Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Reyhan Emirel Ardh
"Penelitian ini adalah penelitian Tradisi Lisan. Tradisi Lisan adalah produk kearifan lokal di sebuah masyarakat, yang memiliki keunikan, serta telah mengalami pergeseran fungsi dan tujuan. Penelitian ini menggunakan data berupa wawancara penutur Tradisi Lisan Gaok yang masih tersisa, dan organisasi Monolog Gaok pada 2018; dan studi pustaka tahun 2020. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan perubahan peranan atau fungsi tradisi lisan di masyarakat. Gaok merupakan sebuah produk kearifan lokal masyarakat di Desa Kulur, Kabupaten Majalengka, yang telah mengalami pergeseran fungsi dan peran maupun kearifan lokal di masyarakat. Kendala yang dihadapi dalam melestarikan tradisi ini yaitu proses regenerasi yang sulit karena memerlukan keahlian dalam menuturkan Wawacan (genre cerita Sunda berupa babad, pupuh, dan sejarah), serta membutuhkan waktu yang lama. Gaok dituturkan dengan cara berteriak (suara lantang dan keras). Proses persebaran awal sebagai media dakwah agama Islam oleh Kesultanan Cirebon, serta sebagai acara syukuran. Tradisi Lisan Gaok sempat memiliki peran penting di masyarakat pada masa keemasan. Akan tetapi keberadaannya saat ini berada di ambang kepunahan, bahkan sempat punah karena sulitnya memainkan alat musik khas Gaok yaitu Buyung. Buyung adalah alat yang telah bertransformasi fungsi dari sebuah alat pembawa air oleh ibu-ibu pada masa lampau, menjadi alat musik Gaok. Serta hanya berperan sebagai hiburan dan penelitian. Perkembangan lain yaitu variasi wawacan, pemain, dan versi Gaok bernama Monolog-Gaok.

This research is an oral tradition research. Oral tradition is a product of local wisdom in a society, which is unique and has undergone a shift in function and purpose. This study uses data in the form of interviews with the remaining speakers of the Gaok Oral Tradition, and the Gaok Monologue organization in 2018; and literature study in 2020. The purpose of this study is to describe changes in the role or function of oral traditions in society. Gaok is a product of local wisdom from the community in Kulur Village, Majalengka Regency, which has experienced a shift in function and role as well as local wisdom in the community. The obstacle faced in preserving this tradition is the difficult regeneration process because it requires expertise in telling Wawacan (Sundanese story genre in the form of chronicles, pupuh, and history), and it takes a long time. Gaok is spoken by shouting (loud and loud voice). The process of initial dissemination as a medium for preaching Islam by the Cirebon Sultanate, as well as a thanksgiving event. The Gaok oral tradition had an important role in society during the golden age. However, its existence is currently on the verge of extinction, and even became extinct due to the difficulty of playing Gaok's distinctive musical instrument, Buyung. The buyung is a tool that has been transformed by the function of a water carrier by mothers in the past, into a Gaok musical instrument. And only acts as entertainment and research. Another development is a variation of wawacan, players, and a version of Gaok called Monolog-Gaok."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Reyhan Emirel Ardh
"Sampyong, seni pertunjukan tradisional, menghadapi ancaman kepunahan akibat konotasi negatif terkait kekerasan. Abah Uu / Ki Anom Aduy Mangkubumi, tokoh budaya Majalengka, berinovasi dengan menambahkan gestur, mimik dan ekspresi jenaka ke dalam Sampyong pada tahun 2017. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami bagaimana unsur jenaka dapat menjadi strategi pemertahanan. Melalui wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus dengan informan kunci, termasuk Abah Uu, pemain Sampyong, tokoh budaya, dan tokoh masyarakat. Hasil dari penelitian ini berupa pengungkapan modifikasi Sampyong dari seni bela diri menjadi seni pertunjukan. Inovasi tersebut mendapatkan respon dari masyarakat yang beragam. Sampyong Jenaka, versi yang lebih modern, berhasil meningkatkan popularitas Sampyong, terutama di kalangan generasi muda dan perempuan. Namun, inovasi ini juga memicu perdebatan antara pendukung modernisasi, tradisionalis, dan moderat. Sebagian besar masyarakat yang tradisionalis merespon sinis terhadap kebaruan Sampyong dan menganggap sebagai upaya pelecehan Sampyong dan akan menghilangkan esensi, nilai nilai dan kesakralan Sampyong. Penamaan Sampyong Jenaka juga sebagai suatu sinisme dari pendukung tradisionalis karena ketidak seriusan dalam permainan Sampyong. Terdapat pergeseran fungsi Sampyong dari adu ketangkasan menjadi hiburan menghadirkan tantangan dalam menjaga keasliannya, meskipun memberikan dampak ekonomi yang positif. Sampyong Jenaka juga digunakan sebagai simbol identitas diri bagi Abah Uu.

Sampyong, a traditional performing art, faces the threat of extinction due to negative connotations associated with violence. Abah Uu/Ki Anom Aduy Mangkubumi, a cultural figure from Majalengka, innovated by adding humorous gestures, facial expressions, and expressions to Sampyong in 2017. This qualitative research uses an ethnographic approach to understand how the element of humor can be a preservation strategy. Through in-depth interviews and focused group discussions with key informants, including Abah Uu, Sampyong players, cultural figures, and community leaders. The results of this research reveal the modification of Sampyong from a martial art to a performing art. The innovation received a variety of responses from the community. Sampyong Jenaka, a more modern version, has succeeded in increasing the popularity of Sampyong, especially among the younger generation and women. However, this innovation also sparked debate between modernists, traditionalists, and moderates. Most traditionalist communities respond cynically to the novelty of Sampyong and consider it an attempt to harass Sampyong and will eliminate the essence, values, and sacredness of Sampyong. The naming of Sampyong Jenaka is also a cynicism from traditionalist supporters due to the lack of seriousness in the Sampyong game. There is a shift in the function of Sampyong from a test of agility to entertainment, presenting challenges in maintaining its authenticity, even though it has a positive economic impact. Sampyong Jenaka is also used as a symbol of self-identity for Abah Uu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library