Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wardah Hanifah
"Wanita memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas sentral dibandingkan pria. Prevalensi obesitas sentral terus meningkat khususnya pada kelompok usia dewasa dan tinggal di perkotaan. Obesitas sentral dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah aktivitas fisik yang memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Namun, wanita cenderung kurang aktivitas fisik sehingga risiko mengalami obesitas sentral semakin besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara aktivitas fisik dengan obesitas sentral pada wanita usia dewasa (≥ 18 tahun) di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini berdesain studi cross sectional menggunakan data Riskesdas 2018. Sebanyak 2.922 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil analisis dengan regresi cox menunjukkan perbedaan dari penelitian terdahulu yaitu tidak terdapat hubungan secara statistik antara aktivitas fisik sedang (APR=1,04 ; 95%=0,81-1,34) dan aktivitas fisik ringan (APR=0,99 ; 95% CI=0,76-1,29) dengan obesitas sentral pada wanita usia dewasa di Provinsi DKI Jakarta setelah dikontrol oleh variabel usia, pendidikan, pekerjaan, serta konsumsi buah dan sayur. Meskipun begitu, aktivitas fisik tetap memberi manfaat untuk kesehatan. Memperkuat intensitas aktivitas fisik, skrining kesehatan secara rutin khususnya pengukuran lingkar perut, serta membiasakan aktivitas fisik cukup sejak dini untuk meningkatkan aktivitas fisik dan mencegah obesitas sentral pada kelompok wanita usia dewasa. 

Women has a higher risk of developing central obesity than men. The prevalence of central obesity continues to increase, especially in the adult age group and those living in urban areas. Central obesity is influenced by many factors, one of which is physical activity which has many health benefits. However, women tend to lack physical activity and the risk of women developing central obesity is greater. This study aims to determine the relationship between physical activity and central obesity in the adult women (≥ 18 years) in DKI Jakarta Province. This research has a cross-sectional study design using Riskesdas data on 2018. A total of 2,922 subjects met the inclusion and exclusion criteria. The results of the analysis using cox regression show a difference from previous research that there is no statistical relationship between moderate physical activity (APR = 1.04 ;  95% CI =0.81-1,34) and low physical activity (APR = 0.99 ; 95% CI = 0.76-1.29) with central obesity in the adult women population in DKI Jakarta Province after controlled by the age, education, occupation, consumption of fruit and vegetables variables. Even so, physical activity still provides health benefits. Strengthening the intensity of physical activity, regular health screening especially waist circumference, and  getting used to sufficient physical activity from an early age to increase physical activity and prevent central obesity in adult women."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yuliana Fitri
"Pendahuluan : Indonesia sebagai negara yang memiliki angka stunting tertinggi di Asia Tenggara menghadapi kenyataan adanya double burden terkait permasalahan stunting. Berbagai intervensi telah dilakukan untuk menurunkan angka kejadian stunting di Indonesia, tetapi nilainya tidak mengalami penurunan yang signifikan selama 10 tahun terakhir (>30%). Anak – anak memerlukan asupan makanan untuk tumbuh kembangnya, makanan tersebut tidak hanya bergizi tetapi juga harus memenuhi persyaratan kemananan pangan. Salah satu masalah keamanan pangan adalah adanya cemaran aflatoksin pada produk pangan. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus yang dapat mengkontaminasi berbagai komoditas pertanian seperti jagung dan kacang-kacangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara paparan AFB1 bersumber kacang tanah dengan kejadian stunting pada balita usia 36-59 bulan di Kelurahan Kebon Kalapa, Bogor Tengah.
Metode : Penelitian menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 243 anak usia 36-59 bulan menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh menggunakan metode dietay and exposure assessment melalui wawancara, pengukuran antropometri serta pengujian sampel produk makanan. Data dianalisis menggunakan beberapa uji statistik, untuk multivariat menggunakan regresi linier ganda.
Hasil : Terdapat inverse relationship (β= -0,035) antara paparan aflatoksin B1 (ng/kgbb/hari) dengan kejadian stunting meskipun tidak signifikan (p=0,120) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir dan tinggi Ibu. Asosiasi yang tidak signifikan ini dimungkinkan karena adanya dugaan threshold value aflatoksin dalam menyebabkan gagal tumbuh pada anak. Hubungan antara durasi waktu terpapar AFB1 (bulan) terhadap kejadian stunting memiliki inverse relationship (β= -0,019) dan bermakna secara statistik (p=0,008) setelah dikontrol oleh variabel panjang lahir, berat lahir, dan pendapatan.
Kesimpulan : Belum cukup bukti untuk menyatakan hubungan yang signifikan antara paparan aflatoksin B1 dan stunting pada penelitian ini. Namun, adanya dugaan asosiasi dan threshold value aflatoksin dalam perlambatan pertumbuhan dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui hubungan yang sebenarnya antara paparan aflatoksin dan stunting.

Introduction: Indonesia as the country with the highest stunting rate in Southeast Asia faces the reality of a double burden related to the stunting problems. Various interventions have been carried out to reduce the incidence of stunting in Indonesia, but the value has not decreased significantly over the past 10 years (> 30%). Children need food for their growth and development, these foods are not only nutritious but also must meet food safety requirements. One of the problems of food safety is the presence of aflatoxin contamination in food products. Aflatoxin is a secondary metabolite produced by the molds of Aspergilus flavus and Aspergilus parasiticus which can contaminate various agricultural commodities such as corns and peanuts. This study aims to determine the relationship between aflatoxin B1 exposure and the incidence of stunting in children aged 36-59 months in Kebon Kalapa District, Bogor Tengah.
Method: This study used cross-sectional design. A total of 243 children aged 36-59 months were sampled in this study. Data were obtained by dietay and exposure assessment methods through interviews, anthropometric measurements and testing of food product samples. Data were analyzed using several statistical tests, for multivariates using multiple linear regression.
Results: There was an inverse relationship (β= -0.035) between aflatoxin B1 exposure (ng/kgbb/day) and stunting although it is not significant (p = 0.120) after being controlled by birth length and mother’s height variable. Whereas the relationship between the duration of AFB1 exposure (months) and stunting has an inverse relationship (-0,019) and statistically significant (p = 0,008) after being controlled by variable birth length, birth weight, and income.
Conclusion: There is not enough evidence to state a significant relationship between aflatoxin exposure and stunting in this study. However the existence of alleged of associations and threshold value of aflatoxin in growth retardation can be taken into consideration to conduct further research to determine the actual relationship between aflatoxin exposure and stunting.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Disa Hijratul Muharramah
"Background: Penyakit Coronavirus (COVID-19) yang disebabkan oleh SARS-COV 2 (Severe Acute Respiratory Syndrome) telah menyebar keseluruh dunia dan menginfeksi lebih dari 180 juta kasus yang dikonfirmasi dan lebih dari 3,9 juta kematian. Manifestasi klinis COVID-19 berkisar dari infeksi tanpa gejala atau infeksi ringan hingga bentuk penyakit parah yang mengancam jiwa. Laporan sebelumnya telah menemukan bahwa obesitas dikaitkan dengan kondisi seseorang yang terinfeksi COVID-19 menjadi parah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan obesitas dengan keparahan COVID-19.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia pada tahun 2020. Data diperoleh dari rekam medis, pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dimana kriteria inklusi adalah pasien dengan informasi lengkap sedangkan untuk kriteria ekslusi adalah pasien yang berusia 18 tahun ke bawah dan hamil. Ada 725 COVID-19 yang disertakan untuk analisis. Kami menggunakan PR yang disesuaikan (dan 95% CI) untuk memperkirakan risiko keparahan COVID-19 yang terkait dengan obesitas.
Hasil: Dari 725 pasien COVID-19, 178 mengalami gejala berat. Pasien dengan hipertensi, diabetes, penyakit jantung, dan penyakit ginjal kronis lebih mungkin menderita gejala COVID-19 yang parah. Obesitas dikaitkan dengan keparahan COVID-19 (PR 1,68 dan 95% CI: 1,24-2,26) setelah dikontrol oleh sia, jenis kelamin, diabetes, dan penyakit jantung. Risiko keparahan COVID-19 yang terkait dengan obesitas berbeda berdasarkan jenis kelamin (PR adalah 1,64, 95% CI: 1,14-2,34 pada pria dan 1,69, 95% CI: 0,99-2,88 pada wanita) dan usia (PR adalah 1,77, 95% CI: 1,07-2,29 pada usia yang lebih muda dan 1,48, 95% CI: 1,01-2,17 pada kelompok usia yang lebih tua).
Kesimpulan: Obesitas meningkatkan risiko keparahan COVID-19. Menjaga gaya hidup sehat, termasuk olahraga rutin, memilih makanan sehat dan melakukan pemeriksaan kesehatan rutin dapat mengurangi risiko keparahan COVID-19.

Background: Coronavirus disease (COVID-19) caused by SARS-CoV 2 (Severe Acute Respiratory Syndrome) has spread worldwide and infected more than 180 million confirmed cases and 3,9 million deaths. The clinical manifestations of COVID-19 range from asymptomatic or mild infection to severe. Previous reports identified that obesity is associated with the condition of a person infected with COVID-19 develop into severe. This study aims at examining the risk of severity COVID-19 associated with obesity.
Methods: A cross sectional study was conducted among COVID-19 patients admitted at the University of Indonesia Hospital in 2020. Patients whose aged 18 or below or pregnant were excluded. Data were obtained from medical records. Cases were selected for the analysis only if the information was completed. There were 725 COVID-19 included for the analysis. We used adjusted PRs (and 95% CI) to estimate the risk of severity of COVID-19 associated with obesity.
Results: Of 725 COVID-19 patients, 178 had severe symptoms. Patients with hypertension, diabetes, heart disease and Chronic Kidney Disease were more likely to suffer severe COVID-19 symptoms. After age, gender, diabetes and heart disease were taken into account, obesity was associated with severity of COVID-19 (PR 1.68 and 95% CI: 1,24-2.26). The severity risks COVID-19 associated with obesity were different based on gender (PRs were 1.64, 95% CI: 1,14-2,34 in men and 1.69, 95% CI: 0.99-2.88 in women) and age (PRs were 1.77, 95% CI: 1.07-2.29 among younger age and 1.48, 95% CI: 1.07-2.29 in older age group).
Conclusion : Obesity increase the risk for severity of COVID-19. Maintain healthy life style, including routine exercise, choice of healthy food and routine medical checkup may reduce the risk of severity of COVID-19.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Zaenab
"Jumlah pasien TBC-HIV di Indonesia meningkat dari tahun 2020-2023, Pasien TBC dengan HIV memiliki risiko kematian lebih tinggi namun belum ditemukan informasi mengenai faktor yang berhubungan dengan kematian pasien TBC HIV selama masa pengobatan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor risiko kematian pasien TBC-HIV dengan seluruh kematian pasien TBC SO komorbiditas HIV pada masa pengobatan di Indonesia tahun 2021-2022 dengan menggunakan desain studi kohort retrospektif. Analisis yang digunakan meliputi analisis desktiptif, survival dan multivariat. Sampel dari penelitian ini ada sebanyak 16.029 (78,4%) dari total populasi eligible. Hasil penelitian menunjukan proporsi kematian pasien TBC SO komorbiditas HIV adalah sebesar 15,65% dengan laju kejadian meninggal sebesar 10 Per 10.000 orang hari dan probabilitas kumulatif survival sebesar 62% (95% CI 58,24% - 65,68%). Analisis multivariat menunjukan faktor yang berhubungan dengan kematian pasien TBC SO komorbiditas HIV di Indonesia ialah umur ≥40 tahun (HR 1,29; 95% CI 1,189 – 1,402), jenis fasyankes rumah sakit (HR 0,83; 95% CI 0,766 – 0,900) dan lokasi anatomi paru (HR 1,42; 95% CI 1,225 – 1,660). Upaya yang perlu dilakukan ialah meningkatkan tes HIV pada pasien TBC dan sebaliknya untuk menjaring lebih banyak pasien TBC-HIV sehingga ditangani lebih tepat dan meminimalisir keparahan kondisi kesehatannya yang menyebabkan meninggal.

The number of TB-HIV patients in Indonesia increased from 2020-2023, TB patients with HIV have a higher risk of death but no information has been found regarding factors related to the death of TB HIV patients during treatment in Indonesia. This study aims to determine the effect of risk factors for death in TB-HIV patients with all deaths of TB SO patients with HIV comorbidity during treatment in Indonesia in 2021-2022 using a retrospective cohort study design. The analysis used includes descriptive, survival and multivariate analysis. The sample of this study was 16,029 (78.4%) of the total eligible population. The results showed that the proportion of deaths of TB SO patients with HIV comorbidity was 15.65% with a death rate of 10 per 10,000 person days and a cumulative probability of survival of 62% (95% CI 58.24% - 65.68%). Multivariate analysis showed that factors associated with mortality in SO TB patients with HIV comorbidity in Indonesia were age ≥40 years (HR 1.29; 95% CI 1.189 - 1.402), type of hospital health care facility (HR 0.83; 95% CI 0.766 - 0.900) and anatomical location of the lungs (HR 1.42; 95% CI 1.225 - 1.660). Efforts that need to be made are to increase HIV testing in TB patients and vice versa to recruit more TB-HIV patients so that they are treated more appropriately and minimize the severity of their health conditions that cause death."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mila Fitriaty
"Penyakit ginjal kronis adalah hilangnya fungsi ginjal secara progresif selama beberapa bulan atau tahun (Worldkidneyday, 2020a). Peningkatan kasus baru penyakit ginjal kronis yang signifikan seiring dengan peningkatan jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sebagai terapi penganti ginjal dalam upaya ketahanan  hidup. Komorbid penyakit kardiovaskular adalah faktor risiko utama morbiditas dan mortalitas dengan penyakit ginjal kronis. Penelitian ini menggunakan rancangan cohort restrospective design. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di RSUP Persahabatan, DKI Jakarta dan menggunakan data sekunder dari data sistem informasi RS pada tahun 2015 s.d 2019. Variabel yang berhubungan secara signifikan dengan ketahanan hidup pasien yang menjalani hemodialisa dengan komorbid penyakit kardiovaskular adalah variabel umur, komplikasi anemia, diabetes melitus dan hipertensi. Variabel umur  memiliki nilai p-value sebesar 0,029 dengan HR sebesar 1,54 (95% CI OR 1,043-2,262). Variabel anemia mempunyai nilai p-value sebesar 0,013 dengan HR sebesar 1,60 (95% CI 1,117-2,515. Variabel diabetes melitus memiliki nilai p-value sebesar 0,000 dengan HR2,71 (95% CI 1,780-4,11). Variabel hipertensi memiliki nilai p-value sebesar 0,004 dengan HR1,79 (95% CI 1,208-2,646). Kesimpulannya pasien yang menjalani hemodialisa dengan komorbid penyakit kardiovaskular memiliki risiko kematian sebesar 0.76 kali dibandingkan dengan pasien yang menjalani hemodialisa dengan komorbid bukan penyakit kardiovaskular. Pada penelitian ini validitas internal yang belum baik karena adanya bias seleksi dan bias informasi misklasifikasi non diferensial, sehingga hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan.

Chronic kidney disease is gradual loss of  kidney function after several months or years (Worldkidneyday, 2020a).  There is a significant increase of new chronic kidney disease cases along with increasing number of patients undergoing hemodialysis for kidney replacement therapy as a mean for survival.   The primary risk factor for morbidity and mortality for patients with chronic kidney disease is due to cardiovascular disease.  This study was conducted in RSUP Persahabatan, Jakarta, using secondary data from the hospital’s information system in the year 2015-2019 with cohort restrospective design. High correlated variables for survival rate of patients undergoing hemodialysis with cardiovascular disease as its comorbid includes age, anemia complication, diabetes mellitus dan hypertension.  The p-value of age variable is 0.029 with HR as high as 1.54 (95% CI or 1,043-2,362), while anemia’s p-value is 0.013 with HR 1.60 (95% CI 1,117-2,515).   Diabetes mellitus shows its p-value 0.000 with HR 2,71 (95% CI 1,780-4,11), and hypertension as high as 0.004 with HR1,79 (95% CI 1,208-2,646).  It is concluded patients undergoing hemodialisys with cardiovascular disease has a 0.76 times higher risk of death compared to chronic kidney disease with other comorbid.  The short coming of this research is due to lack of internal validity due to bias selection and information, including misclassification non differential, causing it hard for generalization."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Febriani
"Hipertensi telah menjadi penyakit tidak menular yang secara global paling banyak diderita. Diperkirakan sekitar 40% penduduk di deluruh dunia mengalami hipertensi. Stres emosional merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pada individu usia produktif sebagian besar waktu dihabiskan di tempat kerja sehingga sangat rentan untuk terpapar stres kerja yang dalam waktu berkepanjangan akan berdampak pada kesehatan para pekerja. Supir merupakan satu dari sepuluh jenis pekerjaan dengan tingkat stres okupasional yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stres kerja dengan kejadian hipertensi pada pekerja yang berstatus sebagai supir pribadi di perusahaan armada transportasi, PT Prima Armada Raya DKI Jakarta. Desain studi cross-sectional dilakukan pada 229 pekerja yang berstatus aktif selama Mei -Juni 2021. Stres kerja dinilai dengan menggunakan kuisioner Survey Diagnosis Stres (SDS) 30 yang bertujuan menilai beberapa komponen seperti ambiguitas peran, konflik peran, overload beban kerja kuantitatif, overload beban kerja kualitatif, pengembangan karir dan tanggung jawab terhadap orang lain. Hasil analisis multivariat menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara stres kerja dengan hipertensi (PR 8.345 (95% CI: 1.010-68.946; p-value: 0,049) setelah dikontrol oleh variabel kovariat yaitu usia, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, tingkat aktivitas fisik, riwayat hipertensi keluarga dan obesitas. Program pemantauan kesehatan berkala dan manajemen stres kerja penting untuk dilakukan sebagai inteervensi dalam mencegah timbulnya hipertensi akibat stres kerja. Penelitian lanjutan pada jenis profesi lain mungkin perlu dilakukan.

Hypertension has become the most common non-communicable disease globally. It is estimated that around 40% of the world's population has hypertension. Emotional stress is one of its modifiable risk factors. In productive age individuals, most of their time is spent at work so they are very vulnerable to being exposed to occupational stress which in a prolonged period will have an impact on the health of workers. A driver is one of ten types of work with high level of occupational stress. This study aims to determine the association of occupational stress with hypertension in workers who are private drivers in a transportation fleet company, PT Prima Armada Raya DKI Jakarta. The cross-sectional study design was conducted on 229 workers who were active during May-June 2021. Work stress was assessed using a Stress Diagnosis Survey (SDS) 30 questionnaire which aims to assess several components such as role ambiguity, role conflict, quantitative-work overload, qualitative-work overload., career development and responsibility towards others. The results of multivariate analysis showed that there was a statistically significant relationship between work stress and hypertension (PR 8.345 (95% CI: 1.010-68.946; p-value: 0.049) after being controlled by covariate variables, namely age, smoking habits, alcohol consumption, level of physical activity, history of family hypertension and obesity. Periodic medical check-up programs and work stress management are important as interventions in preventing the occurrence of hypertension due to occupational stress. Further research on other types of professions may need to be done. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aprilicia
"Latar Belakang. COVID-19 merupakan penyakit infeksi dengan manifestasi klinis utama di saluran pernapasan. Selain mempunyai manifestasi klinis pada saluran pernapasan, manifestasi COVID-19 juga ditemukan di saluran gastrointestinal, terutama pada organ hati. Gangguan fungsi hati pada pasien COVID-19 ditandai dengan peningkatan enzim alanine aminotransferase (ALT), peningkatan aspartate aminotransferase (AST), dan peningkatan serum bilirubin. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbandingan kesintasan pasien konfirmasi positif COVID-19 yang mengalami gangguan fungsi hati dan mengetahui hubungan gangguan fungsi hati terhadap kesintasan pasien konfirmasi positif COVID-19 di RS Cipto Mangunkusumo.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap dewasa dengan konfirmasi positif COVID-19 pada periode Oktober 2020 hingga Januari 2021. Analisis untuk mengetahui perbandingan kesintasan pasien konfirmasi positif COVID-19 yang mengalami gangguan fungsi hati. Analisis Cox Regresi Extended digunakan untuk mengetahui hubungan kausal gangguan fungsi hati terhadap kesintasan pasien COVID-19. Hasil dilaporkan dalam bentuk Hazard Rasio dengan Interval Kepercayaan 95%.
Hasil. Sebanyak 354 pasien konfirmasi positif COVID-19 masuk dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukan probabilitas kesintasan kumulatif 30 hari pada pasien COVID-19 lebih rendah pada kelompok pasien dengan adanya gangguan fungsi hati dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa adanya gangguan fungsi hati, yaitu sebesar 31,1% vs. 69,4%, nilai p <0,001. Pada 14 hari masa awal pengamatan, terdapat hubungan gangguan fungsi hati yang signifikan terhadap kesintasan pasien konfirmasi positif COVID-19 setelah dikontrol dengan variabel confounder berupa ARDS, D-dimer, dan ventilator. HR adjusted 2,81 (IK 95%: 1,43-5,53, nilai p 0,003). Sementara pada > 14 hari pengamatan, tidak ditemukan adanya perbedaan risiko kematian pada kelompok pasien yang mengalami gangguan fungsi hati dan tidak mengalami gangguan hati. HR adjusted 0,33 (IK 95%: 0,06-1,75), nilai p 0,195.
Kesimpulan. Kesintasan pasien COVID-19 lebih rendah pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hati. Adanya gangguan fungsi hati yang ditemukan di 14 hari masa awal pengamatan merupakan faktor risiko yang berkontribusi terhadap kesintasan pasien COVID-19.

Background. COVID-19 is an infectious disease with the main clinical manifestations in the respiratory tract. In addition, manifestations of COVID-19 are also found in the gastrointestinal tract, especially in the liver. Abnormal liver function in COVID-19 patients is characterized by an increasing enzyme alanine aminotransferase (ALT), an increase in aspartate aminotransferase (AST), and an increase in serum bilirubin. This study aims to compare the survival rates of COVID-19 patients with abnormal liver function and to evaluate the association between abnormal liver function with the survival of COVID-19 confirmation positive in Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method. This study was a retrospective cohort. The population in this study were inpatients adult with positive confirmation of COVID-19 in the period October 2020 to January 2021. Survival analysis with Kaplan Meier was used to compare the survival of patients with positive confirmation of COVID-19 whose had abnormal liver function. Extended Regression Cox analysis was used to determine the causal relationship of abnormal liver function with the survival of COVID-19 patients. Results were reported in Hazard Ratio with 95% Confidence Interval.
Result. A total of 354 confirmed positive COVID-19 patients were included in this study. The results showed that the cumulative 30-day survival rate in COVID-19 patients was lower in the group of patients with abnormal liver function compared to the group of patients without abnormal liver function (31.1% vs. 69.4%, p value < 0.001). In the early 14 days of observation, there was a significant association of abnormal liver function with the survival of confirmed positive COVID-19 patients after controlling for confounder variables ARDS, D-dimer, and ventilator. HR adjusted 2.81 (95% CI: 1.43-5.53, p value 0.003). While at > 14 days observations, there was no difference in the risk of death in the group of patients with abnormal liver function and without abnormal liver function. HR adjusted 0.33 (95% CI: 0.06-1.75), p value 0.195.
Conclusion. The survival rate of COVID-19 patients was lower in patients with abnormal liver function. The presence of abnormal liver function in the initial 14 days of observation was a risk factor that contributed to the survival of COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silfia Dini Pratiwi
"Kesehatan mental yang terganggu merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab kesakitan dan kematian pada remaja. Gejala gangguan mental dapat berupa ansietas atau kecemasan, depresi, gangguan tidur, ide bunuh diri atau menyakiti diri sendiri dan percobaan bunuh diri. Kesehatan mental dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perilaku sehari-hari dan gaya hidup individu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan kesehatan mental remaja sekolah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data sekunder Global School-Based Student Health Survey Indonesia tahun 2015. Populasi penelitian ini adalah 9.628 remaja sekolah tingkat SMP dan SMA berusia 11-18 tahun di Indonesia. Sampel penelitian ini didapat dengan metode total sampling. Analisis hubungan gaya hidup dengan kesehatan mental remaja sekolah di Indonesia pada penelitian ini menggunakan analisis multivariat cox regresi dan besar asosiasi dinyatakan dengan Prevalence Ratio (PR) dengan 95% Confindence Interval (CI). Prevalensi remaja sekolah di Indonesia yang mengalami gangguan kesehatan mental sebesar 9,4%. Hasil uji analisis mutivariat menunjukan ada hubungan signifikan antara gaya hidup dengan kesehatan mental remaja sekolah di Indonesia 1,47 (95%CI: 1,31-1,65)  setelah dikontrol dengan jenis kelamin, status sosial-ekonomi dan bullying. Pihak sekolah dan orang tua disarankan untuk bekerja sama dalam mencegah gangguan kesehatan jiwa pada remaja.

Mental health disorders are one of the main risk factors for causing pain and death in adolescents. Symptoms of mental health disorders can be anxiety, depression, sleep disorders, suicidal or self-harm ideas and attempted suicide. Mental health is affected by multiple factors, including daily behavior and individual lifestyle. This study aims to find out the relationship between lifestyle and mental health of school adolescent in Indonesia. This study used secondary data of Indonesia's Global School-Based Student Health Survey in 2015. The population of this study was 9.628 students aged 11-18 years in Indonesia. This research sample was obtained by total sampling method. Analysis of lifestyle relationships with school adolescent mental health in Indonesia in this study using multivariate analysis of cox regression and large associations expressed with Prevalence Ratio (PR) with 95% Confidences Interval (CI). Result showed that the prevalence of school adolescents in Indonesia with mental health disorders is 9,4%. Multivariate analysis test results showed there was a significant relationship between lifestyle and school adolescent mental health in Indonesia 1,47 (95%CI: 1,31-1,65) after being controlled by gender, socioeconomic status, and bullying. The school and parents are advised to work together to prevent mental health disorders in adolescents."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library