Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putu Agus Surya Panji
Abstrak :
Tujuan : Untuk mengetahui efek tekanan intrakaf LMP terhadap kekerapan nyeri tenggorokan pasca operasi. Disain : Uji klinik tersamar ganda, prospektif, observasiona]. Pasien : 44 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dalam anestesi umum dengan pemasangan LMP, di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli 2006 sampai September 2006. Metode : Pada kedua kelompok mendapatkan premedikasi midazolam 0,05 mg/kg, fentanil 1-2 ugfkg, diinduksi dengan propofol 1,5-2 mglkg, insersi LMP difasilitasi dengan pemberian rocuronium 0,3 mg/kg. Pemeliharaan anestesi dengan N2O : 02 (2;1 Ipm), enfluran 0,8-2% atau isofluran 1-2%. Pernafasan pasien dikontrol selama operasi dengan volume tidal 8 ml/kg, laju pernafasan 14 xJmnt. Kelompok 1 tekanan intrakaf LMP tidak dimanipulasi selama operasi, sedangkan kelompok 2 tekanan intrakaf LMP dimanipulasi (selalu dipertahankan < 60 cmH2O). Tekanan intrakaf LMP pads kedua kelompok dipantau setiap 15 menit sampai operasi selesai. Nyeri tenggorokan pada kedua kelompok dinilai dengan sistem skoring (skor 0 = tidak ada nyeri tenggorokan (VAS 0), skor 1 = nyeri tenggorokan ringan (VAS 1-3, skor 2 = nyeri tenggorokan sedang (VAS 4-7), skor 3 = nyeri tenggorokan berat (VAS 8-10) diruang pemulihan dan diruang perawatan. Analisa statistik menggunakan uji t, sedangkan untuk data non parametrik, menggunakan uji chi square dan koreksi yaitu bila nilai ekspektasi kurang dari 5 dengan tingkat signifikan p < 0,05. Hasil : Diruang pemulihan kekerapan nyeri tenggorokan pads kelompok 1 sebesar 4,5%, sedangkan pada kelompok 2 tidak ditemukan nyeri tenggorokan. Secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan. Diruang perawatan setelah 24 jam, pada kelompok I ditemukan nyeri tenggorokan sebesar 18,2% dengan intensitas ringan dan 9,1% dengan intensitas sedang.Sedangkan pada kelompok 2 ditemukan nyeri tenggorokan sebesar 5%. Namun secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan. Kesimpulan : Secara uji statistik, kekerapan nyeri tenggorokan tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok, meskipun efek dari mempertahankan tekanan intrakaf S 60 cmH2O terhadap penurunan kejadian nyeri tenggorokan cukup berarti secara klinis, terutama diruang perawatan. ...... Objective : To study the effect of Laringeal Mask Proseal (LMP) intracuff pressure on the incidence ofposl operative sore throat. Design : Prospective, Double blind Randomized clinical trial, Observational. Study Patients: 44 consecutive Adult patients requiring elective surgery with general anesthesia by LMP, In central operating theatre Ciptomangunkusumo hospital on July 2006 until September 2006. Intervention : Patient was premedication with Midazolam 0,005 mg/kg and fentanil 1-2 microgram/kg and induced with propofol 1,5-2 mg/kg, insersi LMP facilitated with rocuronium 0,3 mg/kg and maintained with nitrous oxide and oxygen (2:1 lpm), enfluran 0,8-2% or Isoflurane 1-2% and control ventilation 8 ml/kg and respiratory rate 14 x/minute. In Group 1, No Intracuff pressure manipulation until the end of the operation. In Group 2, lnlracuff pressure was manipulation ( maintained E 60 cmH2O). On Both groups intracuff pressure were monitored until the end of operation every 15 minute_ In the recovery room, after operation, patients were questioned for post operative sore throat as soon as after conscious and in the ward 24 hoes after operation following a scoring protocol ( score 0: no complaints (VAS 0), score 1 : minimal sore throat (VAS 1-3), score 2 : moderate sore throat (VAS 4-7), score 3 : severe sore throat (VAS 8-10: "never a LMP again?). The data were analyze with t test, otherwise for non parametric with chi square test and statistical significant was accepted at p - 0,05 level. Results : In the Recovery room incidence of sore throat on group I was 4,5 % and in group 2 was 0%, Based on statistical analyze not significant. In the ward after 24 hours on group 1 incidence mild sore throat 18,2% and moderate sore throat 9,1% and on group 2 incidence mild sore Croat 5 %, based on statistical analyzed not significant. Conclusions : On the both groups the incidence of sore throat not different based on statistical analyzed, although the effect of maintained intracuff pressure 60 cmH2O on clinical incidence of sore throat especially in the ward 24 hours after operation were different.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18016
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yasir
Abstrak :
Latar belakang : Telah dilakukan penelitian untuk waktu optimal pemberian fentanil 2 .tg/kg BB dengan tujuan menekan respon kardiovaskuler akibat laringoskopi dan intubasi dengan membandingkan waktu pemberian fentanil 5 dan 7 menit sebelum dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi. Metode:Tiga puluh enam pasien ASA 1 dan ASA 2 dibagi dalam dua kelompok secara acak masing-masing tediri dari delapan belas pasien. Kelompok pertama diberikan fentanil dosis 2 µglkg BB waktu 5 menit sebelum laringoskopi dan intubasi, sedangkan kelompok kedua diberikan dosis yang sama dengan waktu 7 menit sebelum laringoskopi dan intubasi , data tekanan darah sistolik , diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung dari kedua kelompok dibandingkan sampai 5 menit setelah intubasi. Hasil : Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang dibandingkan (p>0.05) dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata dan laju jantung akibat laringoskopi dan intubasi. Kesimpulan : Waktu optimal untuk injeksi fentanil 21tg kg BB-' untuk dapat menekan respon hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi adalah 5 dan 7 menit sebelum tindakan tersebut dilakukan.
Background :This study was designed to examine the optimal time of injection of 2 gg/kg fentanyl to Attenuate circulatory responses due to laringoscopy and tracheal intubation that compared between 5 minute and 7 minute before laringoscopy and tacheal intubation. Method : Thirty six patients ASA 1 and ASA 2 were randomly in two groups which each group eighteen patients. The patients in group 1 received fentanyl 2 pg/kg 5 minute and group 2 received the same dose 7 minute before laringoscopy and tracheal intubation. Result : The result of this study were no statistical significant values both of groups in systolic, diastolic, mean arterial pressure and heart rate due to laringoscopy and intubation Conclusion : The effective time to administer fentanyl 2pg kg _I to protect circulatory response to laringoscopy and tracheal intubation are 5 minute and 7 minute before intubation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadh Firdaus
Abstrak :
Studi ini bertujuan untuk mengetahui keefeletifan parecoxib 40 mg intravena dibandingkan dengan morfin 5 mg intravena sebagai analgesik pada 24 jam pertama pascalaparotomi ginekologi. Enampuluh empat pasien laparotomi ginekologi mendapatkan intervensi parecoxib 40 mg iv atau morfin 5 mg iv pascabedah. Nilai VAS, waktu untuk kebutuhan petidin pertama, jumlah kebutuhan petidin dan efek samping opioid dicatat sampai 24 jam setelah intervensi. Didapatkan nilai rerata penurunan intensitas nyeri (PID) antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0,05), dengan rerata PID 0-6 jam sebesar 33,3 (SE 3,3) untuk? kelompok parecoxib dan 38,4 (SE 4,2) untuk kelompok morfin. Rerata waktu pemberian petidin pertama tidak berbeda bermakna yaitu 2 jam 53 menit (parecoxib) dan 1 jam 44 menit (morfin); p>0,05). Rerata kebutuhan petidin 24 jam juga tidak berbeda bermakna yaitu 51,6 mg (SE 5,8) dan 55,5 mg (SE 4,6); p>0,05. Efek samping opioid berupa sedasi lebih banyak pada kelompok morfin yaitu 21 pasien (65,6%) vs 12 (37,5%); p=0,024. Efek samping opioid berupa mual, muntah dan pusing tidak berbeda bermakna. Disimpulkan bahwa parecoxib 40 mg iv tidak lebih baik(daripada morfin 5 mg iv dalam memberikan efek analgesia untuk nyeri pasacalaparotorni ginekologi.
Objective: The purpose of this study was to compare the analgesic activity of parecoxib 40 mg iv and morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy. Study design: In a randomized, controlled, double-blind, 64 patiets after gynecoloogic laparotomy surgery received single-dose intravenous parecoxib 40 mg or morphine .5 mg followed by repeated 25 mg iv pethidine as analgesic rescue drugs.Primary efficacy variables were pain intensity difference (PID), time to first recue/remedication, total pethidin dose over 24 hours, and opioid-sparring side effects were recorded. Results: Parecoxib 40 mg iv did not provide better pain responses than morphine 5 mg iv. Zero to 6 hours PID between parecoxib group and morphine grows were 33.3 (SE 3,3) versus 38,4 (SE 4,2; p>0,05). Mean time to first recuelremedication were 2h53min (parecoxib group) versus lh44min (morphine graup); p>0,05. Mean total pethidine dose in 24 hours were 51.6 mg (SE 5,8) versus 55,5 mg (SE 4,6) for parecoxib group and morphine group respectively; p>0,05. Morphine group showed more sedation parecoxib group; 21 pis (65,6%) versus 12 (37.5%); p-0,024. Other opioid-sparring side effects were comparable between both groups. Conclusion: Parecoxib 40 mg iv did not provide better analgesic activity than morphine 5 mg iv in 24 hours after gynecologic surgery that requires laparotomy.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18001
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bram
Abstrak :
Latar belakang : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan pemberian cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat dalam mencegah hipotermia dan menggigil yang terjadi pada wanita hamil yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal. Metode : Seratus tiga puluh empat pasien yang menjalani operasi sesar menggunakan analgesia spinal di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, diberikan cairan Ringer laktat dan cairan Ringer asetat. Perubahan suhu membran timpani, perubahan suhu perifer dan kekerapan serta derajat menggigil dinilai sampai 50 menit setelah operasi dimulai. Hasil : Didapatkan perbedaan bermakna (p=0,003) antara penurunan suhu membran timpani di antara kedua kelompok, kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu sebesar 0,730°C, sementara kelompok yang mendapatkan cairan Ringer laktat mengalami penurunan suhu sebesar 1,013°C. Perubahan suhu perifer diantara kedua kelompok juga berbeda bermakna (p=0,005), kelompok yang mendapatkan cairan Ringer asetat mengalami penurunan suhu perifer 0,724°C, sementara kelompok yang mendapat cairan Ringer laktat mengalami penurunan 0,964°C. Kejadian menggigil diantara kedua kelompok berbeda berakna (p=0,012), kejadian menggigil kelompok Ringer asetat 52,23% sementara kelompok Ringer laktat 74,62%. Tidak terdapat perbedaan bermakna derajat meggigil diantara kedua kelompok. Kesimpulan : Bahwa pemberian cairan Ringer asetat lebih efektif mencegah hipotermia dan menggigil pada pasien yang menjalani operasi sesar dengan analgesia spinal
Background: The aim of this study is to determine the efficacy of lactated Ringer and acetated Ringer solutions in preventing hypothermia and shivering to parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia. Methods: One hundred thirty four parturitions women undergoing caesarean sections using spinal analgesia in emergency operating theatre of Cipto Mangunkusumo Hospital were included in this study. Those parturitions women were divided into two groups. One group received lactated Ringer solution and the other received acetated Ringer solution intravenously as maintenance and co-loading fluid. Tympanic membrane temperature and skin temperature were recorded every five minute within 50 minute interval. Results: There was significant difference (p=0,003) between two groups in tympanic membrane temperature decrease. Acetated Ringer group had 0,730°C decrease in tympanic membrane temperature, while the lactated Ringer group had 1,013°C decrease. There was significant difference (p=0,005) between two groups in skin temperature. Acetated Ringer group had 0,724°C decrease in skin temperature, while the lactated Ringer group had 0,964°C decrease. Shivering incidence also show significant difference (p=0,412). Acetated Ringer group had 52,23% incidence while lactated Ringer group had 74,62%. There were no significant differences in shivering grade between two groups. Conclusions: Acetated Ringer solution had greater efficacy in preventing hypothermia and shivering in parturitions women undergoing caesarean section using spinal analgesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nismaya Sari Dewi
Abstrak :
Tujuan : Dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan dan derajat pruritus morfin 0,05 mg intratekal dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca ortopedi ortopedi dengan analgesia spinal bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Disain : Uji klinis acak tersamar ganda Metoda : 32 pasien yang menjalani operasi ortopedi tungkai bawah di bagi kedalam dua kelompok Kelompok A sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,1 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg dan kelompok B sebanyak 16 orang mendapat morfin 0,05 mg pada suntikan bupivakain hiperbarik 0,5% 15 mg. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri dan derajat pruritus menggunakan VAS pada jam ke 2, 4,6,8,12 dan 24 jam pasca operasi dan ada tidaknya mual dan muntah 24 jam pasca operasi. Hasil : KeIompok yang mendapat morfin 0,1 memberikan analgesia yang lebih baik daripada yang mendapat. morfin 0,05 mg intratekal dengan efek samping pruritus yang ditimbulkan tidak berbeda pada kedua kelompok tersebut. Kekerapan mual dan muntah tidak berbeda pada kedua kelompok Kesimputan : Morfin intratekal 0,1 mg menghasilkan analgesia yang lebih baik dengan efek samping yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan morfin intratekal 0,05 mg.
Objective : This study was conducted to compare the effectiveness of 0,1 mg intrathecal morphine with 0,05 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after lower extremity orthopedic operations with 15 mg of hyperbaric bupivacain 0,5% Design : Double blind, randomized clinical study. Methods : 32 pollens who underwent lower extremity orthopedic operations were divided into two groups. 16 Patients got 0,1 mg intratechal morphine at injection of] 5 mg hyperbolic bupivacain 0,5%. Another 16 patients got 0,05 mg mg intratechal morphine at injection of 15 mg hypebarik bupivacain 0,5%. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours: The effectiveness of analgesia and level ofpruritus raring VAS. Result : The group who got 0,1 mg intrathecal morphine had better analgesia compared with group who got 0,05 mg morphine_ There is no difference in level of pruritus, the incidence of nausea and vomiting, between the two groups. There is no patients suffer from respiratory depression. Conclusion : Intratechal morphine 0,I mg provides a better analgesia compare to intrathecal morphine 0,05 mg, with the same quality ofpruritus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18166
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Wahyuni
Abstrak :
Latar belakang : Rasa kecemasan dan ketakutan dalam menghadapi tindakan medis atau operasi pada anak lebih besar dibandingkan pada orang dewasa. Sebaiknya saat anak masuk masuk kamar bedah sudah diberikan obat premedikasi. Premedikasi melalui tetes hidung mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan melalui jalur lainnya. Obat premedikasi yang umum diberikan melalui fetes hidung adalah midazolam dan ketamin. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 30 subyek penelitian yang akan menjalani tindakan medis elektif, ASA I atau II dengan uji klinis tersamar ganda. Subyek penelitian dibagi dua kelompok ; Kelompok Midazoiam yaitu premedikasi tetes hidung midazolam dosis 0,2 mglkgbb dan kelompok Ketamin yaitu premedikasi tetes hidung ketamin dosis 4 mglkgbb. Dilihat dan dicatat skor tingkat sedasi dan kecemasan awal sebelum diberikan premedikasi, dan 20 menit setelah diberikan premedikasi. Efek samping pasta premedikasi juga dilihat dan dicatat. Hasil : Tingkat sedasi yang efektif didapatkan pada 86,7% anak pada kelompok midazolam, sedangkan hanya 46,7% yang mencapai tingkat sedasi efektif pada kelompok ketamin, dengan p>0,005. Berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif dicapai oleh 93,3% anak dari kelompok yang mendapat midazolam, dibandingkan dengan kelompok ketamin yang hanya menunjukkan berkurangnya tingkat kecemasan yang efektif pada 46,7% anak, dengan p<0,05. Efek samping yang terjadi adalah hipersalivasi yang terjadi pada 3 anak yang mendapat ketamin, dan muntah pada 1 anak dari kelompok ketamin. Kesimpulan : Premedikasi tetes hidung midazolam menunjukkan tingkat sedasi dan mengurangi kecemasan yang lebih baik dibandingkan dengan ketamin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18171
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rebecca Sidhapramudita Mangastuti
Abstrak :
Tujuan: Mengetahul efek induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dibandingkan etomidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus. Metode : Uji Minis tersamar gander Penelilian dilakukan di ruang Instalasi Bedah Pusat dan Bedah Rawat Jalan RSCM, pada pasien yang akan menjalani operasi berencana dengan anestesi umum, ASA I-II, umur 16-65 tahun, tidak memiliki riwayat kelainan neurologis dan neuromuskular dan tidak memiliki riwayat alergi terhadap etomidat, midazolam dan fentanil. 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,2 mg/kgBB iv dan 56 pasien mendapat induksi etomidat 0,3 mg/kgBB iv. Premedikasi yang digunakan pada kedua kelompok: midazolam 0,02 mgfkgBB iv dan fentanil 1 ugfkgBB iv. Dinilai kekerapan mioklonus serta derajat mioklonus pada kedua kelompok. Analisis siatistik dengan uji t bila mengikuti distribusi normal. Sedangkan perbedaan pada kedua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square. Nilai signifkansi p< 0,05 dengan interval kepercayaan 95%. Hasil: Kelompok etomidat 0,2 mg/kgBB iv, miokionus ringan a orang (1,8 %) mioklonus sedang dan berat tidak ada (0 %). Kelompok etomidat 0,3 mg/kgBB iv, mioklonus ringan 2 orang (3,6 %), mioklonus sedang 2 orang (3,6 %) dan mioklonus berat 1 orang (1,8 %). Kesimpulan : Etomidat 0,2 mgfkgBB iv dibandingkan etornidat 0,3 mg/kgBB iv dalam menurunkan kekerapan mioklonus serta perbandingan derajat mioklonus, secara statistik tidak bermakna, namun ada kecenderungan angka keberhasilan pada penggunaan etomidat 0,2 mglkgBB.
Purpose: To know comparison induction elect of etomidate 0,2 mglkg iv and etomidate 0,3 mglkg iv to decrease frequently of myoclonus. Methods: Double-blind randomized controlled trial. Trial had done at Centre Surgery Unit (IBP) and One Day Care RSCM. Patient were undergoing elective surgery with general anesthesia, ASA I-II 16-65 years old, didn't have history of neurologic and neuromuscular diseases, didn't have hypersensitive with etomidate, midazolam and fentanyl. 56 patients had etomidate 0,2 mg/kg iv and 56 patient had 0,3 mg/kg. Premedication with midazolam 0,2 mglkg iv and fentanyl 1 ug/kg iv. Measured myoclonus and grade of myoclonus. Analysis with t test for normal distribution and chi-square test for categorial. Significancy if p value < 0,05 with confidence interval 95%. Result: Group of etomidate 0,2 mg/kg iv, one patient had mild myoclonus (1,8%), no patient had moderate and severe myoclonus (0%). Group of etomidate 0,3 mg/kg iv, two patients had mild myoclonus (3:.6%), two patients had moderate myoclonus (3,6%) and one patient had severe myoclonus. Conclution: Comparison etomidate 0,2 mg/kg iv and etomidate 0,3 mg/kg iv to decrease frequently of myoclonus and the grade of myoclonus, no significantly in statistic analysis, but had disposed successful in etomidate 0,2 mg/kg iv.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viella Cecilia Wijaya
Abstrak :
Kami melakukan penelitian tentang efek pemberian minuman berkarbohidrat pada dua jam pra induksi anestesia terhadap pengurangan ketidaknyamanan prabedah untuk pasien operasi elektif. Tiga puluh sembilan pasien dewasa dengan status fisik ASA 1 dan 2 diikutsertakan dalam penelitian ini yang diacak dengan penyamaran tunggal untuk mendapatkan 300 mL minuman yang mengandung glukosa 5% atau air putih pada waktu dua jam pra induksi anestesia. Seharusnya penelitian dilakukan terhadap 68 pasien namun akibat kesalahan terhadap penghitungan jumlah sampel di awal penelitian kami dan keterbatasan waktu maka penelitian hanya dilakukan terhadap 39 pasien. Digunakan VAS sebagai metode pengukuran ketidaknyamanan prabedah yang ingin dinilai yaitu kecemasan, rasa lapar dan rasa haus. Tidak terjadi efek samping aspirasi pare pada semua subyek penelitian. Terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05) terhadap variabel kecemasan dan rasa haus pada pengukuran di menit ke-90 dan 120 setelah pemberian minuman. Sedangkan pada variabel rasa lapar hanya terjadi penurunan nilai VAS yang bermakna pada kelompok yang mendapat minuman glukosa 5% di menit ke-90. Perbandingan nilai mean dan SD untuk penurunan VAS kecemasan, rasa lapar dan rasa haus diantara kedua kelompok hasilnya tidak bermakna (p>0.05). Kesimpulannya adalah pemberian air putih saja cukup efektif untuk menurunkan ketidaknyamanan prabedah yang berupa kecemasan dan rasa haus, namun tidak efektif untuk mengurangi rasa lapar.
We studied the effects of carbohydrate drink given two hours pre-induction of anesthesia in reducing preoperative discomforts for elective surgery patients. Thirty-nine adult patients with physical status ASA 1 and 2 were included in the study and randomized double blinded to preparation with 300mL of glucose 5% drink or plain water. The sample size was supposed to be 68 but we miscalculated it a1 the beginning of the study and also because of the lack of time, we only look 39 patients as our sample. Visual Analog Score (VAS) was used as a method of scoring the preoperative discomfort variables, which were anxiety, hunger and thirst. There were no adverse effects such as pulmonary aspiration occurred in the study. VAS was measured before, 90 and 120 minutes after the drink was given. It happened to be that both of the drinks were very effective in reducing VAS of anxiety and thirst but there were no difference between the two groups (p>0.05). Both of the drink was less effective in reducing hunger preoperatively. In conclusion, plain water is as effective as glucose 5% drink in reducing anxiety and thirst preoperative if given two hours pre induction of anesthesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18039
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumi Yustiningsih
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui pengurangan dosis induksi propofol pada kelompok yang diberikan koinduksi ketamin 0,3 mg/kgBB dibandingkan dengan kelompok yang diberikan koinduksi midazolam 0,03 mg/kgBB. Metode: Uji Klinik Tersamar Ganda. Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Pusat RSCM pada hulan November sampai dengan Desember 2006, dengan jumlah sampel 46 pasien dewasa yang menjalani operasi berencana dan anestesia umum. Pasien dibagi secara acak ke dalam 2 kelompok; 23 pasien mendapatkan koinduksi ketamin 0,3 mg/kgBB dan 23 pasien Iainnya mendapatkan midazolam 0,03 mg/kgBB 2 menit sebelum induksi propofol. Induksi propofol dilakukan secara titrasi 30 mg/i0 detik. Dilakukan pencatatan dosis induksi propofol pada end point hilangnya respon verbal dan hilangnya respon terhadap jaw thrust serta respon hemodinamik 1 menit setelah induksi. Analisa statistik untuk melihat perbedaan rerata antara kedua periakuan menggunakan uji-t, sedangkan perbedaan pada dua kelompok data kategori diuji dengan uji chi-square dengan nilai signilikansi p<0,05 dengan interval kepercayaan 93%. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok perlakuan dalarn hal pengurangan dosis induksi propofol dan penurunan tekanan darah 1 manic setelah induksi propofol. Dosis induksi propofol pada kelompok ketamin 0,3 mg/kgBB lebih sedikit dibandingkan dengan midazolam 0,03 mg/kgBB. Ketamin 0,3 mg/kgBB lebih sedikit dalam efek penurunan tekanan darah akibat induksi propofol dibandingkan dengan midazolam 0,03 mg/kgBB.
Objective: To observe the reduction of propofol induction dose in ketamin co induction 0,3 Mg/Kg BB compare with midazolam coinduction 0,03 mg/kgBB Methods: Double blinded randomized clinical trial. The study was conducted at Cipto Mangunkusuma Hospital Central-Surgery Room from November until December 2006 to 46 adult patients who went to elective surgery and general anesthesia Patients were divided randomly into two groups: The group consist of twenty-three patients give co induction ketamin 0,3 mg/kgBW The other twenty-three patients was given with 0,03 mg/kgBW of midazolam coinduction two minutes before the induction propofol. The records doses propofol induction using loss of response to verbal commands and loss. of response to jaw thrust stimulation as end point of induction. This study also observed the homodynamic response one minute after induction. T-test method was performed to identfy the mean difference between the two groups, while Chi Square method was performed to identify the frequency difference (categorical data) between the two groups. A 'p' value of <0.05 was considered statistically significant: with 95% confidence interval. Conclusion: There were .significant statistical differences between the two groups in a matter of reducing propofol induction doses and hemodynamic effects one minute after propofol induction. Propofol induction dose was less at ketamine group. Hemodynamic elects one minute after propofol induction, Ketamine 0,3 mg/kgBW was less in reducing blood pressure compared with midazolam 0,03 mg/kgBW.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulinda Abdullah
Abstrak :
Latar belakang : Kelemahan anestesia epidural adalah mula kerja yang lebih lama. Berbagai upaya dicoba dilakukan untuk mempercepat mula kerja anestesia epidural. Salah satunya adalah penambahan fentanil ke dalam obat anestesia lokal. Penelitian ini melihat pengaruh penambahan fentanil 100µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% terhadap mula kerja blok sensorik dan blok motorik. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 28 subyek penelitian yang Akan menjalani anestesia epidural dengan ASA I-II dengan uji klinis tersamar ganda . Subyek penelitian dibagi dua kelompok. Kelompok A(fentanil) yaitu penambahan fentanil 100µg 2m1 dan kelompok B (kontrol) penambahan NaCl 0,9% 2 ml ke dalam ropivakain 0,75% 13 ml. Dilihat dan dicatat mula kerja blok sensorik dermatom setinggi T10, T8, T6, T5 dan T4 dengan tes Pinprick. Dan dilihat dan dicatat mula kerja blok motorik dengan skala Bromage 1 & 2. Perubahan hemodinamik dan efek samping infra operatif juga dilihat dan dicatat. Hasil : Mula kerja blok sensorik setinggi dermatom T10, T8, T6, T5 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol) dengan p<0,001. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T5 pada kelompok B (kontrol) hanya 85,7%. Pencapaian blok sensorik setinggi dermatom T4 hanya 14,3% pada kelompok A (fentanil) dan 21,4% pada kelompok B (kontrol), denganp>0,05. Mula kerja blok motorik dengan skala bromage 1&2 lebih cepat pada kelompok A (fentanil) dibanding kelompok B (kontrol), dengan p<0,001. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada tekanan darah , laju nadi, laju nafas dan efek samping yang terjadi pada kedua kelompok selama penelitian. Kesimpulan : Penambahan fentanil 100 µg pada anestesia epidural ropivakain 0,75% mempercepat mula kerja blok sensorik dan blok motorik.
Background : We wanted to know the effect offentanyl 100 pg added to ropivacain 0, 75% to the onset of motor and sensory block in epidural anesthesia. Method : The study was done to 28 patients, ASR I II in a randomized double blind study. We randomly allocated them into two groups, the first group received fentanyl 100 pg and the second group received NaCl 0,9% added to ropivacaine 0,75% 13 ml. We observed the onset of sensory block to reach TI0, T8, T6, T5, and T4 by using pinprick test. The onset of motor block was observed using the bromage scale. We also took note of the hemodynamic changes and adverse effects that happened intro operative. Result : The fentanyl group reach sensory block as high as T10, T8, and T6 faster than the control group. Only 85,7% patients in the control group can reach sensory block as high as T5. In both groups less than 25% patients can reach sensory block as high as T4. Motoric block was faster in the fentanyl group than the control group. We didn't notice any difference in homodynamic profile nor adverse effects found in the two groups. Conclusion : The addition offentanyl 100 pg to ropivacaine 0,75% will speed up the onset of sensory and motor block in epidural anesthesia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18004
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>