Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wardhana
Abstrak :
Latar belakang: Enterokolitis nekrotikans EKN merupakan inflamasi pada saluran cerna yang sering terjadi pada bayi prematur. Lactobacillus reuteri merupakan mikroorganisme hidup yang dilaporkan dapat mencegah kejadian EKN, intoleransi minum dan menurunkan angka mortalitas. Tujuan: Mengidentifikasi kejadian EKN pada bayi prematur yang mendapat Lactobacillus reuteri DSM 17938 dan sekunder kejadian sepsis, intoleransi minum, waktu mencapai full feeding, lama hari perawatan, efek samping dan kematian. Metode: Uji klinis acak tersamar ganda membandingkan pemberian Lactobacillus reuteri dengan plasebo pada neonatus usia gestasi 28-34 minggu dan berat lahir 1000-1800 gram di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Masing-masing kelompok terdiri dari 47 subjek. Hasil: Kejadian EKN stadium 2 dan 3 didapatkan 3 subjek 6,4 pada kelompok plasebo dan tidak ada ada pada kelompok probiotik RR 1,07 IK 95 0,99-1,15, p=0,24 . Intoleransi minum berupa muntah, kembung, atau keduanya lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo 8,5 vs. 25,5 , RR 0,33 IK 95 0,12-0,96, p=0,03 . Proven sepsis pada kelompok probiotik dan plasebo tidak berbeda bermakna 2,1 vs. 6,4 , p=0,62 . Waktu mencapai full feeding dan lama perawatan tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Efek samping yang diobservasi berupa diare tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 4,3 , p=1,00 . Kematian tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok 2,1 vs. 8,5 , p=0,36. Simpulan: Kejadian EKN terjadi pada kelompok plasebo sebesar 6,4 dan tidak ada pada kelompok probiotik. Intoleransi minum secara bermakna lebih rendah pada kelompok probiotik dibandingkan plasebo. Luaran sekunder proven sepsis, waktu mencapai full feeding, lama perawatan, efek samping diare dan kematian tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok.
Background: Necrotizing enterocolitis NEC is an inflammatory disorder of the gastrointestinal tract that often occurs in preterm infants. Lactobacillus reuteri is a living microorganism that has been reported to prevent NEC. Objectives: Identify the NEC prevalence in preterm infants receiving Lactobacillus reuteri DSM 17938 with secondary outcomes including sepsis, feeding intolerance, time to reach full feeding, length of stay, adverse effects, and mortality. Methods: Double blind randomized controlled trial of Lactobacillus reuteri DSM 17938 versus placebo in 28 34 weeks of gestational neonates and birth weight 1000 1800 grams at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Each group consisted of 47 subjects. Results The prevalence of NEC stages 2 and 3 were found in three subjects 6,4 of the placebo whereas none occurred in the probiotic RR 1.07, 95 CI 0.99 1.15, p 0.24 . Feeding intolerance vomiting, distension, or both were found to be lower in the probiotic compared to the placebo 8.5 vs 25.5 RR 0.33 95 CI 0.12 0.96, p 0.03. No significant differences were found between both groups for the proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, and adverse effects of diarrhea. Mortality rates were 2.1 in the probiotic and 8.5 in the placebo, p 0.36. Conclusion 6,4 of the placebo group experienced NEC whereas none occurred in the probiotic group. Feeding intolerance was found to be significantly lower in the group receiving probiotics compared to the placebo group. Secondary outcomes including proven sepsis, time to reach full feeding, length of stay, adverse effect diarrhea , and mortality were also not found to be significantly different between both trial groups.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T57649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wardhana
Abstrak :
ABSTRACT
Uric acid as the final result of purine bases metabolism. In high level condition, uric acid enters the cell and act as oxidant, and acts as independent risk factor and predicts the incident of type 2 diabetes mellitus (T2DM). It may directly inactivate or through oxidative reaction that lower the nitric oxide (NO) level. Lower NO level will reduce insulin uptake in tissues and reduce in GLUT4 translocation in cell that will effect the blood glucose level. The High level of uric acid or hyperuricemia makes oxidative stress by inducing the production of reactive oxygen species (ROS) which interferes the insulin signalling pathway,creates inflammatory state that reduced the insulin sensitivity,blood glucose uptake and metabolism, also reducing the insulin production from pancreatic islet cells.
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Henry Wardhana
Abstrak :
Pelaksanaan otonomi daerah yang hingga saat ini telah memasuki tahun kelima memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya. Pemerintah daerah dituntut untuk memiliki kemandirian dalam membiayai sebagian besar anggaran pembangunannya. Pemerintah daerah harus mampu melakukan optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerahnya sebagai sumber dana potensial guna mendukung biaya operasional pemerintah daerah. Oleh karena itu, penerimaan asli daerah mempunyai peran yang strategis dalam penyelenggaraan otonomi daerah untuk mengurangi ketergantungan subsidi dari pemerintah pusat. Sumber penerimaan asli daerah Provinsi DKI Jakarta sampai dengan tahun 2002 masih didominasi oleh pajak daerah (82%), retribusi daerah (7%) dan penerimaan lain-lain (10%), sedangkan untuk penerimaan laba dari instansi yang membidangi masalah pengelolaan aset (yaitu perusahaan daerah/BUMD, Sekretaris Daerah, dan Lembaga Teknis) masih sangat kecil (1%). Fakta ini menunjukkan lemahnya kinerja dan sistem organisasi tata kerja instansi/unit kerja pemerintah yang membidangi pengelolaan aset kota daiam melakukan pemberdayaan aset kota melalui program restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi. Besarnya nilai dan jumlah aset kota Jakarta, yaitu sebesar hampir 75 trilyun rupiah banyak diperoleh dari bidang tanah dan bangunan. Kondisi aset tanah dan bangunan yang pada umumnya memiliki potensi dan produktifilas tinggi ini belum dioplimalkan oleh Pemerintah. Akibatnya, beban biaya (anggaran) pemeliharaan terhadap aset tersebut terus bertambah, karena sifat biaya pemeliharaan aset untuk tanah dan bangunan adalah fixed cost, artinya biaya tersebut akan tetap ada meskipun tidak digunakan atau dimanfaatkan. Aset kota Jakarta berupa tanah dan bangunan yang belum dimanfaatkan dapat dikembangkan dengan melibatkan partisipasi dari pihak ketiga (masyarakat, yayasan sosial maupun sektor swasta). Keterlibatan unsur pihak ketiga ini selain mengurangi beban biaya anggaran juga membantu Pemerintah dalam meningkatkan sumber penerimaan daerah sebagai dasar pelaksanaan pembangunan kota Jakarta dan mensejahterakan warga kota Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan strategi yang tepat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mengelola aset Kota, terutama di bidang tanah dan bangunan. Penelitian ini juga bertujuan untuk memperkenalkan konsep Balanced Scorecard (BSC) unluk diterapkan pada Unit/Satuan Kerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membidangi pengelolaan aset kota. Teori yang dipakai sebagai dasar penelitian adalah kombinasi ilmu manajemen, yaitu manajemen perkotaan, manajemen aset, manajemen strategis dan berbagai teori yang mendukung pemilihan strategi. Penentuan alternatif strategi yang digunakan adalah analisis SWOT, sedangkan penentuan strateginya dilakukan dengan menggunakan analisis tata olah hirarki (analisis AHP) dengan menggunakan perangkat lunak expert choice. Berdasarkan penetapan alternatif strategi pengelolaan aset kota dengan menggunakan metode matriks SWOT, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berada pada posisi kuadran III, artinya bahwa Pemerintah memiliki potensi dan peluang pasar yang sangat besar, namun di lain pihak, instansi ini dihadapkan pada beberapa kendala/kelemahan di sektor internal organisasi. Maka berdasarkan tahapan strategi, akan lebih tepat bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pembenahan masalah internal organisasi. Dan berbagai pilihan stategis untuk melakukan pembenahan, strategi yang paling tepat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah dengan strategi pembenahan progresif, dan pelaku yang diprioritaskan untuk menerapkan Balanced Scorecard adalah Biro Perlengkapan Provinsi DKI Jakarta.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13375
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Wardhana
Abstrak :
Imunisasi dasar adalah suatu tindakan untuk memberikan kekebalan khusus terhadap penyakit tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, poliomielitis, campak dan hepatitis B kepada anak umur 0-11 bulan. Kegiatan tersebut merupakan salah satu intervensi kesehatan yang berdaya ungkit besar terhadap penurunan angka kesakitan dan angka kematian bayi dan anak. Cakupan imunisasi menurut SDKI tahun 1997 adalah 55% anak terimunisasi lengkap. Di Jawa Barat tahun 1997 cakupan anak terimunisasi lengkap bare mencapai 42 % sedangkan di Kabupaten Majalengka cakupan anak terimunisasi lengkap 81,29%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu tentang imunisasi terhadap status kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kabupaten Majalengka tahun 1999-2001. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol tanpa di matching dengan jumlah sampel 159 kasus dan 159 kontrol diambil dengan cara simple random sampling. Hasil penelitian dengan menggunakan uji statistik multivariabel regresi logistik menunjukkan bahwa perilaku ibu tentang imunisasi berpengaruh terhadap status kelengkapan imunisasi dasar pada anak dengan nilai rasio odds 4,12. Artinya ibu yang memiliki perilaku tentang imunisasi kurang baik memiliki risiko 4,12 kali status imunisasi dasar pada anaknya tidak lengkap dibandingkan dengan ibu yang memiliki perilaku tentang imunisasi baik. Selain itu, status kelengkapan imunisasi dasar pada anak dipengaruhi pula oleh pendidikan ibu, jumlah anak masih hidup, aktifitas kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), aksesibilitas ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan pemajanan media informasi. Variabel pendidikan ibu, aktifitas kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), aksesibilitas ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan pemajanan media informasi saling berpengaruh independent dengan status kelengkapan imunisasi dasar pada anak. Pengaruh perilaku ibu tentang imunisasi terhadap status kelengkapan imunisasi dasar pada anak, ternyata dipengaruhi oleh kovariat antara lain pendidikan ibu dan aksesibilitas ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Dari hasil penelitian ini diperoleh model terbaik yaitu : Logit p(X) = -2,82+ 1,05 (Perilaku ibu tentang imunisasi) + 0,90 (Aktifitas kader Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)) + 1,53 (Aksesibilitas ke Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)) + 1,50 (Pemajanan media informasi) + 1,56 (Pendidikan ibu). Untuk meningkatkan status kelengkapan imunisasi dasar pada anak, Dinas Kesehatan dengan didukung oleh program dan sektor terkait perlu melakukan suatu kajian pengembangan media informasi imunisasi dan pemberdayaan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dalam program imunisasi.
Mother's Behavior Influences on Immunization to Completeness Status of Basic Immunization for Children in Majalengka Regency in 1999-2001Basic immunization is an action to give immunity to tuberculosis, diphtheria, pertussis, tetanus, poliomyelitis, measles and hepatitis B diseases for children 0-1 l months. The activity is one of the health interventions to reduce morbidity and mortality rates. According to Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) in 1997 immunization coverage is 55% fully immunized children. In West Java in 1997 the fully immunized children are 42% more over in Majalengka Regency the fully immunized children are 81,29%. The research objectives knowing mother's behavior influences on immunization to completeness status of basic immunization for children in Majalengka Regency in 1999-2001. Research design by using case-control 159 sample cases and 159 controls without matching is taken by simple random sampling. The research results to use logistic regression multivariate statistic, indicated which mother's behavior on immunization influence to completeness status of basic immunization for children value to odds ratio 4.12. It means those mothers?s who has a bad behavior on immunization having risk 4.12 times status of basic immunization of her child is incompletely of we compared with the mother's who have a good behavior on immunization. Besides the completeness status of basic immunization for children is influenced by the mother's education, number of children still alive, activities of Integrated Health Service Post cadre, accessibility to Integrated Health Service Post and advance of mass immunization information. The variable of the mother's education, activities of Integrated Health Service Post cadre, accessibility to Integrated Health Service Post and advance of mass immunization information as influence as independently with status of completeness of basic immunization for children. Mother's behavior influences on immunization to completeness status of basic immunization for children which is influenced by covariate such as mother's education and accessibility to Integrated Health Service Post. The research results above are got the best model namely: Logit p(X) = -2,82 i 1,05 (mother's behavior on immunization) - 0,90 (activities of Integrated Health Service Post) + 1,53 (accessibility to Integrated Health Service Post) + 1,50 (advance or mass immunization information) 1,56 (mother's education). To increase completeness status of basic immunization for children, Department of Health supported by program and connected sector should be done the developing research of mass immunization information and revitalization of Integrated Health Service Post in immunization program.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T10002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setya Adji Wardhana
Abstrak :
ABSTRAK
Tulisan ini menyelesaikan masalah pemilihan salah satu diantara dua sistem produksi minyak untuk Lapangan Minyak X. Sistem produksi dengan menggunakan sucker-rod pump dan sistem produksi dengan menggunakan electric submersible pump (ESP) sebagai metoda pengangkatan dievaluasi melalui prosedur evaluasi ekonomi berdasar data dan informasi tentang Lapangan Minyak X. Net Present Value (NPV) sebagai angka profitabilitas digunakan sebagai kriteria pemilihan salah satu sistem produksi yang tersedia. Resiko dan Ketidakpasitan (Risk and Uncertainty) di nilai melalui Analisa Sensitifitas (Sensitivity Analyasis) dan prosedur khusus untuk membuat distribusi probabilitas. Bentuk umum perjanjian Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dugunakan untuk menghitung NPV. Hasil analisa menunjukkan bahwa sistem produksi dengan menggunakan ESP Iebih menguntungkan dari pada sistem produksi dengan menggunakan sucker-rod Pump.
ABSTRACT
This paper addresses the problem of selecting one of two production system for the onshore X oil field. Production system uses sucker-rod pump and production system uses electric submersible pump (ESP) as lifting methods are evaluated using the economic evaluation procedure on the basis of data and information gathered from the X oil field. The Net Present Value NPV that provides profitability information is used as the criterion in selecting one of the production systems. The risk and uncertainty is assessed through sensitivity analysis and special cumulative probability distribution procedures. Indonesia's general production sharing contract agreement is used in the calculation of the NPV. The results indicate that the production system using electric submersible pump gives more benefits than the production system using sucker-rod pump.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Wardhana
Abstrak :
Pada periode 1945 - 1965 kekurangan dana untuk investasi dan kekurangan devisa untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran selalu menjadi masalah dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Pada periode 1945 - 1965 strategi pembangunan tidak terlalu mengandalkan utang luar negeri dan modal asing. Pada periode Orde Baru, sejak Pelita pertama sampai sekarang pembangunan ekonomi menempuh strategi pembiayaan dengan dana dalam negeri dan dana luar negeri (utang). Penelitian ini ingin mengetahui: (1) Pengaruh bantuan luar negeri dan pengaruh modal asing -terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. (2) Pengaruh arus masuk modal asing terhadap investasi dalam negeri. (3) Penggunaan utang luar negeri untuk investasi bantuan proyek di berbagai bidang. (4) Potensi sumber-sumber dalam negeri untuk pembangunan nasional. (5) Dampak (1), (2), (3) dan (4) terhadap ketahanan nasional. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Selama empat Pelita (1969/70 - 1988/89), pinjaman luar negeri berpengaruh signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (Pendapatan Nasional). Pembiayaan dari dalam negeri saja tanpa bantuan luar negeri secara statistik menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto. Meskipun demikian secara bersama-sama baik pembiayaan dari pinjaman luar negeri maupun pembiayaan dari dalam negeri berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto. (2) Mengenai , arus modal asing pengaruhnya tidak significant terhadap investasi di Indonesia. Ini berarti modal asing tidak meningkatkan tabungan rakyat Indonesia. (3) Penggunaan bantuan luar negeri dalam bentuk proyek dialokasikan untuk gatra ekonomi 78,3%; gatra politik 1,8%; gatra sosial budaya 12,8%; gatra pertahanan keamanan 4,1%; gatra kependudukan 2,4%; gatra sumberdaya alam 1,6%. (4) Beberapa jenis pajak masih bisa ditingkatkan antara lain: Pajak Pertambahan nilai (PPn) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Deregulasi di berbagai sektor untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri, perlu digalakkan. (5) Sejak tahun 1985 -- 1992 hutang bukan lagi pelengkap untuk pembangunan tetapi sudah mengambil tempat yang besar untuk biaya pembangunan. (6) Defisit transaksi berjalan merupakan penyakit kronis ekonomi Indonesia. (7) Kandungan import produk Indonesia masih cukup tinggi sehingga kebijaksanaan ekspor terperangkap ke dalam "lingkaran setan". (8) Dengan makin meningkatnya pembayaran cicilan utang plus bunga pinjaman tiap tahun maka kemampuan pemerintah berkurang untuk investasi sosial terutama meningkatkan kesejahteraan pegawai. (9) Akibat dari kondisi tersebut di atas bantuan luar negeri dan modal asing bukan lagi merupakan hambatan, gangguan dan tantangan, tetapi ancaman terhadap ketahanan nasional.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna H. Wardhana
Abstrak :
Departing from the much publicized Social Security crisis in the first two years after President Ronald Reagan took office in 1981, this study sets out to examine and come to an understanding of what Social Security signifies, and what its place is in the lives of the American people. When President Franklin D. Roosevelt signed the Social Security Act of 1935 into law, in the midst of the Great Depression of the 1930s, he gave the American people a basic framework of federally-and/or-state administered programs that would provide "security (for) the men, women, and children of the nation against certain hazards and vicissitudes of life." They included: a federal old-age insurance program, a state unemployment insurance program, and a federal-state program for public assistance to certain categories of needy people. However, the heart of the Social Security Act - championed by Roosevelt as his cause for security in old age - was the old-age insurance program, a worker-and-employer-funded program which would pay out monthly benefits to workers upon retirement, proportional to what they had earned during their working years. Today, the term Social Security is fully identified with this federal old-age insurance system. Roosevelt had wanted to create a system which would give some measure of protection against certain misfortunes in life which, he said, could not be wholly eliminated in "this man-made world of ours." Social Security benefits were to be a supplement to individual savings for old age, a means to help ward off "poverty-ridden old age." Prior to the Social Security Act of 1935, the existing provisions of assistance to the poor were a patchwork of county, state, and private charities. The aged poor were generally placed in almshouses, where they were inadequately taken care of.. In addition to their bleak existence, they suffered the stigma of being considered "worthless paupers " --true to the spirit of individualism and to certain elements of the value system that were fundamental to American life. The Social Security Act of 1935 was a significant turning point in the history of the American nation. It heralded the assumption of responsibility by the federal government for the welfare of the people in general; and the protection of the individual in particular, against destitution in old age. A government policy, however, may over the years develop in unforeseen directions, leading to unintended consequences. In the Epilogue added to this study, an overview of the development of Social Security after 1935 is given so as to link the past to the present, thereby coming to a more meaningful understanding of the crisis in the Social Security system which emerged at the close of its fifty-year existence.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wardhana
Abstrak :
Tujuan : Mengetahui apakah HTA Indonesia 2003 sudah berjalan di departemen bedah RSCM dan mengetahui pengeluaran pemeriksaan rutin yang mungkin bisa ditekan. Meningkatkan kemampuan pemeriksaan fisik dan memilih pemeriksaan prabedah lebih selektif dan efisien. Tempat : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metodologi : Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dan data disajikan dalam bentuk deskripif. Sebanyak 106 pasien diambil datanya dari status pasien yang masih dirawat (44 orang) dan dari status pasien rawat jalan (62 orang). Pengambilan subjek dengan consecutive sampling untuk yang masih dirawat dan acak sederhana pada pasien rawat jalan. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik pasien, sebaran penyakit/kelainan sitemik, sebaran pasien pra dan pascabedah, komplikasi pascabedah, permintaan foto toraks sesuai HTA dan rutin berikut biaya, penyakit sistemik yang mendasari pemeriksaan fate toraks, pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan BTICT sesuai HTA dan rutin berikut biaya, pemeriksaan kimia darah sesuai HTA dan rutin berikut biaya, pemeriksaan foto torak dan darah sesuai HTA dan rutin. Hasil : Berdasarkan karakteristik pasien kelompok yang sehat lebih banyak dari pasien dengan kelainan sistemik. Penyakitlkelainan sistemik terbanyak adalah kardiopulmonal diikuti tuberculosis dan anemia. Prabedah dalam kondisi baik dan tidak ada komplikasi pasca bedah. Terdapat perbedaan foto toraks HTA dan rutin ( 21 dan 85 dengan biaya Rp.1.050.000 dan Rp.4.250.000). Terdapat perbedaan pemeriksaan BTICT HTA dan rutin (2 dan 104 dengan biaya Rp.30.000 dan Rp.1.560.000). Terdapat perbedaan pemeriksaan kimia darah HTA dan rutin dengan biaya Rp.2.175.000 dan Rp.6.993.500 dan pemeriksaan kimia darah dan foto toraks menurut HTA dan rutin: 7 dan 99 dengan biaya Rp 2.525.000 dan Rp 12.803.500. Kesimpulan : Pemeriksaan prabedah sesuai HTA belum berjalan.pemeriksaan rutin masih dominan dengan selisih biaya tiga sampai enam kali lebih mahal dari pemeriksaan sesuai HTA dan juga tidak efisien karena tidak terdapat komplikasi pascabedah.
Objective: The aim of this study was to know whether HTA Indonesia 2003 had been performed in the department of surgery RSCM and to know how much its cost for the preoperative routine examination. To improve physical examination and selective choosing preoperative examination based on physical findings. Place: Cipto Mangunkusumo Hospital Method: The design was descriptive and cross-sectional retrospective study. There was 44 patients in the ward room and 62 patients at out patience clinics all taken from the status. The sample was taken with consecutive sampling for patients who still in the ward and simple random for patients at out patients clinics. Data collected were characteristics of the patients, systemic diseases, preoperative and postoperative, complications, chest x-ray according HTA and routine with its cost, chest x-ray with systemic diseases, routine blood test, coagulation test, blood chemistry test routine and HTA, blood test and chest x-ray routine and HTA. Results: Most patients were in good conditions. Sistemic disesase were cardiopulmonal, tuberculosis, and anemia_ Preoperative were in good conditions and there were no complications. There were differences between HTA and routine chest x-ray (21 and 85 with the cost Rp 1.050.000 and Rp 4.250.000), HTA and routine coagulation test were 2 and 104 with the cost Rp 30.000 and Rp 1.560.000, HTA and routine blood chemistry test were Rp.2.175.000 and Rp.6.993.000, HTA and routine chest x-ray and blood chemistry test were 7 and 99 with cost Rp 2.525.000 and Rp 12.803.500. Conclusions: HTA preoperative examination had not been performed yet, routine preoperative test were dominant and were cost three and six times more expensive than HTA. There were no complications postoperatively, so routine preoperative test should be considered.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18155
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Wardhana
Abstrak :
Seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, manusia terkadang melupakan pentingnya kelestarian fungsi lingkungan. Kegiatan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup ini banyak yang mengabaikan arti penting lingkungan dalam menunjang kehidupan mereka. Kegiatan masyarakat yang sangat merugikan lingkungan yang sedang marak berkembang di Kalimantan Barat adaiah pertambangan emas. Pertambangan emas yang dilakukan ini secara ilegal karena tidak memiliki ijin dari pejabat yang berwenang. Aktivitas pertambangan ini dikenal dengan sebulan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) bahan galian emas. PETI berkembang dari pertambangan rakyat yang dilakukan secara tradisional yang semakin lama semakin berkembang menjadi pertambangan emas yang menggunakan peralatan semi mekanis dan pelakuknya juga tidak hanya masyarakat setempat tetapi juga para pendatang terutama berperan sebagai pemodal. Kegiatan PETI ini sangat merugikan baik bagi Pemerintah maupun Pemerintah Daerah dan dampak lingkungan yang diakibatkannya sangat mengkhawatirkan kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Dampak lingkungan akibat aktivitas PETI ini antara lain: kegiatan PETI dilakukan dengan membongkar lahan puluhan hektar sehingga mengubah keseimbangan ekosistem yang berpengaruh secara signiiikan terhadap terjadinya kerusakan jenis, spesies dan habitat flora dan fauna Proses pemisahan bijih emas dari batuannya menggunakan logam berat merkuri atau air rakya yang limbahnya langsung di buang ke tanah dan aliran sungai di sekitar lokasi PETI , selain itu juga berdampak pada lingkungan sosial bempa konflik sosial yang pelik seperti berkembangnya prostitusi, perjudian dan perkelahian antar kelompok serta kriminalitas lainnya. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh PETI, maka PETI harus diatasi minimal menguranginya dan bahkan menghilangkannya. Untuk melaksanakan penertiban terhadap PETI peranan Pemerintah, dalam hal ini lembaga-lembaga lingkungan, sangat diperlukan sehingga perkembangan PETI dapat dicegah dan kelestarian fungsi lingkungan tetap terpelihara. Namun demikian dalam pelaksanaan tugasnya lembaga-lembaga lingkungan yang berada di Kalimantan Barat belum maksimal. Berkaitan dengan hal tersebut maka peranan lembaga yang berkaitan dengan pengendalian dampak Iingkungan sebagai akibat dari aktivitas PETI yang ada di Kalimantan Barat perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut peran dan efektivitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Fungsi, tugas dan wewenang kelembagaan lingkungan dalam menangani dampak lingkungan akibat aktivitas PETI emas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kelembagaan yang dilihat dari hasil kerja Tim Penertiban PETI emas dan kendala atau hambatan dalam penertibannya. 3. Keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat terutama dilihat dan keadaan tingkat pendapatan dan pola perilaku masyarakat di sekitar lokasi PETI. Penelitian bersifat diskriptif dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif yang dilaksanakan di Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, observasi serta dan wawancara kepada informan yang berkompeten yang ditetapkan berdasarkan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa belum adanya lembaga pemerintah yang mempunyai fungsi, wewenang dan bertanggungjawab terhadap PETI. Penanganan PETI dilakukan oleh Tim Penertiban PETI yang keanggotaannya terdiri atas unsur pejabat pemerintah yang terkait. Tim Penertiban PETI kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan penyuluhan, pembinaan, pengawasan dan penertiban PETI yang dilakukan selama tahun 1996 - 2000, tidak kontinyu dan tidak merata di semua lokasi PETI. Selain itu tidak dapat menghilangkan PETI dan mencegah kerusakan Iingkungan akibat PETI, justru perkembangan PETI dan kerusakan lingkungan cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Jumlah PETI selama tahun 1996-2000 rata-rata setiap tahun yaitu 1.781 kelompok, dengan tingkat perkembangannya meningkat 3,1 % per tahun. Jumlah tenaga kerja yang terserap rata-rata setiap tahun 16.391 orang setiap tahun dengan tingkat penyerapan tenaga kerja PETI meningkat 27,6 % per tahun. Volume kerusakan tanah dan pasir yang tergali setiap tahun rata-rata 3.359.687 m3 dengan tingkat kerusakannya meningkat 10,8 % per tahun. Luas areal lokasi penambangan yang rusak setiap tahun rata-rata 1.378,4 Ha dengan tingkat kerusakannya meningkat 8,3 % per tahun, dan penggunaan Air Raksa (Hg) dalam kegiatan PETI yang tersebar dan mencemari lingkungan berjumlah 4,1 ton per tahun dengan tingkat penggunaannya meningkat 6,2 % per tahun. Keadan sosial ekonomi masyarakat, terutama mengenai pendapatan masyarakat di sekitar lokasi PETI, yaitu rata-rata pendapatan pekerja atau buruh PETI Rp. 25.000,- sampai Rp.35.000,- per hari kerja. Pendapatan masyarakat bukan pekerja PETI di sekitar lokasi PETI rata-rata Rp. 25.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari kerja. Pcndapatan bersih mandor PETI rata-rata Rp. 35.000, sampai Rp 50.000,- per hari kerja. Kurang efektifnya Tim Penetiban PETI dalam menangani PETI dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain 2 Iokasi PETI, operasi penertiban, perijinan, penegakan hukum, pendanaan, dan kegiatan Kontak Karya atau Kuasa Pertambangan. Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa: Efektivitas kelembagaan lingkungan dalam penanganan PETI di Kalimaman Barat masih rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya perkembangan PETI dan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh PETI. Belum efektifnya lembaga-lembaga tersebut dalam melaksanakan penerliban PETI disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: lokasi, operasi penertiban, perijinan, penegakan hukum, pendanaan dan faktor kegiatan KK dan KP. Meningkatnya perkembangan PETI berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar lokasi PETI. Selain itu, dampak sosial budaya yang ditimbulkan PETI adalah meningkatnya kriminalitas, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti perjudian, minuman keras dan prostitusi di sekitar lokasi PETI.
Accompanying industrial development and rising demands for the peoples needs have evenrually caused neglect in environmental protection. In pursuing their daily needs, the community easily forget the importance of theliving environment in supporting their living existence. Illegal gold mining activities undertaken by the local people in the traditional and primitive way (PETI) are at present spreading in large areas of West Kalimantan, due to lack of effective control by local authorities. It has been noted that such activities that are now using semi mechanical tools are not merely undertaken by the local populations, but also undertaken by people coming &om outside the region, especially by those who are also attracted to provide financial backups to these activities. The illegal gold mining uncontrolled activities are evidently very harmful both to the national and regional interests as well, and might leave for the next generation living in the region a completely ruined areas. Extensive areas of land which once were rich in various kinds of plants and wild life. A devastated in search of some gold and natural habitat of various flora and fatma are wasted, left unfit for any use. What is particularly distratrous is the use of mercury to extract the gold, which alter having been used is disposed into the surrounding lands or in to the nearby rivers, resulting in pollution, affecting the flora and fauna. These gold mining activities are also the root of several social disturbances like prostitutions, gambling, fights between community groups, and any other kinds of criminality. lt is obvious, that the undersirable effects of the gold mining must be minimized as much as possible. The responsible authorities should by all means undertake possible actions to overcome the problems. Government environmental protection agencies should be particularly called upon to take direct control to preserve the environment. However, it was noted that in the execution of their tasks, local environment agencies were perceived as not being effective enough. Within this framework of thinking the roles of existing local agencies related to the environmental impact control of illegal gold mining should be reviewed and evaluated in terms of their roles and effectiveness. A more effective method of control must be deviced for West Kalimantan to obtain actual results, particularly in connection with the continuing and still increasing activities ofthe people in their search for gold. The objective of the study is: 1. To review the function, task and power of existing local environmental protection authorities to elliminate the adverse results of illegal gold. 2. To review and identify factors that inhibit effective perfomance of the gold environmental agencies to reduce adverse effect of illegal gold mining upon the environment under the existing regulations. 3. To study social and economic condition of the population in the affected areas in terms in term of their income. The study is of descriptive nature and adopts a qualitative approach while being undertaken in West Kalimantan. Reliable sources of information include observation, partipatory observation and interview with competent respondents by way of purposive sampling. The results reveals that so far competent and accountable agencies for the control of illegal gold mining activities were not effectively in function. Control is being carried out by PETI special task force officials in the affected areas.The rather poor control results are revealed by less sufficient extension services, guidelines, supervisions and mining control during 1996 until 2000, due to the absence of regular and on-the-spot control in all PETI areas. Illegal gold mining activities continued to grow in number every year. During 1996-2000, there were 1,781 groups of people actively involved in illegal gold mining operations, showing an increase of 3,1 % each year.A total of 16,391 men were absorbed each year at average, with an annual ancrease of 27,6%.Annual average volume of earth exvacated amounted to 3,359,683 m3,thus damaged areas increased 10,8 % each year. About 1,378.4 hectares of mining location were damaged each year, increasing by 8,3% annually. Extensive pollution by mercury used in mining opertaions amounted to 4.1 tons per year, increasing by 6,2% annually. The socio-economical conditions of the population, particularly those near the mining locations working as field labourers, earn daily wages of Rp.25,000- Rp.35,000, whereas those involved in other activities earn average daily wages of Rp.25,000-Rp.50,000. A mining foreman may earn Rp.35,000-Rp.50,000 per day. Less effective mining control results are mainly due to the spreaded and distant locations, lack of control and of good lincesing systems, weak law enforcement, insufficient financing and the statuss of Contract of Work and Mining Authorization activities. The following conclusion may be drawn from the result of the study; The control of mining acttivities in West Kalimantan by the authorized agencies remains less effective, as indicated by continuing increase of illegal gold mining activities by the local communities in several areas, and the expanding environmental damage caused by the activities. Failure of the local authorities of enforce effective control is due to the absence of well-planned rules and regulations, licensing systems, insufficient fluids, and widespreads mining locations, which generated criminal activities, gambling, use of alcoholics drinks, prostitutions and disorder, reprensting social pathology as negative social impact of illegal gold mining activities.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Edward Wardhana
Abstrak :
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual adalah salah satu unit eselon I yang berada di bawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I mempunyai peran strategis dalam menjalankan fungsinya sebagai salah satu unsur pelayanan pemerintah kepada masyarakat luas dengan memberikan perlindungan dan kepastian hukum di bidang hak kekayaan intelektual. Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat memerlukan dukungan sarana dan prasana yang memadai serta sumber daya manusia yang berkualitas. Tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas menjadikan Pegawai Negeri Sipil sebagai abdi negara yang melayani masyarakat dituntut untuk selalu bersikap dan menjunjung tinggi profesionalisme dalam memberikan pelayanan menuju organisasi negara yang lebih efektif, efisien dan produktif, yang pada akhirnya dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pegawai Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual merasa tertantang untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dengan terus berupaya meningkatkan prestasi kerjanya agar tujuan organisasi dapat tercapai. Hal ini disebabkan karena "masalah prestasi atau kemunduran prestasi lebih gampang terjadi daripada meningkatnya prestasi kerja" (Walker, '1992:259). Sedangkan suksesnya pertumbuhan organisasi diyakini berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan sumber daya manusia, kampensasi, dan penghargaan bagi pegawainya yang berdasarkan pencapaian prestasi memacu pertumbuhan dan pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi yang berdasarkan pencapaian prestasi, menjadikan sumber daya manusia menjadi asset terbesar organisasi (Gilley, 1999:153). Sehubungan dengan prestasi kerja pegawai yang ingin dicapai, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa sajakah yang berdampak signifikan pada prestasi kerja pegawai Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dilatarbelakangi oleh pentingnya prestasi kerja pegawai bagi kinerja organisasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis kuantitatif regresi ganda, yakni suatu metode untuk menggambarkan keadaan pada saat penelitian berlangsung, dengan cara mengumpulkan data, mengolahnya, melakukan uji KMO dan Bartlett's test, menganalisa dengan analisa faktor dengan teknik Rotation Method : Varimax Kaiser Normalization, dan kemudian melakukan uji regresi, yang kesemuanya dilakukan dengan menggunakan Program SPSS 12.0 for Windows. Hasil penelitian diperoleh variabel penentu yang berdampak secara signifikan pada prestasi kerja pegawai. Adapaun variabel penentu tersebut adalah motivasi pegawai dalam bekerja, kedisiplinan dalam bekerja, bekerja di luar jam kerja, imbalan dan jaminan hari tua, rasa ingin maju, reputasi dan pujian, ketenangan dalam bekerja, dan pengambilan keputusan. Sedangkan kepemimpinan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab terhadap bawahan, dan gaya kepemimpinan belum berdampak secara signifikan pada prestasi kerja pegawai Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa saran kebijakan yang sangat mungkin diterapkan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual yaitu untuk tiga variabel yang belum berdampak secara signifikan pada prestasi kerja pegawai patut menjadi perhatian para pimpinan di lingkungan Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T22613
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>