Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indah Pramitasari
"ABSTRAK
Simone de Beauvoir dalam bukunya yang berjudul Le Deuxieme Sexe, mengemukakan gagasan-gagasan mengenai feminisme eksistensialis. Gagasan-gagasan tersebut diantaranya adalah subjektivitas perempuan dan kebebasan perempuan. Tidak jarang gagasan-gagasan mengenai feminisme eksistensialis tersebut ditemukan dalam sebuah iklan, dengan menjadikan perempuan sebagai tokoh utama. Salah satunya adalah iklan produk kosmetik Yves Saint Laurent Beaute-Touhe Eclat. Subjektivitas dan kebebasan perempuan dalam iklan tersebut ditampilkan secara implisit pada berbagai aspek, antara lain pada aspek sinematografis, latar musik, dan slogan. Melalui aspek-aspek tersebut, dapat terlihat bahwa perempuan yang digambarkan dalam iklan tersebut adalah perempuan mandiri yang telah mendapatkan kebebasannya dan telah mampu memposisikan dirinya sebagai subjek.

ABSTRACT
In the book The Second Sex (Le Deuxieme Sexe), Simone de Beauvoir expressed her ideas of feminism that is influenced by existentialism. Two of her ideas are about womens subjectivity and womens freedom. Her ideas of feminism are often found in an advertisement and make women as the main character. One of the advertisements which has Simone de Beauoirs ideas of feminism, is an advertisement made by Yves Saint Laurent Beaute about their product that is called Touche Eclat. Womens subjectivity and freedom are shown implicitly in this advertisement on various aspects, such as cinematographic aspect, background music, and slogan. Through these aspects, it can be seen that the women portrayed in that advertisement is an independent woman who has gained her freedom and has been able to position herself as a subject and equal with man."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Candisa Azzahra Mulyawati
"Yves Saint Laurent adalah salah satu rumah mode Prancis, yang berdiri pada 1961 dalam kurun waktu periode tiga puluh tahun kejayaan Prancis atau yang disebut dengan Le trente glorieuses (1945-1975). Seiring kemajuan perekonomian Prancis pada zaman itu, hal lain pun secara tidak langsung terkena dampaknya, salah satunya ialah timbul gerakan revolusi seksual serta isu-isu kesetaraan gender. Dalam artikel ini, penulis akan mengkaji perubahan konstruksi gender selama kurun waktu tersebut melalui mode, khususnya model desain koleksi haute couture Yves Saint Laurent. Penelitian ini akan memakai metode kualitatif Creswell (2013), konsep gender Butler (1990), serta teori Dekonstruksi Derrida (1967). Ketiganya akan dipakai untuk menganalisis korpus koleksi gambar pakaian haute couture Yves Saint Laurent di situs collection.museeyslparis.com, dengan tambahan referensi artikel How Yves Saint Laurent changed fashion oleh Healy (2015) melalui situs dazeddigital.com dan artikel Le Smoking Forever dalam situs wmagazine.com oleh Petrarca (2015). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat makna gender yang terdekonstruksi melalui model pakaian haute couture Yves Saint Laurent. Temuan ini diikuti dengan dua makna penting tentang gender yang juga sesuai dengan konsep gender Butler (1990) melalui ketiga sampel desain yang dianalisis, bahwa: 1). gender adalah sebuah spektrum (eksistensinya dalam diri seseorang tidak dapat diketagorikan hanya dalam satu atau dua definisi), 2). gender adalah sesuatu yang akan selalu berubah dan bertransformasi sesuai perkembangan zaman. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa desain haute couture Yves Saint Laurent visioner dan relevan terhadap isu sosial di masa yang akan datang.

Yves Saint Laurent is a French fashion house, which was founded in 1961 during the thirty- year period of the French heyday or what is called Le trente Gglorieuses (1945-1975). Along with the progress of the French economy at that time, other things were also indirectly affected, one of which was the emergence of the sexual revolution movement and issues of gender equality. In this article, the author will examine changes in the construction of gender during this period through fashion, especially Yves Saint Laurent's haute couture collection designs. This research will use Creswell's qualitative method (2013), Butler's gender concept (1990), and Derrida's Deconstruction theory (1967). All three will be used to analyze the corpus of Yves Saint Laurent's haute couture clothing image collection on the website collection.museeyslparis.com, with additional references to the article How Yves Saint Laurent changed fashion by Healy (2015) via the dazeddigital.com website and the article Le Smoking Forever on the wmagazine.com by Petrarca (2015). The results of the study show that gender meaning is proven to be deconstructed through Yves Saint Laurent's haute couture clothing model. This finding is followed by two important meanings about gender which are also following Butler's (1990) concept of gender through the three sample designs analyzed, that: 1). gender is a spectrum (its existence in a person cannot be categorized in only one or two definitions), 2). Gender is something that will always change and transform according to the times. This also shows that Yves Saint Laurent's haute couture designs are visionary and relevant to social issues in the future."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Hana Chaterein Immanuela
"Laïcité merupakan konsep sekularisme yang telah berkembang dan dianut oleh Prancis sejak lama. Prinsip laïcité menekankan pemisahan secara ketat urusan agama dengan negara. Konsep ini mengatur kehidupan dan kebebasan beragama di Prancis (Kiwan, 2023). Undang-undang nomor 2004-228 tanggal 15 Maret 2004 merupakan salah satu implementasi konsep laïcité. Undang-undang ini mengatur penggunaan atau pemakaian atribut keagamaan di Prancis. Akan tetapi, semakin lama peraturan ini semakin berkembang dan terus membatasi penggunaan atribut khususnya milik umat Muslim, seperti pelarangan penggunaan jilbab, penutup wajah burqa dan niqab, pakaian renang burkini, dan pada tahun 2023 pelarangan penggunaan baju panjang abaya di institusi pendidikan Prancis oleh Gabriel Attal. Artikel ini akan membedah pernyataan-pernyataan dari Gabriel Attal dan Emmanuel Macron yang menunjukkan adanya ketakutan tertentu, serta melihat hal yang melatarbelakangi munculnya peraturan ini, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif milik Creswell (2014) dan teori Analisis Wacana Kritis milik Van Dijk (2015). Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya motif tertentu dari Gabriel Attal di balik pelarangan abaya, yang mana hal ini memberikan keuntungan politik kepadanya. Selain itu, pernyataan-pernyataan milik Gabriel Attal dan Emmanuel Macron sebagai kepala negara yang negatif terhadap kaum Muslim memengaruhi pandangan masyarakat Prancis.

Laïcité is a concept of secularism that France has developed and embraced for a long time. The principle of laïcité emphasizes the strict separation of religion from the state. This concept regulates life and religious freedom in France (Kiwan, 2023). The law number 2004-228 dated March 15, 2004 is one of the implementations of the concept of laïcité. This law regulates the use or wearing of religious attributes in France. However, over time this regulation has grown and continues to restrict the use of attributes especially belonging to Muslims, such as the ban on the use of headscarves, burqa and niqab face coverings, burkini swimsuits, and in 2023 the ban on the use of abaya long dresses in French educational institutions by Gabriel Attal. This article analyzes statements from Gabriel Attal and Emmanuel Macron that show a certain fear, and looks at the background of the emergence of this regulation, using Creswell's qualitative research method (2014) and Van Dijk's Critical Discourse Analysis theory (2015). The results of this study show that Gabriel Attal has certain motives behind the abaya ban, which gives him political benefits. In addition, Gabriel Attal's and Emmanuel Macron's statements as head of state that are negative towards Muslims influence the perception of the French people."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Keisha Bijou Thalian
"Komunitas LGBTQIA+ di seluruh dunia masih sering mengalami diskriminasi dari masyarakat karena orientasi seksual mereka. Adanya diskriminasi membuat orang-orang dalam komunitas LGBTQIA+ ingin meningkatkan kesadaran dan toleransi masyarakat terhadap diri mereka, sehingga pada akhirnya kekerasan terhadap mereka berkurang. Hal ini dilakukan dengan melaksanakan berbagai acara dan yang paling terkenal adalah pawai LGBTQIA+. Pawai ini berawal dari Amerika Serikat. Di Prancis, pawai ini dikenal dengan nama Marche des fiertés. Dalam pelaksanaanya, Marche des fiertés mengalami tantangan dalam bentuk perusahaan-perusahaan yang ikut mendanai pawai, tetapi sebenarnya tidak mendukung semuahak LGBTQIA+ (pinkwashing). Dengan menggunakan poster-poster Marche des fiertés tahun 2018–2022, data statistik homofobia di Prancis tahun 2018–2023, dan siaran pers oleh penyelenggara parade penelitian ini memperlihatkan bagaimana dampak pinkwashing pada gerakan Marche des fiertés dan kaitannya dengan perjuangan melawan homofobia. Untuk menjawab masalah penelitian ini, digunakan metode penelitian kualitatif oleh Wahidmurni (2017) dan teori Analisis Wacana Kritis (AWK) Norman Fairclough (1995). Ditemukan bahwa Marche des fiertés berhasil mengurangi tingkat homofobia ketika pawai dilakukan tanpa adanya gangguan dari pinkwashing.

LGBTQIA+ communities across the world still experience discrimination from society because of their sexual orientation. The existence of discrimination has led people in the LGBTQIA+ community to want to increase public awareness and tolerance towards them, so that eventually violence against them decreases. This is accomplished by organizing various events and the most famous is the LGBTQIA+ parade. This parade originated in the United States. In France, it is known as the Marche des fiertés. The Marche des fiertés experienced challenges in the form of companies funding the parade, but not actually supporting anything LGBTQIA+ (pinkwashing). Using Marche des fiertés posters from 2018-2022, homophobia statistics in France from 2018-2023, and press releases by parade organizers, this research shows how pinkwashing impacts the Marche des fiertés movement and how it relates to the fight against homophobia. To answer this research problem, Wahidmurni's (2017) qualitative research method and Norman Fairclough's (1995) Critical Discourse Analysis theory were used. It was found that the Marche des fiertés succeeded in reducing the level of homophobia when the march was conducted without any interference from pinkwashing."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andira Munifatul Basyori
"Artikel ini membahas perdebatan dalam pemberian nama depan (le prénom) seorang anak yang dapat mempengaruhi pembentukan subjektivitas seorang individu dalam film Le Prénom karya Mathieu Delaporte dan Alexandre de la Patellière tahun 2012. Film ini mengangkat isu sosial mengenai perselisihan dalam menentukan nama depan (le prénom) seorang anak di Prancis yang menjadi fenomena sosial yang diperdebatkan. Film Le Prénom menceritakan sebuah reuni keluarga yang memanas ketika membicarakan mengenai pemberian nama depan (le prénom) seorang anak yang akan lahir. Berfokus pada tokoh Vincent, tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi bagaimana proses pembentukan subjektivitas Vincent melalui tatanan the imaginary (yang imajiner) dan the symbolic (yang simbolik) dan menganalisis bagaimana peran bahasa dalam menunjukkan proses terbentuknya subjektivitas Vincent. Metode Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan teori struktur naratif milik A. J Greimas dan teori psikoanalisis Jacques Lacan yaitu the stade du miroir (1966) dan objet petit a (1973). Data penelitian yang digunakan berupa foto atau gambar, kata, ungkapan, dan kutipan atau cuplikan dialog yang diambil dari film tersebut. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa subjektivitas Vincent dibentuk oleh adanya konflik antara keinginan pribadi Vincent dengan tekanan sosial yang terjadi. Penggunaan bahasa berperan penting dalam pembentukan subjektivitas Vincent pada saat perdebatan le prénom (Adolphe) hingga di akhir cerita terdapat perubahan nama menjadi Françoise. Maka dari itu, dalam proses pembentukan subjektivitas Vincent, bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi melainkan berperan sebagai sistem simbolik, alat ekspresi diri, alat konflik dan sebagai proses transformasi dalam membentuk identitas serta menjadi faktor penting dalam perjalanan emosional pada diri Vincent.

This article discusses the debate over giving a child's first name (le prénom) which can affect the formation of an individual's subjectivity in the 2012 film Le Prénom by Mathieu Delaporte and Alexandre de la Patellière. The movie raises the social issue of the dispute over a child's first name (le prénom) in France, which has become a contentious social phenomenon. Le Prénom tells the story of a family reunion that gets heated when discussing the first name (le prénom) of a child who will be born. Focusing on the character Vincent, the purpose of this study is to identify how the process of forming Vincent's subjectivity through the order of the imaginary and the symbolic and analyze how the role of language in showing the process of forming Vincent's subjectivity. The research method used is qualitative method with A. J Greimas' narrative structure theory and Jacques Lacan's psychoanalysis theory, namely the stade du miroir (1966) and objet petit a (1973). The research data used are photos or images, words, expressions, quotes or snippets of dialog taken from the film. The results of the research show that Vincent's subjectivity is formed by the conflict between Vincent's personal desires and the social pressures that occur. The use of language plays an important role in the formation of Vincent's subjectivity during the debate over le prénom (Adolphe), so that at the end of the story there is a name change to Françoise. Therefore, in the process of forming Vincent's subjectivity, language is not only a means of communication but plays a role as a symbolic system, a means of self-expression, a means of conflict and as a transformation process in forming identity and an important factor in Vincent's emotional journey."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yessyca Megasari Christianto
"Prancis adalah salah satu negara dengan kebijakan hak reproduksi yang progresif. Hal itu dibuktikan dengan adanya kebijakan mengenai aborsi di Prancis yang terus mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu. Kebijakan pertama yang berkaitan dengan dekriminalisasi aborsi di Prancis adalah La Loi Veil yang diresmikan tahun 1975. Pada perkembangan terakhir, tanggal 8 Maret tahun 2024, Prancis resmi menjadi negara pertama yang menetapkan hak aborsi ke dalam konstitusi negara. Langkah ini dianggap sebagai kemenangan bagi perempuan, tetapi juga menimbulkan perdebatan. Penelitian ini menganalisis keberpihakan politisi kanan terhadap isu konstitusionalisasi hak aborsi di Prancis dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough (2013). Hasil analisis menunjukkan bahwa wacana yang dimiliki politisi kanan dalam isu hak aborsi memengaruhi terjadinya kompromi strategis atas teks akhir konstitusi, terutama dalam pengaturan kebebasan yang dijamin. Ambiguitas dalam bahasa hukum membuka peluang bagi pemerintah untuk membatasi hak aborsi di masa depan, menunjukkan kerentanan hak tersebut. Dengan menggunakan perspektif Feminist Legal Theory Martha Albertson Fineman (2005), penelitian ini menyimpulkan bahwa kompromi yang ada memperkuat subordinasi perempuan dalam kerangka hukum yang masih didominasi nilai-nilai patriarkal. Meskipun langkah konstitusional ini signifikan, perlindungan hak aborsi memerlukan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan implementasinya bersifat adil dan tidak diskriminatif."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jocelyn Budipranoto
"Artikel ini membahas mengenai serial kartun Tom and Jerry yang diciptakan oleh William Hanna dan Joseph Barbera yang diproduksi oleh Metro-Goldywn-Mayer dengan didasarkan pada konteks pemikiran absurditas yang dikemukakan oleh Albert Camus. Analisis karakter Tom dan Jerry yang dihubungkan dengan teori absurditas Camus adalah mengenai pemberontakan, kebebasan, dan kesadaran, dan hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa dari pemberontakan, kebebasan, dan kesadaran yang terdapat pada karakter tokoh Tom dan Jerry, hal ini membawa mereka kepada penciptaan makna baru akan kebahagiaan, sesuai dengan teori absurditas Camus."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Ayu Dewintya Kirana
"ABSTRAK
Artikel ini, dengan menggunakan konsep-konsep Teori Praktik Pierre Bourdieu akan membahas usaha Agnes Monica sebagai salah satu selebriti yang berkecimpung di dunia hiburan, mengerahkan segala kapital yang dimilikinya untuk mendapatkan kapital simbolik berupa citra sebagai selebriti internasional di mata masyarakat luas, khususnya Indonesia, melalui proyek “Go International”nya. Usaha mendapatkan kapital simbolik adalah sebuah pertarungan simbolik. Melalui kapital simbolik ini, Agnes Monika dapat melanggengkan eksistensinya dan berada di posisi dominan di arena ini.

ABSTRACT
This article, by using Practical Theory of Pierre Bourdieu, concerns on Agnes
Monica’s effort as one of celebrity who takes part on the show-business, gives all of her capitals to gain the symbolic capital: recognition from the people as
international celebrity, especially Indonesian people, through the “Go
International” Project. The effort to gain this symbolic capital is a symbolic fight.
Through this symbolic capital, Agnes Monica can preserve her existence and being
in the dominant position in this arene."
Depok: [Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;;, ], 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Aisyah
"Artikel ini membahas retorika politik terkait keimigrasian dan keberadaan imigran yang dinyatakan oleh kandidat presiden Prancis pada pemilihan umum presiden Prancis 2017. Isu imigrasi adalah salah satu aspek terpenting dalam kebijakan domestik dan luar negeri Prancis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi dan penerimaan imigran dari para kandidat presiden Prancis 2017, serta dampaknya kepada publik Prancis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah tiga model dimensi dari Norman Fairclough, yaitu dimensi mikrostruktural, mesostruktural, dan makrostruktural. Data yang digunakan berasal dari surat kabar, media daring, buku, dan artikel jurnal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa retorika politik oleh kandidat presiden pada kampanye pemilihan umum presiden Prancis 2017 membentuk identitas dan penerimaan imigran tersendiri dalam pandangan publik Prancis. Lima kandidat presiden Prancis menyajikan retorika terkait keimigrasian dan keberadaan imigran dengan pembingkaian yang berbeda-beda sesuai dengan ideologi partai yang dianut. Namun, retorika yang disajikan oleh kandidat presiden Macron dari En Marche! lebih dapat diterima oleh masyarakat Prancis daripada para kandidat presiden lainnya.

This article discusses the political rhetoric regarding immigration and the presence of immigrants declared by the French presidential candidates in the 2017 French presidential election. The issue of immigration is one of the most important aspects of French domestic and foreign policy. The purpose of this study is to determine the perceptions and acceptance of immigrants from the 2017 French presidential candidates, and their impact on the French public. The theory used in this research is Norman Fairclough's three-dimensional model, namely the microstructural, mesostructural, and macrostructural dimensions. The data taken is the first source in the form of newspapers, online media, books and journal articles. The results of this study indicate that the political rhetoric by presidential candidates in the 2017 French presidential election campaign forms its own identity and acceptance of immigrants in the French public view. Five French presidential candidates presented rhetoric related to immigration and the existence of immigrants with different framing according to the party ideology they adhere to. However, the rhetoric presented by presidential candidate Macron is more acceptable to French society than other presidential candidates."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library