Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vitriana
"Latar Belakang : Inkontinensia urin menyebabkan dampak morbiditas yang cukup bermakna bagi penderitanya. Kondisi ini banyak terjadi pada wanita dan dipengaruhi oleh keadaan defisiensi estrogen. Stigma yang kurang tepat dan kurangnya pemahaman tentang pilihan intervensi menyebabkan kurang tepatnya terapi. Latihan otot dasar panggul dengan menggunakan alat bantu (biofeedback) diharapkan akan dapat mengatasi hal tersebut.
Tujuan: Mengetahui pengaruh biofeedback pada latihan otot dasar panggul untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul agar dapat memperbaiki kondisi stres inkontinensia urin pada wanita pascamenopause.
Desain : Kuasi eksperimental acak lengkap
Tempat : Poli Rehabilitasi Medik Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Perjan. RS. dr. Hasan Sadikin Bandung
Subyek : Tiga puluh lima orang wanita pascamenopause yang menderita inkontinensia urin di lingkungan Panti Wredha Pakutandang - Ciparay
Intervensi : Antara bulan Mei - Agustus 2004, 24 wanita dengan stres inkontinensia pascamenopause yang masuk dalam kriteria inklusi dibagi dalam dua kelompok (kontrol dan latih) melakukan latihan otot dasar panggul setiap hari dengan dan tanpa alat bantu biofeedback disertai pengawasan selama 8 minggu. Hasil peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul antara kedua kelompok dibandingkan pada akhir penelitian.
Hasil : Terjadi peningkatan kekuatan kontraksi maksimal otot dasar panggul yang sangat bermakna (<.001) pada kedua kelompok naracoba dengan perbedaan yang bermakna (<.05) antara kedua kelompok. Peningkatan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdampak pada berkurang atau hilangnya keluhan stres inkontinensia urin yang dibuktikan dengan stres test yang menjadi negatif (100%).
Kesimpulan : Latihan otot dasar panggul dengan biofeedback meningkatkan kekuatan otot dasar panggul lebih baik sehingga dapat mengurangi gejala stres inkontinensia urin pascamenopause

Background : Urinary incontinence can cause a significant morbidity. This condition occurs commonly in women with estrogens deficient. Inappropriate stigma and less comprehension to the intervention choices caused inaccurate therapy. Pelvic floor exercise with biofeedback will prevent that to be happened.
Objective : To evaluate the usefulness of biofeedback in pelvic floor exercise to increase the strength of the muscles to treat urinary stress incontinence on postmenopausal women.
Design : Quasi experimental complete randomized
Setting : At Department of Physical Medicine and Rehabilitation Perjan. dr. Masan Sadikin Hospital Bandung
Subject : Thirty five postmenopausal women with stress urinary incontinence from Panti Wredha Pakutandang-Ciparay
Intervention : From May -- August 2004. 24 postmenopausal women with stress urinary incontinence who were divided in two groups (exercise and control) did the pelvic floor muscle exercise daily supervised, with and without biofeedback for 8 weeks. The strength of the muscles was compared in the end of the study.
Result : There was a very significant increase of maximal pelvic floor muscles contraction (<.001) within all two groups with significant differences (<.05) between two groups. Increasing strength of pelvic floor muscles within both groups (control and exercise) relieve urinary stress incontinence (stress test negative forl00°%).
Conclusion : Pelvic floor muscles exercise with biofeedback increase the strength of the pelvic floor on postmenopausal women with stress urinary incontinence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21438
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Benindra Pratomo
"Latar Belakang: Disfagia pada stroke dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang menurunkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah posisi duduk 700 membuat performa menelan berbeda dengan pada posisi duduk 900, pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring.
Metode: Desain pre-post experimental study, dilakukan pada 30 pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring, berusia 40 ? 80 tahun dan memenuhi kriteria penerimaan. Performa menelan dievaluasi dengan pemeriksaan FEES pada posisi duduk 900 dan posisi duduk 700. Parameter FEES (standing secretion, preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi) dibandingkan antara kedua posisi duduk.
Hasil: Angka kejadian dan tingkat keparahan standing secretion lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian preswallowing leakage tidak berbeda bermakna antara kedua posisi duduk. Angka kejadian residu lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan residu lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian dan tingkat keparahan aspirasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700.
Simpulan: Posisi duduk reclining 700 membuat performa menelan lebih baik dibandingkan pada posisi duduk 900 pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik.

Background: Dysphagia in stroke can cause various complications those reducing quality of life. The aim of the study to ackowledge if 700 sitting position makes different swallowing performance from 900 sitting position, in stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia.
Methods: A pre-post experimental study design, conducted on 30 stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia, aged 40 ? 80 years old and met the inclusion criteria. Swallowing performance was evaluated with FEES examination in 900 sitting position and 700 sitting position. FEES parameters (standing secretion, preswallowing leakage, residue, penetration and aspiraton) were compared between both sitting positions.
Results: Incidence and severity of standing secretion was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of preswallowing leakage wasn?t significantly different between both sitting positions. Incidence of residue was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of residue was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of penetration was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of penetration was insigificantly lower in 700 sitting position. Incidence and severity of aspiration was insignificantly lower in 700 sitting position.
Conclusions: 700 reclining sitting position makes better swallowing performance than 900 sitting position, in stroke patients with neurogenic dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Setiono
"Tujuan: Menilai manfaat edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien cedera medulla spinalis (CMS) di RSUP Fatmawati terhadap pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah.
Metode: Desain studi eksperimental. Subyek 22 orang pasien paraplegi karena CMS dengan gangguan berkemih neurogenik yang dirawat pertama kali di RSUP Fatmawati. Subyek diberikan program edukasi yang terdiri dari 7 topik selama rentang 3 minggu. Dilakukan penilaian pengetahuan dan kemampuan masalah dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, pasca pemberian edukasi, dan 3 bulan pasca edukasi. Selain itu dilakukan penilaian kepentingan topik edukasi menurut subyek dengan skala Likert.
Hasil: 22 subyek menyelesaikan penilaian awal dan pasca edukasi, namun hanya 18 orang yang dapat dihubungi saat follow up 3 bulan. Terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna antara awal dan pasca edukasi (p=0,033), pasca edukasi dan follow up (p=0,047). Terdapat peningkatan yang bermakna pada kemampuan menyelesaikan masalah antara awal dan pasca edukasi (p=0,000), tidak terdapat perubahan bermakna antara pasca edukasi dan follow up (p=0,157). Seluruh topik edukasi yang diberikan dianggap penting oleh subyek.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pemberian edukasi, dan terdapat retensi sampai dengan 3 bulan pasca edukasi. Pemberian program edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien CMS penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta mencegah komplikasi urologis.

Objective : To evaluate the effect of educational program in neurogenic bladder for spinal cord injury patient at Fatmawati General Hospital in improving knowledge and problem solving skill.
Methods : This is a experimental study. Twenty two paraplegic SCI patients with neurogenic bladder in Fatmawati hospital was included in this study. The subjects was given educational program which consist of 7 topics in 3 weeks period. Questionnaire for evaluating knowledge and problem solving skill was given at the beginning of the study, after completion of education program, and 3 months after education. A likert scale-based questionnaire also given at the end of education to assess patient?s perception of importance regarding the education topics.
Results : All subjects finished the initial and post education assessment, but only 18 subjects finished follow up evaluation. There was significant difference in knowledge between initial and post education assessment (p=0.033) and between post education and follow up (p=0.047). There was significant improvement in problem solving skill between initial and post education assessment (p=0.000) and no significant difference between post education and follow up (p=0.157). All topics given perceived as important by all the subjects.
Conclusion : There is a significant improvement in knowledge and problem solving skill after educational program, and there is retention up to 3 months after education. Educational program in neurogenic bladder for patients with SCI during hospital stay is important in improving patient?s knowledge and problem solving skill also for prevention of urological complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Dahniel Rizki
"ABSTRAK
Latar Belakang: Lama rawat pada usia lanjut dipengaruhi oleh rasa takut jatuh.
Rasa takut jatuh dapat mempengaruhi kehidupan usia lanjut, yang akan
berdampak pada menurunnya aktivitas kehidupan sehari-hari, status kesehatan
fisik, dan kualitas hidup. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan rasa
takut jatuh dengan lama rawat pada usia lanjut.
Metode: Desain studi potong lintang. Penelitian dilakukan terhadap 50 pasien
usia lanjut di ruang rawat akut geriatri yang didapat secara konsekutif. Rasa takut
jatuh dinilai dengan kuesioner Falls Efficacy Scale International (FES-I). Lama
rawat dihitung dalam hari. Penilaian hubungan rasa takut jatuh dan lama rawat
menggunakan korelasi Pearson.
Hasil: Didapatkan rasa takut jatuh sedang sebanyak 16% dan rasa takut jatuh
berat sebanyak 84%. Tidak terdapat rasa takut jatuh ringan. Didapatkan korelasi
positif bermakna antara rasa takut jatuh dengan lama rawat pada usia lanjut (r=
0,58, p=0,000).
Simpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara rasa takut jatuh dengan
lama rawat pada usia lanjut.

ABSTRACT
Background: Length of stay in elderly is affected by fear of fall. Fear of fall
could influence elderly life, which further can cause in decreasing activity of daily
living, physical health, and quality of life. The aim of this study was to look the
correlation between fear of fall and length of stay in elderly.
Methods: The study was a cross sectional study which looked at 50 consecutive
elderly patients in geriatric acute ward. Fear of fall was evaluate using Falls
Efficacy Scale International (FES-I). The length of stay was measured by days.
The correlation between fear of fall and length of stay was evaluated using
Pearson Correlation.
Results: 16% fear of fall was moderate and 84 % was severe. None of them was
mild fear of fall. There was a significant positive correlation between fear of fall
and length of stay in elderly (r=0,58, p=0,000)
Conclusions: There was a significant correlation between fear of fall and length
of stay in elderly."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Rusli
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) selain mengalami gejala-gejala respirasi juga mengalami kelemahan otot rangka. Kelemahan ini diakibatkan penurunan massa otot (muscle wasting), gangguan nutrisi, inaktivitas fisik, inflamasi sistemik dan stress oksidatif. Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat pemberian modalitas stimulasi neuromuskular elektrik/neuromuscular electrical stimulation (NMES) pada otot kuadriseps femoris dan latihan fisik dibandingkan dengan hanya latihan fisik saja pada peningkatan kebugaran kardiorespirasi yang diukur menggunakan jarak tempuh uji jalan enam menit dan dinamometer hand held pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian dengan desain eksperimental dengan consecutive sampling dilakukan pada pada 17 subyek dengan PPOK derajat B,C dan D (stabil secara medis) yang datang ke RSUP Persahabatan. Pengukuran jarak tempuh uji jalan 6 menit dan kekuatan otot kuadriseps femoris (dengan dinamometer hand held) dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Subyek dibagi dalam kelompok perlakuan (9 subyek) dan kontrol (8 subyek). Kelompok perlakuan mendapat intervensi yaitu stimulasi NMES pada otot kuadriseps femoris dan latihan fisik, sementara kelompok kontrol hanya mendapat intervensi latihan fisik saja. Intervensi diberikan selama tiga kali setiap minggu selama 8 minggu berturut-turut.
Hasil : Pemberian stimulasi NMES pada kelompok perlakuan memberikan peningkatan pada peningkatan jarak tempuh uji jalan 6 menit dan kekuatan otot kuadriseps femoris dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun tidak bermakna secara statistik. Pada analisis tiap kelompok (perlakuan dan kontrol) terdapat peningkatan yang bermakna secara statistik yaitu peningkatan jarak tempuh uji jalan 6 menit, kekuatan otot kuadriseps femoris, dan kapasitas fungsional (pada subyek kelompok perlakuan dengan PPOK derajat C).
Kesimpulan : Pemberian stimulasi NMES pada pasien PPOK stabil yang mampu ambulasi tidak memberikan manfaat tambahan pada peningkatan kebugaran kardiorespirasi. Dibutuhkan jumlah sampel yang lebih besar untuk melihat manfaat stimulasi NMES pada pasien PPOK pada penelitian selanjutnya.

ABSTRACT
Background : Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) patient suffers not only respiratory symptoms but also skeletal muscle weakness. Weakness is caused by muscle wasting, nutritional disturbance, physical inactivity, systemic inflammation and oxidative stress. The purpose of this study is to find benefit of using neuromuscular electrical stimulation/NMES on quadriceps femoris muscle and physical exercise in improving cardiorespiratory endurance for COPD stable patient measured by six minutes walking test and hand held dynamometer.
Methods : Experimental study with consecutive sampling conducted on 17 subjects with grade B,C and D COPD (medically stable) who attended at Persahabatan General Hospital. Subjects divided into intervention and control group. Measure of distance coverage of six minutes walking test and muscle strength using hand held dynamometer is done before and after intervention. Intervention group had NMES stimulaton on their quadriceps muscles and physical exercise, while control group had only physical exercise. Intervention sessions are given three times weekly for 8 weeks periods.
Results : There is increment of distance coverage of six minutes walking test and quadriceps muscle strength of both groups but not statistically significant. Subgroup analysis reveals increment on distance coverage of six minutes walking test, quadriceps femoris muscle strength and functional capacity (in interventional group, subjects with grade C COPD).
Conclusion : Neuromuscular Electrical Stimulation for Stable COPD patient with good ambulation does not give any additional benefit for increasing cardiorespiratory endurance. Further study with larger number of subjects is needed for evaluating the effect of NMES for COPD patient."
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Roring, Windy Doris
"ABSTRAK
Latar Belakang: Limfedema merupakan salah satu komplikasi yang relatif sering ditemukan akibat terapi kanker payudara dan mengakibatkan keterbatasan fungsi fisik, psikologis serta menurunkan kualitas hidup. Latihan aktif resistif merupakan salah satu terapi limfedema yang menstimulasi kontraksi otot skeletal sehingga membantu drainase cairan limfe. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek dari penambahan latihan aktif resistif pada Complete Decongestive Therapy (CDT) terhadap pengurangan volume lengan pasien dengan limfedema dan perbaikan kualitas hidup pada pasien kanker payudara dengan limfedema. Metode: Desain uji klinik acak terkontrol. Penelitian dilakukan pada 37 orang pasien kanker payudara dengan limfedema dan secara acak dibagi ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kelompok intervensi mendapatkan tambahan latihan aktif resistif setelah CDT, sedangkan kelompok kontrol hanya mendapatkan CDT. Perubahan volume lengan dengan menggunakan volumeter dan kualitas hidup dengan SF-36 dinilai sebelum dan sesudah 8 minggu intervensi. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna terhadap perubahan volume lengan pre dan pasca terapi (p≤0,05) pada kelompok intervensi sedangkan pada kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan bermakna (p≥0,05). Pada pasca terapi tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar kelompok kontrol dan intervensi (p≥0,05). Terdapat perbedaaan bermakna dari selisih pengurangan volume antar kelompok (p ≤0,05). Terdapat perbedaan bermakna untuk semua domain SF-36 pre dan pasca terapi pada kelompok intervensi (p≤0,05). Terdapat perbedaan bermakna (p≤0,05) domain Rasa Nyeri (RN) pada pasca terapi antar kelompok. Terdapat perbedaan bermakna pada domain utama Komponen Fisik (KF) antar kelompok (p≤0,05). Simpulan: Pengurangan volume lengan dengan limfedema pada kelompok yang mendapatkan latihan aktif resistif dengan CDT lebih besar dibandingkan dengan kelompok CDT saja, dan didapatkan peningkatan kualitas hidup.

ABSTRACT
Background: Lymphedema presence as a relatively common complication of treatment of breast cancer and causes limitation of physical function, psychologic and decreases Quality of Life. Active resistive exercise is one of the treatment of lymphedema which can stimulate contraction of the skeletal muscle to increase the drainage of lymphatic fluid. The aim of the study was to investigate the effect of addition of active resistive exercise to Complete Decongestive Therapy (CDT) in reduction of arm volume and improvement of quality of life in patients with breast cancer-related lymphedema. Methods: Randomized controlled-group study. This research was done to 37 breast cancer patients with lymphedema and they were divided randomly to intervention group and control group. The intervention group underwent additional active resistive exercise after CDT, while the control group underwent only CDT. The change of arm volume was assessed with volumeter and quality of life was assessed with SF-36 at pretreatment and 8 weeks posttreatment. Results: There was significant reduction of arm volume from pre- to posttreatment in intervention group (p≤0.05) while there was no significant reduction in control group (p≥0.05). There was no significant difference between control and intervention group in posttreatment (p≥0.05). There were significant differences in all domains of SF-36 at pre- and posttreatment in intervention group (p≤0.05). There was significant different in body pain domain in between groups at posttreatment (p≤0.05). There was significant different Physical Component Summary in between groups at posttreatment (p≤0.05). Conclusions: Active resistive exercise with CDT makes better reduction of arm volume on lymphedema and better improvement of QOL in breast cancer patients than CDT only"
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Regie Santoso
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sepakbola merupakan olahraga yang sangat dinamik dan memerlukan keterampilan yang berhubungan dengan komponen kebugaran tubuh antara lain agilitas. Agilitas juga berperan penting dalam pencegahan terjadinya cedera pada seorang atlit sepakbola. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur nilai agilitas menggunakan T-Agility Test, nilai performa fungsional menggunakan Laughborough Soccer Passing Test (LSPT) dan hubungan antar keduanya pada atlit sepakbola Junior di DKI Jakarta. Metode: Desain studi potong lintang analitik. Subyek 65 orang atlit sepakbola junior (usia 13.6±1.2 tahun) dari sekolah sepakbola dilakukan pengukuran nilai agilitas dengan T-Agility Test dan performa fungsional dengan LSPT. Hasil: Nilai rerata agilitas atlit dengan T-Agility Test adalah 10.89±0.47 detik. Nilai rerata performa fungsional dengan LSPT adalah 62.26±10.66 detik. Terdapat hubungan positif bermakna antara nilai agilitas dengan performa fungsional (p<0.01 dan r=0.483). Simpulan: Nilai agilitas dan performa fungsional dapat digunakan sebagai data dasar dalam pengembangan atlit dan pencegahan cedera pada atlit sepakbola junior di DKI Jakarta. Korelasi positif bermakna menunjukan nilai agilitas mempengaruhi kemampuan performa fungsional pada atlit sepakbola junior.

ABSTRACT
Background: Soccer is a very dynamic sport and require skills that correlate with the components of physical fitness including agility. Agility is also important in the prevention of injury in soccer athletes. The aim of this study was to measure agility score using T-Agility test, functional performance using Laughborough Soccer Passing Test (LSPT) and the correlation between them in Junior Soccer Athletes in Jakarta. Methods: Design of this study is cross sectional analysis. Sixty five junior soccer athletes (age 13.6±1.2) from soccer academy were measured in agility score using T-Agility Test and functional performance using LSPT. Results: The agility score using T-Agility Test is 10.89±0.47 second. The functional performance score using LSPT is 62.26±10.66 second. There is a significant positive correlation between agility score with functional performance (p<0.01 and r=0.483). Conclusions: The agility and functional performance score can be use as a basic data for the ability development and injury prevention in junior soccer athletes in Jakarta. The significant positive correlation showed that functional performance in junior soccer athletes is determined by their agility abilities. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peggy
"LATAR BELAKANG: Sendi lutut adalah sendi yang paling sering terkena OA. Stabilitas dinamik sendi lutut dipengaruhi oleh otot-otot kuadrisep dan hamstring. Untuk mengoptimalkan gaya yang dihasilkan oleh otot, program latihan peregangan harus terintegrasi dalam program latihan penguatan pada OA. Namun, belum ada penelitian yang membandingkan efek berbagai teknik peregangan terhadap hasil latihan isotonik pada pasien OA lutut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan efek teknik peregangan statik dibandingkan Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF terhadap outcome visual analog scale VAS, lingkup gerak sendi LGS, kekuatan otot, dan kemampuan berjalan latihan penguatan isotonik otot kuadrisep dan hamstring pada pasien OA lutut.
METODE: Desain penelitian ini adalah quasi experimental. Populasi terjangkau adalah wanita penderita OA lutut berusia 50 ndash; 70 tahun yang berobat ke Poliklinik Rehabilitasi Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dan dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi. Pada kelompok pertama, subjek diberi infra red radiation IRR, latihan peregangan statik, dan latihan isotonik otot kuadrisep dan hamstring. Pada kelompok kedua, subjek diberi IRR, latihan peregangan PNF, dan latihan isotonik otot kuadrisep dan hamstring. Intervensi dilakukan selama 6 minggu. Penilaian nyeri menggunakan skor VAS, LGS menggunakan goniometer, kekuatan otot menggunakan hand held dynamometer, dan kemampuan berjalan menggunakan uji jalan 15 meter.
HASIL: Sebanyak 30 responden mengikuti program latihan sampai selesai, kelompok pertama dan kedua masing-masing 15 orang. Setelah 6 minggu, didapatkan perbaikan skor VAS, LGS, kekuatan otot kuadrisep dan hamstring serta uji jalan 15 meter dengan perbaikan bermakna didapatkan pada kekuatan otot hamstring pada kedua kelompok. Delta skor VAS dan uji jalan 15 meter lebih tinggi pada kelompok peregangan statik dibandingkan PNF tetapi tidak berbeda bermakna. Delta kekuatan otot kuadrisep didapatkan lebih tinggi pada kelompok peregangan statik dibandingkan PNF dan berbeda bermakna p=0.033 . Delta LGS dan kekuatan hamstring lebih tinggi pada kelompok peregangan PNF dibandingkan statik tetapi tidak berbeda bermakna.
KESIMPULAN: Pemberian latihan peregangan statik maupun PNF tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara keseluruhan terhadap outcome latihan penguatan isotonik otot kuadrisep dan hamstring pada pasien OA lutut.

BACKGROUND. Knee joints are the joints most commonly affected by OA. The dynamic stability of the knee joint is affected by the quadriceps and hamstring muscles. Stretching exercise programs should be integrated into strengthening exercise programs in OA to optimize the force that generated by the muscle. However, there have been no studies comparing the effects of various stretching techniques on the outcome of isotonic exercise in knee OA patients. The aim of this study was to find out whether there is a difference between the effect of static stretching compared to the Proprioceptive Neuromuscular Facilitation PNF to the outcomes visual analog scale VAS, range of motion ROM, muscle strength, and walking ability of quadriceps and hamstring muscle isotonic strengthening exercises in knee OA patients.
METHODS. The design of this study was quasi experimental. The study population is women suffering from knee OA aged 50-70 years who went to the Medical Rehabilitation Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta that meet the criteria of the study. Sampling was done using consecutive sampling and divided into two groups by randomization. In the first group, subjects were given infra red radiation IRR, static stretching exercises, and isotonic exercises of quadriceps and hamstring muscles. In the second group, subjects were given IRR, PNF stretching exercises, and isotonic exercises of quadriceps and hamstring muscles. Intervention is done for 6 weeks. Pain assessment using VAS scores, ROM measurement using a goniometer, muscle strength measurement using a hand-held dynamometer, and walking ability measurement using a 50-feet walking test.
RESULTS. Thirty respondents were completed the exercise program, the first and second group consists of 15 people, respectively. After 6 weeks, the improvement of VAS, ROM, quadriceps and hamstring muscle strength and 50 feet walking test with significant improvement was obtained only hamstring muscle strength in both groups. Delta VAS scores and 50 feet walking test were higher in the static stretching group than PNF but not significantly different. Delta quadriceps muscle strength was significantly high er in the static stretch group than in PNF p = 0.033 . Delta ROM and hamstring muscle strength were higher in the PNF stretching group than in static but not significantly different.
CONCLUSIONS. There is no significant difference between the effect of static stretching techniques and the PNF on the outcomes visual analog scale VAS, range of motion ROM, muscle strength, and walking ability of quadriceps and hamstring muscle isotonic strengthening exercises in knee OA patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purwitasari Darmaputri
"Latar Belakang: Luka kaki diabetes merupakan masalah paling umum pada penyandang DM. Tanpa perawatan yang tepat, luka dapat mengakibatkan infeksi, amputasi atau kematian. Tingkat mortalitas 3 tahun setelah amputasi akibat luka diabetes tidak banyak berubah dalam 30 tahun terakhir, walaupun dengan kemajuan medis dan pembedahan. LLLT merupakan salah satu terapi adjuvan yang dapat mempercepat penyembuhan luka kronis seperti luka diabetes, namun belum ada pedoman yang pasti mengenai dosis LLLT. Hingga saat ini, belum ada penelitian di Indonesia yang membandingkan densitas energi terhadap penyembuhan luka diabetes.
Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas penyembuhan luka kaki diabetes dengan kedua densitas energi.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental dengan 28 subjek dengan luka kaki diabetes yang dirandomisasi. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Kelompok A mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 5 J/cm2. Kelompok B mendapat perawatan luka rutin dan LLLT 10 J/cm2. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, dengan frekuensi 2x/minggu. Penilaian yang diambil adalah selisih ukuran luka dan kecepatan penyembuhan luka setiap minggu.
Hasil: Selisih ukuran luka setelah intervensi 4 minggu antara kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 mm2 dan 7.5 mm2 (p=0.178). Total kecepatan pemulihan luka pada kelompok A dan kelompok B adalah 4.15 (-10-34.5) mm2/4 minggu and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 minggu (p=0.168).
Kesimpulan: Pemberian LLLT dengan 5 J/cm2 maupun 10 J/cm2 tidak memberikan efek yang berbeda bermakna secara statistik terhadap penyembuhan luka kaki diabetes.

Background: Diabetic foot ulcer is one of the most common complications in DM patients. Without proper management, the ulcer may lead to infection, amputation or even death. Three-year mortality rate after the amputation due to diabetic ulcer has not changed much for the last thirty years, despite the advancement in medical and surgical aspects. LLLT is one of the adjuvant therapies that are used to enhance healing of chronic wound, such as diabetic ulcer, however there is no established guideline for LLLT dosage. Thus far, there has been no research conducted in Indonesia comparing the energy density of LLLT on diabetic foot ulcer healing.
Aim: To compare the effectiveness between two energy densities in diabetic foot ulcer healing.
Method: This research is an experimental study on 28 randomized subjects with diabetic foot ulcer. Sampling was done consecutively. Group A received standard treatment of ulcer and LLLT 5 J/cm2. Group B received standard treatment of ulcer and LLLT 10 J/cm2. Intervention was carried out twice a week for 4 weeks. The outcomes are wound size and healing rate every week.
Result: The difference of wound size between group A and group B after 4 weeks were 4.15 mm2 and 7.5 mm2 (p=0.178). The healing rate of group A and group B were 4.15 (-10-34.5) mm2/4 weeks and 7.5 (-2.8-34) mm2/4 weeks (p=0.168).
Conclusion: There was no statistically significant difference between group receiving LLLT 5 J/cm2 or 10 J/cm2 in diabetic foot ulcer healing."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>