Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2010
323 REF
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Komisi yudisial republik Indonesia,
340 KOY
Majalah, Jurnal, Buletin Universitas Indonesia Library
Endra Wijaya
Abstrak :
ABSTRACT
Jaminan terhadap hak untuk memeluk agama dan keyakinan sudah dijamin melalui konstitusi Indonesia, tapi jaminan konstitusional itu belumlah cukup. Penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan masih perlu didukung dengan instrumen hukum lainnya, dan salah satunya ialah putusan pengadilan. Dalam konteks seperti itu, maka keberadaan Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG menarik untuk dicermati. Putusan tersebut berkaitan erat dengan isu penegakan hak untuk memeluk agama dan keyakinan di Indonesia, terutama bagi kelompok minoritas. Fokus permasalahan dalam tulisan ini akan diarahkan kepada persoalan bagaimanakah substansi Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG dilihat dari perspektif penegakan hak asasi manusia, khususnya hak asasi manusia untuk secara bebas (tanpa tekanan) memilih dan memeluk suatu agama dan keyakinan. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode kajian kepustakaan dengan bersandar pada data sekunder. Analisis akan dilakukan secara kualitatif dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan dan metode pendekatan konseptual. Kesimpulan yang didapat dari analisis ialah bahwa Putusan Nomor 69/PID.B/2012/PN.SPG cenderung masih berupaya mencapai aspek keadilan prosedural. Semangat untuk mengedepankan penegakan hak asasi manusia, khususnya hak beragama dan berkeyakinan bagi kelompok minoritas, tidak tampak dalam putusan tersebut.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Hariman Satria
Abstrak :
ABSTRACT
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup, dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,- Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi belum dilakukan secara maksimal karena didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Halif
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam surat dakwaan Putusan Nomor 57/PID.SUS/2014/PN.SLR, penuntut umum mendakwa dengan pasal tindak pidana pencucian uang tanpa bersamaan dengan pasal tindak pidana asal, sebagaimana diatur secara limitatif dalam Pasal 2 Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal yang demikian berdampak kepada hakim dalam membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang yang diketahui atau patut diduga hasil dari tindak pidana asal. Permasalahan yang menarik untuk dianalisis adalah 1) mengapa penentuan bentuk dakwaan menjadi penting dalam tindak pidana pencucian uang?; dan 2) bagaimanakah hakim membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang jika tindak pidana asal tidak didakwakan? Untuk menganalisis permasalahan tersebut digunakanlah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penentuan bentuk dakwaan dalam tindak pidana pencucian uang menjadi dasar bagi hakim untuk menentukan sistem pembuktian dalam membuktikan unsur. Dengan pembuktian yang tepat hakim dapat membuktikan unsur tindak pidana pencucian uang. Oleh karena itu, penyusunan surat dakwaan yang tepat dalam tindak pidana pencucian uang menjadi hal yang sangat penting.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Mei Susanto
Abstrak :
ABSTRACT
Nomor 2-3/PUU-V/2007 selain menjadi dasar konstitusionalitas pidana mati, juga memberikan jalan tengah (moderasi) terhadap perdebatan antara kelompok yang ingin mempertahankan (retensionis) dan yang ingin menghapus (abolisionis) pidana mati. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam putusan a quo dikaitkan dengan teori pemidanaan dan hak asasi manusia dan bagaimana kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 dikaitkan dengan putusan a quo. Penelitian ini merupakan penelitian doktrinal, dengan menggunakan bahan hukum primer dan sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, literatur, dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan objek penelitian. Penelitian menyimpulkan, pertama, putusan a quo yang memuat kebijakan moderasi pidana mati telah sesuai dengan teori pemidanaan khususnya teori integratif dan teori hak asasi manusia di Indonesia di mana hak hidup tetap dibatasi oleh kewajiban asasi yang diatur dengan undang-undang. Kedua, model kebijakan moderasi pidana mati dalam RKUHP tahun 2015 beberapa di antaranya telah mengakomodasi amanat putusan a quo, seperti penentuan pidana mati di luar pidana pokok, penundaan pidana mati, kemungkinan pengubahan pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun. Selain itu masih menimbulkan persoalan berkaitan dengan lembaga yang memberikan pengubahan pidana mati, persoalan grasi, lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati, dan jenis pidana apa saja yang dapat diancamkan pidana mati.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Sihombing, Eka NAM
Abstrak :
ABSTRACT
Putusan Nomor 137/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal
251 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah terkait dengan kewenangan
pembatalan peraturan daerah kabupaten/kota tidak lagi
bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri atau gubernur.
Melengkapi putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 menyatakan
pemerintah pusat juga tidak lagi memiliki kewenangan
untuk melakukan pembatalan peraturan daerah provinsi.
Putusan tersebut tidak serta merta menyelesaikan
persoalan terkait dengan kewenangan pembatalan
peraturan daerah, hal ini dikarenakan putusan Mahkamah
Konstitusi hanya berlaku bagi peraturan daerah provinsi
dan peraturan daerah kabupaten/kota. Rumusan masalah
yang akan diurai dalam tulisan ini adalah bagaimana
kewenangan pembatalan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah oleh Menteri dan gubernur pasca Putusan
Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUUXIV/2016.
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam negara dengan
bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah
yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan
untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang
lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut
dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada
daerah melalui penguatan executive preview atau
pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah
mengikat secara umum, hal ini sejalan dengan ruh
ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Cut Memi
Abstrak :
ABSTRAK
Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan perjanjian arbitrase, akan tetapi sampai saat ini masih saja terdapat pertentangan kompetensi absolut antara arbitrase dan pengadilan. Sebagai contoh dan sekaligus fokus dalam pembahasan tulisan ini adalah dalam hal penanganan perkara antara PT B melawan PT CTPI. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Berdasarkan Putusan Nomor 10/PDT.G/2010/PN.JKT.PST, perkara ini telah diputus oleh pengadilan dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang mengadili perkara bahkan putusan ini kemudian dikuatkan sampai tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 238 PK/PDT/2014. Sementara di pihak lain perkara ini juga diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 yang menyatakan bahwa BANI berwenang dalam mengadili perkara yang sama. Pertentangan kompetensi absolut antara dua lembaga tersebut tentu perlu diselesaikan dengan menentukan lembaga mana yang sebenarnya berwenang dalam menangani perkara bersangkutan. Berdasarkan kajian yang dilakukan dalam tulisan ini, diperoleh jawaban bahwa yang berwenang dalam mengadili perkara PT B melawan PT CTPI adalah BANI bukan pengadilan.
Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2017
353 JY 10:2 (2017)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Jakarta: Sekretariat Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2015
340.11 IND m
Buku Teks Universitas Indonesia Library