Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yustika Anggraini
Abstrak :
Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan Pemerintah untuk mempercepat pencapaian salah satu tujuan Millennium Development Goals (MDGs), yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup di tahun 2015. Kebijakan ini dilaksanakan oleh seluruh kabupaten/kota yang ada di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di kota Tangerang Selatan. Kebijakan Jampersal mempunyai tujuan memfasilitasi ibu hamil atau ibu bersalin yang sebelumnya memiliki kendala keterbatasan pembiayaan agar dapat memeriksakan kehamilan dan mengakses persalinan sehat dengan bantuan tenaga kesehatan (dokter/bidan) di fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada. Pengimplementasian Jampersal di Kota Tangerang Selatan tersebut memunculkan pertanyaan penelitian mengenai (1) faktor-faktor yang mendukung keberhasilan, dan (2) kendala yang dihadapi, dalam implementasi Jampersal di kota Tangerang Selatan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan proses pengumpulan data utama dilakukan melalui wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum implementasi Jampersal di kota Tangerang Selatan sudah berjalan cukup baik meskipun terdapat beberapa kendala yang dihadapi, seperti besaran tarif Jampersal yang dirasa masih kurang untuk standar daerah perkotaan sehingga Bidan Praktik Swasta masih meminta tambahan biaya kepada pasien Jampersal. Di samping itu, program Jampersal perlu dibatasi sasarannya untuk kehamilan pertama dan kedua guna menghindari ledakan penduduk. Peningkatan sosialisasi teknis Jampersal kepada pemberi layanan juga sangat diperlukan untuk menghindari kebingungan dalam pelaksanaan di lapangan.
Jampersal was launched by the Government in order to accelerate the achievement of one of Millennium Development Goals, namely reducing the Maternal Mortality Rate to be 102/100.000 life birth in 2015. Jampersal is implemented across Indonesia, no exception in the South Tangerang city. The objective of Jampersal is to give assurance to all expectant mothers, especially those who have funding problems, so they can access available health facilities. Achievement of this objective has raised research questions regarding the implementation of Jampersal in South Tangerang, namely (1) the factors that support the success and (2) the factors that constraint the implementation of the program. This study was conducted using qualitative description method. The data used in this study was gathered through deep interview. The findings indicate that generally the implementation of Jampersal program in the South Tangerang has already run well. However, several problems could also be found, such as the Jampersal tariff which is still not up to standard so that the Private Practice Midwives are still asking additional cost to the patients. Moreover, the target of the Jampersal should be limited to first and second pregnancy only in order to avoid population explosion. Finally, Jampersal socialization to the health service providers is also essential to avoid confusion of the implementation of the program in the field.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
T35003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
Abstrak :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.


Marriage Regulation Number 1 Year 1994  as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled. 

 

 

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
Abstrak :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan. ......Marriage Regulation Number 1 Year 1994 as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library