Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 100 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melda Kamil Ariadno
"International trade cannot be separated from the role of international shipping. More than 80%
of goods transported through sea from a region to another, from one Country to another Country.
Since the dawn of the voyage, port cannot be separated from the voyage itself. Adequate port
will ensure good international shipping. Increasing number of international shipping also means
increasing volume of international trade. With a variety of factors such as geographical factor,
natural resources, and population, Indonesia should be a key player in international trade by sea.
However, the reality is still far from ideal, especially when compared with neighboring countries.
This research aims to map the condition and situation of ports in Indonesia, especially in the
legal field so that can be known what things that can be recommended to optimize the role of
Indonesian ports in international trade by sea.
Perdagangan internasional tidak dapat dilepaskan dari peranan pelayaran internasional.
Lebih dari 80% barang-barang dibawa melalui laut dari satu daerah ke daerah lain, dari satu
Negara ke Negara lain dan satu benua ke benua lainnya. Sebagaimana telah berlangsung sejak
awal pelayaran lahir di dunia, pelabuhan tidak dapat dipisahkan dari pelayaran itu sendiri.
Pelabuhan yang memadai akan menjamin berlangsungnya pelayaran internasional yang baik.
Dengan meningkatnya pelayaran internasional berarti meningkat juga volume perdagangan
internasional. Dengan berbagai faktor keuntungan seperti faktor geografis, sumber daya
alam, jumlah penduduk, sudah seharusnya Indonesia menjadi pemain kunci (key player) dalam
perdagangan internasional melalui jalur laut. Akan tetapi, kenyataan masih jauh dari harapan
yang ideal terutama jika dibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Riset ini bertujuan
untuk memetakan kondisi dan situasi pelabuhan Indonesia khususnya di bidang hukum sehingga
dapat diketahui hal-hal apa saja yang dapat direkomendasikan untuk mengoptimalkan peran
pelabuhan-pelabuhan Indonesia dalam perdagangan internasional melalui laut.;;"
University of Indonesia, Faculty of Law, 2014
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gulardi Nurbintoro
"The drafters of the 1982 UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) have left behind a lacunae
in terms of the regulations concerning Biodiversity in the Areas Beyond National Jurisdiction
(BBNJ). As living organisms are found in the deep seabed in areas beyond national jurisdiction,
as well as the utilization of marine genetic resources beyond national jurisdiction for commercial
purposes, States are currently deliberating on the proper regime in dealing with the management
and exploitation of the biodiversity. Some States argue that Part XI UNCLOS applies hence BBNJ
is also part of the Common Heritage of Mankind. On the other hand, some States believe that Part
VII UNCLOS applies which will allow individual States to exploit the resources in accordance with
the principle of the freedom of the high seas. Since 2004, the UN General Assembly has established
a Working Group to discuss the issue. Indonesia as a Party to UNCLOS which in general advocates
the importance of the rule of law in the oceans has the interest that the discussion in the UN
will allow developing countries, including Indonesia, to enjoy the result of the exploration and
exploitation of non-mineral resources at the bottom of the ocean.
"
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Paku Utama
"This study examines problem of money laundering and identifies role of gatekeepers in utilising
their expertise to conceal the proceeds of crime. In order to successfully prevent and investigate
money laundering, we need to understand the development of anti-money laundering regime and
how country like Indonesia adopts this development into its domestic regulations. Nevertheless, it
is crucial to comprehend gatekeepers utilising various money laundering mechanisms and offshore
financial centres. Scrutinised cases from Indonesia and corporate practices from Singapore on
this study highlight how gatekeepers operate in the private sector, wittingly or unwittingly, use
their expert knowledge of the international financial system to facilitate criminals and to secure
the movement of the proceeds of crime globally.
Tulisan ini akan membahas permasalahan pencucian uang dan mengidentifikasi peranan dari
gatekeepers dalam menggunakan kepakaran mereka untuk menyembunyikan tindak kejahatan.
Agar berhasil mencegah dan menyelidiki pencucian uang, perlu memahami perkembagan dari
rezim antipencucian uang dan bagaimana negara seperti Indonesia mengadopsi perkembangan
tersebut ke dalam peraturan nasionalnya. Namun demikian, penting untuk memahami
gatekeepers memanfaatkan berbagai macam mekanisme pencucian uang dan pusat keuangan
di luar negeri. Kasus yang menjadi perhatian di Indoensia dan praktik korporasi dari Singapura
dalam tulisan ini menyoroti bagaimana gatekeepers beroperasi di sektor privat, baik secara sadar
ataupun tidak sadar, menggunakan keahlian dan pengetahuan mereka tentang sistem keuangan
finansial untuk memfasilitasi kejahatan dan mengamankan pergerakan kejahatan secara global."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Quina
"Fish is a popular culinary dish in Indonesian culture and a major economic resource on which
many people depend their livelihood. However, with severe pollution in Indonesian water,
including uncontrolled mercury pollution which persists in the food chain and eventually gets
into humans’ body as the top predator, fish safety is particularly worrying – especially taking
into account the frequency of average Indonesians’ consumption of fish. In various jurisdictions,
the management tool used by lawmakers and regulators with regard to this issue is information
disclosure, or known as “fish advisory warning,” to cover the failure of command and control.
This paper analyses whether Indonesian laws have provided the mandate or authority to issue
fish advisory warning under Fishery Law, Food Law, Environmental Protection and Management
Law, and Public Information Disclosure Law. It concluded that Indonesian law implies a statutory
mandate for the government to issue fish advisory warning, at least in a situation involving the
threat to general life – not specifically through the Fishery Law, Food Law, or EPML, but through
PIDL’s immediate information mandate.
Ikan adalah kuliner populer dalam budaya Indonesia dan merupakan sumber perekonomian
di mana banyak orang menggantungkan penghidupannya. Bagaimanapun, dengan beratnya
pencemaran di perairan Indonesia, termasuk pencemaran merkuri yang tidak terkontrol, namun
menetap dalam rantai makanan dan pada akhirnya masuk ke tubuh manusia sebagai predator
teratas, keamanan pangan ikan cukup mencemaskan – terlebih, mempertimbangkan frekuensi
orang Indonesia dalam konsumsi ikan. Di berbagai yurisdiksi, alat manajemen yang digunakan
oleh pembuat kebijakan dan regulator terkait isu ini adalah keterbukaan informasi, atau dikenal
sebagai “peringatan konsumsi ikan,” untuk mengantisipasi kegagalan instrumen pengendalian.
Artikel ini menganalisis apakah hukum Indonesia telah mewajibkan atau memberikan
kewenangan untuk melakukan peringatan konsumsi ikan dalam UU Perikanan, UU Pangan, UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Artikel
ini menyimpulkan bahwa hukum Indonesia menyiratkan mandat hukum bagi pemerintah untuk
melakukan peringatan konsumsi ikan, setidaknya dalam situasi yang melibatkan ancaman ke
kepentingan umum – tidak secara spesifik dalam UU Perikanan, UU Pangan, ataupun UU PPLH,
namun melalui UU KIP."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harison Citrawan
"In the context past gross human rights violation cases in Indonesia, the President’s constitutional
authority to propose amnesty law might by and large implicate legal and ethical aspects.
Holistically, any forgiveness and oblivion against any human rights violators should consider the
development and the dynamic of international criminal law, which arguably have been directed
to an absolute individual criminal responsibility. Against this issue, this paper finds that based on
legal and ethical arguments, accompanied with various technical preconditions outlined in the
Belfast Guideline on Amnesty and Accountability, an amnesty towards past gross human rights
violators must be taken paradigmatically. Arguably, amnesty proceeding through an independent
ad hoc committee shall be able to challenge Indonesia’s transitional framework, namely: to work
as a historian and a jurist. This suggests that the elements of amnesty, both procedural and
substantial, need to work in the area of deliberative democracy that calls for public participation
and the protection of human rights.
Dalam konteks kasus pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, kewenangan
Presiden dalam memberikan amnesti dapat berimplikasi pada dua aspek, yakni: legal dan etik.
Secara holistik, pemaafan dan pelupaan terhadap para pelanggar HAM pada masa lalu patut
mempertimbangkan perkembangan dan dinamika hukum pidana internasional, yang mengarah
pada pertanggungjawaban pidana secara absolut. Tulisan ini menyimpulkan bahwa logika
argumentatif secara legal dan etik, serta berbagai prasyarat teknis di dalam Belfast Guideline
on Amnesty and Accountability mengindikasikan bahwa amnesti terhadap pelanggar HAM masa
lalu harus dilakukan secara paradigmatik. Dalam hal ini, proses amnesti melalui komite ad hoc
yang mandiri dapat menjawab dua tantangan dalam kerangka kerja transisional di Indonesia,
yakni: untuk bekerja sebagai sejarawan dan juga praktisi hukum. Dengan demikian, kebijakan
amnesti mengisyaratkan bahwa elemen-elemen amnesti secara prosedural dan substantif wajib
dijalankan dalam area demokrasi deliberatif yang menghendaki adanya partisipasi publik dan
perlindungan terhadap HAM."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anbar Jayadi, athor
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rakhma Mary Herwati
"This article reveals the opening of political and legal opportunities for the landless peasants of Central Java at the end of the 1990s to reclaim their lands that were confiscated during the end of the 1950s through a nationalization program to take over Dutch-controlled lands. Taking two sites of plantations that have been targeted as the peasantries’ land reclaiming campaign, this article shows the processes of the reclaiming, the responses of both plantation companies and state, and the respect of the state over rights to access lands or property rights of the peasants as citizens. Using some legal and anthropological approaches, this article finds that the state—through its apparatuses in business units, legal enforcement agencies, government units, courts, etc—is trapped in a Stocksian Paradox that is worse than its original Latin American version because the state has a deep conflict of interest as one of the “counter-claimants” of the indigenous or peasantries’ claim to rights to property/land. The authors recommend that although a robust civil society representing the peasantries is one of important parts in rights-reclaiming campaigns, the deeper Stocksian Paradox remains the biggest stumbling block in fulfilling state’s roles as rights-givers to its citizens.
Artikel in menunjukkan terbukanya peluang-peluang politis dan hukum bagi petani tak bertanah di Jawa Tengah di penghujung tahun 1990-an untuk menuntut kembali tanah mereka yang pernah dirampas pemerintah di akhir tahun 1950-an selama program nasionalisasi atas tanah-tanah yang dikuasai perusahaan perkebunan atau orang-orang Belanda. Melalui naratif di dua lokasi perkebunan yang dijadikan tempat penuntutan kembali tanah oleh para petani tak bertanah, artikel ini merunut kembali proses penuntutan kembali tanah, reaksi perusahaan perkebunan dan negara, dan penghormatan negara atas hak konstitusional warga negara atas hak atas tanah atau properti. Dengan pendekatan legal dan antropologis, artikel ini menemukan bahwa negara—lewat aparat berwujud unit-unit usaha, badan-badan penegakan hukum, unit-unit pemerintahan lokal, pengadilan, dan lainnya—telah terjebak dalam Paradox Stocksian yang ternyata lebih buruk daripada versi aslinya di Amerika Latin karena negara terjebak dalam konflik kepentingan yang sulit sebagai satu dari pemain dalam perebutan hak atas tanah. Penulis menyimpulkan bahwa meskipun masyarakat sipil yang kuat mewakili kepentingan warga negara atau petani tak bertanah sangatlah penting dalam usaha-usaha penuntutan kembali hak atas tanah, Paradox Stocksian tetaplah menjadi bantu sandungan terbesar bagi negara untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Yun Santoso
"Aside the Nagoya Protocol on Access and Benefit Sharing, which was ratified by the Indonesian government with Law No. 11 Year 2013, the Nagoya–Kuala Lumpur Supplementary Protocol on Liability and Redress (NKL Supplementary Protocol) offers great benefits for a “mega biodiversity” country like Indonesia. Despite the lack of awareness of this supplementary protocol, there is an urgent need for its ratification. This legal-normative research aims to look at the existing regulations in Indonesia to support the implementation of the Nagoya–Kuala Lumpur Supplementary Protocol on Liability and Redress, and to explore the readiness of the national legal system on liability and redress for damages resulting from the application of Living Modified Organisms (LMOs). Based on the several existing regulations, Indonesia has the readiness to a certain extent to implement the Nagoya–Kuala Lumpur Supplementary Protocol on Liability and Redress. This finding should be supported with more intensive discussion on the protocol and its implementationl.
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi The Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefits Arising from their Utilization to the Convention on Biological Diversity. Selain itu, pada momen yang sama Negara Pihak CBD juga menyepakati the Nagoya–Kuala Lumpur Supplementary Protocol on Liability and Redress (NKL Supplementary Protocol) yang menawarkan “kesempatan” besar bagi negara megabiodiversity seperti Indonesia. Penelitian mormatif yuridis ini bertujuan untuk memaparkan kerangka pengaturan yang sudah ada untuk memungkinkan implementasi NKL Supplementary Protocol ini. Berdasarkan beberapa regulasi yang sudah ada, Indonesia memiliki kesiapan dan sekaligus perlu untuk menerapkan protokol terkait pertanggungjawaban hukum dan kompensasi kerugian yang timbul akibat aplikasi Living Modified Organisms (LMOs)."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrata Ayuni
University of Indonesia, Faculty of Law, 2016
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sufiarina
"Article 27 paragraph (1) of Law No. 48 Year 2009 regarding Judicial Power states that special
courts can only be formed in one of the court systems under the Supreme Court, which include
general courts, religious courts, military courts and state administration courts. However, article
3A paragraph (2) of Law No. 50 Year 2009 concerning the Second Amendment to the Law on
Religious Court places Shariah Court as a special court within the system of religious courts and
as a special court within the system of general courts. Such positioning is inconsistent with Article
27 paragraph (1) of the Law on Judicial Power which raises a legal issue and therefore requires
juridical solution. The inconsistency is subject to juridical normative study within the scope of
a research concerning the level of horizontal synchronization, using descriptive analysis. The
method applied for data collection in this research is through literature study supported by field
data. The data obtained is analyzed by using juridical qualitative method. This study concludes
that, in fact, the Shariah Court is neither a special court, nor does it stand in two systems of courts.
Both in terms of general administration as well as case management, the Shariah Court is a
Religious Court for the territory of the Province of Nanggroe Aceh Darussalam, the competence of
which has been expanded in the context of the implementation of special autonomy, particularly
in the field of the implementation of Islamic shari’a.
Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung.” Lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.Pasal 3A
ayat (2) Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Peradilan Agama, menempatkan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama dan sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum.
Penempatan Mahkamah Syar’iyah sebagai pengadilan khusus, sekaligus di dua lingkungan
peradilan inkonsistensi dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Inkonsistensi ini menimbulkan permasalahan hukum yang perlu dicarikan penyelesaiannya
secara yuridis. Permasalahan mengenai inkonsistensi aturan hukum tersebut dikaji secara
yuridis normatif dalam cakupan penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal dengan
spesifikasi penelitian deskriptif analisis. Teknik pengumpulan data pada kajian ini melalui studi
kepustakaan dan didukung data lapangan.Data yang diperoleh kemudiandianalisis secara yuridis
kualitatif.Kajian ini menemukan bahwa Mahkamah Syar’iyah sesungguhnya bukanlah dalam
kedudukan sebagai pengadilan khusus dan juga tidak berpijak pada dua lingkungan peradilan.
Secaraadministrasi umum maupun pengelolaan perkara Mahkamah Syar’iyah merupakan
Pengadilan Agama untuk wilayah Propinsi NAD yang kewenangannya diperluasdalam rangka
melaksanakan otonomi khusus bidang pelaksanaan syariat Islam."
University of Indonesia, Faculty of Law, 2015
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>