerimaan negara potensial sebesar Rp.23.061.522.138,00. Alasan menggugurkan nilai transaksi dalam PIB serta alasan keberatan atas penetapan nilai pabean menjadi pokok bahasan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menganalisa data dan melaporkannya. Data yang digunakan dalah data sekunder. Data lapangan diperoleh dari Kantor Pelayanan Bea Cukai Tanjung Priok I, dan Kantor Pusat Bea dan Cukai. Data sekunder diperoleh dari sumber hukum primer yaitu peraturan perundangan dan sumber hukum sekunder dari SPKPBM, keberatan atas SPKPBM, keputusan atas keberatan SPKPBM.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitepu, Margaretha
Abstrak :
Salah satu kebijakan ketenagakerjaan yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah dengan memperkenankannya sistem kontrak dalam ketentuan perekrutan pekerja/buruh. Sistem kontrak itu diimplementasikan ke dalam jenis perjanjian kerja kontrak yang dikenal dengan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Krisis yang bermula dari efek penularan (contagion effect) akibat krisis moneter mata uang Thailand (Bath) tersebut segera meluas menjadi krisis di berbagai bidang ekonomi bahkan dapat dikatakan sebagai krisis total atau krisis sistemik. Begitu luas cakupan dari krisis sistemik tersebut membuat krisis itu tidak dapat diatasi dalam waktu singkat dan membutuhkan komitmen dari pemerintah untuk mengatasinya secara menyeluruhl. The World Bank Group menyatakan agar dapat keluar dari krisis tersebut maka syarat-syarat utama yang harus dipenuhi Indonesia adalah: 1. Adanya stabilitas politik; dan 2. Bantuan keuangan dari dunia internasional Pemerintah Indonesia harus membenahi berbagai kebijakan di bidang ekonomi antara lain kebijakan bidang keuangan, bidang penanaman modal baik asing maupun dalam negeri, bidang pajak,dan terutama perbaikan kebijakan dibidang ketenagakerjaan. Masalah yang menjadi fokus penelitian ini adalah 1. Bagaimana kedudukan pemerintah Indonesia dalam penerapan PKWT berdasarkan teori dan Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003? 2. Bagaimana penerapan ketentuan-ketentuan PKWT bagi para pihak dan penyelesaian perselisihannya? 3. Perlindungan hukum apakah yang dapat diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan...
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>