Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Attika Dini Ardiana
Abstrak :
Obesitas dan berat badan berlebih memiliki dampak negatif pada fungsi kognitif. Hal ini disebabkan oleh adanya inflamasi sentral yang terjadi di otak. Latihan fisik yang sesuai dan efektif adalah salah satu solusi untuk mencegah dampak negatif dari obesitas. High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis olahraga efektif yang menggunakan intensitas tinggi dengan durasi yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh respon akut dan kronik dari HIIT terhadap fungsi kognitif yang ditinjau dari kadar BDNF, Irisin, dan uji fungsi kognitif (MoCA, Trail Making Test, N-Back). Penelitian ini menggunakan uji eksperimental pada 15 laki laki dewasa yang memiliki berat badan berlebih. Latihan HIIT akan dilakukan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu, kemudian akan dilakukan pengambilan sampel darah dan uji fungsi kognitif pada minggu ke-1 dan minggu ke-12 latihan HIIT. Terdapat respon akut HIIT pada minggu ke-12 terhadap fungsi kognitif pada uji TMT-A, TMT-B, N-Back, serta terhadap peningkatan kadar irisin dan BDNF. Tidak terdapat respon kronik HIIT terhadap peningkatan pada uji fungsi kognitif, kadar irisin dan BDNF. ......Obesity and overweight have a negative impact on cognitive function. This is caused by a central inflammation that occurs in the brain. Appropriate and effective physical exercise is one of the solutions to prevent the negative effects of obesity. High Intensity Interval Training (HIIT) is an effective type of exercise that uses high intensity for a short duration. The purpose of this study is to assess the acute and chronic effects of HIIT on cognitive function as measured by BDNF, Irisin, and cognitive function tests (MoCA, Trail Making Test, N-Back). This study applied an experimental test on 15 overweight adult males. HIIT exercises will be carried out for 12 weeks with a frequency of 3 times per week, then blood samples and cognitive function tests will be carried out in the 1st and 12th weeks of HIIT training. There was an acute HIIT response at week 12 to cognitive function on the TMT-A, TMT-B, N-Back tests, as well as to increased levels of irisin and BDNF. There was no chronic HIIT response to improvements in cognitive function tests, irisin levels and BDNF.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Yusnidar
Abstrak :
Penderita penyakit neurodegeneratif masih tinggi seiring pertambahan populasi manusia, diakibatkan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan, neuroinflamasi, stress metabolik, neurovascular coupling dan genetik. Propolis telah banyak digunakan sebagai obat karena berbagai manfaatnya. Pada penelitian ini diteliti pengaruh propolis lebah yang tidak bersengat (Tetragonula sapiens) dari Sulawesi Selatan terhadap neurogenesis pada kultur primer embrio korteks serebri tikus Wistar dengan usia gestasi 17-18 hari. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dibagi menjadi kelompok Kontrol, Vehicle dan kelompok yang diberikan ekstrak propolis. Penelitian ini diawali dengan pengujian MTS assay didapatkan dosis optimal, 0,5μg/mL dan 1μg/mL, lalu dilanjutkan pemeriksaan immunostaining menggunakan antibodi primer MAP (Microtubule-Associated Protein) 2 dan pemeriksaan ekspresi mRNA BDNF melalui qRT-PCR. Pada penelitian ini menunjukkan, propolis dapat meningkatkan viabilitas sel, merangsang pertumbuhan dendrit dan menghasilkan ekspresi mRNA BDNF (Brain Derived Neurotrophic Factor) yang signifikan dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan propolis dapat menjadi kandidat penghambat pada penyakit neurodegeneratif. ......People with neurodegenerative disease is still high as the population increases, caused by several factors such as environmental factors, neuroinflammation, metabolic stress, neurovascular coupling and genetics. Propolis has been widely used as medicine due to its various benefits. This research investigated the effect of stingless bee propolis (Tetragonula sapiens) from South Sulawesi on neurogenesis in primary cultures of embryonic cerebral cortex of Wistar rats at 17-18 days of gestation. This research was an experimental study consisting of control group, vehicle group and propolis extract group. This research began with MTS assay testing to obtain the optimal dose, 0.5μg/mL and 1μg/mL, then continued with immunostaining examination using MAP (Microtubule-Associated Protein) 2 primary antibody and the examination of BDNF mRNA expression through qRT-PCR. The results showed that propolis can increase cell viability, stimulate dendrite growth and produce the expression of BDNF (Brain Derived Neurotrophic Factor) mRNA significantly higher than control. It is shown that propolis can be a candidate inhibitor in neurodegenerative diseases.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiha Kamilah
Abstrak :
Inflamasi akut yang tidak terkontrol serta keberadaan patogen yang presisten dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis. Pengembangan bahan alam untuk pengobatan inflamasi kronis kolon (kolitis) menjadi penting karena efek samping yang rendah. Pada penelitian ini digunakan ekstrak etanol kulit buah delima (Punica granatum) yang dimuat dalam nanopartikel kitosan untuk menganalisis sel Th1, Th2 dan Treg yang berperan penting pada kejadian kolitis. Desain penelitian ini merupakan studi eksperimental in vivo menggunakan hewan coba mencit jantan galur Balb/c sebanyak 24 ekor terbagi dalam 6 kelompok. Kelompok normal (KN), Kelompok DSS (DSS), Kelompok asam elagat (ASE), P1 (nanopartikel kulit buah delima 240 mg/kg/hari), P2 (nanopartikel kulit buah delima 480 mg/kg/hari) dan P3 (ekstrak kulit delima 480 mg/kg/hari). Seluruh mencit di dekapitasi pada minggu ke delapan dan sel-sel limfosit yang berasal dari Limpa diisolasi dan dilakukan analisis menggunakan flow cytometry. Hasil analisis menunjukkan, semua kelompok perlakuan dosis tidak mampu menurunkan jumlah sel Th1. Disisi lain nanopartikel kulit buah delima dengan dosis 480 mg/kgBB mampu meningkatkan jumlah sel Th1, Th2 dan sel Treg secara bermakna pada mencit Balb/c model inflamasi kolon. Penggunaan nanopartikel kitosan kulit buah delima dapat berfungsi sebagai imunomodulator yang menyebabkan keseimbangan antara Th1, Th2 dan Treg yang penting dalam mengontrol inflamasi. ......Acute inflammation that is not restrained due to persistent pathogens so that the inflammatory response occurs excessively can lead to chronic inflammation. Analysis of Th1, Th2, and Treg cells are important because of their involvement in inflammatory bowel conditions. This study used the ethanol extract of pomegranate peel (Punica granatum) coated in chitosan nanoparticles. The research design used an in vivo experimental study using 24 Balb/c strain male mice divided into six groups. Normal group (KN), DSS group (DSS), ellagic acid group (ASE), P1 (240 mg/kg/day pomegranate peel nanoparticles), P2 (480 mg/kg/day pomegranate peel nanoparticles), and P3 (480 pomegranate peel extract) mg/kg/day). Mice's spleen was isolated, and flow cytometry analysis was carried out. The analysis showed that all dose treatment groups could not reduce the number of Th1 cells. On the other hand, pomegranate peel nanoparticles at a dose of 480 mg/kgBW significantly increased the number of Th1, Th2, and Treg cells in the Balb/c mice model of colon inflammation. Using pomegranate peel chitosan nanoparticles can work as an immunomodulator that causes a balance between Th1, Th2, and Treg, which is important in controlling inflammation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedi Suyanto
Abstrak :
Pendahuluan: Kadar obat yang rendah dalam darah pasien TB paru diduga berhubungan dengan respon pengobatan yang buruk seperti kegagalan konversi sputum mikroskopis, yang merupakan risiko terjadinya kegagalan pengobatan. Namun berbagai penelitian menunjukan hasil kontroversial, sebagian menunjukan terdapat hubungan antara kadar obat dengan konversi sputum akhir intensif, sebagian lagi menunjukan respon terapi yang sama baiknya untuk kadar normal maupun kadar rendah. Faktor yang diduga menyebabkan perbedaan hasil ini adalah perbedaan MIC rifampisin dan isoniazid terhadap Mycobacterium tuberculosis (MTB) pada pasien-pasien TB di setiap wilayah. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar rifampisin dan isoniazid darah dengan konversi, serta hubungan rasio kadar puncak rifampisin dan isoniazid darah terhadap MIC (Cmax/MIC) dengan konversi sputum pasien TB paru di akhir fase intensif. Metode: Desain penelitian adalah kasus kontrol dengan jumlah sampel sebanyak 40 orang, yang terbagi dalam kelompok kasus (tidak konversi, n=20) dan kelompok kontrol (konversi, n=20). Kadar rifampisin dan isoniazid darah diukur pada dua jam setelah minum obat yang merupakan perkiraan kadar puncak rifampisin dan isoniazid, menggunakan metode LC/MS-MS. Data MIC diambil dari 20 isolat kultur MTB sputum pasien TB paru kasus baru di RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung menggunakan metode MGIT. Hasil: Dari 40 pasien didapatkan rerata kadar rifampisin 5,58±2,41 mg/L dengan 36 pasien (90%) diantaranya memiliki kadar puncak di bawah normal. Untuk isoniazid didapatkan median kadar 1,46 (0,40-6,10) mg/L dengan 32 pasien (80%) diantaranya memiliki kadar puncak isoniazid di bawah normal. Pada penelitian ini didapatkan MIC rifampisin 0,25 mg/L dan MIC isoniazid 0,05 mg/L, lebih rendah dibanding kadar kritis masing-masing obat. ......Introduction: Low plasma drug concentration in pulmonary TB patients are thought to be associated with poor treatment outcomes such as microscopic sputum conversion failure, which is a risk of treatment failure. However, various studies showed controversial results, some showed that there was an association between drug concentration with sputum conversion at the end of intensive phase, while others showed the same good outcome for normal and low concentrations. Factors thought to cause these controversial in results are the differences in the MIC of rifampicin and isoniazid against Mycobacterium tuberculosis in TB patients in each region. This study aims to determine the association between blood rifampicin and isoniazid concentratiom with sputum conversion, as well as the association between the ratio of peak blood concentration of rifampicin and isoniazid to MIC (Cmax/MIC) with sputum conversion of pulmonary TB patients at the end of the intensive phase. Methods: The study design was a case-control study with a sample size of 40 subjects, which were divided into a case group (non-conversion, n=20) and a control group (conversion, n=20). The blood concentration of rifampicin and isoniazid were measured two hours after taking the drug which is an estimate of the peak concentrations of rifampicin and isoniazid, using the LC/MS-MS method. MIC data were taken from 20 MTB sputum culture isolates from new cases of pulmonary TB patients at RSP dr. H.A Rotinsulu Bandung using the MGIT method. Results: Of the 40 patients, the mean concentration of rifampicin was 5.58 ± 2.41 mg/L with 36 patients (90%) of whom had peak concentrations below normal. For isoniazid, the median concentration was 1.46 (0.40-6.10) mg/L with 32 patients (80%) of whom had peak concentration of isoniazid below normal. In this study, the MIC of rifampicin 0.25 mg/L and MIC of isoniazid 0.05 mg/L were lower than the critical concentration of each drug. There was no association between blood rifampicin concentration (OR: 11.18; 95% CI: 0.20-223.00, p= 0.106), blood isoniazid concentration (OR: 3.86; 95% CI: 0.67-22 .22, p= 0.235), and the Cmax/MIC ratio of rifampicin (OR: 0.474; 95% CI: 0.039-5.688, p=1.00) with intensive final sputum conversion. However, there was an association between low concentration of both drugs simultaneously (OR: 6.00; 95% CI: 1.08-33.27, p = 0.028), and the Cmax/MIC ratio of isoniazid (OR: 4.333; 95% CI: 1.150). -16,323, p= 0.027) with sputum conversion at the end of the intensive phase. Conclusion: There was no association between blood rifampicin concentration, blood isoniazid concentration, and the Cmax/MIC ratio of rifampicin with microscopic sputum conversion at the end of the intensive phase. However, there was an association between low concentration of both drugs and the Cmax/MIC ratio of isoniazid and sputum conversion at the end of the intensive phase.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
Abstrak :
Latar Belakang: Fibrosis dalam bentuk adhesi jaringan maupun jaringan parut teregang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi luaran hasil operasi strabismus. Obat golongan anti-inflamasi non-steroid, salah satunya natrium diklofenak, merupakan obat yang mampu menekan proses inflamasi sehingga dipikirkan dapat memodulasi penyembuhan luka, termasuk fibrosis pada otot ekstraokular pasca operasi strabismus. Tujuan: Membandingkan efek pemberian diklofenak sediaan oral atau tetes mata 0,1% terhadap pembentukan fibrosis pasca operasi strabismus pada hewan coba kelinci model. Metodologi: Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci model yang dilakukan operasi reses otot rekrus superior. Dilakukan randomisasi acak terkontrol tiga kelompok dengan membagi kelinci menjadi: kelompok dengan terapi diklofenak oral 2 x 5 mg/kg selama 3 hari (kelompok A), tetes mata natrium diklofenak 0,1% 3x sehari selama 3 hari (kelompok B), dan kontrol (kelompok C). Setelah hari ke-14 pasca operasi, dilakukan enukleasi lalu dinilai skor adhesi makroskopik, histopatologi inflamasi (haematoxylin & eosin), skor adhesi mikroskopik dan persentase area fibrosis (Masson’s trichrome), serta ekspresi α-smooth muscle actin (α-SMA, imunohistokimia) oleh ahli patologi anatomik menggunakan penilaian semi-kuantitatif dan kuantitatif (ImageJ) dengan nilai reciprocal staining intensity (RSI). Hasil: Enam kelinci (12 mata) terbagi dalam tiga kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik (p=0,13), adhesi mikroskopik (p=0,28), dan histopatologi inflamasi (p=0,26). Persentase area fibrosis kelompok diklofenak tetes mata (12,44 % (8,63 – 18,29)) lebih sedikit dibandingkan kelompok diklofenak oral (26,76 % (21,38-37,56)) maupun kontrol (27,80 % (16,42 – 36,28); uji Kruskal-Wallis p = 0,04, post-hoc kelompok oral vs tetes mata p = 0,03 dan kelompok tetes mata vs kontrol p=0,04). Penilaian ekspresi α-SMA semi-kuantitatif tidak dijumpai perbedaan antar ketiga kelompok. Analisis RSI mendapatkan bahwa kelompok diklofenak tetes mata memiliki ekspresi α-SMA yang lebih rendah (diklofenak tetes mata = 174,08 ± 21,78 vs diklofenak oral = 206,50 ± 18,93 vs kontrol = 212,58 ± 12,06; one-way ANOVA p = 0.03; post-hoc bonferroni diklofenak tetes mata vs kontrol p= 0,04). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik, mikroskopik, serta histopatologi inflamasi antara kelompok perlakuan diklofenak oral, diklofenak tetes mata, maupun kontrol. Pemberian diklofenak tetes mata 0,1% menunjukkan penurunan area fibrosis dibandingkan kelompok diklofenak oral maupun kontrol. Melalui penilaian RSI, terdapat penurunan ekspresi α-SMA dengan pemberian diklofenak tetes mata 0,1%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervan Surya
Abstrak :
Latar belakang: Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu tata laksana utama dalam penanganan infertilitas. Penyuntikan human Chorionic Gonadotropin (hCG)eksogen merupakan salah satu tahapan penting dalam proses FIV untuk proses maturasi oosit. Walaupun sudah terdapat penelitian sebelumnya mengenai korelasi kedua hal tersebut, namun belum didapatkan suatu model prediksi maturitas oosit. Tujuan:Mengetahui korelasi kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan terhadap tingkat maturitas oosit pada FIV dan model prediksi maturitas oosit. Metode:Penelitian ini merupakan sebuah penelitian potong lintang yang dilakukan pada peserta program FIV di Klinik Yasmin, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia sejak Januari 2020 hingga Desember 2020. Pasien dengan riwayat prosedur pembedahan ovarium, kemoterapi, radioterapi, dan peserta poor responder dieksklusi dari penelitian. Dilakukan penyuntikan r-hCG 250 µg secara subkutan pada semua subjek. Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit setiap subjek dikumpulkan dan dianalisis. Hasil:Didapatkan sebanyak 28 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan korelasi yang tidak bermakna antara kadar hCG 12 jam pascapenyuntikan dan tingkat maturitas oosit (r = 0,052, p = 0,788). Namun, didapatkan kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi pada subjek dengan tingkat maturitas >75% (mean diff 34.78,p = 0.046). Didapatkan titik potong kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan sebesar 90.15 mIU/mL untuk memprediksi tingkat maturitas yang baik. (sensitivitas 68.2%, spesifisitas 83.3%). Prediksi tingkat maturitas oosit dapat dilakukan dengan mengetahui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan indeks massa tubuh (IMT) subjek (sensitivitas 83.3%, spesifisitas 68.2%).Simpulan:Kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat maturitas oosit yang lebih baik pada peserta program FIV. Tingkat maturitas oosit dapat diprediksi melalui kadar serum hCG 12 jam pascapenyuntikan dan IMT. ......Background: In vitro fertilization (IVF) is one of the main treatments of infertility. Exogenous Human chorionic gonadotropin (hCG) injection is an important process of IVF and thought to be vital in determining oocyte maturation. This study aims to determine the relationship between 12 hours post-injection serum hCG and oocyte maturation rate on IVF participants. Method: This is a cross-sectional study on IVF participants on Yasmin Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia, during the period of January 2020 to December 2020. Subjects with history of ovarian surgery, chemotherapy, radiotherapy, and poor responder subjects were excluded from the study. Subjects were injected with 250 µg of r-hCG subcutaneously. Twelve hours post-injection serum hCG level and oocyte maturation rate were collected and analyzed accordingly. Result: A total of 28 subjects were included in the study. It was found that higher 12 hours post-injection serum hCG was related with subjects with >75% oocyte maturation rate (mean diff 23.78, p = 0.046). The cut-off point of 12 hours post-injection serum hCG in order to predict better oocyte maturation rate was found to be 90.15 mIU/mL (sensitivity 68.2%, specificity 83.3%). Oocyte maturation rate predicted may be calculated using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG. (sensitivity 83,3%, specificity 68,2%). Conclusion: Higher 12 hours post-injection serum hCG was associated with higher oocyte maturation rate on IVF subjects. Oocyte maturation rate may be predicted using body mass index and 12 hours post-injection serum hCG
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dianing Latifah
Abstrak :
Latar Belakang: Rendahnya ketepatan kultur bakteriologis dan kurangnya fasilitas pencitraan terutama di daerah perifer, mendiagnosis meningitis tuberkulosis (MTB) pada anak menjadi suatu tantangan. Tujuan: untuk membentuk sistem skor yang terdiri dari manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium sederhana untuk membantu diagnosis MTB pada anak. Metode: Studi retrospektif menggunakan model prediktif diagnostik multivariabel dengan anak usia 3 bulan hingga 18 tahun terdiagnosis meningitis, dirawat inap selama periode Juli 2011 hingga November 2021 di rumah sakit tersier. Hasil: Dari 10 variabel yang memiliki signifikansi statistik dengan TBM, diperoleh 8 variabel untuk membangun model prediksi untuk mengidentifikasi TBM. Variabel ini dibagi menjadi dua bagian skoring yang keduanya memiliki diskriminasi dan kalibrasi yang baik, sistem skoring sistemik (4 parameter, batas nilai skor ³3, sensitivitas 78,8%, spesifisitas 86,6% dengan AUC 89,9% (p<0,001) ) dan sistem skoring neurologis (4 parameter, batas nilai skor ³2, sensitivitas 61,2%, spesifisitas 75,2% dengan AUC 73,3% (p<0,001). Sistem skoring ini bila digunakan bersamaan dan memenuhi batas nilai skor masing-masing, dapat memprediksi diagnosis TBM pada anak dengan baik (sensitivitas 47,1%, spesifisitas 95,1%, dan nilai prediksi positif 90,9%). Kesimpulan: Sistem skoring klinis yang terdiri dari dua bagian, skor sistemik dan skor neurologis, memiliki kemampuan yang baik dalam memprediksi diagnosis TBM pada anak. ......Due to the low accuracy of culture techniques in bacteriological confirmation and the lack of brain imaging facilities especially in peripheral areas, diagnosing tuberculous meningitis (TBM) in children become a challenge Objective : to establish scoring systems consisting of clinical manifestations and simple laboratory examination to help diagnosing TBM in children. Method: Retrospective study using a multivariable diagnostic predictive model with children diagnosed as meningitis aged 3 months to 18 years, hospitalized during July 2011 until November 2021 period in a tertiary hospital. Result: From 10 variables that have statistical significance with TBM, 8 variables were obtained for establishing the predictive model to identify TBM. These variables divided into two scoring parts which both had good discrimination and calibration, the systemic scoring system (4 parameters, total cut-off score ³3, sensitivity of 78.8%, specificity of 86.6% with AUC of 89.9% (p<0.001)) and the neurological scoring system (4 parameters, total cut-off score ³2, sensitivity of 61.2%, specificity of 75.2% with AUC of 73.3% (p<0.001)). Furthermore, these scoring systems when used together and met the cut-off score respectively, can predict the diagnosis of TBM in children well (sensitivity 47.1%, specificity 95.1%, and positive predictive value 90.9%). Conclusion: a clinical scoring systems consist of two parts, systemic score and neurological score, have good ability in predicting the diagnosis of TBM in children.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luki Ertandri
Abstrak :
Pendahuluan dan tujuan: Biopsi tumor ginjal merupakan tindakan yang bermanfaat karena mampu membedakan antara jenis histologis tumor ginjal. Oleh karena itu, biopsy memainkan peran penting dalam menentukan regimen terapi terbaik. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengalaman klinis biopsi ginjal di Rumah Sakit Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo, dengan pendekatan perkutan dan terbuka. Hal ini juga bertujuan untuk menganalisis indikasi, hasil, informasi intraoperatif, dan komplikasi dari kedua pendekatan tersebut. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain kohort retrospektif, data dikumpulkan dari Rumah Sakit Rujukan Nasional (RSCM) Cipto Mangunkusumo dari tahun 1990-2019. Sampel biopsi diambil menggunakan biopsi ginjal perkutan dan terbuka sementara analisis komparatif dilakukan antara dua pendekatan biopsi. Hasil: Data dikumpulkan dari 33 pasien yang menjalani biopsi ginjal dari tahun 1990-2019. Sebagian besar kasus didiagnosis sebagai tumor ginjal yang tidak dapat direseksi sedangkan pemeriksaan histologis ditemukan karsinoma sel jernih pada sebagian besar kasus (73%). Selanjutnya, pendekatan terbuka menunjukkan durasi yang lebih lama dan kehilangan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan teknik perkutan dengan median 60 (30-120) vs 30 (5-60) menit (P <0,001), dan 100 (5-650) vs 2 (1- 5) ml (P <0,001). Secara umum, komplikasi dilaporkan rendah untuk kedua teknik. Kesimpulan: Berdasarkan hasil, biopsi ginjal perkutan memiliki tingkat efikasi dan komplikasi yang sama dalam pengambilan sampel tumor untuk histopatologi bersamasama dengan pendekatan terbuka. Namun, ada perbedaan yang signifikan dalam durasi dan kehilangan darah, oleh karena itu, biopsi perkutan lebih unggul dibandingkan dengan pendekatan terbuka. ......Introduction and Objectives: Renal tumor biopsy is beneficial as it is capable of distinguishing between histological types of renal tumor, hence, it play an important role in deciding the best therapy regimen. This study aims to evaluate the clinical experiences of renal biopsy in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, with both percutaneous and open approach. It also aims to analyze the indications, results, intraoperative information, and complications of the two approaches. Method: This study was conducted using the retrospective cohort design, meanwhile, data were collected from Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital (RSCM) from 1990-2019. The biopsy sample was taken using percutaneous and open renal biopsy while comparative analysis was done between the two biopsy approaches. Results: Data were collected from 33 patients that underwent renal biopsy from 1990-2019. Majority of the cases were diagnosed as unresectable renal tumor while histological examination found clear cell carcinoma in most of the cases (73%). Furthermore, the open approach showed longer duration and higher blood loss compared to percutaneous technique with median 60 (30-120) vs 30 (5-60) minutes (P <0.001), and 100 (5-650) vs 2 (1-5) ml (P <0.001), respectively. In general, complications were reported to be low for both techniques. Conclusion: Based on the results, percutaneous renal biopsy have similar efficacy and complications rates in tumor sampling for histopathology together with open approach. However, there were significant differences in the duration and blood loss, hence, percutaneous biopsy is more favourable.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calvin Kurnia Mulyadi
Abstrak :
Latar Belakang Pneumonia komunitas berat (severe community acquired pneumonia atau SCAP) merupakan salah satu bentuk penyakit kritis yang sering dijumpai dengan angka mortalitas jangka pendek yang tinggi. Pelbagai model prediksi klinis general telah banyak dievaluasi memiliki performa yang baik dalam memprediksi luaran klinis untuk penyakit kritis, namun evaluasi performa SAPS 3 sebagai salah satu sistem skor yang luas digunakan dalam perawatan intensif terhadap SCAP hingga saat ini belum memadai untuk memandu klinisi dalam menangani kasus tersebut. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi mortalitas SCAP serta mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi dari SAPS 3 terhadap mortalitas rawat inap. Metode Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif dan mengambil data rekam medis dari pasien dengan SCAP yang masuk rawat di instalasi gawat darurat, ruang perawatan high care maupun intensive care di RSUPN Cipto Mangunkusumo selama 3 tahun (Maret 2019-Maret 2021). Dilakukan penilaian mortalitas rawat inap selama 30 hari perawatan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor SAPS 3 terhadap luaran mortalitas rawat inap. Hasil Diperoleh 484 subjek SCAP dengan proporsi mortalitas 49,2%. Sebanyak 73,8% adalah infeksi viral (COVID-19) dan sisanya bakterial (25,6%) dan campuran fungal-bakterial (0,6%). Performa kalibrasi adalah baik (p=0,519, koefisien korelasi r=0,993). Performa diskriminasi tampak sangat baik untuk skor total SAPS 3 dengan nilai AUC 0,921 (IK95% 0,898-0,944). Kesimpulan Performa kalibrasi dan diskriminasi SAPS 3 dalam memprediksi mortalitas rawat inap SCAP adalah baik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hashfi Fauzan Raz
Abstrak :
Latar Belakang: Pasien dengan fraksi ejeksi (FE) rendah memiliki risiko apabila dilakukan BPAK dengan mesin PJP. Pengunaan mesin PJP memiliki risiko cedera miokard yang diakibatkan dari periode iskemia, reperfusi, dan inflamasi yang dapat mengakibatkan aritmia pascaoperasi. Aritmia pascaoperasi BPAK terjadi pada 5-40% dan meningkatkan mortalitas serta morbiditas. Glutamin merupakan asam amino yang memiliki efek anti inflamasi dengan menurunkan mediator inflamasi dan kerusakan oksidatif akibat radikal bebas sehingga menurunkan efek cedera miokard dan dihipotesiskan menurunkan kejadian aritmia pascaoperasi BPAK. Metodologi: Penelitian ini kohort retrospektif pada pasien penyakit jantung koroner dengan FE rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP. Subjek dibagi menjadi kelompok yang mendapat dan tidak mendapat glutamin intravena praoperasi. Luaran yang dinilai adalah kejadian aritmia pascaoperasi secara keseluruhan, arimita ventrikel dan supraventrikel pascaoperasi BPAK Hasil: Kejadian aritmia pascaoperasi lebh rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapatkan glutamin intravena praoperasi, yaitu 16,7%dibandingkan 40% (p=0,045). Kejadian aritmia atrium pascaoperasi juga lebih rendah secara bermakna pada kelompok yang mendapat glutamin intravena praoperasi, yaitu 26,7% dibandingkan 73,3% (p=0,026), namun pada kejadian aritmia ventrikel pascaoperasi tidak ada perbedaan bermakna (p=0,74). Kesimpulan: Pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah yang menjalani BPAK menggunakan mesin PJP, pemberian glutamin intravena praoperasi dapat menurunkan angka kejadian aritmia pascaoperasi ...... Background: Low ejection fraction (EF) increases the risk of morbidity and mortality in patients undergoing CABG. CABG with CPB induces myocardial injury caused from ischemia, reperfusion and inflammation, causing postoperative arrhythmias. Arrhyhtmias occur in 5-40% patients after CABG and increase postoperative mortality and morbidity. Glutamine is an amino acid that has antiinflammatory effect, decerasing inflammatory mediators and oxidative stress from free radicals. In turn, glutamin lower the effect of myocardial injury and hypothesized to lower postoperative arrhythmias after CABG. Methods: This is a cohort retrospective study in patients with coronary artery disease with low EF undergoing CABG with CPB. The subjects were divided into two groups based on given or not given intravenous glutamin preoperative.The outcomes of the study is incidence of arrhythmias after CABG and the incidence of ventricular and supraventricular arrhythmias after CABG. Results: The subjects in the intravenous glutamin group have lower incidence of postoperative arrhythmias compared to control (16.7% vs 40% respectively, p=0.045). Supraventricular arrhythmia incidence in intravenous glutamin group is also lower compard to control (26.7% vs 73.3% respectively, p=0,026). There are no significant differences of postoperative ventricular arrhythmias between two groups (p=0.74).Conclussion: In patients with low EF undergoing CABG with CPB, intravenous glutamin administration can lower the incidence of postoperative arrhythmias.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>