Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Sainal
"Perilaku kesehatan yang dijalankan oleh seseorang atau PUS dalam siklus reproduksi, merupakan tema perhatian dalam tulisan ini. Kondisi itu muncul karena didasarkan oleh adanya kenyataan, bahwa berbagai masalah gangguan kesehatan reproduksi yang dialami oleh masyarakat dewasa ini banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh faktor perilaku yang mereka wujudkan dalam menjalankan kegiatan dan proses reproduksi mereka.
Perilaku atau perilaku kesehatan yang ditunjukkan atau ditampilkan oleh seseorang atau suatu kelompok masyarakat tidak bersifat tunggal (berdiri sendiri), tetapi "ia" terlahir atau terwujud dari adanya gagasan-gagasan, harapan-harapan, keinginan-keinginan, nilai-nilai, norma-norma, pengetahuan dan kepercayaan dengan kata lain kebudayaan yang dianut oleh individu atau kelompok masyarakat yang bersangkutan. Kebudayaan inilah yang mendasari sikap dan perilaku pendukungnya dalam menata kehidupan kesehatan reproduksinya.
Namun masalahnya, kebudayaan yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi yang dianut oleh suatu komunitas pendukungnya, tidak selamanya berpengaruh baik (positif) terhadap kehidupan kesehatan reproduksi mereka. Bahkan sebaliknya, justru ada yang berpengaruh buruk (negatif). Demikian pula, bahwa tidak selamanya individu-individu bertindak atau berperilaku berdasarkan pada pola-pola kebudayaan ideal (normatif) yang ada dalam masyarakatnya. Implikasinya, bahwa penyimpangan perilaku, dalam hal ini adalah perilaku yang merugikan kesehatan adalah kenyataa-kenyataan empirik yang terdapat dalam suatu komunitas dan kebudayaan, sebagai akibat dan pengaruh dari proses sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai kebudayaan kesehatan modern yang berkenaan dengan kesehatan reproduksi tidak terpahami secara baik. Konsepsi kebudayaan yang mendasari munculnya perilaku kesehatan yang mereka jalankan dalam siklus reproduksi, tersebut, apakah itu dalam bentuk yang menguntungkan ataupun dalam bentuk yang merugikan, mereka sadari atau tidak, dan masalah kesehatan reproduksi yang diakibatkannya merupakan fenomena yang ditelusuri dalam tesis ini, dengan mengambil setting penelitian pada Komunitas Bugis Alitta di Sulawesi selatan.
Melalui studi ini ditemukan, bahwa masalah-masalah kesehatan reproduksi yang dialami oleh warga atau PUS dalam komunitas Bugis Alitta banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh perilaku kesehatan yang mereka jalankan dalam siklus reproduksinya sebagai wujud dari kebudayaannya, baik yang mereka sadari/ketahui maupun yang mereka tidak sadari/tidak ketahui merugikan ataupun menguntungkan kondisi kesehatan reproduksi mereka."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
F. M. Wastu Andanti
"Upacara suran merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun oleh pendukung untuk memperingati pergantian tahun dalam kelender Jawa. Pelaksanaan upacara suran mempunyai variasi, karena setiap pendukung kebudayaan mempunyai konstruksi yang berbeda. Salah satu variannya adalah upacara suran yang dilaksanakan oleh penghayat aliran kebatinan PAMU (Purwa Ayu Mardi Utama). Perbedaan ini terletak pada tiga aspek, yaitu (1) waktu pelaksanaan upacara yang dilaksanakan pada tanggal tiga bukan pada tanggal satu, (2) konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan hakekat kehidupan, dan (3) makna simbolik yang terwujud dalam upacara yang dikonstruksi oieh mereka.
lnformasi tentang upacara suran oleh para kadang-sebutan terhadap anggota PAMU dan keberadaan PAMU sendiri belum ada (Geertz, 1983: 453-474; Jong, 1985:10-11; 1987; Kodiran, 349-350; Koentjaraningrat, 1987; Simuh, 1999). Beatty (2001) menjelaskan tentang PAMU secara sepintas dan belum mengkaji esensi upacara suran secara mendalam.
Masalah penelitian ini adalah ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran sebagai pedoman praktikal mampu dijadikan media sosialisasi sehingga menciptakan model masyarakat multikultural. Pertanyaan penelitian ini adalah: (1) Bagaimana konsep ajaran PAMU tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan; mengapa upacara suran di kalangan penghayat aliran kebatinan PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura, mengapa tidak dilaksanakan pada hari pertama?; Apa makna simbolis yang terwujud dalam upacara suran yang dikonstruksi oleh mereka? ; (2) Apakah fungsi upacara suran bagi para kadang PAMU? dan (3) apakah ajaran PAMU bisa dijadikan sebagai media sosialisasi sehingga tercipta model masyarakat multikultural?
Tujuan penelitian secara umum adalah menemukan hakekat hubungan antara upacara Suran di kalangan para kadang Purwo Ayu Mardi Utomo (PAMU) di Dusun Tojo, Desa Temuguruh, Kecamatan Sempu, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan konsep ajaran PAMU sehingga tercipta model masyarakat multikultural.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini menekankan pada pemahaman dan bukan pada pengujian, menekankan pada proses dan tesis, peneliti sebagai instrumen, difokuskan pada makna (Dentin dan Lincoln, 1994; 2000). Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan melakukan pengecekan berulang-ulang terhadap sumber informasi, konstruksi teoritis, metode pengumpulan data, dan temuan penelitian sejenis.
Hasil penelitian ini adalah : Ajaran PAMU yang termanifestasikan dalam upacara suran membentuk masyarakat yang multikultural yang mengintegrasikan para kadang yang beragam dari aspek agama (Islam, Hindu, Budha, Konghucu, Katolik, Kristen), pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, dan usia. Upacara suran memperkuat kerukunan berjenjang, solidaritas mekanis, dan integrasi sosial sehingga tercipta masyarakat multikultural..
Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (I985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposium lnternasional Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) yang menjelaskan tentang multikulturalisme.
Latar belakang upacara suran di kalangan para kadang PAMU dilaksanakan pada hari ketiga di bulan sura berhubungan dengan ajaran PAMU tentang TRI MURTI, yaitu Bapa Adam, Ibu, biyung, Hawa, dan Gaibing Allah (daya saking bapa, daya saking biyung, Ian daya saking Gaib). Ketiganya bisa dikatakan teluning atunggaL Sangkan paraning dumadi merupakan kunci utama pelaksanaan suran dengan ritual tapal adaman sebagai puncaknya. Temuan ini berbeda dengan delapan postulat dari Geertz (1983: 416-417) dan Beatty (2001).
Konsep ajaran PAMIJ menjelaskan tentang keberadaan Tuhan, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, rnanusia dengan alam, dan tentang hakekat kehidupan. Konsep ajaran terdapat di Pakem Kawruh Kasunyatan Eyang Djojopoernomo. Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa, tidak boleh syirik (mangeran Iiyan) dan sumber kehidupan manusia (Kawasa). Kehendak Tuhan yang bersifat gaib menjadikan bapa-biyung (kedua orang tua) untuk melahirkan manusia. Di sisi lain konsep tentang kerukunan berjenjang mulai dari keluarga (tangga jiwa), tetangga (tangga wisma), warga Negara (tangga desa) dan bangsa (tangga bangsa). Konsep ini berbeda dengan ajaran Pangestu (de Jonge, 1985), Budi Setia, Sumarah, Ilmu Sejati, Kawruh Kasunyatan, Kawruh Bejo (Geertz, 1983: 414-4I5). Ajaran PAMU yang bukan agama; hanya petunjuk laku kebajikan, pada hakekatnya dijadikan media pencerahan bagi masyarakat dengan mengadopsi ajaran Islam yang dijawakan (Jawanisasi Islam).
Makna simbolis upacara suran adalah menjelaskan kepada manusia untuk selalu ingat sangkan paraning dumadi. Simbolisme itu mewujud berupa lokasi pelaksanaan upacara, prosesi upacara. Simbolisme ini menguatkan pendapat Mary Douglas (1966), Turner (1969, 1974; 1979), dan Geertz (1983); (4) Fungsi upacara suran bagi para kadang adalah pemantapan keyakinan, pencerahan kehidupan, penguatan identitas, mekanisme kontroi, pemantapan hirarki sosial,
Operasionalisasi keyakinan keagamaan, dan laku kebajikan manusia sejati.". Pernyataan ini sesuai dengan penelitian terdahulu tentang ritual dari Turner (1969; 1979), Leach (1979), Wallace (1979), Geertz (1992), dan Beatty (2001). Daiam upacara ada kewajikan pada seseorang untuk berperan sesuai dengan fungsinya dalam suatu masyarakat. Kenyataan ini sesuai dengan pandangan Geertz, Turner, Hertz, Cunningham, dan Levy Strauss (dikutip Suparlan, 1985). Di sisi lain, fungsi upacara dapat menjelaskan tentang operasionalisasi keyakinan keagamaan yang bersifat abstrak menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Penelitian ini sesuai dengan pendapat Berger dan Luckman dan Spradley (dikutip Suparlan, 1983: xi-xii). Upacara, juga berfungsi menjelaskan tentang motivasi ikut upacara karena merupakan bagian dari amalan laku kebajikan manusia sejati, yaitu hidup utama, mati sempunia (urip utama, mall sempurna).
Temuan penelitian ini menguatkan bahwa ajaran PAMU tentang kerukunan, menghargai perbedaan pendapat dan otonomi individu teraktualiasikan pada diri anggota mereka (kadang) sehingga membentuk secara berturut-turut individu, keluarga, masyarakat, bangsa yang multikultural. Temuan ini berbeda dengan Geertz (1983); de Jonge (1985), Suseno (1984); Mulder (1999); dan Beatty (2001) yang belum menganalisis ajaran penghayat kepercayaan dengan model masyarakat multikultural. Konsep multikultural telah dioperasionalisasikan oleh para kadang jauh sebelum Watson (2000); Kymlicka (1998) dan Simposum Internasionai Jurnal Antropologi di Universitas Udayana, Bali (2002) menjelaskan tentang multikulturalisme."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T149
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirudin
"Industrialisasi tengah mengubah koran "Suara Merdeka" (SM) dalam sosoknya yang baru. Sejak 1980-an, ketika penanaman modal asing boleh masuk ke dunia penerbitan sesuai amanat UU No. 2111982 tentang "Penaman Modal Asing". secara cepat koran SM mengalami perubahan di tingkat paradigmatik.
Koran SM, mau tidak mau, mengikuti sistem budaya perusahaan (corporate culture) sebagaimana yang menjadi konteks ruang dan gerak perusahaan lain. Implikasinya, wartawan-rnakhluk individual yang secara bebas bisa mengekspresikan idealismenya sebelum era itu--harus terikat dengan platform baru karena menjadi makhluk organisasional dalam situasi yang berbeda. Jurnalisme pun mengalami reunifikasi tidak sekedar menjadi media ekspresi idealisme, tetapi obyek komodifikasi.
Dalam perspektif itu, proses jurnalisme sesungguhnya memiliki kerumitan sosial budaya tersendiri. Di satu sisi, wartawan terikat dengan adagium bahwa epistemologi jurnalisme diselenggarakan dalam kerangka memenuhi right to know dan rigth to express warga, di lain sisi sebagian hidup mereka terikat dengan pemilik modal yang berkewajiban menopang return of investment. Kerumitan lain datang dari sisi khalayak yang berharap wartawan mampu mensuplai informasi bebas sebagai dasar membentuk keputusan-keputusan berharga.
Dalam tarik-menarik kepentingan seperti itu, konflik dengan demikian merupakan situasi yang tak mungkin dihindari. Tesis ini berusaha mengungkap dari mendeskripiskan konflik yang dialami wartawan dan cara-cara penyelesaiannya dengan pendekatan kebudayaan Bourdieu. Melalui teori praksis Bourdieu, konflik coba diurai sebagai fenomena sosial budaya di tubuh perusahan pers SM.
Dalam riset ini ditemukan berbagai macam kasus konflik yang dialami wartawan. Ada berbagai cara merespon konflik serta prosedur penyelesaian perkara yang ditempuh wartawan SM, mulai dari penyelesaian lewat perang mulut, tukarmenukar, ganti-rugi, musyawarah, hingga mediasi. Masing-masing cara dan prosedur penyelesaian konflik tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial budaya dari pihakpihak yang berkonflik. Sebab, dalam bahasa Bourdieu, masing-masing pihak memiliki struktur obyektif (sistem budaya), disposisi (logika berpikir) dan habitus (logika berperilaku) sendiri-sendiri. Di sini menjadi jelas bahwa cara dan prosedur tersebut tampaknya hanya efektif untuk konflik yang kurang lebih sama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Budiwati
" Eksistensi pesantren merupakan fenomena sosial yang sangat menarik Bagaimana lembaga ini mampu bertahan hidup selama berabad-abad merpakan pertanyaan yang menantang. Banyak jawaban telah diberikan dan kebanyakan jawaban tersebut mengacu pada modemisasi yang dilakukan oleh pesantren dalam merespon tuntutan perubahan jaman. Akan tetapi jawaban ini tidak cukup memuaskan. karena modemisasi tidak akan berjalan kalau tidak ada kekuatan-kekuatan yang mendukungnya.
Beranjak dari asumsi ini maka kajian ini berusaha mendeskripsikan etnografi Pesantren Al Hamidiyah melalui pendeskripsian hubungan sosial-hubungan sosial yang dibentuk antara pesantren dengan pihak lain serta pemanfaatan hubungan sosial tersebut bagi pengembangan pesantren. Dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. hubungan sosial-hubungan sosial itu sendiri dilihat dari segi bagaimana proses pembentukan hubungan sosial tersebut. transaksi apa yang dibuat. bagaimana aturannya,dan nilai apa yang mendasarinya. Dengan mengetahui hal-hal tersebut maka isi dan bentuk dari jaringan hubungan sosial bisa diketahui.
Pengkajian tentang proses pembentukan dan pemanfaatan hubungan sosial akan memberikan informasi tentang apa sebenarnya yang menjadi kebutuhan pesantren. Kebutuhan yang dirasakan sebagai kebutuhan utama pesantren adalah kebutuhan akan dana, sumber daya manusia, dan media promosi. Selain kajian tentang proses pembentukan dan pemanfaatan jaringan sosial ini juga akan memberi informasi tentang maksud dari pembentukan jaringan sosial tersebut,yaitu untuk mengakses sumber daya yang dibutuhkan tetapi tidak dimiliki oleh pesantren di mana akses terhadap sumber daya tersebut sangat mendukung bagi eksistensi pesantren.
Sedangkan kajian tentang jenis transaksi,norma dan nilai yang mendasari transaksi tersebut akan memberikan informasi tentang isi dari jaringan sosial yaitu apakah jaringan sosial tersebut berisi transaksi yang didasarkan atas hubungan kekerabatan,pertemanan,maupun ketetanggaan. Di samping itu kajian tentang transaksi,norma dan nilai ini juga akan memberi informasi tentang bentuk jaringan sosial,yaitu apakah berbentuk vertikal sebagai jaringan patron klien atau berbentuk horisontal. Melalui kajian tentang bentuk dan isi jaringan sosial maka akan dapat diketahui tentang dampak jaringan sosial tersebut bagi pesantren."
2001
T903
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library