Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Yoesoef
"Latar Belakang
Membaca lakon-lakon Rendra baik asli, saduran maupun terjemahan dan menyaksikan pementasan teaternya merupakan "pertemuan" dengan sejumlah kegelisahan, kekerasan, kelicikan, dan muslihat. Di samping itu juga perjumpaan dengan kepasrahan, kesetiaan, ketabahan, keindahan hubungan manusia. Di sisi lain, dengan membaca lakon dan menonton pertunjukan teatemya kita bertemu pula dengan sejumlah pemikiran Rendra tentang berbagai hal, seperti pemikirannya teatang kebudayaan, tradisi dan inovasi, dan sejumlah masalah kemasyarakatan yang menyangkut persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang ada di sekelilingnya. Dari pertemuan itu lahirlah sebuah dialog yang mengarah pada usaha pemahaman dan upaya menghadapi kemauan serta perkembangan zaman.
Sebagai seorang seniman Rendra adalah seorang saksi. Ia menjadi saksi zaman atas segala persoalan, perkembangan, dan perubahan yang muncul dalam masyarakat. Kesaksiannya itu, lebih tepat jika disebut sebagai sebuah reaksi, ia tuliskan dalam bentuk puisi dan lakon. Selain itu ia wujudkan pula melalui pementasan lakon-lakon karya pengarang asing yang diadaptasinya atau diterjemahkannya.
Persoalan lain yang muncul apabila kita membicarakan Rendra, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teater modern di Indonesia, adalah bahwa kita akan membicarakan seorang pembaharu. Dalam hal ini, ia telah menumbuhkan tradisi pertunjukan teater yang baru di Indonesia. Tradisi baru itu adalah tumbuhnya kesadaran akan perlunya sebuah bentuk teater yang mampu menyampaikan persoalan-persoalan masyarakat modern. Teater tradisional menurut Rendra tidak lagi mampu menjadi media yang efektif untuk menyampaikan dinamika masyarakat modern. Pemikiran ini kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan di pentas teatemya. Dalam mewujudkan pembaharuannya ia juga memanfaatkan unsur-unsur pertunjukan tradisional dalam pertunjukannya, antara lain dalam pementasan Oidipus Sang Raja dan Hamlet yang bergaya kesenian ketoprak pada awal tahun 1970-an. Pemanfaatan unsur tradisi seperti itu barangkali telah disadari dan diinginkan pula oleh dramawan-dramawan lainnya, seperti Suyatna Anirum di Bandung. Akan tetapi, kecenderungan itu belum menggejala dan tidak dipandang sebagai suatu hal yang mengejutkan dalam kehidupan teater modern di Indonesia. Namun, ketika Rendra menggunakan perangkat tradisional dalam teatemya, orang mulai melihat sebuah usaha memodernkan pertunjukan teater dengan tidak meninggalkan unsur tradisi.
Di samping Rendra upaya memodernkan teater Indonesia telah banyak dilakukan orang, antara lain oleh Jim Adilimas di Bandung dan Asul Sani dengan ATNI-nya di Jakarta pada awal tahun 1960-an. Kedua tokoh ini tidak mengambil jalur tradisi dalam memodernkan teater, mereka justru banyak mengambil lakon-lakon dari Eropa dan Amerika sesuai dengan karakter lakon yang dimainkannya. Jim Adilimas, misalnya, banyak mementaskan dan menerjemahkan lakon-lakon karya Iouesca serta memperkenalkan bentuk konsep teater realis yang dikembangkan oleh Stanislavsky. Dari kalangan ATNI antara lain muncul pertunjukan "Monsserrat" dan "Bebek Liar"."
Depok: Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Perhatian terhadap hasil-hasil kesusastraan masa Jepang dapat dikatakan masih kurang saat ini, terutama pembicaraan dari sudut sosiologi sastra. Sejauh ini para ahli lebih senang meninjau karya-karya dari masa itu dari sudut strukturnya. Apabila kita perhatikan, karya-karya masa Jepang yang sering dikemukakan umumnya genre puisi, genre prosa baik cerita pendek maupun novel, jarang sekali diungkapkan. Lebih langka lagi orang yang memperhatikan karya-karya lakonnya. Dapat dicatat beberapa sarjana dan pemerhati kesusastraan yang pernah menyinggung lakon-lakon masa Jepang sebagai bagian dari buku yang dipublikasikan mereka, antara lain H.B. Jassin,Boen S. Oemarjati, Mbijo Saleh, dan Ajip Rosidi. Perhatian para pakar ini seperti yang telah saya kemukakan terbatas pada segi-segi intrinsiknya atau mendeskripsikan alur lakon-lakon yang menjadi perhatian. Skripsi dengan judul "Lakon-Lakon Masa Jepang (1942-1945): Sebuah Refleksi Sosial-Budaya Masa Perang" ini mengetengahkan lakon-lakon yang ditulis dan diterbitkan selama masa Jepang (1942-1945).
Titik berat perhatian secara umum diarahkan pada aspek-aspek sosial-budaya masa itu yang secara langsung maupun tidak turut terekam di dalamnya. Secara khusus arah perhatian ditujukan pada tiga lakon karya Usman Ismail dalm kumpulan lakon-lakon sedih dan gembira yang tidak dapat diabaikan begitu saja jika kita membicarakan hasil-hasil kesusastraan masa Jepang. Perhatian secara khusus terhadap tiga lakon ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana kualitas lakon-lakon tersebut ditengah-tengah keberadaan lakon-lakon lainnya yang pada dasarnya berisi propaganda pemerintah. Dalam penelitian ini lakon-lakon masa Jepang yang diperoleh sebanyak dua puluh buah lakon.
Dua puluh buah lakon tersebut dikelompokkan menjadi tiga golongan berdasarkan patokan isi.
Pertama, lakon-lakon yang berisi propaganda murni. Yang dimaksud dengan propaganda murni adalah lakon yang dibuat berdasarkan kebutuhan saat itu sesuai dengan program pemerintah yang sedang digalakkan. Propaganda yang dilancarkan melalui bentuk lakon yang kemudian dipergelarkan oleh kelompok sandiwara pada masa itu antara lain tentang imbauan masuk tentara PETA dan Barisan Sukarela : kewajiban menanam padi , kapas, dan jarak, menyebarkan semangat patriotisme dan cinta tanah air, menyebarkan cita-cita "Kemakmuran bersama di Asia Timur Raya" dibawah pimpinan Dai Nippon Taikoku, lazim disebut Hakko Ichi U. Yang termasuk ke dalam golongan antara lain lakon-lakon Pandu Partiwi (Merayu Sukma), "Cerita Sri untuk Dewa Menang dan Dewi Merdeka" (Soetomo Dhaufar Arifin), "Bende Mataram" Kotot Sukardi, "Sumping sureng Pati" Inu Kertapati, "Mutiara dari Nusa Laut" Usmar Ismail, "Jinak-jinak Merpati", "Kami Perempuan" Armin Pane, "Keluarga Surono" Idrus.
Kedua, lakon-lakon yang berisikan pemikiran atau orientasi pemikiran budaya tertentu merupakan lakon diskusi. Pada lakon-lakon ini kita dapat menemukan unsur propaganda pemerintah, namun kurang menonjol dibandingkan dengan orientasi atau pemikiran budaya yang hendak disampaikan pengarang kepada masyarakat. Dalam lakon golongan ini unsur propaganda tampak semata-mata sebagai pemenuhan syarat yang ditentukan pemerintah. Orientasi pemikiran yang disampaikan berkisar pada masalah budaya masalah budaya Timur-Barat, tradisi modern dan usaha mengungkapkan masalah antar keduanya. Ada pula lakon yang mengungkapkan kritik dan imbauan atas gaya hidup tertentu yang menggejala pada masa itu. Beberapa lakon yang dapat digolongkan ke dalam corak ini adalah "Taufan di atas Asia", "Insan Kamil", "Intelek Istimewa" El Hakim, "Kejahatan Membalas Dendam" Idrus, "Liburan Seniman", "Api" Usmar Ismail, "Barang Tiada Berharga", "Antara Bumi dan Langit" Arminj Pane.
Ketiga, lakon yang sepenuhnya merupakan tanggapan atau kritik sinis terhadap sementara seniman yang bekerja sama dengan pihak pemerintah. Pada lakon ini kita tidak menemukan satu pun unsur propaganda. Yang tampak adalah kecaman dan cemooh yang pedas; untuk memperhalus cara pengungkapannya pengarang menggunakan cara komedi. Dalam penelitian ini jenis lakon seperti ini hanya diperoleh satu judul yaitu "Yuan Amin" Amal Hamzah. Kendati demikian bahan tersebut cukup mewakili sebagai bandingan untuk menganalisis situasi sosial dan tanggapan masyarakat selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Refleksi sosial budaya kita temukan dari kenyataan literer yang erat kaitannya dengan situasi pada masa itu. Teori penciptaan karya sastra yang dikemukakan oleh Hippolyte Taine yaitu milleu dan moment serta pendapat Swingewood yang mengungkapkan sastra dan lingkungannya banyak membantu mengungkapkan hubungan penciptaan lakon-lakon pada masa Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007
899.22 YOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"ABSTRAK
Masyarakat Indonesia yang sedang membangun dan mengembangkan diri menjadi masyarakat modern dalam beberapa hat tidak melepaskan dirinya dari simbol-simbol dan idiom-idiom budaya. Pemanfaatan simbol dan idiom budaya dalam kehidupan modern cenderung dijadikan sebagai pengikat (hook) keterkaitan mereka dengan dunia masa lalu (nenek moyang) sebagai salah satu jati diri bangsa. Selain itu, simbol dan idiom budaya merupakan kekayaan budaya yang efektif untuk dipakai sebagai mnemonic terutama yang berkaitan dengan nilai moralnya.
Salah satu simbol atau idiom budaya yang kerap dipakai dalam upaya membangun manusia Indonesia adalah kesenian wayang purwa. Kesenian yang sarat dengan ajaran dan nilai-nilai luhur ini merupakan sarana multidimensional yang dapat dikatakan lengkap. Karakter tokoh-tokoh pewayangan merupakan satu simbolisasi dari watak manusia, cerita-cerita wayang merupakan pesan keteladanan untuk dihayati oleh masyarakat.
Pemanfaatan tokoh wayang pun ternyata tidak terbatas di daiam rangkaian ceritanya saja, tetapi ada kecenderungan pemanfaatan tokoh-tokoh wayang di luar cerita yang dipakai secara khusus oleh masyarakat untuk menghadirkan citra tertentu. Tokoh Semar, misalnya, muncut secara mandiri, yakni hadir sebagai merek dagang (batik Semar), sebagai jenis makanan khas Solo (semar mendem), sebagai akronim yang bersifat politis (supersemar), sebagai tempat menyimpan uang (celengan semar), bahkan sebagai ilmu pemikat wanita (semar mesem). Tokoh mistis ini kerap pula hadir dalam cerita-cerita mutakhir dalam bentuk novel atau drama, seperti yang dikaji dalam penelitian ini.
Kepopuleran tokoh Semar sebagai sebuah wacana tradisional tidak dapat diragukan lagi, karena pada tokoh ini tergambar suatu citra manusia-dewa yang menjadi representasi dari rakyat jelata, perpaduan dunia laki-laki dan wanita, kearifan manusia, pembimbing moral para ksatria, dan lain sebagainya. Namun, citra yang demikian itu lambat laun menjadi terkontaminasi akibat dari kepopulerannya itu. Artinya, kemunculan Semar tidak terbatas lagi pada kerangka wayang purwa, tetapi juga di dalam kehidupan modern sebagai simbol budaya modern. Pada keadaannya yang demikian, citra Semar tidak lagi utuh tetapi sudah mengalami perubahan makna sesuai dengan bentuk barang yang diperjualbelikan itu. Dengan demikian, telah terjadi massifikasi, proses pemassalan pada tokoh ini.
Dalam kaitan itulah, penelitian ini dilakukan, yaitu mengenai tokoh Semar yang telah mengalami massifikasi seperti yang tampak dari karya Sindhunata dan N. Rtiantiarno. Kedua karya tersebut sama-sama menampilkan tokoh Semar yang kehilangan identitas diri sebagai akibat dari perubahan citra dirinya di masyarakat, Sementara itu, satu karya lakon carangan Semar Mbabar Jatidiri karya Tim Delapan PEPADI Pusat menampilkan citra Semar yang sesuai dengan konvensi budaya, yakni sebagai pembimbing dan pengayom.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah dalam dua cerita Semar., Semar Mencari Raga dan Semar Gugat, digambarkan tokoh Semar yang dekaden. Ia kehilangan dan mempertanyakan jatidirinya. Massifikasi tokoh ini sebagai dampak dari popularitasnya di masyarakat. Dalam Semar Mencari Raga, Semar tidak ubahnya seperti botol yang dapat diisi oleh cairan apa saja. Hal itu berkaitan dengan raga Semar yang ditempati oleh roh-roh lain, sehingga begitu banyak wajah Semar. Kaitannya dengan masyarakat Indonesia saat ini, banyaknya wajah Semar (tokoh ini mewakili identitas rakyat jelata yang dekat dengan kesengsaraan sosial) di masyarakat identik dengan banyaknya kesengsaraan yang merebak. Dalam Semar Gugat, tokoh ini meminta keadilan atas perilaku ksatria yang menjadi momongannya, Arjuna. Arjuna telah memotong kuncung Semar --salah satu identitas diri Semar-- sehingga Semar merasa terhina dan peristiwa itu merupakan salah satu wujud simbolik dari kesewenang-wenangan para penguasa terhadap rakyat jelata. Pada Semar Mbahar Jatidiri, tokoh Semar hadir secara utuh dan membeberkan bagaimana mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lakon ini sarat denngan pesan-pesan politik pemerintah.
Mitologi wayang dalam pembangunan budya, sosial, dan politik Indonesia tetap menjadi acuan pokok pemerintah Orde Baru. Hal itu disebabkan oleh kuatnya penghayatan elite politik kita (pemerintah) terhadap budaya Jawa.
Seringnya simbol dan idiom budaya dipakai dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan berkurangnya makna simbolik dari simbol atau idiom tersebut. Massifikasi atas simbol dan idiom budaya tersebut merupakan salah satu akibat dari pengeksposan secara besar-besaran simbol atau idiom itu di masyarakat. Masyarakat tidak mempunyai jarak lagi dengan simbol dan idiom itu. Akibat lainnya, citra simbol atau idiom itu tidak bermakna lagi seperti seharusnya."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1998
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Pramoedya Ananta Toer rewrote the tragic story of Ki Ageng Mangir into aply in 1976 while he was imprisoned in Buru Island and finally saw its publication, entitled Mangir, in 2000. This work owes its importance to pramudya's ability to use the framework of the story to expose the similarities between the Mataram era and the new order era,particularly their manipulations of power. In the traditional story, the tragig hero, Ki Ageng Mangir, is betrayed by his wife and killed by his father-in-law Panembahan Senopati, but Pramoedya reconstructured these myths in a series of "corrections" that move the story closer into history. These"corrections are deconstruction of traditional Javanese symbolisms . This paper explains and explores the historical paradigm that Pramoedya Ananta Toer employs in his rewriting of the story."
2006
SJIS-2-3-2006-53
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Horror film is a film genre that presents things that are frightening, tenses, and horrifying. The idea of horror film is basically to terroriz the audience through various terrifying acts or actors. Horror films in the beginning are closely related to stories rooted in the culture of Europr, ...."
Depok: Faculty of Humanities University of Indonesia, 2003
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Karya-karya drama pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942?1945) pada umumnya sarat dengan propaganda pemerintah militer Jepang yang berusaha mengajak masyarakat Indonesia untuk membantu peperangan melawan Amerika dan Inggris dalam Perang Dunia II. Karya sastra dijadikan alat propaganda yang tepat, terutama drama, karena masyarakat dapat langsung menerima pesan-pesan dan mencontoh apa yang seharusnya dilakukan dalam masa perang itu. Para seniman kemudian dihimpun oleh Kantor Dinas Propaganda (Sendenbu) untuk bekerja dalam lapangan kesenian masing-masing untuk memberi semangat kepada rakyat Indonesia. Sejumlah penulis drama, antara lain seperti Usmar Ismail, El Hakim, Armijn Pane, Soetomo Djauhar Arifin, dan Merayu Sukma menyambut dengan semangat program pemerintah tersebut dengan menghasilkan karya-karya drama dan dimainkan oleh grup sandiwara yang juga banyak bermunculan pada saat itu.

Many plays in Japanese occupation period (1942?1945) were full of propaganda of Japanese Military Government that tried to influence Indonesian people to assist Japanese troops in fighting American army in World War II. Literature was used as a proper propaganda tool, especially plays, where people could get the message directly about what they should do in war situation. A lot of artists were gathered by the Propaganda Service Office (Sendenbu) to work on their fields of creativity (music, sculpture, literature, drama, painting) in order to encourage Indonesian people to participate in the war. Some playwrights such as Usmar Ismail, El Hakim. Armijn Pane, Soetomo Djauhar Arifin, and Merayu Sukma enthusiastically welcomed the program. They wrote many plays that were played by various drama groups that sprang up in that period."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library