Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Efek pergerakan gigi pada perawatan ortodonti pada aktivitas aspartat aminotransferase saliva. Aspartat aminotransferase merupakan salah satu indikator biologis yang dilepaskan ke dalam cairan celah gusi. Aplikasi gaya ortodonti pada gigi dapat meningkatkan aktivitas aspartat aminotransferase dalam cairan celah gusi. namun peningkatan aktivitas aspartat aminotransferase dalam cairan saliva akibat gaya ortodonti belum diketahui. Tujuan: (1) mengevaluasi durasi pemberian gaya ortodonti terhadap aktivitas aspartat aminotransferase di dalam saliva berdasarkan durasi pemberian gaya. (2) mengevaluasi korelasi jarak pergerakan gigi dengan aktivitas aspartat aminotransferase. Metode: Pengumpulan 20 sampel saliva subjek dilakukan sebelum pencabutan gigi premolar pertama, sebelum dan sesudah pemberian gaya untuk penarikan kaninus ke distal. Penarikan kaninus menggunakan gaya interrupted (module chain) sebesar 100g selama 30 hari. Pengambilan saliva dan pengukuran jarak pergerakan gigi kaninus dilakukan 1 hari, 7 hari, 14 hari, 21 hari, dan 28 hari setelah pemberian gaya. Pengukuran aktivitas aspartat aminotransferase dalam saliva menggunakan alat spektrofotometer. Hasil: hasil penelitian menunjukkan pemberian gaya ortodonti dapat mempengaruhi aktivitas aspartat aminotransferase dalam saliva (F=25,290, p=0,000). Jarak pergerakan gigi berkorelasi dengan aktivitas aspartat aminotransferase (F=0,429, p=0,000). Simpulan: Aktivitas aspartat aminotransferase dapat digunakan sebagai indikator jarak pergerakan gigi berdasarkan durasi pemberian gaya.

Aspartate aminotransferase is one of biological indicator in gingival crevicular fluid (CFG). Force orthodontic application could increase activity of aspartate aminotransferase in CFG. However, the increase activity of aspartate aminotransferase in saliva due to orthodontic force and its correlation between aspartate aminotransferase activity and tooth movement remains unclear. Objectives: To evaluate application orthodontic force on the aspartate aminotransferase activity in saliva based on the duration of force and finding correlation between tooth movement and aspartate aminotransferase activity. Methods: Twenty saliva samples collected before extraction of first premolar, at the time of force application for canine retraction and after force application. The canines retraction used 100grams of interrupted force (module chain) for thirty days. The collection of saliva and the measurement of tooth movement were carried out 1 day, 7 days, 14 days, 21 days, and 28 days after force application. The measurement of aspartate aminotransferase activity in saliva was done using spectrophotometer. Results: Application of orthodontic force influences the salivary aspartate aminotransferase activity (F=25.290, p=0.000). Furthermore, tooth movement correlated with aspartate aminotransferase activity (F=0.429, p=0.000). Conclusion: Aspartate aminotransferase activity could be used as tooth movement indicator that related to the duration of force application."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Aplikasi gaya ortodonti terhadap aktivitas laktat dehidrogenase dalam saliva. Pergerakan gigi secara ortodonti menghasilkan gaya-gaya mekanik pada jaringan periodontal dan tulang alveolar. Gaya-gaya mekanik ini berhubungan dengan respon awal pada jaringan periodontium and terjadi banyak perubahan-perubahan metabolik. Salah satu perubahan metabolik yang dapat terjadi adalah peningkatan aktivitas enzim laktat dehidrogenase yang dapat dideteksi dalam saliva. Tujuan: Mengetahui korelasi antara pemberian gaya ortodonti dan aktivitas laktat dehidrogenase dalam saliva serta jarak pergerakan gigi. Metode: Penelitian ini mengunakan 140 sampel saliva dari 20 subjek, yaitu saliva yang diambil sebelum pencabutan gigi premolar, sebelum penarikan gigi kaninus rahang atas, 1, 7, 14, 21, dan 28 hari setelah penarikan gigi kaninus dengan gaya ortodonti interrupted
sebesar 100g. Hasil: Analisis ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara aktivitas laktat dehidrogenase dengan durasi pemberian gaya (F=11,926; p=0,000). Perbedaan bermakna juga ditunjukkan pada waktu sebelum dilakukan penarikan gigi kaninus dengan kelompok waktu 14 dan 28 hari. Terdapat kemaknaan antara regio penarikan berpengaruh terhadap jarak pergerakan (F=7,377; p=0,007), dan terdapat pengaruh antara durasi pemberian gaya terhadap jarak pergerakan gigi (F=66,554; p=0,000). Perbedaan bermakna diperlihatkan antara kelompok sebelum penarikan gigi kaninus terhadap kelompok 1, 7, 14, 21, dan 28 hari setelah penarikan gigi kaninus. Simpulan: Aplikasi gaya ortodonti pada gigi kaninus dapat meningkatkan jarak pergerakan gigi dan aktivitas laktat dehidrogenase dalam saliva."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2012
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Radiotherapy has impact in oral health especially on the secretion capacity of the salivary glands. Another impact is the increase of Candida albicans colony. Objectives: To evaluate salivary flow rate in relation with Candida albicans colony in head and neck cancer patients during and after radiotherapy. Methods: Twenty-four head and neck cancer patients in Dharmais Cancer hospital, Jakarta who were undergoing radiotherapy or had undergone radiotherapy and 24 match healthy volunteers were included in the study. Clinical observation carried out by collecting unstimulated salivary flow rate and followed by culture of Candida in Saboraud agar medium. Data were analyzed statically by Chi-square. Results: Nasopharynx cancer was the most frequent type of head and neck cancers (87.5%) followed by tongue cancer (12.5%) and found in 41-50 years old patients and 51-60 years old patients, respectively with male predilection compare to female (17:7). Approximately 87.5% of subjects showed decreased salivary flow rate (0-1.5mL/10min) and 12.5% showed a normal salivary flow rate (1.01-1.50mL/10min) during and after radiotherapy. However, 91.7% of cancer patients has increased in C.albicans colony during and after radiotherapy compared to control (p=0.00). Conclusion: This study showed that radiotherapy induced hyposalivation and might increase the C.albicans colony."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Strategi biomekanika penutupan ruang pada tumpang gigit dalam. Penutupan ruang dalam perawatan ortodonti merupakan aspek yang menarik berkenaan dengan prinsip-prinsip biomekanika. Dibuat khusus secara individu berdasarkan diagnosis dan rencana perawatan. Pemahaman dasar-dasar biomekanika penutupan ruang akan meningkatkan kemampuan operator untuk mencapai tujuan perawatan yang diinginkan. Efek samping yang paling sering terjadi dalam penutupan ruang adalah bertambah dalamnya tumpang gigit dan hilangnya penjangkaran posterior. Umumnya tumpang gigit dikoreksi sebelum penutupan ruang, sehingga waktu perawatan menjadi lebih
lama. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, diperlukan penerapan strategi biomekanika penutupan ruang yang tepat untuk memperoleh hasil perawatan yang sesuai harapan. Tujuan laporan kasus-kasus ini adalah untuk menunjukkan penerapan strategi biomekanika yang efektif untuk mengontrol tumpang gigit dan penjangkaran posterior pada pasien dengan tumpang gigit dalam, tanpa memperpanjang waktu perawatan. Dilaporkan dua kasus maloklusi kelas II divisi 1 yang dilakukan perawatan alat ortodonti cekat. Strategi utama meliputi penutupan ruang pencabutan di lengkung segmental dalam dua tahapan yaitu retraksi kaninus secara individu dengan intrusi insisivus secara simultan, diikuti dengan retraksi empat insisivus dengan menggunakan konsep momen diferensial. Dengan strategi ini, dapat dilakukan penutupan ruang, perbaikan tumpang gigit dalam, dan pengendalian penjangkaran posterior dalam waktu bersamaan, sehingga diperlukan waktu perawatan yang lebih singkat. Strategi biomekanika yang digunakan pada kasus-kasus ini efektif mencapai hasil perawatan yang diharapkan.

Space closure is an interesting aspect of orthodontic treatment related to principles of biomechanics. It should be tailored individually based on patient’s diagnosis and treatment plan. Understanding the space closure biomechanics basis leads to achieve the desired treatment objective. Overbite deepening and losing posterior anchorage are the
two most common unwanted side effects in space closure. Conventionally, correction of overbite must be done before space closure resulted in longer treatment. Application of proper space closure biomechanics strategies is necessary to achieve the desired treatment outcome. This cases report aimed to show the space closure biomechanics strategies that effectively control the overbite as well as posterior anchorage in deep overbite patients without increasing treatment time. Two patients who presented with class II division 1 malocclusion were treated with fixed orthodontic appliance. The primary strategies included extraction space closure on segmented arch that employed two-step space closure, namely single canine retraction simultaneously with incisors intrusion followed by enmasse retraction of four incisors by using differential moment concept. These strategies successfully closed the space, corrected deep overbite and controlled posterior anchorage simultaneously so that the treatment time was shortened. Biomechanics strategies that utilized were effective to achieve the desired treatment outcome."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2012
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Hubungan pertumbuhan kraniofacial, tinggi badan, dan tahapan maturasi tulang servikal. Periode tumbuh kembang bermanfaat untuk mengobati pasien yang memerlukan perawatan orthodontik. Dalam periode pertumbuhan kraniofasial dapat dimodifikasi. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai tumbuh kembang antara lain adalah tinggi tubuh dan tahap perkembangan vertebra servikalis (CVMS). Beberapa studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa pertumbuhan kraniofasial mirip dengan pertumbuhan badan dan ada perbedaan antara anak laki-laki danperempuan. Tujuan: Mengidentifikasi korelasi antara pertumbuhan kraniofasial, tinggi tubuh dan CVMS pada anak laki-laki dan perempuan dalam kelompok Deutero-Malay berusia 10-17 tahun. Metode: Studi potong lintang dilakukan dengan sampel 158 subjek (72 lelaki dan 86 perempuan). Pertumbuhan kraniofasial dinilai dalam lima dimensi (N-Me, S-Go, S-NA, PNS-A, Go-Pog), CVMS dijelaskan oleh metode Baccetti, selanjutnya dilakukan pengukuran tinggi tubuh. Hasil: Koefisien korelasi Pearson dan Spearman menunjukkan tinggi memiliki hubungan yang lebih kuat dengan CVMS daripada dengan pertumbuhan kraniofasial pada kelompok anak laki-laki dan perempuan (r=0,838; p<0,05) (r=0,647; p<0,05). Koefisien korelasi kraniofasial tinggi (Na-Me, S-Go) dan panjang mandibula (Go-Pog) memiliki hubungan yang kuat dengan CVMS (r=0,458; r=0,465; r=0,545; p<0,05) dibandingkan dengan panjang kraniofasial (S-N, PNS-A) pada kelompok anak laki-laki dan perempuan (r=0,283; r=0,237; p<0,05). T-test mengungkapkan perbedaan ketinggian tubuh (p<0,005) dan pertumbuhan kraniofasial antara laki-laki dan perempuan pada kelompok usia 13-15 tahun (p<0,05). Tes Mann-Whitney mengungkapkan perbedaan CVMS antara anak laki-laki dan perempuan pada kelompok usia 10-17 tahun (p<0,05). Simpulan: Tinggi tubuh, tinggi kraniofasial, dan panjang mandibula berhubungan dengan CVMS.

Growth and development period has benefit for treating patient who need orthodontic treatment. In this period craniofacial development can be modified. Indicators that can be used assess the growth and development among others are through body height and cervical vertebrae maturity stages (CVMS). Several previous studies have indicated that craniofacial growth is similar to body growth and there is gender difference between boys and girls. Objectives: Identifying correlation between craniofacial growth, body height and CVMS between gender in Deutero-Malay group aged 10-17 years old. Methods: A cross sectional study was conducted with samples of 158 subjects (72 males and 86 females). Craniofacial growth assessed in five dimensions (N-Me, S-Go, S-NA, PNS-A, Go-Pog), CVMS as described by Baccetti's method, body height was measured. Results: Pearson and Spearman's correlation coefficient revealed body height has stronger relationship with CVMS than craniofacial growth (r=0.838; p<0.05) (r= 0.647; p<0.05). Correlation coefficient craniofacial height (Na-Me, S-Go) and mandibula length (Go-Pog) have stronger relationship with CVMS (r=0.458; r=0.465; r=0.545; respectively p<0.05) than the length of craniofacial (S-N, PNS-A) in boys and girls group (r=0.283; r=0.237; p<0.05). T-test revealed difference in body height (p<0.05) and craniofacial growth between boys and girls in group age 13-15 years old (p<0.05). Mann-Whitney test revealed differences in CVMS between males and females in age 10-17 years old (p<0.05). Conclusions: Body height, craniofacial height and mandibular length were correlated with CVMS."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Aktifitas aspartat amino transferase setelah berkumur dengan teh hijau dan klorheksidin glukonat. Perawatan ortodontik dapat meningkatkan akumulasi plak gigi. Plak dapat menyebabkan peradangan pada gingiva. peradangan dapat dinilai dari kadar aspartat aminotransferase (AST) dalam cairan krevicular gingiva (CKG). bat kumur bermanfaat untuk mengurangi akumulasi plak gigi selama perawatan ortodontik. Klorheksidin glukonat sering digunakan sebagai obat kumur. Teh hijau adalah salah satu bahan alam yang dapat digunakan untuk obat kumur yang dianggap dapat mengurangi akumulasi plak. Tujuan: Membandingkan efek antara teh hijau dan klorheksidin glukonat aktivitas AST di GCF pada pasien yang menjalani perawatan ortodontik dengan molar band. Metode: Studi eksperimental dilakukan terhadap 40 subjek dewasa. Subjek dibagi secara acak menjadi dua kelompok: teh hijau (n=20) dan klorheksidin glukonat (n=20). Aktivitas AST diukur sebelum pemasangan band , 7 dan 30 hari setelah pemasangan band. Uji ANOVA digunakan untuk menganalisis data. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan antara kadar AST sebelum, 7 dan 30 hari setelah pemasangan band pada kelompok teh hijau (p<0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kadar AST sebelum pemasangan band, 7 dan 30 hari setelah pemasangan band pada kelompok klorheksidin glukonat (p<0,049). Tidak ada perbedaan antara masing-masing kelompok (p<0,05). Simpulan: Obat kumur teh hijau memiliki efektivitas yang sama dengan klorheksidin glukonat dalam mengurangi tingkat AST pada pasien ortodontik.

Patients undergoing fixed orthodontic treatment are susceptible to dental plaque accumulation. Plaque can cause inflammation in gingiva. It could be assessed by aspartat aminotransferase (AST) in gingival crevicular fluid (GCF). Mouth rinse could be useful to reduce dental plaque accumulation during orthodontic treatment. Chlorhexidine gluconate is often used as mouth rinse in dental practice. n the other hand, green tea is one of natural ingredient that can be used for mouth rinse which is assumed could reduce plaque accumulation. Objectives: To compare the effect between green tea and chlorhexidine gluconate on AST activity in GCF in patient undergoing orthodontic treatment with molar band. Methods: An experimental study was conducted included forty adult subjects. They were randomized into two groups: green tea (n=20) and chlorhexidine gluconate (n=20). AST activity was measured before band insertion, 7 and 30 days after band insertion. One way and two-ways ANOVA were used to analyze the data. Results: The results showed significant difference of AST levels between before, 7 and 30 days after band insertion in the green tea groups (p<0.05). In contrast, there was no significant differences of AST levels between before band insertion, 7 and 30 days after band insertion in the chlorhexidine gluconate groups (p=0.049). There were no difference between each groups with two way ANOVA (p<0.05). Conclusions: Gargle effect of green tea was as effective as chlorhexidine gluconate in reducing AST levels related to banded first molars in adolescents undergoing orthodontic treatment."
Lengkap +
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, 2011
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library