Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14184 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Depok: Fakultas Hukum, 2006
R 378 BUK (2)
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Sianipar, Dony R.
"Untuk menjadi pemenang dalam persaingan pada pasar adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap pelaku usaha, akan tetapi cara-cara yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut tidak boleh melanggar undang-undang. Salah satu larangan yang terdapat di dalam UU No. 5 Tahun 1999 ialah kegiatan penguasaan pasar, dimana ketentuan ini sangat berkaitan dengan kekuatan atau dominasi pasar yang dmiliki oleh suatu pelaku usaha. Pengawasan terhadap kegiatan penguasaan pasar yang dilakukan oleh KPPU sebagai lembaga kausi yudikatif yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999.
Dalam melakukan pengawasan kegiatan penguasaan pasar, KPPU cenderung membuktikan peristiwa-peristiwa yang terkait dugaan pelanggaran hanya didasarkan satu alat bukti,oleh karena itu belum memenuhi syarat pembuktian. Akan tetapi hal itu dapat dibenarkan karena dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak ada pengaturan mengenai minimal alat bukti dan keyakinan sebagaimana halnya dalam hukum politik
To be a winner in competition in the market is a goal that every business actor wants to achieve, but the methods used by these business actors must not violate the law. One of the prohibitions contained in Law no. 5 of 1999 is a market control activity, where this provision is closely related to the power or market dominance owned by a business actor. Supervision of market control activities carried out by KPPU as a judicial causation institution tasked with supervising the implementation of Law no. 5 of 1999.
In supervising market control activities, KPPU tends to prove that events related to alleged violations are based on only one piece of evidence, therefore they have not fulfilled the requirements of proof. However, it can be justified because in Law no. 5 of 1999 there is no regulation regarding minimum evidence and belief as is the case in political law.
"
Jakarta: Fakultas Hukum, 2008
T24255
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Situmorang, Santun Meinar Henderika
"Pendaftaran tanah adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai tanah, hal ini ditetapkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Namun tanah yang berada dalam Kawasan Huan tida didaftar pada Kantor Pertanahan. Ketiadaan pendaftaran tanah tersebut membawa akibat lemahnya pembuktian atas keberadaan Kawasan Hutan, meski atas tanah tersebut telah mendapat penunjukan dan penetapan sebagai Kawasan Hutan dengan surat keputusan Menteri Kehutanan. Hal ini terlihat pada putusan atas sengketa Tanah yang berada dalam Kawasan Hutan, yakni putusan-putusan yang menjadi obyek analisis dalam tesisi ini. Intinya adalah bahwa gugatan tidak dapat diterima karena letak, batas, luas tanah tidak jelas.
Alasan ini telah dipergunakan oleh hakim pada putusan Peninjauan Kembali pada tahun 1989 dan kemudian diikuti oleh hakim pada Pengadilan Tinggi pada tahun 2007, Hakim tidak meninjau sengketa tersebut dari sudut hukum Pertanahan dan Undang-Undang Kehutanan. Hakim hanya terpaku pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata saja, yaitu tentang pembuktian. Hal ini jelas merupakan kelemahan yang diakibatkan oleh ketiadaan pendaftaran tanah terhadap Kawasan Hutan. Sesungguhnya jika diteliti tidak ditemukan ketentuan yang menyatakan bahwa Kawasan Hutan bukan merupakan obyek pendaftaran tanah.
Berdasarkan tujuan dari pendaftaran tanah yakni, untuk memberi jaminan kepastian hukum terhadap tanah, Kawasan Hutan sebaiknya didaftarakan di Kantor Pertanahan sebagai tanah Negara, sesuai hukum pertanahan maka untuk pendafataran tanah Negara tidak akan diterbitkan sertipikat, tapi hanya didaftar pada daftar tanah di kantor pertanahan. Pendaftaran menurut hukum pertanahan akan memberi kepastian hukum terhadap Kawasan Hutan dan juga Departemen Kehutanan akan mempunyai alat bukti yang kuat tentang status tanah dalam Kawasan Hutan, serta akan melindungi keberadaannya dari usaha masyarakat sekitar yang mengklaim persilpersil tanah dalam Kawasan Hutan sebagai tanah milik
Land registration is-an activity conducted to provide legal certainty assurance regarding iand, this is stipulated by the based principles of Agrarian Law however, land located in forest area is not registered at land office. The absence of land registration over Forest area has caused the weakness for evidencing for existence force regarding the presence of forest area* even though over such land has been obtained designation and affirmation as forest area through the decree of the Minister of Forestry according to the Forestry Law. This can be noticed in the decisions towards disputes over lands located in forest area, which are the decisions which become the object of analysis in this essay.
The principles of such decisions is the claim is unacceptable because the location; bordera, size, of the disputed land is not clear, this reason of the judges has been used in the decision for judicial review to the supreme court in 1978, and then, it was f ollowed by judges in the high courts in 2007, the judges did not observe such dispute of land from the point of view of Land Law and Forestry Law, Judges was only focusing on the Civil Code which is regarding evidences . this is clèârly à weakness caused by the absence o f land registration over Forest Area, Actually* if being observed, cannot be found the presence of provision which states that Forest Area is not an object of Land Registration.
Based on the objective of land registration, which is, to provide legal certainty assurance over land, Forest Area should be registered at the Land Office as State Land. Registration according to Land Law will provide legal certainty. With land registration over Forest Area, then, the Ministry of Forestry will have sound evidence regarding the status of the land in Forest Area. And it will also protect its presence from the effort of its surrounding community who claim the parcels of lands in Forest Area as their proprietary rights.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Liana L.M.
"Perbankan Indonesia yang kuat dan sehat merupakan salah satu tujuan utama dari Arsitektur Perbankan Indonesia. Salah satu upaya Bank Indonesia untuk menciptakan penguatan struktur perbankan yang sehat adalah dengan mendorong percepatan konsolidasi perbankan melalui program merger dan insentif sebagaimana yang diatur dalam PBI Insentif Konsolidasi. Permasalahan yang dianalisis adalah perbedaan pokok antara ketentuan Bank Indonesia yang terkait dengan merger dalam upaya konsolidasi perbankan sebelum dan sesudah dicanangkannya Arsitektur Perbankan Indonesia (API) serta manfaat yang dapat diperoleh bank dari PBI Insentif Konsolidasi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, dengan menghimpun dan menganalisis data sekunder, berupa literatur dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan upaya penyehatan melalui konsolidasi bank. Kesimpulan yang diperoleh dalam penulisan ini adalah Kebijakan konsolidasi bank khususnya melalui program merger sebelum berlakunya API hanya bersifat peraturan pelaksanan dari PP No. 28 Tahun 1999 sedangkan kebijakan serupa sesudah dicanangkannya program API merupakan suatu upaya untuk menjadikan merger dan konsolidasi bank sebagai salah satu cara untuk menciptakan bank yang lebih solid sesuai dengan program API.
Program merger bank sejak diberlakukannya PBI Insentif Konsolidasi perbankan diperkirakan akan memperoleh manfaat ganda. Pertama bank yang bersangkutanakandapat memperbaiki tingkatkesehatantermasukuntukmemenuhi ketentuan modal inti minimum, dan yang kedua, bank hasil merger dan konsolidasi kemudian akan memperoleh kelonggaran waktu dan kemudahan lainnya yang dapat dimanfaatkan secara optimal agar dapat memenuhi berbagai persyaratan yang terkait dengan kesehatan bank pada batas waktu yang ditetapkan. Program insentif konsolidasi perbankan bukan merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa akan tetapi merupakan suatu kesempatan untuk memperoleh jalan keluar berupa kemudahan- kemudahan untuk menunda sementara pemenuhan persyaratan kesehatan bank
The establishment and healthy of Indonesia Banking represent one of the main targets from Arsitektur Perbankan Indonesia (Indonesia Banking Architecture -API-). One of the methodological research effort of the Central Bank of Indonesia (BI) to establish healthy banking structure is pushedly banking merger and consolidation acceleration with the incentives. The main problems analysed are difference and equation between the BI's rule (PBI) of Merger and Consolidation during, before and after API and also the benefit able to be obtained from PBI Number 9/12/PBI/2007 jo. Number 8/17/PBI/2006 to accomplish the condition specified by BI.
The Methodological Research Applicated in this thesis is the bibliography research involve with law normative character to analyse the secondary data consist of the law literatures and regulation about merger and consolidation of banks. The result descripted as the conclusions that policy of merger and consolidation of banks during pre API only as the rule of application of Government Relugation (PP) Number 28/1999 while the BI's policy base on the API related with the consolidation of banks represent as the easier way for the banks to be establish and healthy bank as the really target of banks' merger and consolidation.
The merger and consolidation line with PBI of incentives for consolidation will obtain the double benefit. First, the pertinent bank will be able to improve it's healthy including to fulfill minimum capital, and second, the bank after merger or consolidation then will be given the amenity and more time which can be exploited optimally as the opportunity to achieve it's conditions as a healthy bank according to BI's standard until determined deadline. The mentioned PBI is not a forced regulation instead of the regulation preparing the opportunity for the banks to get the easier way, amenity in delaying time to accomplish as healthy bank according to
condition in BI's regulations.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Pandiangan, Roni
"Salah satu cara penyelesaian kepailitan adalah melalui perdamaian yang mengkonversikan utang menjadi saham, penyelesaian dengan model tersebut menimbulkan masalah terhadap bank, karena bank tidak dapat menjalankan perdamaian tersebut akibat keterikatan bank dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Menteri Keuangan yang melarang bank melakukan penyertaan saham dalam perusahaan bukan di bidang keuangan.
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui Memberikan penjelasan yuridis tentang kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, mengetahui Penyelesaian hak Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam hal teijadi penyelesaian Kepailitan secara damai dengan mengkonversikan hutang kepada saham, mengetahui secara empiris akibat kepailitan terhadap Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dengan menganalisis Putusan Mahkamah Agung Perkara Nomor: 033/K/N/2006.
Untuk megkaji permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normative) dengan kajian normatif mengambil sikap kritis normatif yang melancarkan kritik terhadap dogmatik hukum (peraturan per Undang-Undangan) dan praktek. Pokok permasalahan dalam penulisan Tesis ini adalah Bagaimana kedudukan Bank sebagai Kreditur Separatis Pemegang Hak Tanggungan dalam proses kepailitan menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah, Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan terhadap Kepailitan Debitur yang diselesaikan dengan Perdamaian yang mengkonversikan hutang menjadi saham Perusahaan pailit, Bagaimana Putusan Mahkamah Agung mengenai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan dalam Perkara Nomor: 033/K/N/2006,
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum dan jaminan yang dimuat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, ternyata belum cukup untuk menjamin kepentingan Bank sebagai Kreditur Separatis pemegang Hak Tanggungan
One of the methods for the settlement of bankruptcy is through reconciliation which converts loan into shares, such model of settlement causes problems towards the bank, because bank cannot carry out such reconciliation due to the commitment of the bank towards the Regulations o f Bank Indonesia and the Regulations of the Minister of Finance which prohibit bank to engage in share participation in companies other than in the financial sector.
The purpose of this essay is to find out how to provide juridical elucidation regarding the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and the Suspension of Debt Payment Obligation and Law Number 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, to find out how is the Settlement of rights of HT Holder Separatist Creditor in the case there is an amicable Bankruptcy settlement by converting debt into shares, to find out empirically what are the consequences of bankruptcy towards HT Holder Separatist Creditor by analyzing the Decision of Supreme Court on Case Number: 033/K/N/2006.
To study such issues will be used normative law research method (juridical normative) with normative study that which taking the normative critical stance that criticizes dogmatic law (statutory regulations) and practices. The subject matters in composing this Thesis are: How is the position of Bank as HT Holder Separatist Creditor in the bankruptcy process according to Law No. 37 of the Year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation and Law No. 4 of the Year 1996 regarding HT over Land together with Goods related to Land, How is the Legal Protection towards Bank as HT Holder Separatist Creditor against the Bankruptcy of Debtor settled by Reconciliation which converts debt into shares in the bankrupt Company, How is the Decision of the Supreme Court regarding HT Holder Separatist Creditor in the Case Number: 033/K/N/2006.
From the result of this research can be concluded that legal protection and warranty contained in Law No. 37 of the Year 2007 regarding Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligation is not yet sufficient to secure the interest o f Bank as HT Holder Separatist Creditor
"
Jakarta: Fakultas Hukum, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bianka Renzanova Kusuma
"Bilateral Investment Treaty (“BIT”) Indonesia dan Singapura yang dibentuk pada tahun 2005 diputuskan untuk tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016 karena Pemerintah Indonesia memilih untuk menegosiasikan BIT yang baru. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Singapura telah berhasil membentuk BIT dengan ketentuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan BIT terdahulu. Penelitian ini mencoba untuk meneliti perbandingan ketentuan dalam BIT Indonesia dan Singapura tahun 2005 dengan BIT dan Singapura tahun 2018. Selain itu, penelitian ini mencoba untuk mengetahui dampak BIT terhadap penanaman modal asing langsung di Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis-normatif dengan tipologi deskriptif analitis yang didukung oleh studi bahan pustaka dan wawancara sebagai alat pengumpul data. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa BIT Indonesia dan Singapura tahun 2018 dirumuskan secara lebih terperinci dan jelas dan memasukan banyak safeguard di dalamnya. Selain itu, BIT diketahui tidak memiliki dampak langsung untuk mendorong nilai investasi asing di Indonesia, tetapi kehadiran BIT tetap diperlukan untuk memberikan perlindungan dan meningkatkan kepercayaan investor Singapura, mendorong pembentukan iklim peraturan yang baik, dan pelengkap instrumen hukum perlindungan investasi. Saran yang dapat diberikan adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam merumuskan perjanjian investasi internasional kedepannya tetap mempertahankan rumusan perjanjian investasi yang jelas dan rinci demi menghindari penafsiran yang berbeda antara host state dengan penanam modal.

Bilateral Investment Treaty (“BIT”) between Indonesia and Singapore that was signed in 2005 was discontinued by the Government of Indonesia in 2016 because the Government of Indonesia elected to renegotiate a new BIT. In 2018, the Government of Indonesia and the Government of Singapore successfully agreed on a new BIT with new and different provisions. This research tries to do a comparative analysis on the BIT Indonesia and Singapore 2005 and BIT Indonesia and Singapore 2018. This research also looks to determine the impact of BIT on foreign direct investment. The research method of this thesis is juridical-normative with a descriptive research approach through literature review and desk study, and key informant interviews as a tool for collecting data. This research concludes that BIT Indonesia and Singapore 2018 was formulated with more details, containing explicit clauses and safeguards. This thesis also argues that BIT does not have any direct impact on increasing foreign direct investment in Indonesia. Nevertheless, the presence of BIT is still necessary and effective to provide protection of investment and increase investor confidence, encourage the creation of favourable regulatory climate, and complement other legal instruments for investment protection. In the future, the Indonesian Investment Coordinating Board (BKPM) should seek to establish international investment agreements that maintain
a clear and detailed clause of investment agreements in order to avoid different interpretations between the host state and investors.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhariyanto
"Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah mengatur model pertanggungjawaban pidana korporasi yaitu bilamana suatu tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama korporasi maka tuntutan dan penjatuhan pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. UU Tipikor tidak mengatur kriteria bilamana pertanggungjawaban pidana hanya ditujukan terhadap korporasi atau korporasi dan pengurusnya. Ketidaklengkapan UU Tipikor tersebut menyebabkan multi tafsir di kalangan penegak hukum dan hakim sehingga menimbulkan ketidak-pastian hukum dan ketidak-konsistenan putusan pengadilan. Disertasi ini melakukan telaah mengenai perumusan model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara korupsi yang ideal di Indonesia agar tidak terjadi lagi ketidakpastian hukum dan multi tafsir dalam putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan adalah studi dokumen, didukung dengan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap penegak hukum dan hakim. Adapun pendekatan masalah penelitian yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan perbandingan. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diperlukan penentuan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi secara otonom, dependen dan independen. Model otonom mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi tidak digantungkan dan dihubungkan dengan pertanggungjawaban pengurusnya sama sekali karena kesalahan korporasi tidak berasal dari atribusi kesalahan pengurusnya secara individu. Terdapat empat kriteria dalam model otonom yaitu: pertama, perbuatan pengurus merupakan perbuatan korporasi; kedua, perbuatan pengurus dilakukan untuk dan dalam rangka kepentingan korporasi dan tidak ada kepentingan individu pengurus; ketiga, kesalahan korporasi berasal dari atribusi kesalahan perbuatan korporasi; dan keempat, alokasi tanggung jawab hanya dibebankan kepada korporasi, tanpa sekalipun membebani tanggung jawab kepada pengurus. Model dependen mensyaratkan alokasi kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi digantungkan pada terbuktinya kesalahan pengurus atas terjadinya tindak pidana korupsi. Terdapat dua kriteria model dependen yaitu pertanggungjawaban korporasi atas penerimaan manfaat hasil tindak pidana korupsi dan/atau pertanggungjawaban korporasi sebagai sarana tindak pidana korupsi. Model independen mensyaratkan pertanggungjawaban korporasi diajukan secara gabungan dengan pengurusnya dimana konstruksi kesalahan korporasi dibedakan dari pengurusnya dengan mengakomodasi kesalahan original atau organisasi atas reaksi saat terjadinya korupsi dan/atau budaya korporasi yang memicu korupsi. Penelitian ini merekomendasikan agar dilakukan reformulasi UU Tipikor dan pembentukan yurisprudensi terkait dengan kriteria model pertanggungjawaban pidana korporasi

Law Number 31 of 1999 as amended with Law Number 20 of 2001 on Corruption Crime Eradication (Corruption Law) governs a corporation criminal liability model i.e. if a corruption crime is committed by or on behalf of a corporation, then its indictment and criminal charge may be implemented against the corporation and/or its management. However, Corruption Law does not govern criteria whether criminal liability is only addressed to corporation or corporation and its management. Incomplete Corruption Law has led to multi-interpretations among law enforcers and judges causing legal uncertainty and inconsistency in court verdicts. This dissertation scrutinizes the formulation of a corporation criminal liability model in corruption cases that is ideal for Indonesia to prevent legal uncertainty and multi-interpretations in court verdicts. The research method used is a document study, supported with in-depth interviews with law enforcers and judges. The approaches of research problems used are the approaches of statutory laws, concept, case, and comparison. The research concludes that the determination of an autonomous, dependent, and independent corporation criminal liability model criteria is required. Autonomous model requires that corporation liability does not depend on and is not related to the liability of its management at all since the faults of a corporation are not originated from the attribution of its management’s faults individually. There are four criteria in the autonomous model, namely: first, the act of management is the act of a corporation; second, the act of management is conducted for and for the interest of a corporation and there is no individual interest of the management; third, the faults of a corporation come from the attribution of the faults of a corporation’s acts; and fourth, the allocation of liability is only imposed to corporation, without imposing liability to management. The dependent model requires that the allocation of faults and liability of a corporation depends on the proven faults of management regarding a corruption crime. There are two dependent model criteria namely corporation liability over the receipt of proceeds of corruption crime and/or corporation liability as a facility for corruption crime. The independent model requires corporation liability to be submitted collectively with its management in which the construction of a corporation’s faults is distinguished from its management by accommodating original or organizational faults over a reaction during the occurrence of corruption and/or corporation cultures that trigger corruption. This research recommends the reformulation of Corruption Law and the formation of relevant jurisprudence through corporation criminal liability model criteria."
Jakarta: Fakultas Hukum, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bella Audina
"Permasalahan dalam penelitian ini adalah putusan hakim dalam perkara pidana yang
memerintahkan aset dirampas untuk negara. Tujuan dari penelitian ini adalah pertama,
memahami peraturan eksekusi terhadap putusan pidana yang amarnya dirampas untuk
negara. Kedua, memahami dampak dari putusan hakim yang memerintahkan aset
dirampas untuk negara sedangkan aset tersebut bukan merupakan ruang lingkup
keuangan negara. Ketiga memahami perlindungan hukum bagi korban yang asetnya
dirampas untuk negara. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif
dan penelitian kepustakaan. Hasil pembahasan dalam tulisan ini adalah eksekusi
terhadap putusan pidana yang dalam amarnya memerintahkan dirampas untuk negara
adalah dengan pengurusan oleh Jaksa melalui mekanisme penjualan dengan cara lelang
eksekusi yang hasil bersihnya harus disetorkan ke kas negara. Pertimbangan hakim
tidak tepat karena dengan disetorkannya uang ke kas negara maka negara menerima
pemasukan yang bukan merupakan ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dalam
Pasal 2 UU Keuangan Negara. Uang pada kas negara tidak mudah untuk dilakukan
pengambilan terhadap kepentingan yang tidak terdapat dalam rencana kerja dan
anggaran kementerian/lembaga dalam Rancangan APBN selaku pengguna anggaran.
Perlindungan hukum terhadap korban yang asetnya dirampas untuk negara lemah.
Perlindungan diberikan oleh PPIU dan ketika PPIU melakukan pelanggaran maka tidak ada lagi tanggung jawab dan kaitan dari pihak Kementerian Agama.

The matter discussed in this research is a criminal case decision that ordered assets to
be confiscated for the state. The purpose of this research is first, to understand the rules
of execution of a criminal decision whose orders are confiscated assets for the state.
Second, to understand the impact of a criminal decision with consideration that assets
are confiscated for the state whereas such assets are not within the scope of state
finances. Third, to understand legal protection for victims whose assets are confiscated
for the state. This research is a normative juridical law research and library research.
This study concludes, execution of a criminal case decision on confiscated assets for
the state is managed by the Prosecutor with the executional auction selling mechanism,
in which the net proceeds must be deposited into the state treasury. Judge’s
consideration is not appropriate because by depositing the money as the state’s treasury
fund, the state receives income that are not within the scope of state finance as regulated
in Article 2 State Finances Act. The fund in the state treasury cannot be easily taken to
be used for interests which are not included in the work plan and budget of
ministries/institutions in the State Budget’s draft as the budget users. Legal protection
for victims whose assets are confiscated for the state is poor. The protection is given
by the PPIU and when PPIU commits violation, it is no longer the responsibility nor
related to the Ministry of Religious Affairs.
"
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Nicholas Putra
"Komitmen-komitmen WTO, khususnya terkait hak atas kekayaan intelektual dalam Perjanjian TRIPS, berpotensi menghambat peningkatan akses terhadap obat-obatan dan vaksin dalam situasi pandemi Covid-19. Dalam keadaan darurat, komitmen-komitmen tersebut dapat dikesampingkan menggunakan klausul security exceptions WTO. Penelitian ini menjelaskan (i) bagaimana pengaturan security exceptions WTO dibandingkan dengan general exceptions di Pasal XX GATT 1994 dan non-precluded measures di BIT Argentina-AS, BIT India-Jerman, dan BIT India-Mauritius; serta (ii) apakah pandemi Covid-19 merupakan alasan yang sah untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS menggunakan klausul security exceptions. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan bahwa: Pertama, klausul security exceptions WTO memiliki beberapa persamaan dan perbedaan dengan general exceptions dan non-precluded measures; klausul security exceptions WTO memberi ruang gerak yang lebih luas bagi negara dalam mengambil tindakan keamanan yang berpotensi melanggar kewajiban WTO asal dilakukan untuk meresponi sebuah “emergency in international relations”. Kedua, pandemi Covid-19 dapat dijadikan alasan untuk mengesampingkan kewajiban dalam Perjanjian TRIPS, sebab pandemi ini telah mengakibatkan sebuah “emergency in international relations” dan pengesampingan kewajiban-kewajiban dalam Perjanjian TRIPS bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat memenuhi syarat sebagai “essential security interests”.

WTO commitments, particularly related to intellectual property rights in the TRIPS Agreement, could potentially hinder efforts to increase access to medicines and vaccines during the Covid-19 pandemic. In time of emergency, these commitments can be overridden using the WTO security exceptions clause. This study explains (i) how the WTO security exceptions are compared to general exceptions in Article XX of the GATT 1994 and non-precluded measures in the Argentina-US BIT, India-Germany BIT, and India-Mauritius BIT; and (ii) whether the Covid-19 pandemic is a valid reason to waive the obligations under the TRIPS Agreement using the security exceptions clause. Through research using normative juridical methods and qualitative approach, it can be concluded that: First, the WTO security exceptions clause has several similarities and differences with general exceptions and non-precluded measures clauses; the WTO's security exceptions clause provides wider latitude for countries to take security actions that otherwise would have violated WTO obligations as long as they are carried out in response to an “emergency in international relations”. Second, the Covid-19 pandemic can be used as an excuse to waive obligations under the TRIPS Agreement, because this pandemic has resulted in an “emergency in international relations” and the waiver of obligations in the TRIPS Agreement for public health and safety qualify as “essential security interests”."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaira Machmudya Salsabila
"Dengan hadirnya era digitalisasi, hadir pula cara-cara baru untuk mengakses dan memanfaatkan karya musik melalui sarana digital. Isu-isu mengenai hak cipta musik pun menjadi semakin beragam. Kemunculan hadirnya pemanfaatan karya musik dalam platform User-Generated Content memunculkan isu pertanggungjawaban platform yang bersangkutan apabila terjadi pelanggaran hak cipta yang dilakukan secara langsung oleh pengguna. Di Indonesia, ketentuan mengenai pertanggungjawaban dalam pelanggaran hak cipta secara tidak langsung terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis ketentuan mengenai pertanggungjawaban tidak langsung dalam pelanggaran hak cipta dalam Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia dan bagaimana pelanggaran hak cipta dalam TikTok, sebuah aplikasi User-Generated Content, harus dipandang menurut hukum hak cipta yang berlaku di Indonesia dan menurut prinsip-prinsip yang sudah berkembang sebelumnya di negara-negara lain, yakni vicarious and contributory copyright infringement. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa TikTok tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena tidak terpenuhinya beberapa elemen dari vicarious dan contributory copyright infringement. Kesimpulan lebih lanjut menyatakan bahwa perlu adanya pengaturan lebih spesifik mengenai pertanggungjawaban platform digital dalam hal adanya pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh pengguna.

With the emergence of the digitalization era, there are also new ways to access and utilize musical works through digital means. Issues regarding music copyright are becoming increasingly diverse. The emergence of the presence of the use of musical works on the User-Generated Content platform raises the issue of the responsibility of the platform concerned if there is a copyright infringement that is carried out directly by the user. In Indonesia, provisions regarding liability for indirect copyright infringement are contained in Article 10 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright. This thesis aims to analyze the provisions regarding indirect liability for copyright infringement in the Copyright Law in Indonesia and how copyright infringement in TikTok, a User-Generated Content application, must be viewed according to the applicable copyright law in Indonesia and according to the principles that have been developed previously in other countries, namely vicarious and contributory copyright infringement. The results of this study indicate that TikTok cannot be held accountable for not fulfilling several elements of vicarious and contributory copyright infringement. The conclusion further states that there is a need for more specific arrangements regarding the liability of digital platforms in the event of copyright infringement committed by users within the Indonesian Copyright Law."
Depok: Fakultas Hukum, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>